Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Agama
Suku/Bangsa
Pekerjaan
Alamat
No. Register RS
Tanggal Pemeriksaan
Rumah Sakit
Dokter Penanggung Jawab

: Nn. GD
: Perempuan
: 9 Tahun
: Kristen Protestan
: Tionghoa/Indonesia
: Pelajar
: BTN Kumala Sari No. 17
: 07-80-xx
: 23 November 2015
: Balai Kesehatan Mata Masyarakat
: dr. Purnamanita Syawal, Sp.M

B. ANAMNESIS
Anamnesa dilakukan secata autoanamnesis dan alloanamnesis (Ibu
Kandung)
Keluhan utama

: Kedua bulu mata bawah masuk kedalam

Riwayat penyakit sekarang

Seorang pasien datang ke Balai Kesehatan Mata Masyarakat


dengan keluhan kedua bulu mata bawah masuk kedalam. Hal ini
kemungkinan dialami sejak lahir, namun baru diketahui + 5 minggu yang
lalu saat diadakan pemeriksaan kesehatan mata oleh dinas kesehatan di
sekolah pasien.
Orang tua pasien menyatakan bahwa sering melihat anaknya
mengusap-usap matanya akibat air mata yang sering keluar dan terdapat
kotoran mata berlebih. Selain itu ketika diperhatikan pasien berkedip lebih
banyak dibandingkan anak-anak seusianya. Pasien juga sering mengeluh
kepada orang tua bahwa matanya seperti ada yang mengganjal, gatal dan
terasa kabur, namun orang tua mengira mungkin hal itu terjadi akibat
terkena debu.
Riwayat penglihatan silau ada, riwayat mata merah ada, keluhan
sakit kepala, mual dan muntah serta riwayat trauma disangkal oleh pasien.

Awalnya pasien dan keluarganya tidak menyadari kelainan


tersebut sebelum dokter yang memeriksa pasien disekolah memberi
penjelasan bahwa ini merupakan suatu kelainan pada bulu mata. Pasien
kemudian dirujuk untuk penanganan lebih lanjut.
Riwayat penyakit dahulu

Disangkal

Riwayat penggunaan kacamata

Disangkal

Riwayat Pengobatan

Obat tetes mata yang dibeli

sendiri di apotek (unknown) dan vitamin untuk mata (unknown).


Riwayat Pengobatan Tradisional

Disangkal

Riwayat penyakit keluarga

Disangkal

Riwayat alergi

Disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Composmentis

Tanda Vital
TD

: Tidak dilakukan evaluasi

Nadi

: 90 x/menit

Pernafasan

: 20 x/menit

Suhu

: dalam batas normal

D. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

Gambar 1. Foto kedua mata pasien

1. Inspeksi
PEMERIKSAAN

Palpebra
Apparatus Lakrimalis

Silia

Konjungtiva

Mekanisme Muskular

Kornea

OD

OS

Edema (-) Bagian nasal

Edema (-) Bagian nasal

palpebra inferior tampak

palpebra inferior tampak

melipat ke arah dalam


Hiperlakrimasi (-)

melipat ke arah dalam


Hiperlakrimasi (-)

Silia pada margo superior

Silia pada margo superior

tampak normal.

tampak normal.

Silia pada margo inferior

Silia pada margo inferior

tampak mengarah ke

tampak mengarah ke

dalam mata

dalam mata

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Jernih

Jernih

Bilik Mata Depan


Iris
Pupil
Lensa

Kesan normal
Coklat
Bulat central
Jernih

Kesan normal
Coklat
Bulat central
Jernih

OD

OS

Tn
(-)
(-)
Pembesaran (-)

Tn
(-)
(-)
Pembesaran (-)

2. Palpasi
PEMERIKSAAN

Finger Tension
Nyeri Tekan
Massa Tumor
Glandula Preaurikuler

3. Tonometri
TOD

: Tidak dilakukan evaluasi

TOS

: Tidak dilakukan evaluasi

4. Visus
VOD

: 20/30

VOS

: 20/40

5. Campus Visual
Tidak dilakukan evaluasi
6. Colour Sense
Tidak dilakukan evaluasi
7. Light Sense
Tidak dilakukan evaluasi
8. Penyinaran Oblik
PEMERIKSAAN

Konjungtiva
Kornea
BMD
Iris

OD

OS

Hiperemis (-)
Jernih
Kesan normal
Coklat, Krypte (+)

Hyperemis (-)
Jernih
Kesan normal
Coklat, Krypte (+)

Bulat, Central, Refleks

Bulat, Central, Refleks

Pupil

cahaya langsung & tidak

cahaya langsung & tidak

Lensa

langsung (+)
Jernih

langsung (+)
Jernih

9. Slit Lamp
Konjungtiva hiperemis (-), tes fluoresensi pada kornea tampak

SLOD

abrasi pada daerah perifer arah jam 4-8, BMD normal, iris coklat
krypte (+), pupil bulat central RC (+), lensa jernih.
Konjungtiva hiperemis (-), tes fluoresensi pada kornea tampak

SLOS

abrasi pada daerah perifer arah jam 4-8, BMD normal, iris coklat
krypte (+), pupil bulat central RC (+), lensa jernih.

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak dilakukan evaluasi
F. RESUME
Seorang anak perempuan berusia 9 tahun datang ke Balai
Kesehatan Mata Masyarakat ditemani oleh ibunya dengan keluhan kedua
bulu mata bawah masuk kedalam. Hal ini kemungkinan dialami sejak
lahir, namun baru diketahui + 5 minggu yang lalu saat diadakan
pemeriksaan kesehatan mata oleh dinas kesehatan di sekolah pasien.
Orang tua pasien menyatakan bahwa sering melihat anaknya
mengusap-usap matanya akibat air mata yang sering keluar dan terdapat
kotoran mata berlebih. Selain itu ketika diperhatikan pasien berkedip lebih
banyak dibandingkan anak-anak seusianya. Pasien juga sering mengeluh
kepada orang tua bahwa matanya seperti ada yang mengganjal, gatal dan
terasa kabur, namun orang tua mengira mungkin hal itu terjadi akibat
terkena debu.
Riwayat penglihatan silau ada, riwayat mata merah ada, keluhan
sakit kepala, mual dan muntah serta riwayat trauma disangkal oleh pasien.

Riwayat penggunaan kacamata dan riwayat kelainan mata yang sama


dalam keluarga disangkal.
Awalnya pasien dan keluarganya tidak menyadari kelainan
tersebut sebelum dokter yang memeriksa pasien disekolah memberi
penjelasan bahwa ini merupakan suatu kelainan pada bulu mata. Pasien
kemudian dirujuk untuk penanganan lebih lanjut.
Mengenai riwayat pengobatan, pasien pernah menggunakan obat
tetes mata yang dibeli orang tua pasien sendiri di apotek pada saat pasien
menderita mata merah dan vitamin untuk mata.
Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan VOD : 20/30 dan
VOS : 20/40. Dari inspeksi diperoleh palpebra superior tampak normal,
namun pada palpebra inferior ODS bagian nasal tampak melipat ke arah
dalam, Silia pada margo inferior ODS juga tampak mengarah ke dalam
mata.
Dari hasil pemeriksaaan slit lamp ditemukan SLOD: Konjungtiva
hiperemis (-), tes fluoresensi (+) pada kornea yaitu tampak abrasi pada
daerah perifer arah jam 4 hingga 8, BMD normal, iris coklat kripte (+),
pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih. SLOS: Konjungtiva
hiperemis (-),tes fluoresensi (+) pada kornea yaitu tampak abrasi pada
daerah perifer arah jam 4 hingga 8, BMD normal, iris coklat kripte (+),
pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.
G. DIAGNOSIS
Epiblefaron Oculus Dextra Sinistra
H. PENATALAKSANAAN

I.

C. Hyalub 4 dd gtt 1 ODS

Recana operasi rekonstruksi palpebra

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam

: bonam

J. DISKUSI

1. Identifikasi Masalah
-

Kedua bulu mata masuk kedalam

Air mata dan kotoran mata berlebih

Sering berkedip

Rasa mengganjal pada mata (sensasi benda asing)

Gatal dan penglihatan terasa kabur

Penglihatan silau dan mata merah

2. Analisa Kasus
Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama pasien datang ke
balai kesehatan mata masyarakat dengan keluhan utama kedua bulu mata
bawah masuk kedalam yang kemungkinan dialami sejak lahir, namun baru
diketahui + 5 minggu yang lalu saat diadakan pemeriksaan kesehatan mata
oleh dinas kesehatan di sekolahnya. Selain itu diperoleh pula adanya
riwayat air mata dan kotoran mata berlebih, mata merah, mata terasa gatal
dan seperti ada yang mengganjal, penglihatan silau serta penglihatan
terasa kabur yang menunjukkan bahwa pernah terdapat tanda-tanda iritasi
oculi, namun karena telah mendapatkan pengobatan maka tanda- tanda
tersebut menghilang.
Pada pemeriksaan fisis, didapatkan bahwa bagian nasal/media
palpebra inferior dari kedua mata tampak melipat ke dalam, diikuti silia
pada margo inferior kedua mata yang juga tampak mengarah ke arah
dalam

mata.

Pada

pemeriksaan

fluoresensi didapatkan hasil tes

fluoresensi (+) dan terdapat abrasi pada daerah perifer kornea arah jam 4
hingga 8 pada kedua mata.
Berdasarkan riwayat penyakit yang telah dijelaskan tadi dan
mengarah pada tinjauan pustaka, maka pasien ini dapat didagnosis sebagai
epiblefaron yang memiliki keluhan berupa sensasi menggajal (seperti
adanya benda asing) yang merupakan keluhan terbanyak. Keluhan
lainnya dapat berupa adanya kotoran mata, fotofobia, hiperlakrimasi,
penurunan tajam penglihatan, sering menggosok mata, gatal dan sering

berkedip, serta gejala-gejala berupa iritasi konjungtiva, mata merah,


dan epifora. Pada pemeriksaan fisis juga diperoleh adanya lipatan kulit
tambahan melewati dan saling tumpang tindih dengan margo palpebra.
Jika dilakukan inspeksi, dapat dilihat ketika silia yang normal mengarah
ke depan, maka dengan adanya epiblefaron, silia akan mengarah ke
kornea. Hal ini tentunya sama dengan yang derita oleh pasien.
Pada pemeriksaan fluoresensi didapatkan tes fluoresensi positif,
terdapat abrasi kornea sehingga tindakan operatif diperlukan untuk
mencegah kerusakan kornea yang lebih lanjut.

TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Epiblefaron adalah kelainan kongenital pada kelopak mata di
mana terdapat lipatan kulit yang horizontal dan muskulus orbikularis di
bawahnya yang mendorong bulu mata mengarah ke bola mata dengan posisi
kelopak mata yang normal. Selain itu, epiblefaron juga dapat diartikan
sebagai suatu kelainan kongenital bilateral di mana muskulus lamela pada
kulit margo palpebra bagian anterior berada di atas margo palpebra yang
menyebabkan bulu mata mengarah ke dalam bola mata.1
Epiblefaron memiliki penampakan yang mirip dengan entropion,
namun etiologinya cukup berbeda. Epiblefaron disebabkan oleh ketiadaan
lipatan kelopak mata bawah dan terdapat perlekatan fascia yang
menyatukan lamela anterior dan posterior pada daerah tersebut. Dengan
kontraksi muskulus orbikularis, lamela anterior akan naik di atas margo
palpebra, dan memutar bulu mata ke dalam. Epiblefaron lebih sering

ditemukan pada kelopak mata orang Asia, khususnya ketika terdapat


epikantus

dan

pada

orang-orang dengan indeks massa tubuh di atas

normal.1
B. ANATOMI PALPEBRA
Mata bagian luar terdiri atas kelopak mata, bulu mata (silia), puntum
lakrimalis, karunkula, plika seminularis, kornea dan konjungtiva.5
Pada kasus ini, palpebra akan dibahas lebih lanjut.

Gambar 2. Anatomi mata external

Kelopak

mata

atau

palpebra terdiri

atas lapisan luar

dan

dalam.

Lapisan

terdiri atas kulit,

kelenjar

keringat,

kelenjar sebasea

dan serat otot

lurik dari otot

orbicularis oculi,

yang

berfungsi

untuk

menutup

mata.

Lapisan

dalam

terdiri

luar

atas tarsal plate,

yang

membentuk

kelopak mata. selain itu, yang juga termasuk lapisan dalam adalah tarsal otot
- otot polos levator palpebra yang masuk ke dalam tarsal plate dan
konjungtiva palpebra.

Gambar 3. Gambar palpebra superior potongan sagital


(a) otot orbikularis, (b) septum orbita, (c) bantalan lemak preaponeurotik, (d)
aponeurosis levator, (e) lempeng tarsal, (f) otot supratarsal Muller, (g)
konjungtiva

Anatomi pembedahan kelopak mata dibagi atas lamela posterior dan


anterior. Lamela anterior terdiri dari kulit dan otot orbikularis okuli,
sedangkan tarsus dan konjungtiva membentuk lamela posterior. Kedua
lamela terbagi sepanjang margo palpebra oleh garis abu-abu (grey line),
yang secara struktural terdiri dari otot Riolan (otot orbikularis pretarsal).
Tepat pada bagian posterior garis abu-abu terletak orifisium kelenjar
meibom. Lapisan mukokutaneous terletak pada bagian posterior bukaan
kelenjar meibom. Mucocutanous junction adalah bagian

di

mana

konjungtiva palpebra tidak berkeratin bertemu dengan margo palpebra


yang berkeratin. Margin palpebra yang normal harus memiliki tepi anterior
dan tepi posterior yang berbatas tegas, yang tampak hampir persegi bila
dilihat dalam potongan melintang.5

10

Gambar 4. Gambar skematik sederhana anatomi palpebra normal

Lapisan struktural kelopak mata atau palpebra, yaitu sebagai berikut2 :


1. Kulit dan Jaringan Subkutan
Kulit melapisi permukaan eksternal tubuh dan memberikan
perlindungan signifikan terhadap trauma, radiasi sinar matahari, suhu
ekstrim, dan dehidrasi. Kulit pada kelopak mata merupakan lapisan kulit
tertipis dari tubuh dan tidak memiliki lapisan subkutan. Karena kulit pada
bagian palpebra dikaitkan dengan pergerakan konstan dari setiap kedipan
mata, kulit dapat menjadi longgar seiring dengan bertambahnya uia.
Pada kedua kelopak mata jaringan pretarsal melekat kuat ke jaringan
dibawahnya, dimana jaringan preseptal kurang kuat melekat, sehingga
dapat menjadi tempat akumulasi dari cairan. Kontur dari kulit kelopak
mata dibatasi oleh lipatan kelopak mata dan garisnya. Lipatan kelopak
mata merupakan perkiraan melekatnya aponeurosis dari otot levator
ke jaringan pretarsal dan kulit.2,3
Variasi dari ras dapat dilihat dari lokasi lipatan kelopak mata.
Kelopak mata orang asia relatif lebih rendah karena septum orbita pada
orang asia bersatu dengan aponeurosis diantara pinggiran kelopak
mata dan batas superior dari tarsus. Hal ini mengakibatkan jaringan
lemak preaponeurosis mengambil posisi lebih inferior dan anterior.2

11

2. Otot Protaktor
Otot Orbikularis okuli merupakan otot protraktor utama dari
kelopak

mata.

Kontraksi

dari

ini

otot

dapat

mengecilkan fisura palpebra. Otot orbikularis ini dapat dibagi menjadi


pretarsal, preseptal dan orbital. Bagian pretarsal dan preseptal berkaitan
dengan pergerakan involuter dari kelopak mata (berkedip). Bagian
pretarsal dari kelopak mata atas dan bawah memiliki origo bagian
profunda pada puncak dari sistem lakrimal dan origo superfisial pada
tendon dari kantus medial. Pada daerah dekat kanalikulus, bagian dari otot
orbicularis pars pretarsal bersatu untuk membentuk anyaman serat yang
dikenal sebagai otot horner, yang berjalan dari belakang tendon pada
kantus medial. Otot pretarsal superior dan inferior kemudian bersatu pada
sisi kantus lateral membentuk tendon kantus lateral.2
Otot preseptal muncul dari sisi atas dan bawah dari tendon kantus
medial. Otot preseptal inferior berasal dari satu tendon yan ama. Pada
kelopak mata atas, Pada kelopak mata atas, otot preseptal memiliki ujung
anterior dari tendon utama dan ujung anterior pada sisi superior dan
posterior dari tendon tersebut. Pada sisi lateral otot preseptal berasal dari
raphe palpebra lateral.2

12

Gambar 5. Otot orbikularis dan pembagiannya


A otot frontalis, B otot Korugator supersilia, C otot Procerus, D Otot orbikularis
(bagian orbital), E Otot Orbikularis (bagian preseptal), F otot Orbikularis (bagian
pretarsal), G Tendon kantus medial, H tendon kantus lateral

Bagian orbital dari otot orbikularis berasal dari sisi anterior dari
tendon kantus medial, prosesus orbitalis dari os frontal, dan procesus
frontalis dari otot maksilla di depan dari puncak lakrimal anterior. Serat
ototnya membentuk elips dan berinsersi tepat dibawah origonya. Dekat
dengan ujung dari kelopak mata, terdapat struktur otot khusus, berupa otot
Riolan yang terletak lebih posterior dari otot orbikularis dan membentuk
garis abu-abu. Otot Riolan ini berperan dalam ekskresi dari kelenjar
meibom, proses berkedip, dan posisi dari bulu mata.2
3. Septum Orbita
Merupakan struktur jaringan fibrosa berlapis berasal dari
periosteum pinggian kavum orbita superior dan inferior pada arkus
marginalis.2
4. Lemak Orbita
Terletak di posterior dari septum orbita dan anterior dari
aponeurosis

levator

palpebra

pada

kelopak

atas,

dan

fascia

kapsulopalpebral pada kelopak mata bawah. Lemak orbital ini penting


sebagai penanda dari pembedahan kelopak mata dan perbaikandari laserasi

13

palpebra karena struktur ini terletak dibawah dari septum orbita dan di
didepan dari aponeurosis levator.2
5. Otot Retraktor
Otot retraktor dari kelopak mata berupa otot levator disertai dengan
aponeurosisnya serta otot superior tarsal (Otot Muller). Pada kelopak mata
bawah, retraktornya berupa fascia capsulopalpebral, dan otot tarsal
inferior.2
Retraktor kelopak mata atas memiliki origo di apex dari orbita,
terdapat pula suatu ligament transversus superior (Ligamen Whitnall) pada
area transisi dari otot levator ke aponeurosis levator. Ligamen ini berfungsi
sebagai penahan dari kelopak mata atas dan jaringan orbital superior.
Ligamen Whitnall ini analog dengan ligament Lockwood di kelopak mata
inferior. Otot Levator dipersarafi oleh percabagan superior dari Nervus
Sentralis III, yang juga mempersarafi otot rektus superior. Otot Muller
berorigo di bawah dari aponeurosis levator palpebra. Otot ini diinervasi
oleh sistem saraf simpatis. Fascia kapsulopalpebral di palpebra inferior
analog dengan aponeurosis levator pada palpebra superior. Otot tarsal
inferior analog dengan otot Muller.2
6. Tarsus
Tarsus merupakan jaringan ikat padat, kuat dan berfungsi sebagai
penunjang dari palpebra. Panjang dari tarsus pada palpebra superior sekitar
10-12 mm. Ukuran vertikal pada pertengahan palpebra sekitar 4 mm.
Tarsus memiliki perlekatan kuat dengan periosteum melalui tendon kantus
baik medial maupun lateral. Tarsus ini dapat bergeser secara horizontal
seiring bertambahnya usia dengan peregangan dari tendon lateral dan
medial. Tarsus memiliki tebal sekitar 1 mm dan berkurang pada sisi medial
dan lateral. Dalam tarsus juga terdapat suatu kelenjar sebasea holokrin.2

14

Gambar 6. Palpebra, diseksi dari elemen strukturalnya

7. Konjungtiva
Konjungtiva terdiri dari epitel skuamosa non keratinisasi.
Terbentuk di lapisan posterior dari palpebra dan mengandung sel goblet
dan kelenjar lakrimal aksesorius Wolfring dan Krause. Kelenjar lakrimal
aksesorius ini terutama terdapat pada kelopak mata atas dan bawha.
Kelenjar Wolfring terletak pada pinggir dari tarsus, dan kelenjar Krause
ditemukan terutama pada forniks.2
8. Margo Palpebra
Pinggir dari palpebra terdiri dari lapisan mukosa berupa
konjungtiva, ujung dari otot orbikularis, dan epitel kutaneus. Selain itu
juga terdapat bulu mata dan kelenjar yang berfungsi melindungi
permukaan bola mata. Tautan mukokutaneus dari pinggir palpebra sering
disebut sebagai Gray Line. Gray line ini rupakan bagian terisolasi dari
otot orbikularis (Riolan) terletak anterior dari tarsus. Tautan mukokutaneus
ini terletak di posterior dari muara kelenjar meibom. Panjang fisura
palpebralis kurang lebih 30 mm. Bagian utama dari margin palpebra
disebut sebagai Ciliary margin memiliki batas yang tegas antara sisi
anterior dan posterior.2

15

Gambar 7. Anatomi Margin Palpebra

Vaskularisasi
Jaringan vaskuler dari palpebra dapat mempercepat penyembuhan
dan pertahanan terhadap infesi. Suplai arteri dari palpebra berasal dari 2
cabang utama, yakni (1) Arteri karotis interna melalui arteri oftalmika dan
percabangannya (arteri lakrimal dan supraorbita) dan (2) Karotis eksterna
melalui percabangan dari wajah (arteri angularis dan temporalis). Terdapat
sirkulasi kolateral dari kedua sistem ini, yang beranastomosis di palpebra
superior dan inferior.2
Drainase vena dapat dibagi menjadi dua yakni pretarsal dan
posttarsal. Jaringan pretarsal berjalan menuju vena angularis pada sisi
medial dan juga vena temporal superfisial pada sisi lateral. Drainase
posttarsal menuju ke vena orbitalis dan percabangan dari vena fasialis serta
pleksus pteriogoid. Pembuluh limfe pada sisi medial menuju ke nodulus
limfatikus submandibular. Pada sisi lateral, menuju ke nodus preaurikuler
superfisial dan kemudian menuju ke nodus servikal.2
C. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi epiblefaron adalah sekitar 10% dari populasi pediatrik
dengan predileksi pada kelompok umur yang lebih muda, yaitu 46% hingga
52,2% pada infant, 24% pada usia 1 tahun, 7% pada usia 5-6 tahun, dan 2%
pada usia 10-18 tahun. Tidak terdapat perbedaan prevalensi epiblefaron pada
laki-laki dan perempuan.6,7

16

Epiblefaron umumnya mengenai kedua mata (bilateral) secara


bersamaan walapun derajat keparahannya berbeda. Pada 81% kasus,
hanya

mengenai palpebra inferior, pada 12% kasus mengenai palpebra

superior dan inferior, dan sisanya yaitu sebanyak 7% hanya mengenai


palpebra superior. Epiblefaron paling sering terjadi pada bagian medial
(nasal) palpebra inferior.1,6,7
Bila dibandingkan

dengan

ras

kauskasoid,

bangsa

Asia

umumnya memiliki tulang nasal yang akan berkembang seiring dengan


bertambahnya usia, dan dilapokan bahwa sebanyak 12,6% anak-anak Asia
pada usia 7 hingga 14 tahun dengan epiblefaron. Epiblefaron merupakan
perkembangan kelopak mata yang abnormal yang umumnya terjadi pada
anak-anak di Asia.1,8
D. ETIOPATOGENESIS
Etiologi epiblefaron belum diketahui secara pasti. Walaupun etilogi
epiblefaron masih belum jelas, namun beberapa penulis menyebutnya
sebagai kelainan kongenital, di mana secara terdapat defek anatomis yang
diyakini sebagai akibat ketiadaan adhesi otot retraktor pada palpebra
inferior

dengan

lamela anterior sehingga menyebabkan kulit dan otot

terlipat ke atas.7,9
Salah satu faktor yang berkontribusi pada pathogenesis epiblefaron
adalah kegagalan otot retraktor kelopak mata untuk memeroleh akses ke
kulit. Terdapat bukti yang mendukung teori ini adalah walaupun dengan
traksi kulit tidak mengubah arah bulu mata dan fakta bahwa epiblepharon
akan membaik seiring dengan bertambahnya usia dan maturasi tulang wajah
yang akan menarik otot retraktor palpebra inferior, menyebabkan inversi
spontan bulu mata.10

17

Gambar 8. Diagram Epiblefaron. Bulu mata selalu mengarah ke atas.


AL-LER (anterior layer of lower eyelid retraktor); IOM (inferior obliq
muscle), IRM (inferior rectus muscle), LL(Lockwoods ligament); OS(orbital
septum); OOM (orbicularis oculi muscle); PL-LER (posterior layer of lower
eyelid retraktors); RS(redundant skin); SMFT(submuscular fibrous tissue)

Otot retraktor kelopak mata bawah adalah struktur belapis ganda.


Lapisan anterior berasal dari ligament Lockwood, menyatu dengan septum
orbita dan jaringan submuskular fibrosa dan melekat pada permukaan
anterior lempeng tarsal inferior dan lapisan subkutaneus melalui otot
orbikularis okuli. Lapisan posterior adalah lapisan traksi utama pada
retraktor kelopak mata bawah, termasuk serat otot halus, dan masuk ke
permukaan anterior, inferior, dan posterior lempeng tarsal inferior. Karena
lempeng tarsal tidak menggulung ke dalam, namun tetap pada posisi normal,
sehingga pada epiblefaron, lapisan posterior tidak terlalu memegang peranan
yang signifikan dalam proses terjadinya epiblefaron, dan diyakini bahwa
faktor utama terjadinya epibelfaron adalah lapisan anterior otot retraktor
palpebra inferior.11
Ketiadaan lipatan palpebra inferior pada pasien dengan epiblefaron
diperkirakan memiliki peranan bahwa serat retraktor palpebra inferior gagal
mencapai

permukaan

kulit.

Namun

demikian,

sebaiknya

diingat

bahwa kebanyakan penduduk bangsa Asia tidak memiliki lipatan pada


18

palpebra inferior, walaupun lapisan serat retraktor anterior palpebra inferior


mencapai kulit. Sebagai tambahan, lapisan lemak di depan retraktor palpebra
inferior menempati region anterosuperior palpebra inferior sehingga
mencegah terbentuknya lipatan pada palpebra inferior. Jadi, tidak
direkomendasikan untuk membentuk lipatan kelopak mata inferior pada
operasi epiblefaron pada ras Asia.11
Faktor lain yang diduga sebagai penyebab epiblefaron adalah
lemahnya perlekatan antara otot orbikularis okuli pars tarsalis dan tarsus
yang berada di bawah kulit, sehingga menyebabkan terbentuknya lipatan
kulit dekat margo palpebra dan mendorong bulu mata ke arah kornea.
Hipertrofi otot orbikularis okuli juga dianggap sebagai faktor kausatif
epiblefaron,

namun

hal

ini

tidak didukung dengan penelitian secara

mikroskopis.11
Sehingga secara ringkas, terdapat 2 hal yang diduga sebagai
penyebab epiblefaron adalah perkembangan otot retraktor palpebra inferior
yang tidak adekuat, yang ditandai dengan ketiadaan perlekatan otot retraktor
pada kelopak mata bawah dan otot orbikularis pretarsal menyisip terlalu
dekat dengan margo palpebra. Kemudian, kulit dan otot yang terletak di
depan

lempeng

tarsal terdorong ke depan, di atas lempeng tarsal, dan

menyebabkan hipertrofi otot dan kulit. Dengan kulit palpebra yang berlebih
dan kurangnya adesi otot orbikularis okuli pada lempeng tarsal, sehingga
menyebabkan berpindahnya lipatan kulit di atas lempeng tarsal. Lapisan
kulit

ini

menyebabkan

silia

terbalik

ke

arah

bola mata, yang

menyebabkan silia menyentuh dan mengiritasi kornea, terutama ketika


melirik ke bawah.8
E. GAMBARAN KLINIS
Pada epiblefaron, otot pretarsal dan kulit palpebra terletak di atas
margo palpebra dan mendorong silia ke arah bola mata. Palpebra dan margo
palpebra berada pada posisi normal. Umumnya tampak pada usia muda

19

dengan gejala mata merah atau terdapat tanda-tanda iritasi termasuk


eritema konjungtiva. Apabila epiblefaron terjadi pada palpebra inferior
maka silia akan terdorong ke atas, apabila terjadi pada palpebra superior
maka silia akan terdorong ke bawah, namun lebih sering terjadi pada
palpebra inferior. Selain itu, silia dapat bersentuhan dengan kornea pada
mata dengan posisi normal atau pada saat melirik ke atas maupun ke
bawah. Fotofobia dapat menunjukkan bahwa terdapat iritasi kornea.3,11

Gambar 9. Epiblefaron : lipatan kulit berlebih pada palpebra inferior


mendorong silia ke kornea

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada epiblefaron yang dimana kausanya diduga merupakan
kongenital, maka bisa didapatkan informasi mengenai perlangsungannya.
Selain itu, keluhan utama yang membawa pasien datang berobat adalah
adanya sensasi menggajal

(seperti

adanya

benda

asing) yang

merupakan keluhan terbanyak. Keluhan lainnya dapat berupa adanya


kotoran mata, fotofobia, hiperlakrimasi, penurunan tajam penglihatan,
sering menggosok mata, gatal dan sering berkedip.6,8
2. Pemeriksaan Fisis
Epiblefaron adalah abnormalitas perkembangan palpebra yang
ditandai dengan adanya lipatan kulit tambahan dan adanya peregangan
otot orbikularis okuli pada pars tarsalis yang melewati dan saling

20

tumpang tindih dengan margo palpebra. Melalui inspeksi, kita ketahui


bahwa silia yang normal mengarah kedepan, namun pasien dengan
epiblefaron memiliki silia yang mengarah ke kornea.6
Selain itu, karena epiblefaron mendorong silia ke arah kornea
dan/atau konjungtiva, pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan gejalagejala berupa iritasi konjungtiva, mata merah, dan epifora.6

Gambar 10. Epiblefaron tampak depan dan samping

G. PENATALAKSANAAN
Pada banyak kasus, epiblefaron akan sembuh secara spontan
seiring dengan bertambahnya usia, umumnya pada usia enam atau tujuh
tahun , ketika tulang wajah mengalami perkembangan. Pengobatan
mungkin saja dibutuhkan apabila terdapat beberapa gejala iritasi okuler,
misalnya pemberian lubrikasi topikal yang dapat mengurangi gejala. Akan
tetapi, lubrikasi topikal tidak akan melembutkan bulu mata, tetapi hanya
membuat bulu mata tidak terlalu bersifat merusak.6
Indikasi untuk intervensi operasi meliputi konjungtivitis kronik,
keratopati disertai lakrimasi dan fotofobia, kebiasaan menggosok mata
akibat gatal yang mengganggu, dan sering berkedip, serta apabila gejala
masih menetap hingga usia di atas sembilan tahun.6,9
Adapun tujuan operasi adalah untuk menciptakan perlekatan atau
adesi antara lamela anterior dengan retraktor palpebra inferior yang dapat

21

mendesak silia palpebra inferior sehingga membalikkan arahnya agar tidak


ke arah dalam.9
Prosedur operasi secara kosmetik meliputi insisi kulit di bawah
bulu mata (insisi subsiliar), eksisi sejumlah kecil kulit dan otot orbikularis
okuli pars tarsalis, dan kemudian fiksasi kulit yang berbantal silia ke
bawah tarsus dengan eversi (prosedur Hotz yang dimodifikasi). Tingkat
kesuksesan teknik ini adalah sebesar 90%. Prosedur ini biasanya
membutuhkan waktu 30 menit untuk setiap palpebra dan dilakukan
dibawah anestesi umum untuk anak-anak. Namun, terdapat angka
rekurensi sebesar 4,9% hingga 23% dengan teknik ini. Untuk mengurangi
rekurensi, dilakukan penambahan teknik, yaitu membagi margo palpebra
(lid margin splitting technique) pada operasi koreksi epiblefaron. Prosedur
ini meliputi eksisi kulit dan otot dan teknik penjahitan kulit silia (a ciliaeverting suture technique).6,9
Teknik operasi Hotz yang dimodifikasi
Sebuah garis insisi kulit subsiliaris digambar secara horizontal dari
temporal hingga pungtum inferior sesuai sepanjang lebar kelopak mata,
1mm di bawah garis silia. Infiltrasi local lidokain 2% dicampur epinefin
dengan rasio 1:100.000 diberikan secara subkutan sepanjang garis yang
digambar. Setelah persiapan tadi, palpebra superior di tarik ke atas dengan
menggunakan penjahitan traksi dengan benang silk 4-0 untuk menghindari
kekaburan margo palpebra inferior oleh silia superior. Pembelahan margo
palpebra dilakukan pertama kali.9
Insisi sedalam 1 mm dibuat sepanjang grey line dengan pisau
skalpel nomor 15 setelah menahan palpebra inferior dengan forsep
kalazion. Pemebedahan dilakukan mulai dari lateral pungtum ke sepertiga
atau setengah medial palpebra inferior sesuai dengan batas garis horizontal
epiblefaron.9

22

Gambar 11. Gambar skematik


(A) garis putus-putus mewakili garis insisi. Margo palpebra dibelah sepanjang garis
grey line sedalam 1 mm. insisi kulit dan otot orbikularis adalah 1 mm di bawah
garis silia. (B) penempatan jahitan pembalikan bulu mata memperbaiki
jaringan subkutan di atas penutupan kulit bagian atas hingga margo tarsus bagian
bawah.

Kulit subsiliaris diinsisi dengan skalpel nomor 15 sepanjang garis


yang telah ditentukan sebelumnya sementara kelopak mata ditahan dengan
forsep kalazion. Kemudian, forsep kalazion diangkat dan diseksi dilakukan
secara inferior antara otot orbikularis dan tarsus menggunakan kauter
monopolar hingga margin tarsus tampak. Otot orbikularis okuli pars
tarsalis yang tetap berada di bawah tepi atas insisi kulit dipotong
menggunakan gunting Westcott hingga lempeng tarsal lebih tampak.
Jaringan subkutan pada tepi atas kulit subsiliaris yang diinsisi disatukan
dengan margin tarsus inferior secara interuptus sebanyak lima hingga
tujuh jahitan menggunakan nilon 8-0, memastikan eversi silia ke arah luar.
Tepi bawah kulit yang diinsisi diangkat untuk menutupi tepi kulit atas
(yang saat ini dijahit ke tarsus). Sebuah garis dibuat pada kulit bagian
bawah yang tumpang tindih untuk menyesuaikan dengan tepi luka kulit
bagian atas yang berada di bawahnya, dan kemudian kulit yang berlebih
ini dipotong dengan menggunakan gunting Steven. Kulit lalu ditutup
dengan benang 6-0 yang cepat terserap. Setelah itu, diberikan antibiotic

23

pada luka operasi dan kemudian diberikan kompresi dingin pada 12 jam
pertama postoperasi.9
Gambar 12. Prosedur operasi Hotz yang dimodifikasi

Insisi sedalam 1 mm membelah


margo palpebra inferior.

Kulit subsiliaris diinsisi

Diseksi dilakukan antara


muskulus orbikularis okuli dan
tarsus

24

Jaringan subkutaneous pada tepi


kulit bagian atas dijahit ke
margo inferior tarsus dengan
jahitan interuptus menggunakan
nilon 8-0

Tepi bawah kulit yang diinsisi


tumpang tindih dengan tepi atas
kulit, lalu kulit yang berlebih
tersebut diberi tanda untuk
kemudian diinsisi.

Tepi kulit di tutup setelah eksisi


kulit berlebih.

Saat ini, terdapat beberapa variasi teknik operasi, seperti penjahitan


seluruh ketebalan kelopak mata (Quickert et. Al. 1983), jahitan yang
tertanam (buried suture Hayasaka et. Al. 1989), eksisi kulit dan otot
orbikularis dengan atau tanpa fiksasi kulit (Milman etl al. 1994), atau
eksisi jaringan subkutaneus ke lempeng tarsal (Woo et. Al. 2000) dan
reposisi anterior lamelar (Choo 1996), dilaporkan telah digunakan sebagai
teknik operasi epiblefaron. Teknik penjahitan non insisional, contohnya,
oleh Quickert et. Al. 1983, bersifat sederhana, namun memiliki angka
rekurensi dan infeksi yang tinggi yaitu 23% - 29%. Modifikasi Hotz adalah

25

teknik yang paling banyak digunakan hingga saat ini. Prosedur ini relative
sederhana,

tetapi

terdapat

banyak

reseksi

kulit

sehingga

dapat

menyebabkan ektropion dan retraksi kelopak mata. Rotating suture


technique secara umum berhasil dilakukan dan memiliki komplikasi yang
minimal. Prosedur ini melibatkan ekspos lempeng tarsal dan kemudian
menutupnya bersama dengan jaringan subkutan.8,9
H. DIAGNOSA BANDING
1. Entropion
Entropion adalah suatu kondisi di mana margo palpebra terputar
ke arah dalam sehingga silia menyentuh bola mata dan jarang terjadi pada
anak-anak. Entropion dapat diklasifikasikan menjadi kongenital, spastik,
involusional (senile), atau sikatrikal. Pada entropion, margo palpebra
terputar ke dalam, baik oleh karena skar pada lamela posterior,
involusional retraktor, atau karena kelemahan kelopak mata horizontal.11
Involusional entropion adalah penyebab entropion terbanyak
pada orang usia lanjut, lebih sering terkena palpebra inferior karena
palpebra superior memiliki lempeng tarsal yang lebih lebar dan lebih
stabil. Tanda dan gejalanya antara lain iritasi ocular, rasa mengganjal
pada mata, hiperlakrimasi, injeksio konjungtiva, palpebra inferior terlipat
ke dalam dengan bulu mata yang tersembunyi (bisa intermitten ataupun
terus-menerus yang terjadi pada saat mata ditutup paksa atau berkedip
dalam posisi supine.3,11

Gambar 13. Involusional entropion

26

Sikatrikal entropion adalah entropion yang disebabkan oleh skar


dan pemendekan permukaan konjungtiva palpebra. Hal ini biasa
disebabkan oleh infeksi, penyakit inflamasi, trauma kimia, dan post
operasi. Gejala dapat berupa iritasi ocular, rasa mengganjal, nyeri, mata
merah, hiperlakrimasi, banyak kotoran mata, skar pada konjungtiva, dan
keratopati. Sikatrikal entropion dapat terjadi baik pada palpebra
superior, inferior, maupun kedua palpebra.11
2. Distikiasis
Gambar 14. Distikiasis: dengan barisan bulu mata yang tidak komplit

Distikiasis berasal dari kata di yang berarti dua dan


stichos yang berarti baris. Distikiasis merupakan suatu kelainan di
mana terdapat sebaris bulu mata tambahan yang berasal dari orifisium
glandula Meibom. Hal ini disebabkan oleh adanya pembentukan bulu
mata abnormal pada apparatus pilosebasea Meibom, kelainan ini bersifat
dapat bersifat acquired (didapat), maupun

kongenital

(autosomal

dominan), dan jarang ditemukan. Glandula Meibom itu sendiri dapat


tidak berkembang sempurna, atrofi, maupun normal. Silia
distikiasis

umumnya

lebih

halus,

lebih

pendek,

dan

pada

memiliki

pigmen yang kurang.3,11


Distikiasis yang didapat terjadi ketika glandula Meibom (sebasea)
yang normal pada lempeng tarsal ditransformasikan menjado folikel
rambut (unit pilosebasea) oleh stimulis mekanik ataupun kimiawi.
Stimulus

ini

dapat berupa kronik inflamasi seperti blefaritis dan

27

meibomitis, kondisi sikatrik pada mukosa seperti sindrom StevenJohnsen, luka bakar kimia yang berat, dan trauma pada glandula
Meibom.3
Pertumbuhan bulu mata yang abnormal pada glandula Meibom
dapat diliat dengan lebih baik pada pemeriksaan slit lamp, di mana bulu
mata yang abnormal dapat terlihat baik pada satu atau lebih kelopak
mata, dan barisan bulu mata yang lengkap jarang ditemukan.
Pertumbuhan bulu mata yang abnormal ini dapat menyebabkan iritasi
pada kornea.11
3. Trikiasis

Gambar 15. Trikiasis

Trikiasis adalah suatu kondisi yang didapat (acquired) di mana


bulu mata terputar ke arah bola mata. Pada trikiasis, bulu mata tumbuh
secara abnormal, yang ditandai dengan adanya satu atau lebih silia
palpebra superior atau inferior yang terbalik ke dalam. Bulu mata ini
dapat sangat halus, tipis, dam tidak berpigmen (rambut lanugo), dan
hanya dapat dilihat secara mikroskopis. Pada beberapa ras, trikiasis pada
pada palpebra inferior umumnya tumbuh dekat pungtum. Pada
kebanyakan kasus, trikiasis terjadi sebagai akibat proses penuaan pada
kelopak mata, dan tidak terdapat penyakit yang mendasari.3,4

28

Pada trikiasis, bulu mata berada pada arah yang salah setelah
tumbuh melalui folikel dengan sudut yang ganjil, baik melalui glandula
meibom, maupun melalui area pada kelopak mata maupun konjungtiva
yang normalnya bebas dari pertumbuhan bulu mata. Pada trikiasis, margo
palpebra dan barisan bulu mata berada pada posisi yang normal (hanya
bulu mata yang terputar ke dalam dan mengenai kornea), sedangkan
pada entropion, palpebra terbalik ke arah dalam sehingga bulu mata
menggesek bola mata.3,4
Pasien biasa mengeluhkan adanya sensasi benda asing dalam mata
dan iritasi permukaan ocular kronik. Abrasi kornea, injeksio konjungtiva,
secret mukoid, dan epifora biasa ditemukan. Pada kasus yang berat,
ulkus kornea yang nyata dapat terlihat.4
Tabel Perbedaan Epiblefaron, Entropion, Distikiasis, dan Trikiasis

Epiblefaron : adanya lipatan mata tambahan yang mendorong silia ke dalam

Entropion : margo palpebra terlipat ke dalam, sehingga silia ke arah dalam

29

Distikiasis : terdapat sebaris bulu mata tambahan, asal dari orifisium glandula
Meibom

Trikiasis : bulu mata tumbuh ke arah mata dengan margo palpebra normal

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul akibat epiblefaron adalah akibat
adanya gesekan antara silia dan permukaan bola mata, sehingga dapat
menimbulkan konjungtivitis, keratopati, keratititis, maupun ulkus kornea.
Selain itu, komplikasi yang dapat timbul adalah adanya gangguan
refraksi dalam hal ini adalah astigmat.
Selain akibat entropion itu sendiri, komplikasi yang dapat timbul
adalah sebagai akibat dari teknik pembedahan, misalnya teknik
penjahitan non insisional Quickert yang memiliki angka rekurensi dan
infeksi yang tinggi yaitu 23% - 29%. Modifikasi Hotz adalah teknik
yang paling banyak digunakan hingga saat ini, tetapi terdapat banyak
reseksi kulit sehingga dapat menyebabkan ektropion dan retraksi kelopak
mata.9
30

J. PROGNOSIS
Prognosis epiblefaron adalah baik di mana re-operasi atau
operasi kembali jarang dilakukan karena sekali koreksi, epiblepharon
tidak mengalami rekurensi.11

DAFTAR PUSTAKA
1. Joshi N., Nadir A.M. Effectiveness of Lash Rotating Sutures for The Correction of
Congenital Epiblepharon. Brunei Int Med J, 2014. P: 133-7.

31

2. American Academy of Ophthalmology. Eyelid Anatomy. Cantor L.B., Cloffi G.A.,


editors. San Francisco: The Eye M. D. Association, 1994:23,85.
3. Leonid S.Jr., OD, DO, FAAO, FAOCO. Eyelid Misdirection and Its Management.
Available from URL: http://www.yumpu.com/en/ document/view/25026262/eyelidmisdirection-and-its-management Accessed: December 6th, 2015.
4. Jonathan J.D., Gregg S.G., Proia A.D. Diagnostic Atlas of Common Eyelid Disease. New
York: Informa Healthcare, 2007. p: 265
5. Olver J., Cassidy L., Jutley G., Crawley L. External Eye and Anterior Segment:
Ophtalmology at a Glance. 2nd Edition. Wiley-Blackwell, 2014. p: 25-6.
6. Shen S. Epiblepharon: A Developmental Eyelid Anomaly.Singapore National Eye Center
(SNEC). 2014. Available from URL: http://www.singhealth.com.sg/ Accessed: December
6th, 2015.
7. Noda S., Hayasaka S., Setogawa T. Epiblepharon with Inverted Eyelashes in Japanese
Children. i. Incidence and Symptoms. British Journal of Ophtalmology. 1989,73,126-7.
8. Kim J.S., Hur M.C., Kwon Y.H., et all. The Clinical Characteristics and Surgical
Outcomes of Epiblepharon in Korean Childern. Hindawi Journal of Ophtalmology.
2014;105. Available from URL: http://www.hindawi.com/journals/joph/2014/156501/
Accessed: December 5th, 2015.
9. Hwang S.W., Kim J.H., Choung H.K. Lid Margin Split in The Surgical Correction on
Epiblepharon [online]. Acta Ophtalmol. 2008;86:87-90. Available from URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17803721 Accessed: December 5th, 2015.
10. Hirohiko K.I.L., Takahashi Y., Selva D. Eyelash Inversion in Epiblepharon: Is it caused
by redundant skin? [online].

Clinical Ophtalmology. 2009;3:247-50. Available from

URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19668574 Accessed: December 4th, 2015.


11. Jeffrey A., Nered K.D., Mark A., Alford. Rapid Diagnosis in Ophtalmology: Oculoplastic
and Reconstructive Surgery [online]. Jay S.D., Marian S., Macsar, editors. England:
Mosby Elsevier, 2008. Available from URL: http://www.clinicalkey.com/browse/book/3s2.0-B9780323053860X50017 Accessed: December 4th, 2015.

32

Anda mungkin juga menyukai