Anda di halaman 1dari 16

No. ID dan Nama Peserta : dr.

Berry Erida Hasbi


No. ID dan Nama Wahana: RSUD Siwa
Topik: Demam tifoid
Tanggal (kasus) : 17-06-2013
Nama Pasien : An. F

No. RM: 00 25 28

Jenis Kelamin : Laki-laki


Umur

: 9 tahun

Tanggal presentasi : 22/07/2013

Pendamping:

dr. A. Nurrahma Ramli


Tempat presentasi: Ruang Pertemuan RSU Siwa
Obyek presentasi :
Keilmuan

Keterampilan

Penyegaran

Tinjauan pustaka

Diagnostik

Manajemen

Masalah

Istimewa

Neonatus

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Lansia

Bumil

Deskripsi:

Pasien Masuk IGD dengan keluhan demam yang dialami sekitar 7 hari yang lalu,
keluhan demam terutama saat sore dan malam hari, disertai BAB encer 3x, mual dan

nyeri perut sejak 3 hari yang lalu.


Lemah (+), nafsu makan menurun
Nyeri kepala (-), pusing (-)
Nyeri menelan (-), batuk (-), sesak(-), nyeri dada (-)
Riwayat sakit sebelumnya (-)
Riwayat imunisasi lengkap
BAK: lancar, 3x sehari, warna kuning

Tujuan: : Menegakkan diagnosis Demam Tifoid, penanganan serta pencegahan penularannya.


Bahan

Tinjauan

bahasan:

pustaka

Cara

Diskusi

membahas:

Riset

Kasus

Audit

Presentasi dan

E-mail

Pos

diskusi

Data Pasien:

Nama: An. F

Nama klinik

RSUD Siwa

Data utama untuk bahan diskusi:

No.Registrasi: 00 25 28

Pasien Masuk IGD dengan keluhan demam yang dialami sekitar 7 hari yang lalu, keluhan
demam terutama saat sore dan malam hari, disertai BAB encer 3x, mual dan nyeri perut sejak 3
hari yang lalu.
Lemah (+), nafsu makan menurun.
Nyeri kepala (-), pusing (-)
Nyeri menelan (-), batuk (-), sesak(-), nyeri dada (-)
Riwayat sakit sebelumnya (-)
Riwayat imunisasi lengkap
BAK: lancar, 3x sehari, warna kuning
Pemeriksaan Fisis
Stasus Generalis: sakit sedang/ Gizi cukup/ apati
Status Vitalis
Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 118x/menit, regular, kuat angkat

Pernafasan

: 20 x/menit, BP: tipe abdominothoracal

Suhu

: 38.8 C

Status lokalis:
Kepala

: konjungtiva anemis : -/-

Leher :

Sklera Ikterus

: -/-

Bibir Sianosis

:-

Lidah

: kotor, tepi hiperemis

Nyeri Tekan

:-

Massa tumor

:-

Pembesaran KGB

:-

Paru-Paru
Inspeksi

: Simetris kiri=kanan

Palpasi

: MT(-), NT(-), VF kanan = kiri

Perkusi

: Sonor kanan = kiri

Auskultasi

: BP: vesikulerr, Rh -/-, Wheezing -/-

Cor

: dalam batas normal

Abdomen

Inspeksi

: datar, ikut gerak nafas

Auskultasi

: Peristaltik usus (+) kesan meningkat

Palpasi

: Nyeri Tekan (-), Massa Tumor (-)

Perkusi
Ekstremitas

: Tympani
: Dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang:
Darah rutin: WBC 6.600, RBC 3.570.000, HB 11,5, HCT 27,1, PLT 150.000
Tes Widal: S.typhy: O: 1/320, H 1/320, S.paratyphy AO: (-), BH: (-)
Daftar Pustaka:
1. 1. Nasronudin.Penyakit Infeksi di InDonesia Solusi Kini & Mendatang. Airangga
2.
3.
4.
5.

University Press.Surabaya. 2011 Hal 187 198


Sloane ethel.Anatomi dan Fisologi untuk Pemula. EGC. Jakarta. 2005. hal 283-289
W.F.Ganong. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.EGC.Jakarta.2005
Sherwood Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6.EGC.Jakarta.2012
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.Buku Ajar Ilmu Penyakit

dalam .Interna Publishing. Jakarta.2010 hal 2797-2805


6. Unknown.typhoid abdominalis. 2012 [cited 2013februari

18];.

Available

from

http://www.findthatdoc.com/search-105702971-hPDF/download-documents-jtptunimusgdl-sitimuasar-5257-1-bab1-pdf.htm
7. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 1.EGC.Jakarta.2007.hal 343
8. E.jawetz, Jl.meknick. Mikrobiologi Kedokteran Buku 1. EGC. Jakarta. 2005

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Pasien Masuk IGD dengan keluhan demam yang dialami sekitar 7 hari yang lalu, keluhan
demam terutama saat sore dan malam hari, disertai BAB encer 3x, mual dan nyeri perut sejak 3
hari yang lalu.
Lemah (+), nafsu makan menurun.
Nyeri kepala (-), pusing (-)
Nyeri menelan (-), batuk (-), sesak(-), nyeri dada (-)
Riwayat sakit sebelumnya (-)
Riwayat imunisasi lengkap
BAK: lancar, 3x sehari, warna kuning
2. Obyektif:
Status generalis: sakit sedang/ gizi cukup/ Apati
Status Vitalis
Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 118x/menit, regular, kuat angkat

Pernafasan

: 20 x/menit, BP: tipe abdominothoracal, Rh -/-, Wh-/-

Suhu

: 38.8 C

Pemeriksaan Fisis:
Kepala

: konjungtiva anemis : -/-

Leher :

Sklera Ikterus

: -/-

Bibir Sianosis

:-

Lidah

: kotor, tepi hiperemis

Nyeri Tekan

:-

Massa tumor

:-

Pembesaran KGB

:-

Paru-Paru
Inspeksi

: Simetris kiri=kanan

Palpasi

: MT(-), NT(-), VF kanan = kiri

Perkusi

: Sonor kanan = kiri

Auskultasi

: BP: vesikulerr, Rh -/-, Wheezing -/-

Cor

: dalam batas normal

Abdomen

Inspeksi

: datar, ikut gerak nafas

Auskultasi

: Peristaltik usus (+) kesan meningkat

Palpasi

: Nyeri Tekan (-), Massa Tumor (-)

Perkusi

: Tympani

Ekstremitas

: Dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang:
Darah rutin: WBC 6.600, RBC 3.570.000, HB 11,5, HCT 27,1, PLT 150.000
Tes Widal: S.typhy: O: 1/320, H 1/320, S.paratyphy AO: (-), BH: (-)
3. Pendekatan Diagnosis
DEMAM TIFOID
Sekitar 15 juta hingga 30 juta penduduk dunia menderita tifoid setiap tahunnya dan
sekitar 600.000 diantaranya meninggal dunia. Transmisi tertinggi terjadi di Afrika sub Saharab,
Asia Tengah dan Asia Tenggara. Di Indonesia demam tifoid merupakan endemic dengan angka
kejadian masih tinggi serta merupakan salah satu emerging infectious disease di era globalisasi
yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan sanitasi yang kurang memadai. Sejauh ini
imunopatogenesis demam tifoid belum sepenuhnya dipahami sehingga kadang kala
penatalaksanaanya belum optimal.1

A. Etiologi
Salmonella typhi merupakan basil gram-negatif, bersifat aerobic, bergerak dengan
rambut getar dan bersifat tidak berspora. Kuman ini mempunyai 3 macam antigen. 1

Antigen O (somatic), terletak pada lapisan luar yang mempunyai komponen protein,

lipopolisakarida (LPS) dan lipid. Sering disebut endotoksin.


Antiegn H (flagella), terdapat pada flagella, fimbriae dan pili dari kuman , berstruktur

kimia protein.
Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman untuk melindungi
fagositosis dan berstruktur kimia protein.

B. Epidemiologi
Surveilans Departemen Kesehatan RI. Frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai
dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596
menjadi 26.606 kasus. 2
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daerah rural (jawa barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
2

Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid tidak termasuk dalam
10 penyakit dengan mortalitas tertinggi. 2
C. Patogenesis
Demam tifoid dan paratifoid tipe A, B, dan C disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S.typhi) dan serovar paratyphi A,B,dan C. Demam tifoid yang disebabkan oleh
S.typhi sangat menarik terutama oleh antigen yang terdapat pada permukaan kapsulnya.
Terdapat empat komponen antigenic pada S.typhi 1) capsular Vi polyasaccharide yang terdapat
pada lapisan luar yang kedua adalah Lipopolyscacharidae (LPS) mangandung 2 determinan
antigen dikenal sebagai endotoksin merupakan rantai heteropolisakarida unit oligosakarida (O
antigen) yang terjalin ke inti melalui asam heteroligosakarida yang kovalen dalam rangkaian
lipiodal, acetylated glucosamine disaccharidae (lipid A) yang ketiga adalah Flagella protein
dikenal sebagai antigen H, mempunyai 2 bentuk fase 1 dan fase 2, fase 1 antigennya lebih

spesifik untuk S.typhi, flagella mengandung protein disebut flagellin yang merupakan bagian
yang penting dalam respon imun dan yang ke empat adalah Outer Membrane Proteins (OMPs)
proteinya terdiri atas porin dan nonporin, protein porin berada di antara 2 lapis lipid pada
permukaan S.typhi berperan langsung pada proses pathogenesis dan merupakan antigen yang
penting terhadap respon imun host. Termasuk protein porin OmpB, C, D dan F yang bersifat
hidrofilik. Protein nonporin terdiri atas OmpA, termasuk lipoprotein yang berperan sebagai
reseptor bakteriosin dan juga mempunyai peran penting untuk mempertahankan morfologi serta
intergritas, membrane luar berinteraksi dengan peptidoglikan. Munculnya penyakit infeksi
demam tifoid terkait dengan kelemahan sistem imun. Tingkat respon ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: intensitas infeksi, faktorfaktor yang berkaitan dengan intensitas
respons, imun dari host, keadaan status sel T, fungsi sel T dan mungkin yang terpenting adalah
faktor genetik yang berinteraksi dengan faktor lain untuk menentukan hasil akhir dari penyakit.
Human leukocyte antigens ( HLA ) mempunyai pernan penting dalam interkasi dari sel ke sel
dalam kerangka sisten imun. 1

Kuman Salmonella typhi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang
tecemar, kemudian kuman menembus mukosa usus masuk ke kelenjar limfe usus. Kuman
berkembang biak, kemudian melalui duktus torasikus masuk ke dalam peredaran darah menuju
sistem retikuloendotelial seperti hati, limfa dan sumsusm tulang. Ini merupakan bakteremia
yang pertama terjadi dalam 24-72 jam setelah kuman masuk dan biasanya jarang terdiagnosis
oleh karena penderita belum menunjukkan gejala klinis. Bakteremia yang pertama yang hanya
sementara dan segera berakhir setelah kuman ini tidak hancur oleh fagositosis oleh karena
terlindung oleh kapsul Vi. Di dalam organ-organ ini kuman masih terus berkembang biak
dengan pesat, proses ini berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Selanjutnya kuman masuk
kembali kedalam peredaran darah dan menimbulkan bakteremia yang kedua. 1,5,6
Adanya antigen dari kuman ini akan merangsang limfosit T mengeluarkan suatu zat
machrophag activating factor (MAF) yang mempengaruhi perubahan morfologi pada makrofag
dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif, lebih giat mematikan dan mencernakan

bakteri. Makrofag pada keadaan ini disebut angry macrofag. Pada mulanya kuman Salmonella
typhi sangat sukar difagositosis karena melindungi kapsel Vi, baru setelah beberapa lama
kuman berada didalam tubuh penderita terjadi perubahan pada kapsel Vi, (tidak diketahiu
sebabnya) sehingga kuman sekarang berhasil difagositosis (dicerna) oleh makrofag. 1
Pada stadium bakteremia yang kedua ini kuman yang hancur akan melepaskan
endotoksin yaitu suatu kompleks lipopolisaksarida yang selanjutnya akan mengaktifkan
komplemen dan merangsang pelepasan pirogen endogen dari sel PMN, makrofag dan sel
sistem retikuloendotelial lainnya. Pirogen endogen ini akan mempengaruhi pusat pengaturan
suhu tubuh di hipotalamus dan menimbulkan gejala demam. Secara singkat bahwa S.typhi
menembus mukosa yang rusak melalui bercak peyer dan kelenjar getah bening mesenterium
untuk masuk kedalam alirah darah dan menyebabkan infeksi sistemik

dan nakteri yang

berkembang bika dalam lumen usus atau kandung mepedu tidak dapat diakses oleh
pertahanan imun penjam, termasukIgA sekretorik. 1,7
Makrofag yang telah aktif memfagosit kuman akan mengeluarkan interleukin-1 (IL-1 ;
Limphocyte activating factor) yang akan merangsang

T helper cell

dan menghasilkan

menghasilkan interleukin-2 (IL-2 ; T cell growth factor) yang selanjutnya akan menstimulasi
limfosit T untuk lebih giat berproliferasi dan berdiferensiasi. IL-1 mempunyai efek biologis
sebagai bahan pirogen sehingga dapat pula menimbulkan demam. 1
Sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap endotoksin selanjutnya adalah timbulnya
sistem imunitas sistemik, baik melalui aktivasi komplemen juga melalui sel limfosit B yang oleh
rangsangan endotoksin akan berubah menjadi sel plasma dan membuat agglutinin O. seperti
diketahui lipopolisakarida (endotoksin) merupakan antigen yang T-cell independent sehingga
O antigen ini setelah diproses oleh makrofag dapat langsung merangsang limfosit B menjadi sel
plasma yang selanjutnya menghasilkan agglutinin O tanpa melauli limfosit T, sebaliknya antigen
Vi dan antigen H yang merupakan antigen yang T cell independent harus merangsang limfosit T
dahulu sebelum merangsang limfosit B untuk berubah menjadi sel plasma dan membuat
agglutinin H dan agglutinin Vi. Dengan demikian maka agglutinin O terbentuk lebih dahulu
daripada agglutinin H dan agglutinin Vi. Agglutinin Ocepat menghilang dalam beberapa tahun.
Sedangkan agglutinin Vi menghilang setelah penderita sembuh tetapi cenderung menetap pada
karier. 1
D. Gejala Klinis
Gejala klinis yang sering terjadi merupakan dampak dari sitokin proinflomatori serta
berbagai mediator kimia, maka muncul panas yang berkepanjangan lebih dari 1 minggu, tipe
panas stepladder yang mencapai 39-40 , kemudian panasnya berlangsung persiten, kontinu
atau tipe remitten. Bersamaan dengan munculnya gejala panas sering disertai dengan keluhan
saluran cerna seperti mual muntah, nyeri abdominal, diare dan konstipasi. Bakteremia kedua

terjadi setelah beberapa hari timbul gejala, lalu diperburuk dengan timbulnya panas dingin atau
anoreksia. Gejala ini disebut dengan demam tifoid akut dan antibody spesifik yang terbentuk
adalah antibodi IgM yang bertahan yang selanjutnya digantikan dengan antibody IgG. Pada
kondisi ini dapat terjadi sepsis dan syok septik yang menyebabkan kematian jika tidak diobati
(15%), kekambuhan (10%), terjadi pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan
adekuat, menjadi karier pada 1-4%. Gejala yang tidak spesifik seperti malaise, mengigil, sakit
kepala, myalgia, dan batuk yang muncul pada awal perjalanan penyakit. Apatis dan delirium
terjadi pada 10-45%, bradikardia relatif, lidah kotor, bercak Ros yang muncul pada awal
penyakit namun lebih sering ditemukan pada orang kulit putih . Hepatomegali lebih sering
daripada splenomegaly biasanya muncul pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua.
Pada pemeriksaan abdomen di dapatkan rasa nyeri lokal, maupun difus, terkadang juga
disertai dengan penurunan bising usus. 1
Keluhan dan gejala Demam tifoid
Periode Penyakit

Keluhan

Gejala

Minggu Pertama

Panas

Gangguan saluran Bacteremia

berlangsung

cerna

insidious,

Patologi

tipe

panas stepladder,
mengigil,

nyeri

kepala
Mingu Kedua

Rash,

nyeri Rose

abdomen,

spots, Vaskulitis,

diare, splenomegaly,

konstipasi

hepatomegali

hyperplasia pada
peyer

patches,

nodul tifoid pada


limpa dan hati
Minggu Ketiga

Komplikasi

: Melena, ileus

perdarahan
saluran

Ulserasi
peyer

cerna,

pada
patches,

peritonitis

perforasi, syok
Minggu keempat Keluhan menurun, Tampak
dst

relaps,

penurun berat

BB

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

sakit Carrier kronik

Diagnosis tifoid dapat di tegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani,


pemeriksaan bekteriologi/ pemeriksaan laboratorium, radiologi. 5
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Uji widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman s.tiphi. pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.tiphy dengan antibodi yang di sebut
agglutinin. Antigen yang di gunakan pada uji widal adalah suspense salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratrium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutini
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: Aglutini O (dari tubuh kuman), Aglutini
H(flagel kuman), Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutini tersebut hanya aglutini O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Hasil
dari tes widal dapat diinterpretasikan sebagai berikut, 8
1. Titer O yang tinggi atau kenaikan titer (1:160 atau lebih) menunjukkan
adanya ifensi aktif
2. Titer H yang tinggi (1:160 atau lebih ) menunjukka bahwa penderita pernah
divaksinasi atau pernah terkena infeksi
3. Titer Vi yang tinggi tedapat pada carrier
Pembentuk agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat pada minggu ke empat , dan tetap tinggi selama beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian di ikuti dengan agglutinin H. pada
orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
1). Pengobatan dini dengan antibiotic,
2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,
3). Waktu pengambilan darah,
4). Daerah endemic atau non endemic,
5). Riwayat vaksinasi,
6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam
tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,
7). Faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan
strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglitinin yang bermakna
diagtnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya

berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat. 2
2) Uji Typhidot
Uji tyhphidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah
infeksi dam dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen
s.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. 5
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifitas sebesar 76,6% dan efisiansi
uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang
dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk,
didapatkan sensitifitas dan spesifitas uji ini hamper sama dengan uji tubex yaitu 79% dan 89%
degan 78% dan 89%.5
Pada kasus reinfeksi, respons imun skunder (IgG) terinveksi secara berlebihan
sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG
saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau
konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian
dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan
nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada
serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji
Typhidot-M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitive (sensitivitas mencapai 100%) dan
lebih cepat (3jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur. 5
3) Uji Tubex
Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit)
dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien,
dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida s.typhi yang terkinjugasi pada partikel megnetiklatex. Hasil
positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau tidak secara
spesifik menunjuk pada Salmonella typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil
negative. 5
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang
respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan
dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga
deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakuakn lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer
dan hari 3-2 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi
IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas
untuk mendeteksi infeksi lampau. 5

Pemeriksaan ini dilakkukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi: 1).


Tabung berbentuk V, yang juga berfungi untuk meningkatkan sensitivitas, 2). Reagen A, yang
mengandung partikel magnetic yang diselubungi dengan antigen S.typhi O9, 3). Reagen B
yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang mengandung partikel lateks berwarna biru
yang diselubungi dengan antibodi monoclonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakuakan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu
tetes (25 L) reagen A. setelah itu reagen B (50 L) di tambahkan kedalam tabung. Hal
tersebut di lakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian di letakkan
pada rak tabung yang mengandung magnet dan di putar selama 2 menit dengan kecepatan
250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna larutan campuran yang dapat
bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang
interpretasinya dapat dilihat pada table berikut. 5
Table 1. interpretasi hasil uji tubex
Skor

Inter pretasi

<2

Negatif

borderline

Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif


Pengukuran
disimpulkan.

tidak
Ulangi

dapat
pengujian,

apabila masih meragukan lakukan


pengulangan

beberapa

hari

kemudian.
4-5

Posotif

Menunjukkan infeksi tifoid aktif

>6

Positif

Indikasi kuat infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. jika diletakkan
pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung
reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa sserta pewarna yang dikandung
oleh reagen B. sebagai akibatnya terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap
O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada
megnet rak dan memberikan warna biru pada larutan. 5
4) Uji IgM dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi sntibodi IgM spesifik terhadap S.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen

lipopolisakarida (LPS) S.typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung
antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum di
inkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk
di simpanselama 2 tahun pada suhu 4-25 C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari.
Pemeriksaan di muali dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum,
selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan
dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandingkannya dengan reference stri. Garis control harus terwarna dengan baik. 5
House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 meneliti mengenai penggunaan uji ini
dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan sensitivitas
sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah da cepat (dalam 1
hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila
pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.
5) Kultur darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negative
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sbb: 1). Telah
mendapat terapi antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negative; 2).
Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang dibiakkan
terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung
dimasukkan kedalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman;3). Riwayat
vaksinisasi. Vaksinisasi di masa yang lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.
Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4). Saat
pengambilan darah setekah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat. 5
F. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam tifoid yaitu
1.

Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat


penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, BAK dan BAB akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik
serta hegiene perorangan. Mobilisasi pada pasien tifoid adalah 5
Hari 1 duduk 2 x 15 menit
Hari 2 duduk 2 x 30 menit
Hari 3 jalan
Hari 4 pulang

2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan menjadi
lama. Di masa lampau penderita tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
ditujukan untuk menghindari perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. 5
3. Pemberian Antibiotik, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Obat obat anti mikroba yang sering digunakan untuk mengobati tifoid antaralain adalah
sebagai berikut 5
Klomrafenikol. di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama
untuk memgobati demam tifoid dengan dosis yang diberikan adalah 4x500mg

secara per oral atau IV. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Tiamfenikol : dosis dan efektivitas dari timafenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol akan tetapi komplikasi hematologinya lebih rendah, dosis

tiamfenikol adalah 4x500mg.


Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan sama dengan klomrafenikol. Dosis
untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol

400mg dan 80 mg trimethoprim) diberikan selama 2 minggu


Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol dosis yang dianjurkan adalah 50-

150mg/kgBB digunakan selama 2 minggu


Sefalosporin generasi ketiga hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga
yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan
adalah 3-4 gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari
diberikan selama 3 5 hari.

Selain memberikan terapi dengan antibiotic kita juga perlu memperhatikan tuntutan tubuh
lainnya yaitu
1. Kondisi hipermetabolik selama infeksi dengan pemenuhan nutrisi yang adekuat, tinggi
kalori dan protein serta memperhatikan keseimbangan elektrolit
2. Suplemen yang mengandung beta karoten, vitamin C, E serta trace elemen ( misal Zn )
guna mendongkrak kinerja seperoksidase dismutase (SOD), katalase, dan gluthatione
( GSH ) di sitosol dan meredam peran TNF sehingga dapat menghadang laju proses
kematian sel patologis dipercepat akibat dampak negative dari ROS. ROS dapat
mencetuskan timbulnya krisis scavenger enzyme akibat defist berbagai komponen
micronutrient seperti Fe,Zn, selenium, vitamin C, vitamin B6, vitamin E atau

ketidakseimbangan beberapa zat makanan, seperti asam amino esensial dapat pula
menyebabkan rusaknya komponen system kekebalan tubuh
G. Komplikasi
Komplikasi terjadi pada sekitar 10-15% pasien terutama dalam minggu ke 2 atau lebih
. Komplikasi utama adalah perdarahan saluran cerna, perforasi usus, dan ensefalopati tifoid.
Relaps dialami oleh 5 10% pasien dan terjadi 2 3 minggu steralah demam turun.
Komplikasi demam tifoid 1, 5

Abdomen : Perforasi usus terutama ileum, perdarahan saluran cerna, Hepatitis,

kholestitis
Kardiovaskuler : Miokarditis Syok
Neuropskiatri: ensefalopati, delirium, psikotik, meningitis, gangguan koordinasi
Respirasi : Bronchitis, Pneumonia
Hematologi: Anemia dan koagulasi intravascular diseminata KID
Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulang : osteomyelitis, periostitis, atritis
Lain lain abses fokal, Faringitis, Relaps , karier kronik
H. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak
cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid, menurunkan
anggaran pengobatan pribadi maupun Negara, mendatangkan devisa Negara yang bersal dari
wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat Negara endemic dan hiperendemik
sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. 5
Preventing dan control penularan, tindakan preventif sebagai upaya penularan dan peledakan
kasus luar biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman
Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan factor penjamu ( host ) serta lingkungan. Secara
garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid yaitu
1. Identifikasi dan eredikasi salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid.
2. pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun karier
3. Proteksi pada orang yang beseiko terinfeksi
Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier dan akut.
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup sulit dan
memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara
pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila
ada penerimaan pegawai di suatu instasi atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada
populasi populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan minuman baik tingkat
usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik serta distributornya. Sasaran lainnya
adalah yang terkait dengan pelayanan pelayanan masyarakat yaitu petugas kesehatan,

guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya. 5


Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier
dapat dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkingan sekita orang yang
telah diketahui mengidap kuman S. typhi. 5
Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi pada
populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun
hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non endemis, tingkat
resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu beresiko yaitu golongan imunokompromais maupun golongan
rentan. 5
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu
Daerah non endemic. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic

Sanitasi air dan kebersihan lingkungan


Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjual makanan minuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemic tifoid

Pencarian dan eliminasi sumber penularan


Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus
Penyuluhan higien dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

Daerah endemic

Memasyarkatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi

standar prosedur kesehatan


Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi
makanan segar

4. Rencana Penatalaksanaan
Diagnosis: demam Tifoid
Penatalaksanaan
Tirah baring absolut
IVFD Ringer Laktat 20 tts/ menit
Cloramphenicol 250 mg 4x1/PO
Paracetamol tab 250mg 4x1/PO

Anda mungkin juga menyukai