JUDUL PENELITIAN
Strategi Pembelajaran Guru Fisika Berbasis Kurikulum 2013 di SMA:
Relevansinya dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa di
SMA Negeri 1 Semarapura Tahun Pelajaran 2015/2016
IDENTITAS PENELITI
Nama
Semester
: VII/B
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa beberapa persoalan yang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini, disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia
(SDM) Indonesia yang masih rendah. Rendahnya kualitas SDM ini menyebabkan
sebagian masyarakat Indonesia belum mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan keahlian dan bidangnya masing-masing. Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sangat diperlukan karena itu merupakan salah
satu tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Keberhasilan
pembangunan akan tercapai, jika masyarakat berpartisipasi aktif dalam seluruh
kegiatan pembangunan tersebut. Hanya dengan kualitas SDM yang tinggi,
partisipasi tersebut dapat dilakukan secara optimal.
SDM yang berkualitas adalah SDM yang memiliki keseimbangan
hardskill dan softskill yang baik. Berpikir kritis merupakan salah satu komponen
softskill yang dinilai penting di era globalisasi ini. Kritis didefinisikan sebagai
suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan, menganalisis,
mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil
observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini diguanakan sebagai dasar
saat mengambil tindakan (Walker et al, 1999). Kemampuan berpikir kritis terdiri
dari 5 keterampilan meliputi (1) memberikan penjelasan sederhana; (2) membangun
keterampilan dasar; (3) menyimpulkan; (4) memberikan penjelasan lebih lanjut; (5)
mengatur strategi dan taktik (Ennis, 1993). Dalam rangka menghadapi perubahan
aspek kehidupan yang berlangsung sangat
cepat
di era
globalisasi
ini,
masyarakat harus mampu berpikir kritis, mampu bertindak dengan cepat dan
tepat, mampu menyelesaikan permasalahan dengan
efektif,
dan
mampu
siswa
untuk
menghadapi
berbagai
tantangan,
mampu
memecahkan
permasalahan yang dihadapi serta mengambil keputusan yang tepat sehingga dapat
menghadapi tantangan kehidupan di era globaliasi ini. Dengan kata lain, jika
kemampuan berpikir kritis siswa rendah maka ia akan sulit untuk menyesuaikan diri
dan menghadapi dinamika kehidupan yang semakin kompleks.
Kemampuan berpikir kritis tidak secara spontan dapat dimiliki oleh siswa
dan berkembang dengan perkembangan fisik siswa itu sendiri. Pemerintah dalam hal
ini telah menggalangkan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa guna
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, bagi dari aspek sikap,
kenyataannya,
ketidakpahaman
guru
terkait
Kurikulum
2013
observasi
tentang
kesesuaian
perencanaan
dengan
pelaksanaan
pembelajaran, serta upaya lain di luar perencanaan yang mungkin dilakukan oleh
guru sebagai upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa. Terakhir, pada
tahap evaluasi, dilakukan wawancara terhadap upaya guru dalam mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran, khususnya yang terkait dengan kemampuan
berpikir kritis siswa.
Manfaat Teoretis
9
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai upayaupaya yang dapat dilakukan guru fisika dalam mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa melalui implementasi Kurikulum 2013 dalam pembelajaran
fisika. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat
terhadap pemecahan masalah dari hambatan-hambatan yang dialami guru,
khususnya dalam upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya dampak
langsung pada komponen-komponen yang terlibat dalam penelitian ini. Komponenkomponen yang dimaksud adalah guru, siswa, dan peneliti.
a. Bagi Guru
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menginspirasi guru untuk
meningkatkan
upaya
pengembangan
keterampilan
berpikir
siswa
dalam
pembelajaran fisika.
b. Bagi Siswa
Peningkatan upaya guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis
dan aspek sosial-religius siswa, diharapkan mampu memberikan sumbangsih
terhadap peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa.
c. Bagi Peneliti
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada
peneliti sebagai calon guru fisika. Manfaat yang dimaksud adalah adanya
pengetahuan dan pengalaman tentang upaya dan kendala mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fisika.
1.6 Definisi Konseptual dan Oprasional
1.6.1 Definisi Konseptual
10
pembelajaran
langsung
dan
proses
pembelajaran
tidak
langsung
12
13
Kompetensi
Dasar
meliputi
empat
kelompok
sesuai
dengan
14
MATA PELAJARAN
KELOMPOK A (UMUM)
1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
2. Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia
4. Matematika
5. Sejarah Indonesia
6. Bahasa Inggris
KELOMPOK B (UMUM)
7. Seni Budaya
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan
9. Prakarya dan Kewirausahaan
Jumlah jam pelajaran kelompok A dan B
per minggu
KELOMPOK C (PEMINATAN)
Mata pelajaran peminatan akademik
Mata pelajaran pilihan lintas minat
dan/atau pendalaman minat
15
4
4
2
2
4
4
2
2
4
4
2
2
24
24
24
9 atau 12
12 atau 16
12 atau 16
6 atau 9
4 atau 8
4 atau 8
42
44
44
16
didik terkait lingkungan dalam bidang sosial, budaya, dan seni (Kemendikbud,
2014a).
B. Mata Pelajaran Peminatan Akademik
Mata pelajaran peminatan akademik kelompok C merupakan program
kurikuler yang bertujuan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik sesuai dengan minat,
bakat dan atau kemampuan akademik dalam sekelompok mata pelajaran keilmuan
(Kemendikbud, 2014). Berikut deskripsi alokasi waktu per jenis mata pelajaran
peminatan akademik Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Tabel 2.2 Mata Pelajaran Peminatan Akademik MIPA
ALOKASI WAKTU/MINGGU
X
XI
XII
3
4
4
3
4
4
3
4
4
3
4
4
MATA PELAJARAN
1
2
3
4
Matematika
Biologi
Fisika
Kimia
C. Pemilihan Peminatan dan Pemilihan Mata Pelajaran Lintas Minat dan atau
Pendalaman Minat
Kurikulum SMA/MA dirancang untuk memberikan kesempatan kepada
peserta
didik
belajar
berdasarkan
minat
mereka.
Struktur
kurikulum
19
kegiatan saintis
20
mata pelajaran fisika perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu
membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman, dan sejumlah kemampuan yang
dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta
mengembangkan ilmu dan teknologi. Pembelajaran fisika dilaksanakan secara
inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap
ilmiah, serta berkomunikasi, sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup.
Tujuan pembelajaran fisika menurut Peraturan Pemerintah Nomor 59
tentang Kurikulum SMA adalah sebagai berikut.
1. Menambah keimanan peserta didik dengan menyadari hubungan keteraturan,
keindahan alam, dan kompleksitas alam dalam jagad raya terhadap kebesaran
Tuhan yang menciptakannya.
2. Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu, objektif, jujur, teliti,
cermat, tekun, ulet, hati-hati, bertanggung jawab, terbuka, kritis, kreatif,
inovatif, dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud
implementasi sikap ilmiah dalam melakukan percobaan dan berdiskusi.
3. Menghargai kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai
wujud implementasi melaksanakan percobaan dan melaporkan hasil percobaan.
4. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat
bekerjasama dengan orang lain.
5. Mengembangkan pengalaman untuk menggunakan metode ilmiah dalam
merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan,
merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan
menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan
tertulis.
6. Mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan
21
2.
Gerak dengan analisis vektor, hukum Newton tentang gerak dan gravitasi,
gerak getaran, energi, usaha, dan daya, impuls dan momentum, momentum
sudut dan rotasi benda tegar, fluida, termodinamika.
3.
22
strategi
pembelajaran
sebagaimana
dikemukakan
oleh
para
ahli
pembelajaran. Menurut Kozna (dalam Aqib, 2013) secara umum menjelasan bahwa
strategi pembelajaran sedapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang dipilih, yaitu
yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik menuju
tercapainya tujuan pembelajaran tertentu. Selain itu, Gropper (dalam Aqib, 2013)
mengatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan pilihan atas berbagai jenis
latihan tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Ia
menegaskan bahwa setiap tingkah laku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta
didik dalam kegiatan belajarnya harus dapat dipraktikkan. Jika dihubungkan dengan
belajar mengajar, strategi dapat diartikan sebagai pola umum kegiatan guru dan
siswa dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang
ingin dicapai.
Berdasarkan uraian tersebut, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai
setiap kegiatan yang direncanakan, dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran, dan
dilakukan evaluasi secara berkelanjutan untuk dapat memfasilitasi peserta didik
dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dan penguasaan kompetensi dalam
pendidikan yang keseluruhannya terpadu dalam pola umum tertentu. Terdapat 3
jenis
strategi
yang
berkaitan
dengan
23
pembelajaran,
yakni:
(a)
strategi
aktivitas
pembelajaran
diarahkan
untuk
menjelaskan
cara
24
berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir
ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu. Sedangkan empiris artinya
proses penyelesaian masalah didasarkan data dan fakta yang jelas. Untuk
mengimplementasikan strategi pembelajaran berbasis masalah, guru perlu memilih
bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan
tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain, misalnya dari
peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar (Sanjaya, 2012).
B. Strategi Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
25
siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang akan
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
Ketiga, strategi pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan nyata, artinya strategi pembelajaran kontekstual
bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan
tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai pelakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran dalam konteks strategi pembelajaran kontekstual bukan untuk
ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam
mengarungi kehidupan nyata (Sanjaya, 2012).
C.
dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai, yang sulit diukur, oleh karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Batas tertentu memang
afektif dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk
sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian
dan observasi yang terus menerus, dalam hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan,
apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran.
Guru tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat
dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun siswa yang bersangkutan, sebagai akibat
dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh
26
kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Sehingga pendidikan nilai pada
dasarnya proses penanaman nilai kepada siswa yang diharapkan, oleh karena itu
siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (Sanjaya, 2012).
D.
menekankan pada kegiatan belajar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Terdapat empat unsur penting dalam strategi pembelajaran kooperatif
yaitu: (1) adanya peserta dalam kelompok; (2) adanya aturan kelompok; (3) adanya
upaya belajar setiap kelompok; dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai. Peserta
adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran dalam setiap kelompok belajar.
Pengelompokan
siswa
bisa
ditetapkan
berdasarkan
beberapa
pendekatan,
27
penerimaan terhadap siswa yang dianggap lemah, harga diri, norma akademik,
penghargaan terhadap waktu, dan suka memberi pertolongan pada orang lain
(Sanjaya, 2012).
E.
28
29
mempromosikan
pengalaman
sehingga
memungkinkan
siswa
untuk
30
bersifat valid dan dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan asumsi yang sesuai; dan 8)
menyampaikan pandangan akan suatu hal secara jelas, dengan cara yang baik, dan
mampu meyakinkan orang lain.
Secara lebih sederhana, kemampuan-kemampuan yang tercangkup dalam
berpikir kritis ditunjukan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Dimensi dan Indikator Berpikir Kritis
No.
1.
Dimensi
Memberi
penjelasan dasar
Indikator
Memfokuskan
pertanyaan
Menganalisis
argumen
Bertanya dan
menjawab
pertanyaan yang
bersifat klarifikasi
dan tantangan
31
Sub Indikator
1. Mengidentifikasi atau
merumuskan pertanyaan
2. Mengidentifikasi atau
merumuskan kriteria untuk
mempertimbangkan
kemungkinan jawaban
3. Menjaga kondisi berpikir
1. Mengidentifikasi simpulan
2. Mengidentifikasi alasan
yang disebutkan
3. Mengidentifikasi alasan
yang tidak disebutkan
4. Melihat kemiripan dan
perbedaan
5. Mengidentifikasi dan
menangani
ketidaksesuaian
6. Mencari struktur dari
suatu argument
7. Merangkum
Pertanyaan tentang:
a. Mengapa?
b. Apakah yang menjadi
maksud utama?
c. Apakah yang dimaksud
dengan?
d. Apakah yang menjadi
contoh?
e. Apa yang bukan
merupakan contoh?
f. Bagaimana jika hal
No.
Dimensi
Membangun
keterampilan
dasar
Indikator
Sub Indikator
32
No.
3
Dimensi
Inferensi
Indikator
Mereduksi dan
mempertimbangkan
deduksi
Menginduksi dan
mempertimbangkan
hasil induksi
Membuat dan
menentukan hasil
pertimbangan
Memberikan
penjelasan lanjut
Mendefinisikan
istilah dan
mempertimbangkan
suatu definisi
Mengidentifikasi
asumsi-asumsi
Strategi dan
taktik
Sub Indikator
Menentukan suatu
tindakan
33
1. Penjelasan bukan
peryataan
2. Mengkonstruksi argumen
1. Menentukan masalah
2. Memilih kriteria untuk
mempertimbangkan solusi
yang mungkin
3. Merumuskan solusi
alternatif
4. Menentukan tindakan
sementara
5. Mengulangi kembali,
memperhitungkan situasi
secara keseluruhan, dan
memutuskan
6. Mengamati penerapannya
No.
Dimensi
Indikator
Sub Indikator
untuk dimiliki oleh siswa. Semakin pesat perkembangan zaman dan kemajuan
IPTEK, tentunya output pendidikan juga dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi
tersebut. Dengan memiliki keterampilan berpikir kritis, siswa memiliki kemampuan
berpikir yang kompleks dan matang sehingga dapat berguna dalam kehidupannya.
Jika ditinjau dari kegiatan pembelajaran, kemampuan berpikir kritis menjadi
kebutuhan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini tidak terlepas dari adanya
pergeseran paradigma pembelajaran yang sebelumnya memandang pengetahuan
sebagai kemampuan mengingat informasi menjadi pengetahuan sebagai kemampuan
untuk menemukan dan menggunakan informasi (Benjamin et al, 2013). Berpikir
kritis menjadi komponen kunci dalam berbagai mata pelajaran terutama dalam
pembelajaran sains seperti fisika, kimia, dan biologi. Hal tersebut dapat ditinjau dari
karakteristik mata pelajaran dalam pembelajaran sains yang banyak melibatkan
aktivitas yang mengharuskan adanya aktivitas berpikir kritis seperti mengidentifikasi
permasalahan dalam konteks yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
mencari
solusi
terhadap
permasalahan
tersebut
dengan
mengaplikasikan
35
36
37
kurangnya kesempatan mahasiswa untuk ikut serta aktif dalam kegiatan belajar
kelompok kecil. (2) Model Peer-Led Team Learning (PLTL) ini merupakan suatu
model pembelajaran yang layak jika digunakan dalam menumbuhkan aspek sosial
siswa. Aspek sosial yang berkembang yaitu sikap kepemimpinan dan sikap berpikir
kritis. Efektivitas model PLTL ini terbukti sebagai pemberian skor kemajuan
berpikir kritis mahasiswa. (3) Dalam penelitian ini mengundang mahasiswa untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa telah memperoleh kursus nilai
akhir dari A atau B pada semester II pengantar biologi, Universitas riset besar di
Timur Laut Amerika Serikat dengan alokasi penelitian berlangsung selama 15
minggu. Penelitian ini dapat menjelaskan model PLTL sebagai model yang
memiliki
keunggulan
untuk
memberikan
mahasiswa
keterampilan
dalam
38
dosen. (2) Perpanduan model pembelajaran Problem Based Learning dan Inkuiri ini
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan sikap
peduli terhadap lingkungan mahasiswa. (3) Penelitian ini dilakukan pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh selama 27 hari. Subjek
penelitian adalah mahasiswa semester III berjumlah 156 orang. Secara statistik,
hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan cara berpikir kritis dan
sikap peduli mahasiswa pada kedua model ini. Rata-rata nilai berpikir kritis
mahasiswa ditunjukkan pada aspek menganalisa argumen, menentukan tindakan,
dan diskusi kelompok. Berdasarkan paparan tersebut, penerapan model Problem
Based Learning dan Inkuiri memiliki keunggulan meningkatkan kemampuan
berpikir kritis sehingga mahasiswa terampil dalam berkomunikasi dan peka
terhadap permasalahan di sekitarnya. Penelitian ini juga memberikan refrensi
bahwa model Problem Based Learning dan Inkuiri ini memberikan pengaruh yang
positif untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa sehingga menjadi
pilihan tepat untuk guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Ketiga, Rajeswari (2015) dengan penelitian yang berjudul Effectiveness of
Computer Assisted Problem Based Learning in Chemistry for Enhancing Thinking
Skills among Secondary School Student. Penelitian ini mengungkapkan bahwa: (1)
Permasalahan terletak pada penekanan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis yang kurang yang disebabkan oleh guru yang kurang berinovsai dalam
penggunaan media pembelajaran. (2) Penggunaan bantuan computer sebagai
inovasi dalam media pembelajaran efektif menciptakan kegiatan belajar yang
menarik. Pembelajaran yang menarik ini nantinya akan menimbulkan peningkatan
39
kegiatan
belajar
yang
menyenangkan
sehingga
mengenal
permasalahan di sekitar.
Keempat, Suckow et al (2015) dengan penelitian yang berjudul The
Association between Critical Thinking and Scholastic Aptitude on First-Time Pass
Rate
of
the
National
Physical
Theraphy
Examination.
Penelitian
ini
mengungkapkan bahwa: (1) Terjadinya perbedaan niali yang dimiliki dalam ujian.
Faktor penyebab permasalah tersebut adalah perbedaan tingkat berpikir kritis yang
dimiliki setiap siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam ujian, kinerja
yang dilakukan oleh siswa dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa. (2) Alternatif
40
pemecahan masalah yang dilakukan dengan pemberian program DPT selama tiga
tahun (8 semester) untuk mengintegrasikan pengalaman klinis dalam model
kurikulum hybrid yang mereka jalani. Selain itu, pembelajaran berbasis masalah
yang terintegrasi digunakan dalam meningkatkan berpikir kritis siswa untuk
menunjang nilai ujian siswa itu sendiri. (3) Secara statistik, hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis penting bagi siswa terapi fisik.
Temuan dalam studi ini mendukung bahwa keterampilan berpikir kritis yang lebih
tinggi secara positif berhubungan dengan NPTE pada upaya pertama bahwa semua
siswa yang mendapat nilai lebih rendah dari 600 poin pada NPTE jatuh dalam
kelompok dengan skor CT yang rendah. Selain itu, ada perbedaan signifikan secara
statistik dalam skor NPTE bagi lulusan dari program ini berdasarkan klasifikasi CT
tinggi, sedang, atau rendah, dengan para siswa dalam kelompok kemampuan CT
rendah diperoleh secara signifikan lebih pertama kegagalan waktu di NPTE
dibandingkan dengan siswa dari kemampuan CT sedang dan tinggi. Penelitian ini
juga memberikan refrensi bahwa pemberian program DPT selama tiga tahun (8
semester) untuk mengintegrasikan pengalaman klinis dalam model kurikulum
hybrid mampu meningkatkan kemampuan berpikir khususnya kemampuan berpikir
kritis siswa.
Kelima, Martincova dan Lukesova (2015) yang berjudul Critical Thinking
as a Tool for Managing Intercultural Conflicts yang menjelaskan bahwa terdapat
hubungan
antara
tingkat
kemampuan
berpikir
kritis
dengan
kompetensi
41
bahawa kemampuan berpikir kritis penting untuk dimiliki disamping dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah. Berpikir kritis dipandang sebagai kemampuan yang dapat
menjebatani pengetahuan manusia untuk mengahadapi permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupannya. Dengan kata lain, berpikir kritis ini dapat dikaitkan dengan
filosofi belajar sepanjang hayat.
Keenam, Lidyayanti (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
model pembelajaran inkuiri bebas terhadap hasil belajar kimia ditinjau dari
keterampilan berpikir kritis memperoleh hasil bahwa: 1) terdapat perbedaan hasil
belajar kimia antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri bebas
dan yang belajar dengan model pembelajaran langsung; 2) terdapat pengaruh
interaksi antara model pembelajaran dan keterampilan berpikir kritis terhadap hasil
belajar kimia; 3) terdapat erbedaan hasil belajar kimia antara siswa yang belajar
dengan model pembelajaran bebas dan yang belajar dengan pembelajaran langsung
pada siswa yang memilki keterampilan berpikir kritis tinggi; 4) terdapat perbedaan
hasil belajar kimia antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri
bebas dan yang belajar dengan model pembelajaran langsung pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis rendah. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa kemampuan berpikir kritis yang dimiliki siswa dapat dipadukan dengan
model pembelajaran yang sesuai untuk memberikan hasil belajar yang optimal.
Pemilihan model pembelajaran atau metode pembelajaran yang digunakan guru di
kelas menentukan keberhasilan peserta didik dalam memperoleh hasil belajar yang
optimal. Jika guru dapat memfasilitasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, maka
42
selain hal tersebut dapat memberdayakan kemampuan berpikirnya, siswa juga dapat
meningkatkan hasil belajarnya.
2.5 Kerangka Berpikir
Fisika sebagai salah satu cabang ilmu IPA (sains) yang mempelajari gejala
alam secara fisik dan luas menekankan pada esensi ilmu sains sebagai produk dan
proses. Produk dalam ilmu fisika yang dimaksud adalah konsep, teori, dalil, hukum,
dan fakta mengenai kajian gejala alam, sedangkan proses dalam ilmu fisika yang
dimaksud adalah segala macam bentuk kegiatan yang dilakukan untuk
menghasilkan dan memperoleh suatu produk, misalnya mengamati, merumuskan
hasil pengamatan, menafsirkan, mengelompokkan mengklarifikasi, merencanakan
percobaan, menganalisis, mengevaluasi, mengkomunikasikan, dan menerapkan
suatu produk fisika. Berdasarkan hal tersebut, fisika juga mampu memberikan
stimulus kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan pada diri siswa. Hal ini menjadi
dasar mata pelajaran fisika dijadikan mata pelajaran perminatan untuk SMA dalam
implementasi Kurikum 2013.
Berkaitan masih diterapkannya Kuirkulum 2013 di beberapa sekolah, fisika
menjadi salah satu pelajaran yang mendapatkan perhatian lebih. Kuirkulum 2013
menekankan pembelajaran berpusat pada siswa. Pembelajaran yang berpusat pada
siswa menuntut kemampuan siswa yang mapan agar mampu mengikuti
pembelajaran khususnya fisika dengan baik. Dewasa ini, siswa terlihat kurang
mempersiapkan diri dalam pembelajaran fisika sehingga mengalami kesulitan
dalam memahami materi pelajaran, kesulitan memecahkan permasalahan fisika, dan
43
sebagainya. Kemampuan berpikir kritis menjadi kunci pokok dari permasalahan ini,
sehingga siswa dengan kemampuan berpikir kritis yang baik akan mampu
mengikuti pembelajaran dengan baik.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian berkaitan kemampuan berpikir kritis yang
telah dilakukan menunjukkan diperolehnya peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa dapat terealisasikan dengan menerapkan susatu pendekatan, strategi, model,
dan metode yang inovatif dan interaktif. Keberhasilan penerapan strategi
pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 pada pemebelajaran fisika sangat
bergantung pada guru yang berfungsi sebagai fasilitator. Guru sebagai komponen
penting dalam proses belajar mengajar dituntut untuk memiliki beberapa tahapan
pembelajaran
yang
baik
sehingga
berpengaruh
terhadap
pengembangan
44
proses, sehingga siswa menjadi aktif dan kritis dalam pembelajaran. Ketika
startegi pembelajaran yang interaktif berlangsung maka akan menumbuhkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
Desain Penelitian
Berdasarkan karakteristik dari permasalahan yang diteliti, penelitian ini
digunakan
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
berikut
(1)
kepentingan
pembuktian
terhadap
teori/konsep
atau
Tempat Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah di SMA Negeri 1 Semarapura yang akan
difokuskan pada beberapa kelas yang dapat memenuhi informasi yang dibutuhkan.
Dipilihnya tempat penelitian di SMA Negeri 1 Semarapura ini dengan menggunakan
teknik purposive sampling yang penentuan sample sumber datanya berdasarkan atas
pertimbangan tertentu. Beberapa pertimbangan dalam penetapan SMA Negeri 1
Semarapura sebagai tempat penelitian adalah sebagai berikut: (1) SMA Negeri 1
Semarapura berstatus sebagai sekolah percontohan Kurikulum 2013 yang
seyogiyanya
telah
menerapkan
pembelajaran
aktif
dalam
setiap
proses
47
perencanaan
pembelajaran
yang
akan
ditelusuri
meliputi
48
49
50
Kegiatan
1
Februari
2
3
Waktu Pelaksanaan
Maret
4
1
2
3
4
1
Mempersiapkan
kelengkapan
administrasi
pengesahan dan
legalitas suratsurat
Observasi awal
terkait kondisi
sekolah dan
kelas.
Pembuatan
instrumen
penelitian
Observasi tahap
perencanaan
terkait strategi
pembelajaran
guru
Pemberian tes
diagnostik terkait
dengan
kemampauan
berpikir kritis
Observasi tahap
pelaksanaan
terkait strategi
pembelajaran
guru dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis
Konsultasi
dengan dosen
pembimbing
Wawancara
terhadap guru
terkait strategi
pembelajaran
51
April
2
3
Kegiatan
1
Februari
2
3
Waktu Pelaksanaan
Maret
4
1
2
3
4
1
April
2
3
guru dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis
Wawancara
terhadap siswa
terkait strategi
pembelajaran
guru dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis
Keterangan: jadwal bisa berubah sewaktu-waktu
Pelaksanaan
observasi
diawali
pada
tahap
perencanaan
data-data
faktual
pembelajaran.
53
data.
Aktivitas
analisis
data
penelitian
guna
instrumen
juga
harus
divalidasi
seberapa
jauh
peneliti
54
Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakan bermakna atau tidak bagi penelitian.
2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan
dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes atau
angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan
pengetahuan semata.
5.
55
likert yang disusun dalam bentuk cheklist. Skala likert digunakan dalam penelitian
karena penelitian ini bertujuan untuk meneliti sikap, pendapat, dan juga persepsi
seseorang atau sekelompok orang terkait dengan fenomena sosial dalam pendidikan
yang dalam hal ini adalah strategi pembelajaran guru yang tepat untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Melalui skala likert variabel
yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel yang kemudian dijadikan
sebagai titik tolak untuk menyususn item-item instrumen yang dapat berupa
pertanyaan ataupun pernyataan.
3.6
56
lapangan. Sementara data akan diperoleh dari berbagai sumber seperti kepala
sekolah, guru, dan pihak lainnya sebagai informan.
Sugiyono (2011) menyampaikan bahwa purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tersebut dapat berupa orang yang dianggap paling tahu tentang apa yang
diharapkan pada penelitian sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi
sosial yang diteliti.
sumber data yang semula jumlahnya sedikit, lama kelamaan menjadi besar. Proses
pengambilan sampel sumber data dalam penelitian kualitatif secara purposive dan
snowball dapat divisualkan seperti gambar 3.1.
59
dimintai
pendapat
dan
ide-idenya.
Peneliti
harus
siap
Sumber lain yang dimiliki oleh guru berupa dokumen tertulis dan
dokumen lainnya dapat dijadikan sebagai sumber pendukung data penelitian.
Idealnya, pengumpulan data dengan dokumen mampu mengungkap datadata faktual guru selama menjalankan proses pembelajaran. Pengumpulan data
dengan dokumen penelaahan memperoleh data berupa cuplikan, kutipan,
penggalan dari catatan organisasi, klinis atau program, memorandum dan
korespondensi, terbitan dan laporan resmi, buku harian pribadi, dan jawaban
tertulis yang terbuka terhadap kuesioner dan survei. Teknik dokumentasi dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen terkait
seperti RPP, silabus, LKS, modul, jadwal praktikum dan rubrik evaluasi
ketercapaian tujuan pembelajaran untuk selanjutnya dianalisis hubungannya
dengan fokus penelitian.
3.7.4. Triangulasi/Gabungan
Sugiyono (2011) mengartikan triangulasi sebagai teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data
dari sumber data yang telah ada. Penelitian ini memerlukan adanya
penggabungan
61
Sumber Data
Teknik
pengumpulan
data
Alat
Pengumpul
Pemahaman
tentang Strategi
pembelajaran
Guru
Wawancara
semiterstruktur
Pedoman
wawancara,
catatan
lapangan, dan
perekam suara
Kemampuan
berpikir Kritis
Siswa
Siswa
Tes diagnostik,
Wawancara
semiterstruktur,
dan studi
dokumen
Pedoman
wawancara,
catatan
lapangan, dan
perekam suara
Implementasi
strategi
pembelajaran
dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis
Guru dan
siswa
Wawancara
semiterstruktur,
obsevasi
partisipatif, dan
studi dokumen
Pedoman
wawancara,
catatan
lapangan,
perekam suara,
pedoman
observasi, dan
handycam
3.8
Aspek
(RPP, LKS,
Format
penilaian)
yang
diperoleh dari hasil tes, wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Analisis
ini dilaksanakan dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
62
memilih data yang penting untuk dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
dapat dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Sugiyono (2011)
menyatakan bahwa analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis
berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis.
Hipotesis akan dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat
ditarik kesimpulan diterima atau ditolaknya hipotesis tersebut berdasarkan data
yang terkumpul. Jika melalui proses triangulasi berdasarkan data yang dikumpulkan
secara berulang-ulang ternyata hipotesis ini diterima, maka hipotesis tersebut
berkembang menjadi sebuah teori.
Terdapat dua jenis teknik analisis data pada penelitian kualitatif, yaitu analisis
data pra lapangan dan analisis data di lapangan. Analisis data pra lapangan
dilaksanakan terhadap data hasil studi pendahuluan dan data sekunder yang
akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian (bersifat sementara). Analisis
lapangan dilaksanakan selama melaksanakan penelitian di lapangan. Miles dan
Huberman dalam Sugiyono (2011) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas sehingga data sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data di lapangan
terdiri atas data reduksi (data reduction), penyajian data (data display), penarikan
kesimpulan, dan verifikasi (conclusion drawing/verification). Adapun model
interaktif dalam analisis data disajikan pada gambar 3.2.
63
64
Rentangan Kategori
X>MI+1 SDI
MI-1 SDI X MI+1 SDI
X<MI- 1 SDI
Sumber: Sudijono (2014)
SDI = 1
65
reduksi data adalah: (1) data pada catatan lapangan disusun kembali dan dicocokan
dengan data yang ada pada transkripsi hasil rekaman, sehingga menggambarkan
kegiatan pembelajaran secara keseluruhan dan utuh, (2) gambaran data ini dipilih
dan disarikan, diberi kode atau tanda, dan diberi catatan kecil menurut relevansinya
dengan fokus masalah. Pengkodean ini bertujuan agar data yang diperoleh tidak
tercampur dengan data lainnya, Di samping juga akan mempermudah peneliti
saat menarasikan hasil penelitian. Komentar-komentar berupa pendapat atau kesan
yang ditulis peneliti dalam catatan lapangan, akan berguna sebagai bahan
pertimbangan dalam kegiatan analisis. Teknik pengkodean dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Teknik Pengkodean Data
Klasifikasi Kode
Teknik pengumpulan data
Urutan pengumpulan data
Informan
Kode
Arti Kode
Obs
Observasi
Wan
Wawancara
Dok
Studi Dokumen
D1
Data pertama
D2
Data kedua
dan seterusnya.
GA
Guru A
GB
Guru B
SGA
Siswa guru A
SGB
Siswa guru B
KS
Kepala sekolah
PGW
Pengawas
Contoh:
11 Januari 2015
11-01-15
T1
Temuan pertama
T2
Temuan kedua
dan seterusnya.
Berdasarkan teknik pengkodean tersebut, jika ditemukan kode Wan/D1/GA/11-0416/T3, maka kode tersebut berarti temuan ketiga dalam wawancara
66
pertama
dilaksanakan pada
validitas dan reliabilitas. Sugiyono (2011) menyatakan bahwa terdapat dua macam
validitas penelitian, yaitu validitas internal (kredibilitas) dan validitas eksternal
(transferabilitas). Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi disain
67
penelitian dengan
hasil
yang
dicapai.
Sementara
itu,
validitas
eksternal
tersebut diambil.
Jika
sampel penelitian
representatif, instrumen penelitian valid dan reliabel, maka validitas eksternal yang
tinggi.
Menurut Sugiyono (2011) uji keabsahan data pada penelitian kualitatif
meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal),
dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektivitas). Deskripsi dari masingmasing uji tersebut dapat disajikan sebagai berikut.
3.9.1 Uji Credibility (Validitas Internal)
Uji kredibilitas (validitas internal) data hasil penelitian kualitatif antara lain
dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam
penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif,
dan membercheck. (1) Perpanjangan pengamatan ditandai dengan aktivitas
peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara kembali dengan
sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. (2) Meningkatkan ketekunan
berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Melalui
cara tersebut kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti
dan sistematis. (3) Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Pengecekan dilaksanakan melalui penyusunan rekapan berbagai sumber yang akan
dicek oleh dosen pembimbing, (4) Analisis kasus negatif berarti peneliti mencari
data
68
tidak
berbeda berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya. (5) Membercheck
adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data.
Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai
dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Pemberi data yang dimaksud
adalah guru, kepala sekolah, siswa, dan pihak lain yang terkait.
3.9.2 Uji Transferability (Validitas Eksternal)
Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga mana hasil penelitian
dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain. Bagi peneliti naturalistik, nilai
transfer bergantung pada pemakai hingga manakala penelitian tersebut dapat
digunakan dalam konteks situasi sosial lain (Sugiyono, 2011). Cara meningkatkan
validitas eksternal ini adalah dengan membuat laporan dengan rinci dan jelas agar
pembaca dapat memahami tentang penelitian dengan jelas.
3.9.3 Uji Depenability
Uji ini dilakukan melalui audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Uji
depenability dilakukan oleh auditor independen atau dosen pembimbing untuk
mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Jika peneliti
tidak mempunyai dan tidak dapat menunjukkan jejak aktivitas lapangannya, maka
depenabilitas penelitiannya dapat diragukan (Sanafiah dalam Sugiyono, 2011).
3.9.4 Uji Confirmability
Pada penelitian kualitatif, uji confirmability mirip dengan uji dependability.
Uji ini berarti menguji hasil penelitian dan dikaitkan dengan proses yang dilakukan.
Jika hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka
penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability.
69