Anda di halaman 1dari 69

PROPOSAL PENELITIAN

JUDUL PENELITIAN
Strategi Pembelajaran Guru Fisika Berbasis Kurikulum 2013 di SMA:
Relevansinya dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa di
SMA Negeri 1 Semarapura Tahun Pelajaran 2015/2016
IDENTITAS PENELITI
Nama

: I Komang Indra Wibawa (1213021034)

Semester

: VII/B

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa beberapa persoalan yang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini, disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia
(SDM) Indonesia yang masih rendah. Rendahnya kualitas SDM ini menyebabkan
sebagian masyarakat Indonesia belum mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan keahlian dan bidangnya masing-masing. Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sangat diperlukan karena itu merupakan salah
satu tolok ukur keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Keberhasilan
pembangunan akan tercapai, jika masyarakat berpartisipasi aktif dalam seluruh
kegiatan pembangunan tersebut. Hanya dengan kualitas SDM yang tinggi,
partisipasi tersebut dapat dilakukan secara optimal.
SDM yang berkualitas adalah SDM yang memiliki keseimbangan
hardskill dan softskill yang baik. Berpikir kritis merupakan salah satu komponen

softskill yang dinilai penting di era globalisasi ini. Kritis didefinisikan sebagai
suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan, menganalisis,
mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil
observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini diguanakan sebagai dasar
saat mengambil tindakan (Walker et al, 1999). Kemampuan berpikir kritis terdiri
dari 5 keterampilan meliputi (1) memberikan penjelasan sederhana; (2) membangun
keterampilan dasar; (3) menyimpulkan; (4) memberikan penjelasan lebih lanjut; (5)
mengatur strategi dan taktik (Ennis, 1993). Dalam rangka menghadapi perubahan
aspek kehidupan yang berlangsung sangat

cepat

di era

globalisasi

ini,

masyarakat harus mampu berpikir kritis, mampu bertindak dengan cepat dan
tepat, mampu menyelesaikan permasalahan dengan

efektif,

dan

mampu

beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.


Menghadapi perubahan yang cepat tersebut maka kemampuan berpikir kritis
merupakan aspek yang perlu mendapatkan penekanan dan pengajaran di dalam dunia
pendidikan. Kemampuan berpikir kritis tidak hanya membantu siswa dalam
memahami esensi materi pelajaran yang diperoleh di sekolah. Lebih dari itu,
kemampuan berpikir kritis menjadi kemampuan yang secara berkelanjutan
membantu memberdayakan kemampuan seseorang dalam profesi yang dipilihnya
nanti. Untuk memberikan kemampuan berpikir kritis kepada siswa, setiap kegiatan
pembelajaran harus mampu menumbuhkan dan meningkatkan dimensi pemahaman,
pengertian, dan keterampilan dari para siswa untuk memahami kenyataan dan
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan yang lebih luas dalam masyarakat.

Berbagai permasalahan muncul akibat rendahnya atau kurang optimalnya


kemampuan berpikir kritis. Salah satunya adalah pemahaman yang rendah terhadap
kajian dasar ilmu-ilmu pengetahuan yang berdampak pada rendahnya kualitas
kemampuan yang dimiliki lulusan suatu pendidikan. Jika lulusan lembaga
pendidikan memiliki pemahaman yang rendah terhadap kompetensi bidang yang
dipelajari, maka selanjutnya ia tidak akan mampu berkontribusi secara maksimal
dalam pembangunan sumber daya manusia karena skills yang dimiliki belum cukup
unuk memenuhi tantangan dan kebutuhan pada perkembangan saat ini.
Kemampuan berpikir kritis sangat penting pada zaman kekinian ketika
seseorang menghadapi permasalahan yang kompleks dan perkembangan teknologi
yang pesat dalam kehidupannya. Selain itu, Martincova dan Lukesova (2015)
menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis dapat menjadi media bagi seseorang
untuk mengelola konflik interkultural. Kemampuan berpikir kritis penting dimiliki
oleh

siswa

untuk

menghadapi

berbagai

tantangan,

mampu

memecahkan

permasalahan yang dihadapi serta mengambil keputusan yang tepat sehingga dapat
menghadapi tantangan kehidupan di era globaliasi ini. Dengan kata lain, jika
kemampuan berpikir kritis siswa rendah maka ia akan sulit untuk menyesuaikan diri
dan menghadapi dinamika kehidupan yang semakin kompleks.
Kemampuan berpikir kritis tidak secara spontan dapat dimiliki oleh siswa
dan berkembang dengan perkembangan fisik siswa itu sendiri. Pemerintah dalam hal
ini telah menggalangkan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa guna
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, bagi dari aspek sikap,

pengetahuan, dan keterampilan. Pemerintah menyadari bahwa peran pendidikan


sangat penting. Hal itu telah dibuktikan dari upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya tersebut meliputi (1)
meningkatkan sarana dan prasarana; (2) meningkatkan kualitas guru; serta (3)
mengevaluasi dan meningkatkan kurikulum yang telah diterapkan.
Pada bulan Juli 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia
menerapkan kurikulum baru yang disebut dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013
merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Penyempurnaan KTSP menjadi Kurikulum 2013
menurut Kemendikbud (2013a) dikarenakan selama ini aspek yang sering menjadi
perhatian hanya aspek kognitif. Berdasarkan Permendikbud Nomor 81 A Tahun
2013, proses pembelajaran menurut kurikulum 2013 adalah suatu proses pendidikan
yang memberikan kesempatan bagi siswa agar dapat mengembangkan segala potensi
yang mereka miliki menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat
dilihat dari aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan
(psikomotor).
Menurut Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, Kurikulum 2013
dikembangkan dengan penyempurnaan pola pikir tentang pola pembelajaran, yaitu:
(1) berpusat pada peserta didik; (2) pembelajaran interaktif (guru-siswa-masyarakatlingkungan); (3) pembelajaran dirancang secara jejaring (peserta didik dapat
menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta
diperoleh melalui internet); (4) pembelajaran bersifat aktif-mencari (pembelajaran

siswa aktif mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan


sains); (5) belajar kelompok (berbasis tim); (6) pembelajaran berbasis multimedia;
(7) pembelajaran berbasis kebutuhan pelanggan (users) dengan memperkuat
pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik; (8) pola
pembelajaran menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines); dan
(9) pembelajaran kritis. Berdasarkan penyempurnaan pola pikir tersebut, Kurikulum
2013 hadir dengan karakteristik yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya.
Kesuksesan implementasi Standar Proses Kurikulum 2013 terletak pada
peran profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran. Guru adalah orang
yang berhadapan langsung dengan siswa, sehingga memberikan pengaruh
langsung terhadap keberhasilan pembelajaran siswa. Oleh sebab itu, guru dituntut
memiliki kesiapan, kompetensi, komitmen, kesungguhan, dan tanggung jawabnya
terhadap pelaksanaan Kurikulum 2013. Kompetensi yang dimaksud tidak hanya
pada penguasaan bahan ajar, tetapi guru juga harus mampu melakukan
pembelajaran yang menyenangkan, menarik, dan menantang bagi siswa.
Pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus mampu memberikan peluang bagi
siswa untuk mengoptimalkan keterampilan proses, sehingga siswa menjadi
aktif, kritis serta mampu mengembangkan aspek sosial religius dalam belajar.
Pada

kenyataannya,

ketidakpahaman

guru

terkait

Kurikulum

2013

mempengaruhi pemilihan model, strategi, dan pendekatan pembelajaran yang kurang


tepat masih sering terjadi di sekolah. Hal tersebut menyebabkan kemampuan
berpikir kritis siswa sulit untuk berkembang. Kegiatan pembelajaran saat ini masih
menempatkan siswa secara pasif sebagai penerima penjelasan guru. Hal ini

menyebabkan belum adanya pemberdayaan kemampuan berpikir siswa untuk


bekerja secara ilmiah. Suastra et al (dalam Lidyayanti, 2015) mengemukakan bahwa
pembelajaran IPA di sekolah memiliki kecenderungan untuk: 1) pengulangan dan
hafalan; 2) siswa belajar dengan takut berbuat salah; 3) kurang mendorong siswa
untuk berpikir kreatif; dan 4) kurang melatihkan pemecahan masalah. Aryasta
(2014) dalam penelitiannya menemukan nilai keterampilan berpikir kritis awal siswa
di SMA Negeri 1 Singaraja yang diperoleh melalui pretest menunjukkan bahwa
kelompok siswa yang berkualifikasi sangat kurang 47,5%, berkualifikasi kurang
35%, dan hanya 2,5% memiliki kualifikasi cukup. Berdasarkan hasil tersebut terlihat
bahwa sebagian besar kualifikasi keterampilan berpikir kritis awal siswa masih
berada pada rentangan kurang dan sangat kurang.
Harapan dan kenyataan yang terjadi yang tidak sesuai menyebabkan
kesenjangan. Kesenjangan tersebut berupa keterampilan berpikir kritis siswa yang
kurang ditangani dengan baik dan optimal oleh guru di sekolah. Pendekatan
pembelajaran yang diberikan guru belum melibatkan siswa secara aktif.
Menanggapi permasalahan-permasalahan yang terjadi pada Kurikulum 2013
tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui surat dengan Nomor
179342/MPK/KR/2014, memutuskan beberapa hal terkait pelaksanaan Kurikulum
2013, yaitu sebagai berikut.
dengan memperhatikan rekomendasi tim evaluasi kurikulum, serta
diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, saya memutuskan untuk:
(1) menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang
baru menerapkan satu semester, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015.
Sekolah-sekolah ini akan kembali menggunakan Kurikulum 2006, maka
bagi para kepala sekolah dan guru di sekolah-sekolah tersebut diminta
mempersiapkan diri untuk kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai
semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015; (2) tetap melanjutkan
6

penerapan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang telah tiga semester


menerapkan, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2013/2014, serta menjadikan
sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan percontohan
penerapan Kurikulum 2013. Pada saat Kurikulum 2013 telah diperbaiki
dan dimatangkan, sekolah-sekolah ini (dan sekolah-sekolah lain yang
ditetapkan oleh Pemerintah) akan melakukan proses penyebaran
penerapan Kurikulum 2013 ke sekolah lain di sekitarnya, .
Berdasarkan petikan surat edaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan Kurikulum 2013 tidak dihentikan secara total, namun tetap
dilaksanakan di sekolah-sekolah yang telah tiga semester menerapkannya, yaitu
sejak Tahun Pelajaran 2013/2014. Pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah
ini bertujuan untuk menjadikan sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan
percontohan, yang akan membantu pemerintah menyebarkan teknis penerapan
Kurikulum 2013 ke sekolah lain di sekitarnya. Dengan demikian, tersirat bahwa
tujuan jangka panjang pemerintah adalah menerapkan Kurikulum 2013 di seluruh
sekolah di Indonesia, ketika kurikulum ini telah diperbaiki dan dimatangkan.
Paparan di atas mengindikasikan bahwa masih terdapat permasalahan
penerapan Kurikulum 2013 yang dihadapi guru dalam pembelajaran fisika
khususnya pada pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa. Diperlukan
strategi pembelajaran yang menciptakan pembelajaran aktif serta mampu
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa yang melibatkan siswa pada
proses ilmiah pada pelajaran fisika di SMA. Penerapan Kurikulum 2013 ini
menggunakan pendekatan saintifik seyogiyanya juga mampu berperan aktif dalam
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Oleh karena itu, dalam proposal
ini, digagas sebuah penelitian yang berjudul Strategi Pembelajaran Guru Fisika
Berbasis Kurikulum 2013 di SMA: Relevansinya dalam Mengembangkan

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa di SMA Negeri 1 Semarapura Tahun


Pelajaran 2015/2016.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penelitian ini berfokus pada
keterampilan berpikir kritis siswa ditinjau dari strategi pembelajaran guru fisika di
SMAN 1 Semarapura. Permasalahan yang dikaji meliputi (1) implementasi
Kurikulum 2013 dalam pembelajaran fisika; (2) kemampuan berpikir kritis siswa
dalam pembelajaran fisika; (3) strategi guru dalam mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa melalui implementasi Kurikulum 2013 dalam pembelajaran
fisika. Upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran fisika
ini ditinjau dari tiga aktivitas utama guru dalam pembelajaran, yaitu perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.
Pada tahap perencanaan pembelajaran, akan dilakukan analisis kesesuaian
rencana pelaksanaan pembelajaran guru, yang meliputi pengembangan: (a) indikator
pembelajaran, (b) tujuan pembelajaran, (c) materi pembelajaran, (d) langkahlangkah pembelajaran, (e) media, alat, bahan, dan sumber belajar, (f) lembar kerja
siswa, dan (g) evaluasi pembelajaran. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran,
dilakukan

observasi

tentang

kesesuaian

perencanaan

dengan

pelaksanaan

pembelajaran, serta upaya lain di luar perencanaan yang mungkin dilakukan oleh
guru sebagai upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa. Terakhir, pada
tahap evaluasi, dilakukan wawancara terhadap upaya guru dalam mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran, khususnya yang terkait dengan kemampuan
berpikir kritis siswa.

Selain hal-hal tersebut, wawancara semi terstruktur juga akan dilaksanakan


pada guru dan siswa untuk mengungkap faktor-faktor yang menghambat upaya
guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa berikut upaya yang
dilakukan untuk mengatasinya.
I.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah implementasi Kurikulum 2013 dalam strategi pembelajaran
fisika di SMA Negeri 1 Semarapura?
2. Bagaimanakah keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fisika di
SMA Negeri 1 Semarapura?
3. Bagaimanakah strategi guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa SMA Negeri 1 Semarapura melalui implementasi Kurikulum 2013 dalam
pembelajaran fisika?
1.4 Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan implementasi kurikulum 2013 dalam strategi pembelajaran
fisika di SMA Negeri 1 Semarapura.
2) Mendeskripsikan keterampilan berpikir kritis siswa di SMA Negeri 1
Semarapura.
3) Mendeskripsikan strategi guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir
kritis dalam pembelajaran fisika di SMA Negeri 1 Semarapura.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1

Manfaat Teoretis
9

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai upayaupaya yang dapat dilakukan guru fisika dalam mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa melalui implementasi Kurikulum 2013 dalam pembelajaran
fisika. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat
terhadap pemecahan masalah dari hambatan-hambatan yang dialami guru,
khususnya dalam upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya dampak
langsung pada komponen-komponen yang terlibat dalam penelitian ini. Komponenkomponen yang dimaksud adalah guru, siswa, dan peneliti.
a. Bagi Guru
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menginspirasi guru untuk
meningkatkan

upaya

pengembangan

keterampilan

berpikir

siswa

dalam

pembelajaran fisika.
b. Bagi Siswa
Peningkatan upaya guru dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis
dan aspek sosial-religius siswa, diharapkan mampu memberikan sumbangsih
terhadap peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa.
c. Bagi Peneliti
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada
peneliti sebagai calon guru fisika. Manfaat yang dimaksud adalah adanya
pengetahuan dan pengalaman tentang upaya dan kendala mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fisika.
1.6 Definisi Konseptual dan Oprasional
1.6.1 Definisi Konseptual

10

1. Strategi pembelajaran merupakan pola-pola umum kegiatan guru anak


didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai
tujuan yang telah digariskan (Djamarah dan Zain, 2006).
2. Berpikir kritis merupakan proses terorganisasi yang melibatkan aktivitas
mental yang mencakup kemampuan merumuskan masalah, memberikan
argumen, melakukan observasi dan menyusun laporan, melakukan
deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, memutuskan dan
melaksanakan, dan berinteraksi dengan yang lain untuk memecahkan
1.6.2

suatu masalah (Arnyana, 2004).


Definisi Oprasional
1. Strategi Pembelajaran merupakan pendekatan, model, dan media
pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalam pembelajaran yang
terekam dalam observasi, wawancara, dan dokumentasi.
2. Berpikir kritis adalah tindakan guru untuk memicu siswa untuk berpikir
kritis pada setiap tahapan pembelajaran serta berupa nilai atau skor yang
diperoleh oleh siswa yang terekam dalam observasi, wawancara, dan
dokumentasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum berbasis kompetensi yang
diarahkan pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dalam SKL (Standar
Kompetensi Lulusan). Tema pengembangan Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang
dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif
melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Oleh
11

karena itu, Kurikulum 2013 mengunakan sebuah konsep pendekatan ilmiah


(scientific) dalam proses pembelajaran. Dalam pendekatan ilmiah, pembelajaran
dilakukan berbasis pada fakta yang dapat dijelaskan dengan logika, sehingga siswa
mampu menemukan sebuah jawaban yang tidak berdasarkan angan-angan atau
pendapat tidak masuk akal, tetapi melalui proses ilmiah yang struktural.
Kemendikbud (2013a) menyatakan bahwa Kurikulum 2013 menekankan
pada pencapaian empat Kompetensi Inti (KI) yang meliputi KI-1 yang berkenaan
dengan sikap spiritual, KI-2 berkenaan dengan sikap sosial, KI-3 berkenaan dengan
pengetahuan, serta KI-4 yang berkenaan dengan keterampilan. Keempat Kompetensi
Inti (KI) ini dilaksanakan secara integratif melalui pelaksanaan pembelajaran
pendekatan saintifik. Mulyasa (dalam Wardani et al, 2014) mengungkapkan bahwa
implementasi Kurikulum 2013 yang dilaksanakan secara optimal di dalam
pembelajaran akan mampu menghasilkan peserta didik yang produktif, kreatif,
inovatif, serta afektif, melalui penguatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
terintegrasi.
Kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran, yaitu
proses

pembelajaran

langsung

dan

proses

pembelajaran

tidak

langsung

(Kemendikbud, 2014a). Proses pembelajaran langsung adalah proses pembelajaran


peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir, dan keterampilan
psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang
dalam silabus dan RPP. Dalam pembelajaran langsung tersebut, peserta didik
melakukan kegiatan belajar mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan penemuannya dalam

12

kegiatan analisis. Proses pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan


keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional effect.
Pembelajaran tidak langsung adalah proses pembelajaran yang terjadi
selama proses pembelajaran langsung, tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus.
Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap.
Berbeda dengan pengetahuan tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses
pembelajaran langsung oleh mata pelajaran tertentu, pengembangan sikap sebagai
proses pengembangan moral dan perilaku dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan
dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena
itu, dalam proses pembelajaran Kurikulum 2013, semua kegiatan yang terjadi
selama belajar di kelas dan di luar kelas, seperti dalam kegiatan kurikuler dan
ekstrakurikuler, terjadi proses pembelajaran untuk mengembangkan moral dan
perilaku yang terkait dengan sikap.
Pembelajaran langsung dan pembelajaran tidak langsung dalam Kurikulum
2013 terjadi secara terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan
dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4.
Keduanya, dikembangkan secara bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan
menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran
tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang
dikembangkan dari KI-1 dan KI-2.
2.2 Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas (SMA)
2.2.1 Kompetensi Inti (KI)

13

Kemendikbud (2014a) dalam Lampiran 1 Permen No. 59 Tahun 2014


tentang Kurikulum SMA menjelaskan bahwa Kompetensi Inti Sekolah Menengah
Atas (SMA) merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) yang harus dimiliki seorang siswa SMA/MA pada setiap tingkat
kelas. Kompetensi inti dirancang untuk setiap kelas. Melalui kompetensi inti,
sinkronisasi horisontal berbagai kompetensi dasar antar matapelajaran pada kelas
yang sama dapat dijaga. Selain itu, sinkronisasi vertikal berbagai kompetensi dasar
pada mata pelajaran yang sama pada kelas yang berbeda juga dapat dijaga.
Rumusan kompetensi inti dalam Kurikulum 2013 menggunakan notasi
sebagai berikut. Kompetensi Inti-1 (KI-1) merupakan notasi untuk kompetensi inti
sikap spiritual. Kompetensi Inti-2 (KI-2) merupakan notasi untuk kompetensi inti
sikap sosial. Kompetensi Inti-3 (KI-3) merupakan notasi untuk kompetensi inti
pengetahuan. Kompetensi Inti-4 (KI-4) merupakan notasi untuk kompetensi inti
keterampilan.
2.2.2 Kompetensi Dasar (KD)
Kompetensi Dasar (KD) dirumuskan untuk mencapai Kompetensi Inti
(Kemendikbud, 2014a). Kompetensi dasar dikembangkan dengan memperhatikan
karakteristik dan kemampuan peserta didik, serta kekhasan masing-masing mata
pelajaran.

Kompetensi

Dasar

meliputi

empat

kelompok

sesuai

dengan

pengelompokan Kompetensi Inti, yaitu sebagai berikut. Kelompok 1 merupakan


kelompok KD sikap spiritual dalam rangka menjabarkan KI-1. Kelompok 2
merupakan kelompok KD sikap sosial dalam rangka menjabarkan KI-2. Kelompok
3 merupakan kelompok KD pengetahuan dalam rangka menjabarkan KI-3.

14

Kelompok 4 merupakan kelompok KD keterampilan dalam rangka menjabarkan


KI-4.
2.2.3 Mata Pelajaran
Struktur kurikulum SMA terdiri atas mata pelajaran umum kelompok A,
mata pelajaran umum kelompok B, dan mata pelajaran peminatan akademik
kelompok C (Kemendikbud, 2014a). Mata pelajaran peminatan akademik kelompok
C dikelompokkan atas mata pelajaran Peminatan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, mata pelajaran Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, dan mata
pelajaran Peminatan Bahasa dan Budaya. Berikut pemaparan alokasi waktu untuk
setiap jenis mata pelajaran dalam kurikulum SMA.
Tabel 2.1 Struktur Kurikulum SMA/MA
ALOKASI WAKTU PER MINGGU
X
XI
XII

MATA PELAJARAN
KELOMPOK A (UMUM)
1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
2. Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
3. Bahasa Indonesia
4. Matematika
5. Sejarah Indonesia
6. Bahasa Inggris
KELOMPOK B (UMUM)
7. Seni Budaya
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan
9. Prakarya dan Kewirausahaan
Jumlah jam pelajaran kelompok A dan B
per minggu
KELOMPOK C (PEMINATAN)
Mata pelajaran peminatan akademik
Mata pelajaran pilihan lintas minat
dan/atau pendalaman minat

15

4
4
2
2

4
4
2
2

4
4
2
2

24

24

24

9 atau 12

12 atau 16

12 atau 16

6 atau 9

4 atau 8

4 atau 8

Jumlah jam pelajaran kelompok A, B,


dan C per minggu

42

44

44

Sumber: Kemendikbud (2014a)


Berikut keterangan tambahan terkait tabel di atas. (1) Mata pelajaran
Kelompok A dan C merupakan kelompok mata pelajaran yang muatan dan
acuannya dikembangkan oleh pusat. (2) Mata pelajaran Kelompok B merupakan
kelompok mata pelajaran yang muatan dan acuannya dikembangkan oleh pusat dan
dapat dilengkapi dengan muatan atau konten lokal. (3) Satu jam pelajaran beban
belajar tatap muka adalah 45 menit. (4) Beban belajar penugasan terstruktur dan
kegiatan mandiri, maksimal 60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran
yang bersangkutan. (5) Satuan pendidikan dapat menambah beban belajar per
minggu sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik dan atau kebutuhan
akademik, sosial, budaya, dan faktor lain yang dianggap penting, namun yang
diperhitungkan pemerintah maksimal 2 (dua) jam/minggu.

A. Mata Pelajaran Umum


Mata pelajaran umum kelompok A merupakan program kurikuler yang
bertujuan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan
kompetensi keterampilan peserta didik sebagai dasar penguatan kemampuan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sedangkan mata pelajaran
umum kelompok B merupakan program kurikuler yang bertujuan mengembangkan
kompetensi sikap, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta

16

didik terkait lingkungan dalam bidang sosial, budaya, dan seni (Kemendikbud,
2014a).
B. Mata Pelajaran Peminatan Akademik
Mata pelajaran peminatan akademik kelompok C merupakan program
kurikuler yang bertujuan mengembangkan kompetensi sikap, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan peserta didik sesuai dengan minat,
bakat dan atau kemampuan akademik dalam sekelompok mata pelajaran keilmuan
(Kemendikbud, 2014). Berikut deskripsi alokasi waktu per jenis mata pelajaran
peminatan akademik Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Tabel 2.2 Mata Pelajaran Peminatan Akademik MIPA
ALOKASI WAKTU/MINGGU
X
XI
XII
3
4
4
3
4
4
3
4
4
3
4
4

MATA PELAJARAN
1
2
3
4

Matematika
Biologi
Fisika
Kimia

Sumber: Kemendikbud (2014a)

C. Pemilihan Peminatan dan Pemilihan Mata Pelajaran Lintas Minat dan atau
Pendalaman Minat
Kurikulum SMA/MA dirancang untuk memberikan kesempatan kepada
peserta

didik

belajar

berdasarkan

minat

mereka.

Struktur

kurikulum

memperkenankan peserta didik melakukan pilihan dalam bentuk pilihan peminatan


dan pilihan mata pelajaran lintas minat dan/atau pendalaman minat. Menurut
Kemendikbud (2014a), pemilihan peminatan dilakukan peserta didik saat mendaftar
pada SMA/MA berdasarkan nilai rapor SMP/MTs atau yang sederajat, nilai ujian
nasional SMP/MTs atau yang sederajat, rekomendasi guru bimbingan dan
17

konseling/konselor di SMP/MTs atau yang sederajat, dan hasil tes penempatan


(placement test) ketika mendaftar di SMA/MA, atau tes bakat dan minat oleh
psikolog. Peserta didik masih mungkin pindah peminatan paling lambat pada awal
semester kedua di kelas X, sepanjang daya tampung peminatan baru masih tersedia,
berdasarkan hasil pembelajaran berjalan pada semester pertama, dan rekomendasi
guru bimbingan dan konseling. Peserta didik yang pindah peminatan wajib
mengikuti dan tuntas matrikulasi mata pelajaran yang belum dipelajari sebelum
pembelajaran pada peminatan baru dimulai.
Peserta didik dapat memilih minimal tiga mata pelajaran dari empat mata
pelajaran yang terdapat pada satu peminatan. Satu mata pelajaran yang tidak
diambil, beban belajarnya dialihkan ke mata pelajaran lintas minat. Selain
mengikuti mata pelajaran di peminatan yang dipilihnya, setiap peserta didik harus
mengikuti mata pelajaran tertentu untuk lintas minat dan atau pendalaman minat.
Jika peserta didik mengambil tiga mata pelajaran dari peminatan yang dipilihnya,
maka peserta didik tersebut dapat mengambil mata pelajaran lintas minat sebanyak
sembilan jam pelajaran (3 mata pelajaran) di kelas X atau sebanyak delapan jam
pelajaran (2 mata pelajaran) di kelas XI dan XII, sedangkan jika peserta didik
mengambil 4 mata pelajaran dari peminatan yang dipilihnya, maka peserta didik
tersebut dapat mengambil mata pelajaran lintas minat sebanyak enam jam pelajaran
(2 mata pelajaran) di kelas X atau sebanyak empat jam pelajaran (1 mata pelajaran)
di kelas XI dan XII.
Peserta didik yang mengambil Peminatan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam atau Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, lintas minatnya harus
18

di luar peminatan yang dipilihnya. Sedangkan peserta didik yang mengambil


Peminatan Bahasa dan Budaya, dapat mengambil mata pelajaran lintas minat: (1) di
luar; (2) di dalam; atau (3) sebagian di dalam dan sebagian di luar peminatan yang
dipilihnya. Mata pelajaran lintas minat yang dipilih sebaiknya tetap dari Kelas X
sampai dengan XII.
2.2.4 Beban Belajar
Beban belajar merupakan keseluruhan kegiatan yang harus diikuti peserta
didik dalam satu minggu, satu semester, dan satu tahun pembelajaran. Beban belajar
di SMA/MA dinyatakan dalam jam pelajaran per minggu. Berikut pemaparan beban
belajar siswa sesuai Lampiran 1 Permen No. 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum
SMA. (1) Beban belajar satu minggu Kelas X adalah minimal 42 jam pelajaran. (2)
Beban belajar satu minggu Kelas XI dan XII adalah minimal 44 jam pelajaran. (3)
Beban belajar di Kelas X dan XI dalam satu semester minimal 18 minggu. (4)
Beban belajar di kelas XII pada semester ganjil minimal 18 minggu. (5) Beban
belajar di kelas XII pada semester genap minimal 14 minggu.

2.3 Karakteristik Mata Pelajaran Fisika dalam Kurikulum 2013


Fisika adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang merupakan
usaha sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam
bentuk penjelasan-penjelasan yang dapat diuji dan mampu memprediksi gejala
alam. Dalam memprediksi gejala alam, diperlukan kemampuan pengamatan yang
dilanjutkan dengan penyelidikan melalui metode ilmiah. Menurut Kemendikbud
(2014), ilmu fisika merupakan: (1) proses memperoleh informasi melalui metode

19

empiris (empirical method), (2) informasi yang diperoleh melalui penyelidikan


ditata secara logis dan sistematis, dan (3) suatu kombinasi proses berpikir kritis
yang menghasilkan informasi yang dapat dipercaya dan valid. Fisika sebagai proses
atau metode penyelidikan (inquiry methods) meliputi cara berpikir, sikap, dan
langkah-langkah

kegiatan saintis

untuk memperoleh produk-produk ilmu

pengetahuan ilmiah, misalnya observasi, pengukuran, merumuskan dan menguji


hipotesis, mengumpulkan data, bereksperimen, dan memprediksi. Dalam konteks
ini, fisika bukan sekadar cara bekerja, melihat, dan cara berpikir, melainkan
science as a way of knowing. Artinya, selain sebagai proses, fisika juga meliputi
kecenderungan sikap atau tindakan, keingintahuan, kebiasaan berpikir, dan
seperangkat prosedur.
Nilai-nilai fisika berhubungan dengan tanggung jawab moral, nilai-nilai
sosial, manfaat fisika dalam kehidupan manusia, sikap dan tindakan seseorang
dalam belajar atau mengembangkan fisika, serta terbentuknya sikap ilmiah,
misalnya keingintahuan, keseimbangan antara keterbukaan dan skeptis, kejujuran,
ketelitian, ketekunan, hati-hati, toleran, dan hemat. Dengan demikian, fisika dapat
dipandang sebagai cara berpikir untuk memahami alam, cara untuk melakukan
penyelidikan, serta sebagai kumpulan pengetahuan.
Pada tingkat SMA/MA, fisika dipandang penting untuk diajarkan sebagai
mata pelajaran tersendiri dengan beberapa pertimbangan (Kemendikbud, 2014).
Pertama, selain memberikan bekal ilmu kepada peserta didik, mata pelajaran fisika
dimaksudkan sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis,
yang berguna untuk memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua,

20

mata pelajaran fisika perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu
membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman, dan sejumlah kemampuan yang
dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta
mengembangkan ilmu dan teknologi. Pembelajaran fisika dilaksanakan secara
inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap
ilmiah, serta berkomunikasi, sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup.
Tujuan pembelajaran fisika menurut Peraturan Pemerintah Nomor 59
tentang Kurikulum SMA adalah sebagai berikut.
1. Menambah keimanan peserta didik dengan menyadari hubungan keteraturan,
keindahan alam, dan kompleksitas alam dalam jagad raya terhadap kebesaran
Tuhan yang menciptakannya.
2. Menunjukkan perilaku ilmiah (memiliki rasa ingin tahu, objektif, jujur, teliti,
cermat, tekun, ulet, hati-hati, bertanggung jawab, terbuka, kritis, kreatif,
inovatif, dan peduli lingkungan) dalam aktivitas sehari-hari sebagai wujud
implementasi sikap ilmiah dalam melakukan percobaan dan berdiskusi.
3. Menghargai kerja individu dan kelompok dalam aktivitas sehari-hari sebagai
wujud implementasi melaksanakan percobaan dan melaporkan hasil percobaan.
4. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat
bekerjasama dengan orang lain.
5. Mengembangkan pengalaman untuk menggunakan metode ilmiah dalam
merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan,
merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan
menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan
tertulis.
6. Mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan
21

berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif


maupun kuantitatif.
7. Menguasai konsep dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan
mengembangkan pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Poin 4 dari paparan di atas menunjukkan bahwa pembelajaran fisika dalam
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis
siswa.
Mata pelajaran Fisika di SMA/MA merupakan mata pelajaran peminatan
MIPA yang menekankan pada fenomena alam dan pengukurannya, dengan ruang
lingkup sebagai berikut (Kemendikbud, 2014).
1.

Pengukuran berbagai besaran, karakteristik gerak, penerapan hukum


Newton, alat-alat optik, kalor, konsep dasar listrik dinamis, dan konsep dasar
gelombang elektromagnetik.

2.

Gerak dengan analisis vektor, hukum Newton tentang gerak dan gravitasi,
gerak getaran, energi, usaha, dan daya, impuls dan momentum, momentum
sudut dan rotasi benda tegar, fluida, termodinamika.

3.

Gejala gelombang, gelombang bunyi, gaya listrik, medan listrik, potensial


dan energi potensial, medan magnet, gaya magnetik, induksi elektromagnetik
dan arus bolak-balik, gelombang elektromagnetik, radiasi benda hitam, teori
atom, relativitas, dan radioaktivitas.

2.4 Strategi Pembelajaran

22

Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan


untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan
dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan
guru, anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai
tujuan yang telah digariskan (Djamarah & Zain, 2006). Terdapat berbagai pendapat
tentang

strategi

pembelajaran

sebagaimana

dikemukakan

oleh

para

ahli

pembelajaran. Menurut Kozna (dalam Aqib, 2013) secara umum menjelasan bahwa
strategi pembelajaran sedapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang dipilih, yaitu
yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik menuju
tercapainya tujuan pembelajaran tertentu. Selain itu, Gropper (dalam Aqib, 2013)
mengatakan bahwa strategi pembelajaran merupakan pilihan atas berbagai jenis
latihan tertentu yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Ia
menegaskan bahwa setiap tingkah laku yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta
didik dalam kegiatan belajarnya harus dapat dipraktikkan. Jika dihubungkan dengan
belajar mengajar, strategi dapat diartikan sebagai pola umum kegiatan guru dan
siswa dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang
ingin dicapai.
Berdasarkan uraian tersebut, strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai
setiap kegiatan yang direncanakan, dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran, dan
dilakukan evaluasi secara berkelanjutan untuk dapat memfasilitasi peserta didik
dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dan penguasaan kompetensi dalam
pendidikan yang keseluruhannya terpadu dalam pola umum tertentu. Terdapat 3
jenis

strategi

yang

berkaitan

dengan

23

pembelajaran,

yakni:

(a)

strategi

pengorganisasian pembelajaran yaitu mengorganisasi isi dalam pembelajaran atau


biasa disebut sebagai struktural dalam strategi., (b) strategi penyampaian
pembelajaran merupakan komponen variabel lima metode untuk melaksanakan
proses pembelajaran., dan (c) strategi pengelolaan pembelajaran merupakan
komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi
antara pebelajar dengan variabel metode pembelajaran lainnya.
A. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan strategi pembelajaran
yang menekankan pada proses penyelesaian masalah yang diahadapi secara ilmiah.
Terdapat tiga ciri utama dalam strategi pembelajaran berbasis masalah, yaitu.
Pertama, strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas
pembelajaran, artinya dalam implementasi strategi pembelajaran berbasis masalah
ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Strategi pembelajaran berbasis
masalah tidak mengharapkan siswa hanya sekadar mendengarkan, mencatat,
kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui strategi pembelajaran
berbasis masalah siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data
dan akhirnya menyimpulkan.
Kedua,

aktivitas

pembelajaran

diarahkan

untuk

menjelaskan

cara

menyelesaikan masalah. Strategi pembelajaran berbasis masalah menempatkan


masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya tanpa masalah maka
tidak mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan
dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan
menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses

24

berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir
ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu. Sedangkan empiris artinya
proses penyelesaian masalah didasarkan data dan fakta yang jelas. Untuk
mengimplementasikan strategi pembelajaran berbasis masalah, guru perlu memilih
bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan
tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain, misalnya dari
peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar (Sanjaya, 2012).
B. Strategi Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)

Strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu strategi pembelajaran


yang menekankan pada keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan
materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata
sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Konsep tersebut terdapat tiga hal yang harus dipatuhi, yaitu. Pertama, strategi
pembelajaran kontekstual menekankan pada keterlibatan siswa untuk menemukan
materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara
langsung. Proses belajar dalam konteks strategi pembelajaran kontekstual tidak
mengaharapkan siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan
menemukan materi pelajaran.
Kedua, strategi pembelajaran kontekstual mendorong agar siswa dapat
menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata,
artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar
di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan
menggabungkan materi yang ditemukan dalam kehidupan nyata, bukan saja bagi

25

siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang akan
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
Ketiga, strategi pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan nyata, artinya strategi pembelajaran kontekstual
bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan
tetapi bagaimana materi itu dapat mewarnai pelakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran dalam konteks strategi pembelajaran kontekstual bukan untuk
ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam
mengarungi kehidupan nyata (Sanjaya, 2012).

C.

Strategi Pembelajaran Afektif


Strategi pembelajaran afektif berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif

dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai, yang sulit diukur, oleh karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Batas tertentu memang
afektif dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk
sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian
dan observasi yang terus menerus, dalam hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan,
apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran.
Guru tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat
dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun siswa yang bersangkutan, sebagai akibat
dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh
26

kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Sehingga pendidikan nilai pada
dasarnya proses penanaman nilai kepada siswa yang diharapkan, oleh karena itu
siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku (Sanjaya, 2012).
D.

Strategi Pembelajaran Kooperatif


Strategi pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang

menekankan pada kegiatan belajar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Terdapat empat unsur penting dalam strategi pembelajaran kooperatif
yaitu: (1) adanya peserta dalam kelompok; (2) adanya aturan kelompok; (3) adanya
upaya belajar setiap kelompok; dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai. Peserta
adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran dalam setiap kelompok belajar.
Pengelompokan

siswa

bisa

ditetapkan

berdasarkan

beberapa

pendekatan,

diantaranya pengelompokan yang didasarkan atas campuran baik campuran yang


ditinjau dari minat maupun campuran yang tinjau dari kemampuan.
Strategi pembelajaran kooperatif mempunyai dua komponen utama yaitu
komponen tugas kooperatif dan komponen struktur intensif kooperatif. Tugas
kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerja sama dalam
menyelesaikan tugas kelompok. Sedangkan struktur insentif kooperatif dianggap
sebagai keunikan dari pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif
setiap anggota kelompok bekerja kera untuk belajar, sehingga mencapai tujuan
kelompok. Jadi, hal yang menarik dari strategi pembelajaran kooperatif adalah
adanya harapan selain memiliki dampak pembelajaran, yaitu berupa peningkatan
prestasi belajar siswa juga mempunyai dampak pengiring seperti relasi sosial,

27

penerimaan terhadap siswa yang dianggap lemah, harga diri, norma akademik,
penghargaan terhadap waktu, dan suka memberi pertolongan pada orang lain
(Sanjaya, 2012).
E.

Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir


Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir merupakan strategi

pembelajaran yang menekankan pada kemampuan berpikir siswa melalui fakta-fakta


atau pengalaman anak sebagai bahan untuk memecahkan masalah yang diajukan.
Terdapat beberapa hal yang terkandung dalam pengertian diatas. Pertama, strategi
pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir adalah model pembelajaran yang
bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir, artinya tujuan yang ingin
dicapai oleh strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir bukan sekedar
siswa dapat menguasai sejumlah materi pelajaran, akan tetapi bagaimana siswa
dapat mengembangkan gagasan-gagasan dan ide-ide melalui kemampuan berbahasa
secara verbal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan berbicara secara
verbal merupakan salah satu kemampuan berpikir.
Kedua, fakta-fakta sosial atau pengalaman sosial anak dalam kehidupan
sehari-hari dan berdasarkan kemampuan anak untuk mendeskripsikan hasil
pengamatan mereka terhadap berbagai fakta dan data yang mereka peroleh dalam
kehidupan sehari-hari. Ketiga, sasaran akhir strategi pembelajaran peningkatan
kemampuan berpikir adalah kemampuan anak untuk memecahkan masalah-masalah
sosial sesuai dengan taraf perkembangan anak (Sanjaya, 2012).
2.5 Kemampuan Berpikir Kritis

28

Berpikir kritis adalah penggunaan kemampuan kognitif atau strategi kognitif


yang mampu meningkatkan peluang terhadap hasil yang diperlukan yang
selanjutnya digunakan untuk menggambarkan aktivitas berpikir yang terorganisasi,
memiliki tujuan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, dan mengarah pada
tujuan tertentu. Aktivitas yang terlibat dalam berpikir kritis yakni pemecahan
masalah, perumusan kesimpulan, perhitungan terhadap kemungkinan yang ada, serta
mengambil keputusan ketika seseorang menggunakan kemampuan dengan penuh
pertimbangan dan secara efektif sesuai dengan konteks dan jenis tugas berpikirnya
(Halpern, 2003).
Pendapat tentang berpikir kritis ditinjau secara lebih luas disampaikan oleh
Ennis (1993) yang mendefinisikan berpikir kritis sebagai kemampuan berpikir logis
dan reflektif yang terpusat untuk menentukan apa yang dipercaya dan apa yang
dilakukan. Seseorang dikatakan berpikir logis apabila melibatkan usaha untuk
menganalisa argumen secara berhati-hati, mencari fakta yang absah, dan mencapai
kesimpulan-kesimpulan.
Menurut Scriven dan Paul (dalam Syahbana, 2012), berpikir kritis sebagai
proses disiplin intelektual yang secara aktif dan terampil mengkonseptualisasi,
menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan/atau mengevaluasi informasi yang
diperoleh dari, atau dihasilkan oleh pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran,
atau komunikasi, sebagai panduan untuk keyakinan dan tindakan.
Penekanan mengenai kemampuan berpikir kritis juga disampaikan Paul dan
Elder (2007) pada The Foundation for Critical Thinking, bahwa berpikir kritis
sebagai sebuah konsep yang menghubungkan disiplin ilmu dengan aplikasinya

29

dalam kehidupan yang menekankan pada dimensi berpikir. Dengan memberikan


kesempatan untuk mengaplikasikan kemampuan berpikir kritis dalam pmbelajaran
dan

mempromosikan

pengalaman

sehingga

memungkinkan

siswa

untuk

menggunakan dan memperbaiki keterampilan mereka dalam pemecahan masalah.


Elder juga mengemukakan terdapat 6 tingkatan kemampun berpikir kritis yang
terdiri dari unreflective thinker, challenged thinker, beginning thinker, practicing
thinker, advanced thinker, dan accomplished thinker.
Siegel (2010) mengemukakan aspek kunci berpikir krtitis yaitu penegasan
gagasan pokok normatif pada karakter. Selain itu, adanya penegasan berpikir kritis
yang meliputi dua hal yaitu: (a) keterampilan atau kemampuan dalam memberikan
alasan dan menilai suatu hipotesis dan (b) pengaturan atau penyusunan yang
mengikutsertakan dan memandu dalam membuat dugaan dan penilaian.
Jika ditinjau dari sudut pandang proses, Cotrell (2005) menyatakan bahwa
berpikir kritis adalah proses kompleks dengan penuh pertimbangan yang mebibatkan
berbagai keterampilan dan sikap. Lebih jauh disebutkan bahwa dalam berpikir kritis
melibatkan : 1) mengidentifikasi sudut pandang, argumen, serta kesimpulan orang
lain; 2) mengevaluasi fakta-fakta untuk memperoleh solusi alternatif ; 3) menimbang
argumen-argumen yang bertentangan dengan fakta yang ada secara adil; 4) mampu
membaca between the lines, melihat apa yang behind the surfaces, dan mampu
mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tidak tidak wajar; 5) mengenali teknik-teknik
yang digunakan untuk menciptakan sudut pandang yang menarik seperi false logic
dan media yang persuasif; 6) merefleksi permasalahan secara sistematis dengan
memunculkan logika dan wawasan; 7) menggambarkan apakah suatu kesimpulan

30

bersifat valid dan dapat dibenarkan berdasarkan fakta dan asumsi yang sesuai; dan 8)
menyampaikan pandangan akan suatu hal secara jelas, dengan cara yang baik, dan
mampu meyakinkan orang lain.
Secara lebih sederhana, kemampuan-kemampuan yang tercangkup dalam
berpikir kritis ditunjukan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Dimensi dan Indikator Berpikir Kritis
No.
1.

Dimensi
Memberi
penjelasan dasar

Indikator
Memfokuskan
pertanyaan

Menganalisis
argumen

Bertanya dan
menjawab
pertanyaan yang
bersifat klarifikasi
dan tantangan

31

Sub Indikator
1. Mengidentifikasi atau
merumuskan pertanyaan
2. Mengidentifikasi atau
merumuskan kriteria untuk
mempertimbangkan
kemungkinan jawaban
3. Menjaga kondisi berpikir
1. Mengidentifikasi simpulan
2. Mengidentifikasi alasan
yang disebutkan
3. Mengidentifikasi alasan
yang tidak disebutkan
4. Melihat kemiripan dan
perbedaan
5. Mengidentifikasi dan
menangani
ketidaksesuaian
6. Mencari struktur dari
suatu argument
7. Merangkum
Pertanyaan tentang:
a. Mengapa?
b. Apakah yang menjadi
maksud utama?
c. Apakah yang dimaksud
dengan?
d. Apakah yang menjadi
contoh?
e. Apa yang bukan
merupakan contoh?
f. Bagaimana jika hal

No.

Dimensi

Membangun
keterampilan
dasar

Indikator

Sub Indikator

tersebut terjadi pada?


g. Apakah yang menjadi
perbedaan?
h. Apakah yang menjadi
faktanya?
i. Apakah yang dikatakan
adalah?
j. Dapatkah memberikan
penjelasan lebih dalam
tentang?
Mempertimbangkan 1. Mempertimbangkan
keahlian
apakah sumber dapat
dipercaya atau tidak 2. Mempertimbangkan
keahlian konflik
3. Mempertimbangkan
kesesuaian sumber
4. Mempertimbangkan
reputasi
5. Mempertimbangkan
penggunaan prosedur yang
tepat
6. Mempertimbangkan resiko
untuk reputasi
7. Kemampuan untuk
memberikan alasan
8. Kebiasaan bersikap hatihati
Mengobservasi dan 1. Melibatkan sedikit dugaan
mempertimbangkan 2. Menggunakan waktu yang
singkat antara observasi
laporan observasi
dan laporan
3. Melaporkan hasil
observasi
4. Merekam hasil observasi
5. Menggunakan bukti-bukti
yang benar
6. Menggunakan akses yang
baik
7. Mengguanakan teknologi
8. Mempertanggungjawabkan
hasil observasi

32

No.
3

Dimensi
Inferensi

Indikator
Mereduksi dan
mempertimbangkan
deduksi

1. Siklus logika Euler


2. Mengkondisikan logika
3. Menyatakan tafsiran

Menginduksi dan
mempertimbangkan
hasil induksi

1. Mengemukakan hal yang


umum
2. Mengemukakan simpulan
dan hipotesis
1. Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
berdasarkan latar belakang
fakta-fakta
2. Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
berdasarkan akibat
3. Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
berdasarkan penerapan
fakta
4. Membuat dan menentukan
hasil pertimbangan
keseimbangan dan
masalah.
1. Membuat bentuk definisi
2. Strategi membuat definisi
3. Membuat isi definisi

Membuat dan
menentukan hasil
pertimbangan

Memberikan
penjelasan lanjut

Mendefinisikan
istilah dan
mempertimbangkan
suatu definisi
Mengidentifikasi
asumsi-asumsi

Strategi dan
taktik

Sub Indikator

Menentukan suatu
tindakan

33

1. Penjelasan bukan
peryataan
2. Mengkonstruksi argumen
1. Menentukan masalah
2. Memilih kriteria untuk
mempertimbangkan solusi
yang mungkin
3. Merumuskan solusi
alternatif
4. Menentukan tindakan
sementara
5. Mengulangi kembali,
memperhitungkan situasi
secara keseluruhan, dan
memutuskan
6. Mengamati penerapannya

No.

Dimensi

Indikator

Sub Indikator

Berinteraksi dengan 1. Menggunakan argumen


2. Menggunakan strategi
orang lain
logika
3. Menggunakan strategi
retorika
4. Menunjukkan posisi, orasi,
atau tulisan.
Diadaptasi dari Ennis (dalam Marzano, 1988)
2.5.1

Manfaat Berpikir Kritis


Berkaitan dengan berpikir kritis, keterampilan berpikir kritis sangat penting

untuk dimiliki oleh siswa. Semakin pesat perkembangan zaman dan kemajuan
IPTEK, tentunya output pendidikan juga dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi
tersebut. Dengan memiliki keterampilan berpikir kritis, siswa memiliki kemampuan
berpikir yang kompleks dan matang sehingga dapat berguna dalam kehidupannya.
Jika ditinjau dari kegiatan pembelajaran, kemampuan berpikir kritis menjadi
kebutuhan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hal ini tidak terlepas dari adanya
pergeseran paradigma pembelajaran yang sebelumnya memandang pengetahuan
sebagai kemampuan mengingat informasi menjadi pengetahuan sebagai kemampuan
untuk menemukan dan menggunakan informasi (Benjamin et al, 2013). Berpikir
kritis menjadi komponen kunci dalam berbagai mata pelajaran terutama dalam
pembelajaran sains seperti fisika, kimia, dan biologi. Hal tersebut dapat ditinjau dari
karakteristik mata pelajaran dalam pembelajaran sains yang banyak melibatkan
aktivitas yang mengharuskan adanya aktivitas berpikir kritis seperti mengidentifikasi
permasalahan dalam konteks yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
mencari

solusi

terhadap

permasalahan

tersebut

dengan

mengaplikasikan

pengetahuan yang dimiliki, menyusun suatu kesimpulan dari kegiatan eksperimen


34

yang dilaksanakan sebagai bagian untuk menemukan atau membuktikan suatu


teori, serta memberikan penalaran terhadap bagaiamana hasil yang diperoleh dalam
pembelajaran dengan teori atau data yang sudah ada (hasil penemuan ilmuan).
Kemampuan berpikir kritis membantu menjembatani mengapa seseorang
memperoleh hasil dan kesimpulan tertentu ketika sesorang menghadapi hasil yang
berbeda dengan teori yang ada. Berpikir kritis melibatkan logika, pemahaman,
kejelasan, dan ketelitian, yang juga melibatkan aktivitas pengumpulan data serta
penggambaran kesimpulan sebagai dasar dalam melakukan percobaan. Kesimpulan
yang diambil dengan didasari berpikir kritis akan bersifat lebih reliabel. Hal ini
memberikan orientasi bukan tentang benar atau salah hasil yang diperoleh,
melainkan tentang bagaimana hal tersebut dapat terjadi dan dapat dijelaskan sesuai
kaidah keilmuan. Selain itu, dalam pembelajaran sains berpikir kritis juga
mengharuskan siswa untuk tidak hanya memikirkan tentang konsep dan prinsip yang
ada. Dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, siswa juga dapat
mengaplikasikan konsep dan prinsip tersebut dalam bidang yang lain.
Berdasarkan pengertian atau pendefinisian yang telah diuraikan sebelumnya,
maka dalam penelitian ini berpikir kritis yang dimaksud yaitu suatu proses
metakognitif yang dinamis dan terorganisasi secara kompleks untuk meningkatkan
kualitas peserta didik yang meliputi mengidentifikasi masalah, merumuskan
hipotesis, menganalisis masalah, menarik kesimpulan, melakukan evaluasi, dan
mengkoreksi diri.
2.5.2

Keterampilan dan Upaya Guru untuk Mengoptimalkan Berpikir Kritis

35

Berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir


kritis siswa, guru merupakan faktor luar yang paling berpengaruh terhadap
kemampuan tersebut. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa tersebut, guru
perlu memiliki keterampilan dasar, kompetensi, dan melakukan upaya dalam
pelaksanaan pembelajaran untuk mengoptimalkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Keterampilan mengajar dan kompetensi yang dimiliki oleh guru sangat
berguna untuk mendukung pencapaian hasil belajar yang mampu berdampak pada
kemampuan berpikir siswa., khususnya kemampuan berpikir kritis siswa. Secara
langsug atau tidak langsung, implementasi dari keterampilan dan kompetensi ynag
baik dari guru akan mendukung kegiatan pembelajaran. Guru memegang peranan
penting dan merupakan faktor yang sangat dominan dalam menentukan
keberhasilan proses belajar-mengajar di kelas.
Sikap dan hal-hal lain ynag terkait dengan guru juga mempengaruhi
kemampuan berpikir kritis siswa. Costa (2001) mengemukakan prilaku guru yang
berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa seperti 1) perilaku bertanya
yang memberi pancingan kepada intelektualitas siswa, sehingga siswa termotivasi
untuk berpikir kritis, 2) mengatur kelas, baik secara individu maupunkelompok
ynag mampu memfasilitasi kemampuan berpikir siswa, 3) merespon siswa untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan berpikir kritis siswa,
dan 4) memberikan contoh atau permodelan kepada siswa.
Keterampilan mengajar dan kompetensi yang dimiliki oleh guru dalam
implementasinya tentunya terdapat variasi tergantung pada keadaan dan situasi
yang dihadapi oleh guru. Hal tersebut menjadikan dasar upaya-upaya yang

36

dilakukan guru bervariasi dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswanya


khususnya kemampuan berpikir kritis siswanya. Upaya-upaya itu dilakukan guru
tersebut sebagian besar dilakukan dengan penerapan model, strategi, dan
pendekatan pembelajaran inovatif. Selain itu, upaya yang dilakukan guru juga dapat
dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis evaluasi dalam proses belajar
mengajar dan hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam proses pembelajaran
fisika. Supriyadi (2005) mengemukakan hal yang perlu diperhatikan guru seperti
sedikit ceramah, melakukan demonstrasi, eksperimen, dan sebagainya. Hal-hal
Yang diungkapkan tersebut, berimplikasi pada evaluasi yang dilakukan. Berbagai
upaya yang dilakukan tersebut tentunya menunjukkan hasil yang bervariasi, baik
hasil yang sesuai dengan tujuan upaya yang dilakukan maupun tidak sesuai dengan
tujuan awal pelaksanaan upaya tersebut.

2.6 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan


Penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan terhadap
beberapa hasil penelitian yang relevan dengan upaya guru dalam mengembangkan
kemampuan berpikir kritis dan aspek sosial religius siswa dalam pembelajaran
fisika. Pertama, Snyder et al (2015) dengan penelitian yang berjudul Peer Led
Team Learning in Introductory Biology: Effect on Peer Leader Critical Thinking
Skills. Dalam penelitian ini mengungkap bahwa: (1) Permasalahan dari penelitian
ini adalah keaktifan mahasiswa di dalam kelompok yang tergolong rendah dan
pemahaman konseptual siswa yang masih rendah. Hal ini disebabkan oleh

37

kurangnya kesempatan mahasiswa untuk ikut serta aktif dalam kegiatan belajar
kelompok kecil. (2) Model Peer-Led Team Learning (PLTL) ini merupakan suatu
model pembelajaran yang layak jika digunakan dalam menumbuhkan aspek sosial
siswa. Aspek sosial yang berkembang yaitu sikap kepemimpinan dan sikap berpikir
kritis. Efektivitas model PLTL ini terbukti sebagai pemberian skor kemajuan
berpikir kritis mahasiswa. (3) Dalam penelitian ini mengundang mahasiswa untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa telah memperoleh kursus nilai
akhir dari A atau B pada semester II pengantar biologi, Universitas riset besar di
Timur Laut Amerika Serikat dengan alokasi penelitian berlangsung selama 15
minggu. Penelitian ini dapat menjelaskan model PLTL sebagai model yang
memiliki

keunggulan

untuk

memberikan

mahasiswa

keterampilan

dalam

berkomunikasi serta meningkatkan daya berpikir kritis terhadap permasalahan di


sekitarnya. Penelitian ini juga memberikan refrensi bahwa model PLTL ini
memberikan pengaruh yang positif untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis siswa sehingga menjadi pilihan tepat untuk guru dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar.
Kedua, Anwar et al (2014) dengan penelitian yang berjudul Penerapan
Problem Based Learning dan Inkuiri untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kritis dan Sikap Kepedulian Lingkungan Mahasiswa Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh. Dari penelitian mengungkapkan
bahwa: (1) Permasalahan dari penelitian ini adalah rendahnya kemampuan berpikir
kritis mahasiswa sehingga menyebabkan partisipasi dan hasil belajar mahasiswa
menurun. Hal ini disebabkan oleh model pembelajaran yang masih berpusat kepada

38

dosen. (2) Perpanduan model pembelajaran Problem Based Learning dan Inkuiri ini
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan sikap
peduli terhadap lingkungan mahasiswa. (3) Penelitian ini dilakukan pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh selama 27 hari. Subjek
penelitian adalah mahasiswa semester III berjumlah 156 orang. Secara statistik,
hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan cara berpikir kritis dan
sikap peduli mahasiswa pada kedua model ini. Rata-rata nilai berpikir kritis
mahasiswa ditunjukkan pada aspek menganalisa argumen, menentukan tindakan,
dan diskusi kelompok. Berdasarkan paparan tersebut, penerapan model Problem
Based Learning dan Inkuiri memiliki keunggulan meningkatkan kemampuan
berpikir kritis sehingga mahasiswa terampil dalam berkomunikasi dan peka
terhadap permasalahan di sekitarnya. Penelitian ini juga memberikan refrensi
bahwa model Problem Based Learning dan Inkuiri ini memberikan pengaruh yang
positif untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa sehingga menjadi
pilihan tepat untuk guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Ketiga, Rajeswari (2015) dengan penelitian yang berjudul Effectiveness of
Computer Assisted Problem Based Learning in Chemistry for Enhancing Thinking
Skills among Secondary School Student. Penelitian ini mengungkapkan bahwa: (1)
Permasalahan terletak pada penekanan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis yang kurang yang disebabkan oleh guru yang kurang berinovsai dalam
penggunaan media pembelajaran. (2) Penggunaan bantuan computer sebagai
inovasi dalam media pembelajaran efektif menciptakan kegiatan belajar yang
menarik. Pembelajaran yang menarik ini nantinya akan menimbulkan peningkatan

39

pada kemampuan berpikir kritis siswa. Keterampilan berpikir kritis dapat


didefinisikan sebagai pola berpikir yang membantu peserta didik mendapatkan
informasi dan memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi dan memahami dunia
mereka, untuk alasan dan memecahkan masalah, serta untuk merencanakan,
membuat dan menciptakan. (3) Dengan subyek penelitian adalah 100 orang siswa
kelas IX SMP, secara statistik hasil penelitian menunjukkan bahwa disimpulkan
bahwa CAPBL efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir khusus berpikir
kritis di kalangan siswa di tingkat menengah. Perbandingan nilai rata-rata
keterampilan komponen antara pre-test dan post-test langsung dari kelompok
eksperimen menunjukkan hasil yang signifikan. Berdasarkan paparan tersebut,
maka penggunaan media pembelajaran yang bervariasi bisa menjadi suatu solusi
dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Pada penelitian ini
keefektifan bantuan komputer dalam model pembelajaran PBL memiliki
keunggulan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa karena
memberikan

kegiatan

belajar

yang

menyenangkan

sehingga

mengenal

permasalahan di sekitar.
Keempat, Suckow et al (2015) dengan penelitian yang berjudul The
Association between Critical Thinking and Scholastic Aptitude on First-Time Pass
Rate

of

the

National

Physical

Theraphy

Examination.

Penelitian

ini

mengungkapkan bahwa: (1) Terjadinya perbedaan niali yang dimiliki dalam ujian.
Faktor penyebab permasalah tersebut adalah perbedaan tingkat berpikir kritis yang
dimiliki setiap siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam ujian, kinerja
yang dilakukan oleh siswa dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa. (2) Alternatif

40

pemecahan masalah yang dilakukan dengan pemberian program DPT selama tiga
tahun (8 semester) untuk mengintegrasikan pengalaman klinis dalam model
kurikulum hybrid yang mereka jalani. Selain itu, pembelajaran berbasis masalah
yang terintegrasi digunakan dalam meningkatkan berpikir kritis siswa untuk
menunjang nilai ujian siswa itu sendiri. (3) Secara statistik, hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis penting bagi siswa terapi fisik.
Temuan dalam studi ini mendukung bahwa keterampilan berpikir kritis yang lebih
tinggi secara positif berhubungan dengan NPTE pada upaya pertama bahwa semua
siswa yang mendapat nilai lebih rendah dari 600 poin pada NPTE jatuh dalam
kelompok dengan skor CT yang rendah. Selain itu, ada perbedaan signifikan secara
statistik dalam skor NPTE bagi lulusan dari program ini berdasarkan klasifikasi CT
tinggi, sedang, atau rendah, dengan para siswa dalam kelompok kemampuan CT
rendah diperoleh secara signifikan lebih pertama kegagalan waktu di NPTE
dibandingkan dengan siswa dari kemampuan CT sedang dan tinggi. Penelitian ini
juga memberikan refrensi bahwa pemberian program DPT selama tiga tahun (8
semester) untuk mengintegrasikan pengalaman klinis dalam model kurikulum
hybrid mampu meningkatkan kemampuan berpikir khususnya kemampuan berpikir
kritis siswa.
Kelima, Martincova dan Lukesova (2015) yang berjudul Critical Thinking
as a Tool for Managing Intercultural Conflicts yang menjelaskan bahwa terdapat
hubungan

antara

tingkat

kemampuan

berpikir

kritis

dengan

kompetensi

multikultural. Yang mana integrasi kemampuan berpikir kritis dapat meningkatkan


kemampuan untuk mengelola konflik interkultural. Hasil penelitian ini menunjukan

41

bahawa kemampuan berpikir kritis penting untuk dimiliki disamping dalam kegiatan
pembelajaran di sekolah. Berpikir kritis dipandang sebagai kemampuan yang dapat
menjebatani pengetahuan manusia untuk mengahadapi permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupannya. Dengan kata lain, berpikir kritis ini dapat dikaitkan dengan
filosofi belajar sepanjang hayat.
Keenam, Lidyayanti (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
model pembelajaran inkuiri bebas terhadap hasil belajar kimia ditinjau dari
keterampilan berpikir kritis memperoleh hasil bahwa: 1) terdapat perbedaan hasil
belajar kimia antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri bebas
dan yang belajar dengan model pembelajaran langsung; 2) terdapat pengaruh
interaksi antara model pembelajaran dan keterampilan berpikir kritis terhadap hasil
belajar kimia; 3) terdapat erbedaan hasil belajar kimia antara siswa yang belajar
dengan model pembelajaran bebas dan yang belajar dengan pembelajaran langsung
pada siswa yang memilki keterampilan berpikir kritis tinggi; 4) terdapat perbedaan
hasil belajar kimia antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran inkuiri
bebas dan yang belajar dengan model pembelajaran langsung pada siswa yang
memiliki keterampilan berpikir kritis rendah. Hasil penelitian tersebut menunjukan
bahwa kemampuan berpikir kritis yang dimiliki siswa dapat dipadukan dengan
model pembelajaran yang sesuai untuk memberikan hasil belajar yang optimal.
Pemilihan model pembelajaran atau metode pembelajaran yang digunakan guru di
kelas menentukan keberhasilan peserta didik dalam memperoleh hasil belajar yang
optimal. Jika guru dapat memfasilitasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, maka

42

selain hal tersebut dapat memberdayakan kemampuan berpikirnya, siswa juga dapat
meningkatkan hasil belajarnya.
2.5 Kerangka Berpikir
Fisika sebagai salah satu cabang ilmu IPA (sains) yang mempelajari gejala
alam secara fisik dan luas menekankan pada esensi ilmu sains sebagai produk dan
proses. Produk dalam ilmu fisika yang dimaksud adalah konsep, teori, dalil, hukum,
dan fakta mengenai kajian gejala alam, sedangkan proses dalam ilmu fisika yang
dimaksud adalah segala macam bentuk kegiatan yang dilakukan untuk
menghasilkan dan memperoleh suatu produk, misalnya mengamati, merumuskan
hasil pengamatan, menafsirkan, mengelompokkan mengklarifikasi, merencanakan
percobaan, menganalisis, mengevaluasi, mengkomunikasikan, dan menerapkan
suatu produk fisika. Berdasarkan hal tersebut, fisika juga mampu memberikan
stimulus kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan pada diri siswa. Hal ini menjadi
dasar mata pelajaran fisika dijadikan mata pelajaran perminatan untuk SMA dalam
implementasi Kurikum 2013.
Berkaitan masih diterapkannya Kuirkulum 2013 di beberapa sekolah, fisika
menjadi salah satu pelajaran yang mendapatkan perhatian lebih. Kuirkulum 2013
menekankan pembelajaran berpusat pada siswa. Pembelajaran yang berpusat pada
siswa menuntut kemampuan siswa yang mapan agar mampu mengikuti
pembelajaran khususnya fisika dengan baik. Dewasa ini, siswa terlihat kurang
mempersiapkan diri dalam pembelajaran fisika sehingga mengalami kesulitan
dalam memahami materi pelajaran, kesulitan memecahkan permasalahan fisika, dan

43

sebagainya. Kemampuan berpikir kritis menjadi kunci pokok dari permasalahan ini,
sehingga siswa dengan kemampuan berpikir kritis yang baik akan mampu
mengikuti pembelajaran dengan baik.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian berkaitan kemampuan berpikir kritis yang
telah dilakukan menunjukkan diperolehnya peningkatan kemampuan berpikir kritis
siswa dapat terealisasikan dengan menerapkan susatu pendekatan, strategi, model,
dan metode yang inovatif dan interaktif. Keberhasilan penerapan strategi
pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 pada pemebelajaran fisika sangat
bergantung pada guru yang berfungsi sebagai fasilitator. Guru sebagai komponen
penting dalam proses belajar mengajar dituntut untuk memiliki beberapa tahapan
pembelajaran

yang

baik

sehingga

berpengaruh

terhadap

pengembangan

kemampuan berpikir khususnya kemampuan berpikir kritis siswa. Tahapan yang


dimaksud adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Pada tahap
perencanaan, guru dapat melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan
kemampuan berpikir kritis melalui strategi pembelajaran yang sesuai dengan
perkembangan anak pada masa kini. Penyusunan silabus, RPP, LKS, dan
penyusunan materi dengan desain media yang relevan dapat dijadikan acuan guru
untuk dapat memberikan gambaran umum kepada siswa sehingga mampu
mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah, menganalisis masalah, menarik
kesimpulan, dan melakukan evaluasi.
Pada tahap pelaksanaan, guru akan berpatokan dengan perencanaan yang
sudah dibuat. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru harus interaktif dan
mampu memberikan peluang bagi siswa untuk mengoptimalkan keterampilan

44

proses, sehingga siswa menjadi aktif dan kritis dalam pembelajaran. Ketika
startegi pembelajaran yang interaktif berlangsung maka akan menumbuhkan
kemampuan berpikir kritis siswa.

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Strategi Pembelajaran Guru Fisika Berbasis


Kurikulum 2013 di SMA: Relevansinya dalam Mengembangkan
45

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

III. METODE PENELITIAN


3.1

Desain Penelitian
Berdasarkan karakteristik dari permasalahan yang diteliti, penelitian ini

dapat diklasifikasikan ke dalam penelitian kualitatif karena permasalahan belum


jelas, holistik, kompleks, dinamis, dan penuh makna sehingga tidak mungkin data
pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif dengan
instrumen seperti tes dan kuisioner. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivism, digunakan untuk meneliti pada kondisi
obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2011).
Penggunaan metode kualitatif pada penelitian sebagai akibat masalah
yang diteliti adalah fenomena tentang upaya guru pada pembelajaran fisika .
Penelitian ini membahas bagaimana strategi pembelajaran guru fisika berbasis
kurikulum 2013 serta relevansinya terhadap pengembangan kemampuan berpikir
kritis siswa di SMAN 1 Semarapura. Secara objektif, penelitian ini diyakini dapat
mengungkap strategi yang diterapkan oleh guru pada pembelajaran fisika untuk
mempengaruhi kemapuan berpikir kritis dari siswa. Sehingga metode penelitian
kualitatif

digunakan

berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan

berikut

(1)

menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan


46

ganda; (2) menyajikan secara langsung hubungan peneliti dengan responden;


(3) lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh
bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Penelitian kualitatif
menggunakan analisis data secara induktif karena analisis demikian dapat
menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang
dapat tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya. Penelitian kualitatif tidak
mencari fakta untuk

kepentingan

pembuktian

terhadap

teori/konsep

atau

hipotesis yang tertuang dalam hipotesis penelitian, tetapi menemukan fakta-fakta


yang dalam konteksnya ditelaah oleh peneliti dan menghasilkan suatu kesimpulan
yang berarti.
3.2

Tempat Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah di SMA Negeri 1 Semarapura yang akan

difokuskan pada beberapa kelas yang dapat memenuhi informasi yang dibutuhkan.
Dipilihnya tempat penelitian di SMA Negeri 1 Semarapura ini dengan menggunakan
teknik purposive sampling yang penentuan sample sumber datanya berdasarkan atas
pertimbangan tertentu. Beberapa pertimbangan dalam penetapan SMA Negeri 1
Semarapura sebagai tempat penelitian adalah sebagai berikut: (1) SMA Negeri 1
Semarapura berstatus sebagai sekolah percontohan Kurikulum 2013 yang
seyogiyanya

telah

menerapkan

pembelajaran

aktif

dalam

setiap

proses

pembelajarannya, sehingga mengurangi peluang dari keadaan guru yang masih


menggunakan pembelajaran konvensional. (2) SMA Negeri 1 Semarapura memiliki
sarana dan prasarana yang baik pada ruang kelas maupun laboratorium sehingga
mampun menunjang pembelajaran aktif yang diterapkan oleh guru.

47

3.3 Variabel Penelitian


Variabel penelitian merupakan suatu atribut, sifat, atau nilai dari orang, objek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik suatu kesimpulan (Sugiyono, 2014). Terdapat tiga
variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini. Variabel yang dimaksud adalah
variable strategi pembelajaran guru fisika dan kemampuan berpikir kritis. Variabel
strategi pembelajaran ini ditinjau berdasarkan aktivitas perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi pembelajaran.
Kegiatan

perencanaan

pembelajaran

yang

akan

ditelusuri

meliputi

pengembangan: (a) indikator pembelajaran, (b) tujuan pembelajaran, (c) materi


pembelajaran, (d) langkah-langkah pembelajaran, (e) media, alat, bahan, dan sumber
belajar, (f) lembar kerja siswa, dan (g) evaluasi pembelajaran. Pada tahap
pelaksanaan pembelajaran, dilakukan observasi tentang kesesuaian perencanaan
dengan pelaksanaan pembelajaran, serta upaya lain di luar perencanaan yang
mungkin dilakukan oleh guru sebagai upaya pengembangan kemampuan berpikir
kritis siswa. Selanjutnya, pada tahap evaluasi, dilakukan wawancara terhadap upaya
guru dalam mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran, khususnya yang terkait
dengan kemampuan berpikir kritis siswa.
Variable kemampuan berpikir kritis yang akan diteliti dapat dilihat dari
kegiatan yang dilakukan siswa seperti; 1) mengindentifikasi masalah, 2)

48

merumuskan masalah, 3) menganalisis masalah, 4) menarik kesimpulan, dan 5)


melakukan evaluasi.

3.4 Prosedur Penelitian


Adapun tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan dari penelitian ini
terdiri atas tiga tahap, yakni: (1) tahap pra lapangan, (2) tahap lapangan, dan (3)
tahap pasca lapangan. Realisasi teknis setiap tahap tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut.
3.4.1. Tahap Pra Lapangan
Tahap pra-lapangan merupakan tahap penyusunan, perencanaan, dan
penyiapan segala bentuk materi yang dibutuhkan sebagai bahan dasar tahap
berikutnya. Pada tahap ini dilakukan beberapa aktivitas sebagai berikut.
a. Memilih tempat penelitian. Tempat penelitian yang dipilih harus sesuai
dengan yang diteliti, agar memunculkan informasi sebagaimana yang
diinginkan. Berdasarkan fokus serta rumusan masalah yang disampaikan,
maka penulis memilih SMA Negeri 1 Semarapura sebagai tempat penelitian.
b. Mengurus perizinan untuk melakukan penelitian. Peneliti mempersiapkan
surat-surat untuk kelengkapan administrasi sebelum terjun langsung ke
lapangan. Melengkapi administrasi dilakukan dengan pengesahan dan
legalitas surat-surat yang diperlukan. Setelah melengkapi administrasi peneliti
mengajukan surat permohonan pengambilan data ke SMA Negeri 1
Semarapura.
c. Penyiapan sarana dan penentuan waktu pelaksanaan penelitian. Sarana

49

yang dimaksudkan adalah berbagai keperluan tulis menulis, alat perekam


suara, kamera, dan handycam. Pelaksanaan penelitian ini harus terlebih dahulu
peneliti mengadakan kontak dengan kepala sekolah dan guru yang
dijadikan sasaran penelitian, guna untuk menyepakati jadwal pelaksanaan
penelitian di lapangan.
d. Melakukan penjajakan awal dan menilai keadaan lapangan penelitian.
Peneliti mengamati proses pembelajaran yang dikelola oleh guru dan
mewawancarai beberapa siswa mengenai proses pembelajaran.
e. Memilih dan memanfaatkan informan. Informan adalah orang-orang yang
berada dalam latar penelitian. Pemilihan dan pemanfaatan informan dalam
penelitian ini ditujukan agar dapat memperoleh informasi mengenai situasi
dan kondisi latar penelitian. Hal ini dilakukan agar peneliti mampu
menyesuaikan diri dengan cara memahami latar tempat penelitian baik dari
kondisi sosial maupun fisik sehingga peneliti mampu menentukan subjek
penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah guru dan siswa. Guru yang
dipilih sebagai informan adalah I Gusti Ayu Nyoman Erawadi, S.Pd selaku
guru fisika pada kelas XI. Siswa yang dipilih sebagai informan adalah
beberapa siswa di kelas XI.
f. Menentukan jadwal pelaksanaan penelitian. Jadwal pelaksanaan penelitian
di koordinasikan oleh peneliti dan informan. Berikut adalah jadwal
pelaksanaan penelitian.
Tabel 3.1 Jadwal Pelaksnaan Peneltian

50

Kegiatan
1

Februari
2
3

Waktu Pelaksanaan
Maret
4
1
2
3
4
1

Mempersiapkan
kelengkapan
administrasi
pengesahan dan
legalitas suratsurat
Observasi awal
terkait kondisi
sekolah dan
kelas.
Pembuatan
instrumen
penelitian
Observasi tahap
perencanaan
terkait strategi
pembelajaran
guru
Pemberian tes
diagnostik terkait
dengan
kemampauan
berpikir kritis
Observasi tahap
pelaksanaan
terkait strategi
pembelajaran
guru dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis
Konsultasi
dengan dosen
pembimbing
Wawancara
terhadap guru
terkait strategi
pembelajaran
51

April
2
3

Kegiatan
1

Februari
2
3

Waktu Pelaksanaan
Maret
4
1
2
3
4
1

April
2
3

guru dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis
Wawancara
terhadap siswa
terkait strategi
pembelajaran
guru dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis
Keterangan: jadwal bisa berubah sewaktu-waktu

3.4.2. Tahap Lapangan


Tahap lapangan merupakan tahap pengumpulan informasi secara
holistik-kontekstual, sebagai aktivitas yang memanfaatkan segala sesuatu yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Kegiatan lapangan yang dilakukan adalah:
a. Memahami latar penelitian. Ketika memasuki pekerjaan lapangan, peneliti
perlu memahami latar penelitian terlebih dahulu. Peneliti secara fisik dan
mental, mempersiapkan diri untuk terjun ke lapangan. Persiapan dari segi
fisik yang dilakukan adalah menyesuaikan diri dengan tata tertib yang
berlaku di SMA Negeri 1 Semarapura, baik dari segi berpakaian, tata bahasa,
dan budaya yang ada di sekolah tersebut. Persiapan dari segi mental seperti
mengikuti kegiatan dan aktivitas siswa. Hal ini ditempuh agar informasi
terbuka, tidak merasa asing, dan takut dengan keberadaan peneliti.
b. Pengumpulan data. Pada proses pengumpulan data, peneliti menggunakan
alat-alat penelitian yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Alat penelitian
52

yang penting yang biasanya digunakan adalah catatan lapangan. Catatan


lapangan adalah catatan yang dibuat oleh peneliti sewaktu mengadakan
observasi, wawancara, dan menyaksikan suatu kejadian tertentu. Di samping
itu, peneliti juga menggunakan alat bantu lain, yaitu kamera, perekam suara,
dan handycam. Pada tahap observasi, peneliti terlibat dengan kegiatan
sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber
penelitian.

Pelaksanaan

observasi

diawali

pada

tahap

perencanaan

pembelajaran yaitu mengamati Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


yang digunakan. Pada RPP, peneliti melakukan pengamatan terkait sintaks
dari model pembelajaran yang digunakan. Selain sintaks pembelajaran,
peneliti juga melakukan pengamatan terkait bahan evaluasi siswa yaitu LKS
yang bersifat kelompok. Pada tahap pelaksanaan, peneliti akan mengamati
kegiatan belajar mengajar di kelas. Setelah mendapatkan hasil yang jenuh,
dilanjutkan pada tahap pemberian tes diagnostik. Tes diagnostik ini
dilaksanakan untuk mencari data guna mengkategorisasikan kemampuan
berpikir kritis siswa di kelas XI. Tes diagnostik ini terdiri dari 10 soal essay.
Setelah melakukan tahap pemberian tes diagnostik, dilanjutkan pada tahap
wawancara. Pada tahap wawancara, peneliti mendapatkan data yang terkait
strategi pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir
kritis melalui informan. Selain tahap tersebut, peneliti juga mengadakan
pendokumentasian. Idealnya, pengumpulan data dengan dokumen mampu
mengungkap

data-data

faktual

pembelajaran.

53

guru selama menjalankan proses

c. Analisis data di lapangan. Peneliti kualitatif mengenal adanya analisis data


di lapangan, walaupun analisis data secara intensif barulah dilakukan setelah
dari lapangan penelitian.
d. Pengkategorisasian

data.

Aktivitas

analisis

data

penelitian

guna

mendapatkan simpulan yang transferable, dilakukan pada tahap pasca


lapangan.
3. Tahap Pasca Lapangan
Pada tahap pasca lapangan dilakukan analisis data lebih lanjut. Analisis
data lanjutan dilakukan setelah data terkumpul secara keseluruhan. Kegiatan
analisis data dilakukan mulai dari penemuan hasil penelitian, pembahasan hasil
penelitian yang diperoleh, sampai diperoleh simpulan akhir. Konfirmasi data
penelitian selanjutnya dilakukan pada subjek penelitian. Pada langkah
selanjutnya dilakukan penyusunan laporan akhir dengan terlebih dahulu
dilakukan konsultasi dan diskusi bersama rekan sejawat, guru informan, serta
bimbingan dari dosen pembimbing.
3.5

Instrumen Penelitian dan Skala Pengukuran


Pada penelitian ini peneliti menjadi instrumen kunci penelitian kualitatif.

Sugiyono (2011) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif yang menjadi


instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu,
peneliti sebagai

instrumen

juga

harus

divalidasi

seberapa

jauh

peneliti

kualitatif siap melaksanakan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.


Penelitian kualitatif menggunakan peneliti sebagai instrumen kunci. Menurut
Nasution dalam Sugiyono (2011) peneliti sebagai instrumen penelitian serasi untuk

54

penelitian serupa karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut.


1.

Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakan bermakna atau tidak bagi penelitian.

2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan
dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes atau
angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan
pengetahuan semata.
5.

Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.


Peneliti dapat menafsirkan, melahirkan hipotesis dengan segera untuk
menentukan arah pengamatan, untuk mengetes hipotesis yang timbul seketika.

6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan


data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai
balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, dan perbaikan.
Pelaksanaan penelitian tetap memerlukan alat bantu lainnya meskipun peneliti
berperan sebagai instrumen kunci. Tujuannya adalah untuk memperkuat kinerja
instrumen kunci. Alat bantu yang dimaksud dapat berupa alat perekam
elektronik berupa handycam, alat bantu pencatatan lapangan berupa buku, pensil,
dan pulpen, serta alat pengambil gambar seperti kamera digital. Peneliti melakukan
observasi langsung ke lapangan, melakukan wawancara, serta mendeskripsikan hasil
penelitian.
Jenis skala pengukuran yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skala

55

likert yang disusun dalam bentuk cheklist. Skala likert digunakan dalam penelitian
karena penelitian ini bertujuan untuk meneliti sikap, pendapat, dan juga persepsi
seseorang atau sekelompok orang terkait dengan fenomena sosial dalam pendidikan
yang dalam hal ini adalah strategi pembelajaran guru yang tepat untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Melalui skala likert variabel
yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel yang kemudian dijadikan
sebagai titik tolak untuk menyususn item-item instrumen yang dapat berupa
pertanyaan ataupun pernyataan.
3.6

Data dan Sampel Sumber Data Penelitian

3.6.1 Data Penelitian


Data penelitian ini berupa fakta-fakta yang dikumpukan untuk digunakan
sebagai materi analisis. Materi yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu:
(1) data transkrip hasil wawancara dan catatan lapangan tentang kemampuan
berpikir kritis siswa, (2) data transkrip hasil wawancara dengan guru berupa strategi
pembelajaran fisika untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, (3)
transkripsi dan catatan lapangan dari hasil pengamatan serta refleksi terhadap
pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa melalui strategi pembelajaran
fisika berbasis Kurikulum 2013, dan (4) Data hasil kuesioner kemampuan berpikir
kritis siswa.
3.6.2 Sumber Data Penelitian
Pada penelitian kualitatif, sampel sumber data penelitian diperoleh secara
purposive dan snowball sampling. Penentuan sampel sumber data, pada proposal
masih bersifat sementara dan akan berkembang kemudian setelah peneliti berada di

56

lapangan. Sementara data akan diperoleh dari berbagai sumber seperti kepala
sekolah, guru, dan pihak lainnya sebagai informan.
Sugiyono (2011) menyampaikan bahwa purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan
tersebut dapat berupa orang yang dianggap paling tahu tentang apa yang
diharapkan pada penelitian sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi
sosial yang diteliti.

Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel

sumber data yang semula jumlahnya sedikit, lama kelamaan menjadi besar. Proses
pengambilan sampel sumber data dalam penelitian kualitatif secara purposive dan
snowball dapat divisualkan seperti gambar 3.1.

Gambar 3.1. Proses Pengambilan Sampel Sumber Data dalam


Penelitian Kualitatif, Purposive dan Snowball (Sugiyono, 2011)
Berdasarkan perencanaan, A sebagai orang pertama sebagai sumber data.
Informan awal ini dapat dipaparkan bahwa, peneliti telah sebaiknya memilih orang
yang bisa membukakan pintu untuk mengenali keseluruhan medan secara luas.
Selanjutnya oleh A disarankan ke B dan C. Ketika dari C dan B belum memperoleh
data yang lengkap, maka peneliti ke D dan G. Ketika D dan G belum
memperoleh data yang akurat, maka peneliti pergi ke F dan I. Selanjutnya ke E, H,
57

dari H kembali lagi ke G, ke I dan terakhir ke J. Sesampainya di J data sudah jenuh


sehingga sampel sumber data sudah mencukupi dan tidak perlu menambah
sampel baru (Sugiyono, 2011).
3.7

Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan melalui proses

observasi partisipasi pasif, wawancara mendalam, pengumpulan data dengan


dokumen, dan triangulasi (gabungan). Sugiyono (2011) menyatakan bahwa dalam
penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi
yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak
pada observasi berperan serta (participant observation), wawancara mendalam (in
depth interview), dan dokumentasi.
3.7.1 Tes Diagnostik
Tes ini diberikan pada saat sebelum dilakukan wawancara atau
observasi lebih lanjut terhadap sampel penelitian. Tes diagnostik berfungsi
sebagai data untuk mengkategorikan siswa ke dalam kategori kemampuan
berpikir kritis siswa. Yang tinggi, sedang, dan rendah. Selain itu, pada tes, soal
yang diberikan menyangkutkan kelima komponen kemampuan berpikir kritis
yang diteliti, juga akan memberikan gambaran awal mengenai kemampuan
siswa menurut kelima komponen tersebut. Tes yang digunakan dalam penelitian
ini berupa tes esai sebanyak 10 soal, dimana masing-masing indikator diwakili
oleh satu soal dalam tes kemampuan berpikir kritis.
3.7.2. Observasi Partisipasi Pasif
Nasution dalam Sugiyono (2011) menyatakan bahwa observasi adalah
58

dasar semua ilmu pengetahuan. Observasi merupakan proses mengamati


berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungan penelitian. Sementara itu,
Sanafiah dalam Sugiyono (2011) mengklasifikasikan observasi menjadi
observasi berpartisipasi (participant observation), observasi yang secara terangterangan dan tersamar (overt observation dan covert observation), dan
observasi yang tak berstruktur (unstructured observation). Stainback dalam
Sugiyono (2011) menambahkan bahwa observasi berpartisipasi dibagi menjadi
empat, yaitu passive participation, moderate participation, active participation,
dan complete participation.
Pelaksanaan penelitian ini menerapkan observasi partisipatif yang bersifat
pasif. Pada observasi partisipatif, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari
orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber penelitian.
Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan
oleh sumber data dan ikut merasakan suka dukanya. Observasi partisipatif
bersifat pasif dapat diartikan bahwa peneliti datang di kegiatan orang yang
diamati tetapi tidak ikut terlibat di kegiatan tersebut. Objek penelitian dalam
penelitian kualitatif yang diobservasi menurut Spradley dalam Sugiyono
(2011) dinamakan situasi sosial, yang terdiri atas tiga komponen yaitu
place (tempat), actor (pelaku), dan activities (aktivitas). Pola situasi sosial yang
dilaksanakan pada penelitian ini adalah place-nya adalah lingkungan fisik
sekolah, actor-nya adalah guru, kepala sekolah, dan stakeholder di sekolah,
activity-nya berupa kegiatan belajar mengajar, pelaksanaan manajemen sekolah,
dan komunikasi sekolah dengan lingkungannya.

59

3.7.2. Wawancara Mendalam


Wawancara merupakan bagian dari proses komunikasi. Pewawancara
perlu mempertimbangkan bagaimana wawancara akan memperbaiki situasi
manusia serta meningkatkan pengetahuan ilmiah. Esterberg dalam Sugiyono
(2011) mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara
terstruktur, semi terstruktur (in depth interview), dan tidak terstruktur.
Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data,
jika peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang apa
yang diperoleh. Wawancara semi terstruktur sudah termasuk dalam kategori indepth interview, dimana dalam pelaksanaanya bebas jika dibandingkan dengan
wawancara terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang
bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah
tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Penelitian ini menerapkan wawancara mendalam atau yang sering dikenal
dengan istilah wawancara semi terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini
adalah untuk menemukan permasalahan secara terbuka. Keterbukaan ini
ditunjukkan melalui adanya keleluasaan komunikasi dengan pihak yang diajak
wawancara

dimintai

pendapat

dan

ide-idenya.

Peneliti

harus

siap

mendengarkan secara teliti, merekam dengan handycam, dan mencatat pada


catatan lapangan terkait berbagai informasi yang diungkapkan oleh informan.
Adapun beberapa alat yang digunakan untuk menunjang tahapan wawancara
adalah buku catatan, tape recorder, kamera, dan handycam.
3.7.3. Penelaahan Dokumen Tertulis
60

Sumber lain yang dimiliki oleh guru berupa dokumen tertulis dan
dokumen lainnya dapat dijadikan sebagai sumber pendukung data penelitian.
Idealnya, pengumpulan data dengan dokumen mampu mengungkap datadata faktual guru selama menjalankan proses pembelajaran. Pengumpulan data
dengan dokumen penelaahan memperoleh data berupa cuplikan, kutipan,
penggalan dari catatan organisasi, klinis atau program, memorandum dan
korespondensi, terbitan dan laporan resmi, buku harian pribadi, dan jawaban
tertulis yang terbuka terhadap kuesioner dan survei. Teknik dokumentasi dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen terkait
seperti RPP, silabus, LKS, modul, jadwal praktikum dan rubrik evaluasi
ketercapaian tujuan pembelajaran untuk selanjutnya dianalisis hubungannya
dengan fokus penelitian.
3.7.4. Triangulasi/Gabungan
Sugiyono (2011) mengartikan triangulasi sebagai teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data
dari sumber data yang telah ada. Penelitian ini memerlukan adanya
penggabungan

beberapa teknik pengumpulan data sebagai upaya untuk

mempermudah dalam proses analisis.


Selama melakukan penelitian, peneliti berpedoman pada matriks pedoman
peneltian untuk mempermudah pengumpulan data. Adapun pedoman dalam
penelitian sebagai berikut.

61

Tabel 3.2 Matriks Pedoman Penelitian


No

Sumber Data

Teknik
pengumpulan
data

Alat
Pengumpul

Pemahaman
tentang Strategi
pembelajaran

Guru

Wawancara
semiterstruktur

Pedoman
wawancara,
catatan
lapangan, dan
perekam suara

Kemampuan
berpikir Kritis
Siswa

Siswa

Tes diagnostik,
Wawancara
semiterstruktur,
dan studi
dokumen

Pedoman
wawancara,
catatan
lapangan, dan
perekam suara

Implementasi
strategi
pembelajaran
dalam
meningkatkan
kemampuan
berpikir kritis

Guru dan
siswa

Wawancara
semiterstruktur,
obsevasi
partisipatif, dan
studi dokumen

Pedoman
wawancara,
catatan
lapangan,
perekam suara,
pedoman
observasi, dan
handycam

3.8

Aspek

(RPP, LKS,
Format
penilaian)

Teknik Analisis Data


Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara kolektif. Analisis data

merupakan suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang

diperoleh dari hasil tes, wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. Analisis
ini dilaksanakan dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,

62

memilih data yang penting untuk dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
dapat dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Sugiyono (2011)
menyatakan bahwa analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis
berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis.
Hipotesis akan dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat
ditarik kesimpulan diterima atau ditolaknya hipotesis tersebut berdasarkan data
yang terkumpul. Jika melalui proses triangulasi berdasarkan data yang dikumpulkan
secara berulang-ulang ternyata hipotesis ini diterima, maka hipotesis tersebut
berkembang menjadi sebuah teori.
Terdapat dua jenis teknik analisis data pada penelitian kualitatif, yaitu analisis
data pra lapangan dan analisis data di lapangan. Analisis data pra lapangan
dilaksanakan terhadap data hasil studi pendahuluan dan data sekunder yang
akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian (bersifat sementara). Analisis
lapangan dilaksanakan selama melaksanakan penelitian di lapangan. Miles dan
Huberman dalam Sugiyono (2011) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas sehingga data sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data di lapangan
terdiri atas data reduksi (data reduction), penyajian data (data display), penarikan
kesimpulan, dan verifikasi (conclusion drawing/verification). Adapun model
interaktif dalam analisis data disajikan pada gambar 3.2.

63

Gambar 3.2 Komponen dalam Analisis Data (interactive model) (Sugiyono,


2011)
Analisis data selama di lapangan dilakukan dengan melihat data-data yang
terkumpul dari hasil tes, observasi, wawancara, dan dokumentasi yang diperoleh.
Hasil tes digunakan untuk menentukan siswa yang dijadikan responden atau sampel
penelitian. Pemilihan siswa responden dalam penelitian ini berdasarkan nilai tes
yang telah dilakukan pada dua kelas tersebut dengan pertimbangan dari guru fisika
yang mengajar, namun mengacu pada kelas XI MIPA yang direkomendasikan.
Perolehan informasi kelima indikator kemampuan berpikir kritis yang dikaji
dalam penelitian ini, dilakukan dengan penelusuran dari hasil tes dan siswa
responden untuk memperkuat informasi. Siswa-siswa responden yang telah
ditentukan pada kelas terpilih akan dibagi menjadi 3 kategori yaitu siswa dengan
kategori kemampuan berpikir kritis tinggi, kategori sedang, dan kategori rendah.
Pengkategorian siswa tersebut berdasarkan pada hasil tes yang diperoleh dengan
menggunakan patokan penilaian normatif (PAN) yang menggunakan mean ideal dan
standar deviasi ideal dari hasil tes. Hal ini disebabkan oleh soal tes yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti sendiri. Sehingga, dalam
pengkategoriannya hanya tergantung pada nilai faktual yang diperoleh siswa dari
hasil tes kemampuan berpikir kritis yang dilakukan. Penentuan siswa responden

64

berdasarkan pada pengelompokkan tiga (3) kategori sebagai berikut


Tabel Pedoman Pengelompokkan Tiga Kategori
Kategori
Tinggi
Sedang
Rendah

Rentangan Kategori
X>MI+1 SDI
MI-1 SDI X MI+1 SDI
X<MI- 1 SDI
Sumber: Sudijono (2014)

Keterangan: MI = Mean Ideal


SDI = Standar Deviasi Ideal
Perumusan untuk MI dan SDI menurut Nurkancana dan Sunartana (1990) adalah:
MI = 1

2 (Skor Maksimal + Skor Minimal)

SDI = 1

6 (Skor Maksimal + Skor Minimal)

Masing-masing indikator kemampuan berpikir kritis juga diklasifikasikan


menurut kategori tinggi, sedang, dan rendah. Pengkategorian masing-masing
indikator tersebut juga menggunakan pedoman di atas. Kualifikasi masing-masing
indikator kemampuan berpikir kritis dicari kualifikasi berdasarkan hasil tes dan
kualifikasi berdasarkan kelas penelitian. Perbedaan rentangan nilai pengkategorian
terletak pada nilai MI dan SDI yang bervariasi. Nilai MI dan SDI dan
pengkategorian responden dan pengkategorian masing-masing indikator, baik
berdasarkan kelima kelas.
3.8.1 Data Reduksi
Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, maka dari itu perlu
adanya pencatatan secara teliti. Semakin lama peneliti di lapangan, semakin
kompleks data yang akan diproses. Langkah kerja yang dilakukan pada tahap

65

reduksi data adalah: (1) data pada catatan lapangan disusun kembali dan dicocokan
dengan data yang ada pada transkripsi hasil rekaman, sehingga menggambarkan
kegiatan pembelajaran secara keseluruhan dan utuh, (2) gambaran data ini dipilih
dan disarikan, diberi kode atau tanda, dan diberi catatan kecil menurut relevansinya
dengan fokus masalah. Pengkodean ini bertujuan agar data yang diperoleh tidak
tercampur dengan data lainnya, Di samping juga akan mempermudah peneliti
saat menarasikan hasil penelitian. Komentar-komentar berupa pendapat atau kesan
yang ditulis peneliti dalam catatan lapangan, akan berguna sebagai bahan
pertimbangan dalam kegiatan analisis. Teknik pengkodean dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Teknik Pengkodean Data
Klasifikasi Kode
Teknik pengumpulan data
Urutan pengumpulan data
Informan

Waktu pengambilan data


Temuan

Kode
Arti Kode
Obs
Observasi
Wan
Wawancara
Dok
Studi Dokumen
D1
Data pertama
D2
Data kedua
dan seterusnya.
GA
Guru A
GB
Guru B
SGA
Siswa guru A
SGB
Siswa guru B
KS
Kepala sekolah
PGW
Pengawas
Contoh:
11 Januari 2015
11-01-15
T1
Temuan pertama
T2
Temuan kedua
dan seterusnya.

Berdasarkan teknik pengkodean tersebut, jika ditemukan kode Wan/D1/GA/11-0416/T3, maka kode tersebut berarti temuan ketiga dalam wawancara

66

pertama

dengan Guru A yang

dilaksanakan pada

11 April 2016. Setelah data

dikodekan, selanjutnya data dikelompokkan sesuai dengan fokus penelitian


yang telah dirumuskan.
3.8.2 Paparan Data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah memaparkan
data. Pada penelitian kualitatif, penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya.
Teks yang bersifat naratif merupakan cara yang paling sering digunakan untuk
menyajikan data kualitatif (Sugiyono, 2011).
3.8.3 Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011) Penarikan
kesimpulan dan verifikasi merupakan langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah
jika tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahapan
pengumpulan data berikut. Akan tetapi, apabila kesimpulan yang dikemukakan
pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan
merupakan kesimpulan yang kredibel.
3.9

Rencana Pengujian Keabsahan Data


Uji keabsahan data dalam penelitian, sering hanya ditekankan pada uji

validitas dan reliabilitas. Sugiyono (2011) menyatakan bahwa terdapat dua macam
validitas penelitian, yaitu validitas internal (kredibilitas) dan validitas eksternal
(transferabilitas). Validitas internal berkenaan dengan derajat akurasi disain

67

penelitian dengan

hasil

yang

dicapai.

Sementara

itu,

validitas

eksternal

berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat digeneralisasikan


atau diterapkan dimana sampel

tersebut diambil.

Jika

sampel penelitian

representatif, instrumen penelitian valid dan reliabel, maka validitas eksternal yang
tinggi.
Menurut Sugiyono (2011) uji keabsahan data pada penelitian kualitatif
meliputi uji credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal),
dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektivitas). Deskripsi dari masingmasing uji tersebut dapat disajikan sebagai berikut.
3.9.1 Uji Credibility (Validitas Internal)
Uji kredibilitas (validitas internal) data hasil penelitian kualitatif antara lain
dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam
penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif,
dan membercheck. (1) Perpanjangan pengamatan ditandai dengan aktivitas
peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara kembali dengan
sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru. (2) Meningkatkan ketekunan
berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Melalui
cara tersebut kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti
dan sistematis. (3) Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu.
Pengecekan dilaksanakan melalui penyusunan rekapan berbagai sumber yang akan
dicek oleh dosen pembimbing, (4) Analisis kasus negatif berarti peneliti mencari
data

yang berbeda atau

bahkan bertentangan dengan temuan, jika

68

tidak

berbeda berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya. (5) Membercheck
adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data.
Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai
dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. Pemberi data yang dimaksud
adalah guru, kepala sekolah, siswa, dan pihak lain yang terkait.
3.9.2 Uji Transferability (Validitas Eksternal)
Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga mana hasil penelitian
dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain. Bagi peneliti naturalistik, nilai
transfer bergantung pada pemakai hingga manakala penelitian tersebut dapat
digunakan dalam konteks situasi sosial lain (Sugiyono, 2011). Cara meningkatkan
validitas eksternal ini adalah dengan membuat laporan dengan rinci dan jelas agar
pembaca dapat memahami tentang penelitian dengan jelas.
3.9.3 Uji Depenability
Uji ini dilakukan melalui audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Uji
depenability dilakukan oleh auditor independen atau dosen pembimbing untuk
mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Jika peneliti
tidak mempunyai dan tidak dapat menunjukkan jejak aktivitas lapangannya, maka
depenabilitas penelitiannya dapat diragukan (Sanafiah dalam Sugiyono, 2011).
3.9.4 Uji Confirmability
Pada penelitian kualitatif, uji confirmability mirip dengan uji dependability.
Uji ini berarti menguji hasil penelitian dan dikaitkan dengan proses yang dilakukan.
Jika hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka
penelitian tersebut telah memenuhi standar confirmability.

69

Anda mungkin juga menyukai