Gejala neurologis yang terjadi berbeda-beda tergantung pada derajat lesi apakah
terjadi ekstradural, ekstramedular atau intramedular yang menunjukkan
lokalisasi melintang. Kompresi pada medula spinalis dapat dibedakan menjadi 2
berdasarkan proses patologis yang terjadi, yaitu :
1. Lesi Sentral
2. Lesi Kompresi
Lesi sentral yang biasa terjadi pada tumor intrameduler akan memberikan
gejala :
a) Kerusakan segmental
Lesi sentral pertama kali akan mempengaruhi jaras sensorik nyeri dan
suhu yang menyilang di garis tengah sesuai dengan segmen yang terkena,
dengan meluasnya lesi maka se kornu anterior akan terpengaruh juga
sehingga muncul gejala motorik pada segmen tersebut yang bersifat lower
motor neuron
b) Efek long tract
Sensibilitas
Lesi Ektramedular
Mempunyai
tipe
dan
distribusi radikuler dan
merupakan gejala dini
yang penting
Tipe Brown-sequard
Gangguan
piramidalis
Gangguan trophi
Lesi Intermedular
Mempunyai tipe terbakar
dan tidak mempunyai
lokasi yang jelas
Terdapat
disosiasi
sensibilitass dan patchy
distribution
Kurang jelas daripada
level
lesi.
Gangguan
seakan bertambah ke
kranial dan kaudal
Jelas
dan
tersebar,
disertai
atrofi
dan
fasikulasi
Tidak jelas dan timbul
pada fase lanjut
Tidak terlalu meninggi
dan timbul pada fase
lanjut
Pada saat lanjut
Jelas
Berikut ini akan dibahas lesi medula spinalis yang tersering ditemukan
berdasarkan lokasi, etiologi beserta karakteristik dan pemeriksaan penunjang
yang diperlukan penegakan diagnosa.
C.1. Lesi Intrameduler
C.1.1. Inflamasi, Infeksi2,4,5
C.1.1.1 Mielitis (mielopati)
Mielitis adalah inflamasi pada medula spinalis dan mengacu pada penyait yang
disebabkan oleh infeksi langsung dan proses inflamasi serta melalui paska infeksi
atau mekanisme penyebab lainnya.Etiologi mielitis diantaranya infeksi (virus,
bateri atau jamur), paska infeksi, autoimun. Mielitis dapat mengenai seluruh
penampang medula spinalis, sehingga selruh traktus asendens dan desendens
terganggu (mielitis tranversa) atau hanya sebagian saja yang terkena (mielitis
inkomplit) Pada referat ini yang akan dibahas adalah mielitis viral
Menurut perjalanan klinis antara awitan hingga munculnya gejala klinis, mielitis
dibedakan atas :
1. Akut :
Gejala klinis berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo
beberapa hari saja
2. Sub akut :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu
3. Kronis :
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu
Berdasarkan etiologinya, mielitis dapat dibedakan, dapat dilihat dari tabel di
bawah ini
Tabel1. Klasifikasi Penyakit inflamasi pada medula spinalis (dikutip dari Adams
Victor)
I. Mielitis viral
A. Enterovirus (grup A dan coxsackie virus, poliomielitis,dan lainnya)
B. Herpes zoster
C. Mielitis AIDS
D. Epstein Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CMV), herpes simplex
E. Rabies
F. Arbovirus-flaviviruses (Japanese, West Nile, dan lainnya)
G. HTLV-1 (tropical spastic paraparesis
II. Mielitis sekunder (bakteri, fungal,parasit dan penyakit granulomatosis
primer pada meningen dan
medula spinalis)
A. Mycoplasma pneumonia
B. Lyme disease
C. Mielitis piogenik
1. Acute epidural abscess and granuloma
2. Abses medula spinalis
D. Mielitis Tuberkulosis
1. Penyakit Pott dengan kompresi medula spinalis
2. Meningomielitis Tuberkulosa
3. Medula spinalis Tuberkulosa
E. Infeksi parasit dan fungal menghasilkan granuloma epidural, meningitis
terlokalisir atau meningomielitis dan abses, terutama pada bentuk tertentu dari
schistomatosis
F. Mielitis sifilis
1. Meningoradikulitis kronis (tabes dorsalis)
2. Meningomielitis kronis
3. Meningovaskuler sifilis
4. Meningitis gumatosa termasuk chronic spinal pachymeningitis
G. Mielitis sarcoid
III. Mielitis (mielopati) tipe inflamasi non infeksi
A. Mielitis paska infeksi dan pasca vaksinasi
B. Acute and chronic relapsing or progressive multiple sclerosis (MS)
C. Subacute necrotizing myelitis and Devic disease
D. Mielopati dengan Lupus atau bentuk lainnya dari jaringan ikat dan antibodi
antiphospholipid
E. Mielopati paraneoplastik dan poliomielitis
Mielitis Viral4,5
Terjadinya infeksi virus pada medula spinalis merupakan bagian dari
meluasnya suatu infeksi pada sistem saraf pusat dan/atau sistem saraf perifer.
Pada infeksi virus medula spinalis biasanya terjadi akut dan subakut. Mielitis viral
biasanya didahului adanya infeksi saluran nafas akut (seperti flu) dan riwayat
infeksi gastrointestinal.
Penyebaran infeksi pada medula spinalis dapat melalui
hematogen dan neuronal, yaitu :
- Penyebaran hematogen
Virus pertama kali harus masuk atau melekat terlebih dahulu pada
endotelial sel penjamu yang
menyebabkan infeksi. Pada tahap awal
penyebaran hematogen ke sistem saraf pusat terdiri atas replikasi dan viremia
primer. Kemudian terjadi infeksi pada jaringan sekunder yang kemungkinan
menimbulkan replikasi sekunder dan penyebaran viremia meluas ke SSP. Virus
masuk ke dalam pembuluh darah SSP yang sebelumnya menyebrang ke sawar
darah di medula spinalis membentuk jaringan yang kuat pada endothelial
junction yang berlapis sel glial yang mengatur jalur molekular ke SSP.
Virus yang menginfeksi sel endotel sehinggga terjadi kebocoran dan
kerusakan di endothelium yang secara pasif masuk melalui saluran di
endotelium atau jembatan endotelium sehingga leukosit bermigrasi. Sel-sel
virus yang bebas dapat menyeberangi endotelium dan masuk ke parenkim
atau CSF. Jembatan endothelium ini terjadi dalam pembuluh pleksus choroideus,
pembuluh darah meningeal dan pembuluh darah serebral.
-
Penyebaran transneuronal
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti penyebaran virus melalui
transneuronal. Penyebaran virus ke sistem saraf pusat melalui infeksi seluler
yang berurutan, pergerakan dalam ruang ekstraseluler, transport neuronal
axoplasmik dan perpindahan melalui limfosit atau sel glial. Virus dapat masuk
ke dalam serabut saraf melalui lebih dari satu mekanisme. Beberapa virus
masuk ke dalam sistem saraf pusat menyebar melalui sel-sel yang berdekatan.
Sebagai contoh : virus herpes menyebar ke sistem saraf melalui transport
axoplasmik pada neuron, virus HIV masuk dan bergerak pada sistem sarafpusat
melalui limfosit dan makrofag.
Gambaran klinis ditentukan oleh tingkatan besarnya lokasi dan luasnya
proses yang mengenai kraniokaudal dan medula spinalis secara tranversa.
Gambaran klinis merupakan petunjuk penting untuk mengetahui lokasi anatomi
dari lesi medula spinalis. Gambaran karakteristik mielitis berupa kelemahan
motorik, gangguan sensoris, gangguan otonom (vegetatif dan disfungsi seksual).
-
HERPES VIRUS
Virus Herpes Simpleks
Virus herpes simpleks yang dapat menyebabkan mielitis adalah HSV-1 dan
HSV-2. HSV-2 paling sering ditemukan pada orang dewasa dan HSV-1
ditemukan pada anak-anak. Lebih dari 2/3 pasien menunjukkan keterlibatan
medula spinalis dengan pola asending. Lokasi lesi lebih banyak pada daerah
medula spinalis thorakal bagian atas dan servikal, namun dapat juga
melibatkan daerah medula spinalis bawah termasuk konus medularis dan
kauda equina. Pasien mielitis dengan HSV-2 seringkali mempunyai riwayat
herpes genital. Acute necrotizing myelopathy adalah bentuk mielitis HSV
yang berat, yang sering terjadi pada pasien dengan infesi HIV, keganasan
dan diabetes.
Gambaran klinis mielitis herpes adalah adanya parese atau paralisis,
terutama pada daerah tungkai daripada lengan, refleks tendon menurun
atau menghilang atau hiper-refleks, refleks patologis positif, sensasi nyeri,
9
suhu dan raba menurun dan pada keadaan yang lebih berat cenderung
mengenai daerah dermatom sakral. Anal refleks menurun dan inkontinensia
urin overflow.
Pemeriksaan penunjang pada mielitis herpes,
pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan pleositosis limfosit dan konsentrasi gula normal.
Pada pasien dengan acute necrotizing myelopathy, pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan pleositosis dengan jumlah sel 10-200 sel/mm 3
dengan predominan PMN dibandingkan limfosit. Pemeriksaan MRI, T2
menunjukkan gambaran hiperintens yang khas berupa gambaran fusiform
pada intrameduler atau spindle shaped area. Pada T1 menunjukkan
hipointens. Dan didapatkan pembesaran atau pembengkakkan medula
spinalis pada daerah lesi. Dengan kontras menunjukkan penyangatan pada
daerah lesi, sekitar meningen dan radiks saraf.
Terapi pada mielitis herpes, untuk pemberian obat antivirus belum ada uji
kontrolnya. Namun berdasarkan laporan yang ada, pemberian kortikosteroid
saja tidak terbukti perbaikan klinis. Terapi kortikosteroid harus
dikombinasikan dengan terapi antiviral. Obat antiviral yang digunakan
adalah acyclovir intravena selama 14 hari dengan dosis 10 mg/kg BB,
diberika 3x sehari sampai dengan gejala selesai. Kortikosteroid yang dipakai
methylprednisolone intravena dengan dosis 500-1000 mg per hari selama 35 hari, dilanjutkan dengan prednison oral dengan dosis 10 mg/hari dengan
dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
-
C.2. Neoplasma
Astrositoma Benigna7,8,9
Astrositoma intraspinal insidensinya lebih jarang dibandingkan
serebral, dengan insidensi sekitar 8% dari semua tumor spinalis primer
dan sekitar 30% dari seluruh tumor intrameduller. Pada anak anak,
astrositoma lebih sering ditemukan dengan insidensi sekitar 60% dari
seluruh tumor intrameduller. Tumor ini lebih sering didapatkan pada
daerah servikal dan thorakal. Astrositoma servikal dapat merupakan
perluasan dari astrositoma batang otak.
Astrositoma biasanya berkembang sangat lambat dan terbanyak
berupa tipe benigna. Pembentukan kista sering ditemukan ( hampir sekitar
50% ) dan dapat terletak di akhir komponen padat tumor atau sepanjang
medulla spinalis ( holocord tumor ). Lesi semacam itu lebih banyak
ditemukan pada anak anak dan dewasa muda. Kista tersebut
mengandung cairan xantochrom berprotein, memiliki dinding yang halus
dan tidak mengandung sel neoplastik. Secara makroskopik, medulla
spinalis membesar tetapi seringkali tumor tidak terlihat di permukaan.
Astrositoma benigna ini berwarna pucat , avaskuler dan dapat dibedakan
dari medulla spinalis. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dibedakan
menjadi tipe pilositik dan non-pilositik ( fibrillary diffuse ). Pada tipe
infiltrative, tipe yang sangat jarang, astrositoma benigna bercampur
dengan sel sel saraf tanpa batas yang jelas.
Gejala berjalan sangat lambat dari hitungan bulan sampai tahunan
dan seringkali dengan periode stabil yang lama. Secara epidemiologi, laki
laki lebih sering menderita dengan insidensi puncak pada decade kedua
atau ketiga. Skoliosis merupakan gambaran pada anak anak dan remaja.
Nyeri spinal midline atau sentral didapatkan pada setengah dari total
pasien. Parastesia dapat berlanjut menjadi gambaran pola disosiasi
sensibilitas. Paralisis tungkai biasanya berjalan lambat pada awalnya,
mungkin hanya mengenai satu tungkai saja dan berkembang bertahap
mengenai tungkai lainnya
Gambar. MRI spinal pada kasus Astrositoma benigna memberikan gambaran massa
hiperintens
12
Tumor
ini
berasal dari dari ependimal lining dari kanalis sentralis atau filum
terminale dan secara histologist bersifat jinak dengan tingkat
pertumbuhan yang sangat lambat dan jarang sekali terjadi infiltrasi.
Secara makroskopis gambarannya adalah suatu massa kemerahan atau
keunguanm, solid dan tampak memisahkan kolumna propioseptif dan
berada di bawah permukaan pial di posterior midline. Tumornya sendiri
tidak berkapsul namun memiliki lapisan gliotik yang memudahkan
dilakukannya eksisi. Secara mikroskopik tumor ini selalu menunjukkan
gambaran myxopapillary.
Gejala yang ditimbulkan tumor ini bersifat gradual dan berjalan
lambat. Rata rata durasi sebelum terdiagnosis adalah sekitar 14 bulan.
Fungsi neurologis pada fase awal biasanya masih tetap baik dikarenakan
pertumbuhannya yang lambat. Gejala yang sering ditemukan adalah nyeri
punggung yang memberat saat malam, nyeri radikuler sesuai dengan
distribusi
skiatik dan disaesthesia. Perdarahan intratumoral dapat
memberikan nyeri skiatik akut ( sindrom Finchers ). Pola dari parese dan
13
perubahan sensorik bergantung pada lokasi baik central cord atau cauda
equine. Foto rontgen polos menunjukkan pembesaran kanalis spinalis pada
sepertiga pasien
MRI merupakan metode terbaik untuk diagnostic dan menunjukkan
gambaran massa tegas dengan penyangatan gadolinium di kutub atas dan
bawah. Kista polar dapat terlihat pada 30% pasien. Mielografi
menunjukkan gambaran pembesaran mielum ataupun defek pengisian di
cauda equine tergantung dari lokasi dan besarnya massa.
Eksisi total dapat dilakukan pada sebagian besar pasien. Eksisi
subtotal dapat
dikombinasi dengan radioterapi tetapi hal ini tidak perlu
dilakukan bila eksisi total dapat dilakukan. Pada kasus yang dilakukan eksisi
total, progosisnya sangat baik.
Hemangioblastoma7,9,11
Tumor ini terbanyak ditemukan di daerah serebellum dan jarang
sekali di intraspinal. Terbanyak berupa tumor intrameduller dibangkan
ekstradural. Predileksinya dapat di semua segmen namun lebih sering di
daerah thorakal. Seringkali timbul sebagai suatu sindromyaitu retinal
hemangioblastoma, kista hepatic dan pancreas dan karsinoma renal.
Bagian
padat
dari
tumor ini berwarna oranye kemerahan dengan banyak pembuluh darah
arteri pada permukaannya dan pembuluh darah vena besar di bagian
kutubnya dimana susunannya menyerupai AVM.
Gambaran klinis yang ditimbulkan tergantung dari lokasi lesi, deficit
neurologisnya bersifat progresif berupa kelemahan ekstremitas dan defisit
sensoris. Seringkali didapatkan tumor yang multipel.
Pemeriksaan MRI menunjukkan gambaran tumor yang solid atau
kista dengan nodul mural. Pembuluh darah di sekitar lesi tampak sebagai
gambaran hipointens. Adalah mutlak untuk men-scan seluruh segmen
medulla spinalis dan cranial dikarenakan sifatnya yang multiple.
Pemeriksaan mielografi hanya menunjukkan pembesaran mielum dan
defek pengisian yang disebabkan oleh pembesaran pembuluh darah di
sekitarnya. Namun hal ini dapat dikelirukan dengan AVM di medulla
14
Gambar. MRI spinal pada kasus PMA, pada T2 memberikan gambaran hiperintens
Gambaran
klinis utamanya adalah
hilangnya fungsi motorik dengan masih baiknya fungsi sensorik, sfingter
dan kognitif. MND memberikan gambaran patologis UMN dan LMN secara
bersamaan. MND sendiri terdapat 3 varian klinis yang dikenal berdasarkan
distribusi proses penyakit. Yang paling sering ditemukana dalah
Progressive Muscular Atrophy ( PMA ) bila didapatkan keterlibatan
segmen servikal secara selektif dengan gambaran klinis fibrilasi dan atrofi
otot otot kecil dari tangan. Gangguan kemudian berlanjut ke otot otot
lengan dan bahu. Istilah Amyotrophic Lateral Sclerosis ( ALS )
digunakan bila gangguan motor neuron berlanjut dengan degenerasi
traktus kortikospinalis dan paraparese spastic. Progressive Bulbar Palsy
bila secara selektif ditemukan gangguan berat pada nucleus motorik di
batang otak bawah dengan gambaran atrofi dan paralisis otot lidah, bibir,
rahang, laring dan faring.
Pasien dengan MND biasanya meninggal akibat kegagalan respirasi
dan terkadang pneumonia. Kelompok otot otot tidak semuanya terkena
dan otot otot okuler eksternal biasanya masih baik. Pada pemeriksaan
15
dengan
malformasi otak yang disebut sebagai malformasi Arnold-Chiari dimana
terjadi protrusi serebellum ke dalam kanalis spinalis cervikalis yang diikuti
oleh terbentuknya siring dan disebut sebagai siringomielia komunikan,
Yang kedua sebagai akibat dari trauma atau perdarahan dimana siring
terbentuk pada segmen dan akan terus berkembang bentuk ini seringkali
disebut sebagai siringomielia non komunikan. Gejalanya dapat timbul
berbulan bula sampai bertahun tahunsetelah trauma awal.
Defisit neurologis yang sering didapatkan pada kasus siringomielia
adalah gambaran central cord syndrome. Disosiasi sensibilitas dapat
bersifat unilateral maupun bilateral dengan bentuk distribusi cape yang
mengenai segmen servikal dan thorakal. Gangguan sensibilitas yang tidak
sesuai dengan dermatom seringkali membuat praktisi tidak awas.
Biasanya sensibilitas propioseptif pada siringomielia tidak terganggu.
Gangguan motorik yang didapatkan berupa gejala UMN : kelemahan yang
spastic disertai hiperrefleks.
16
Gambar. MRi pada schwannoma spinal memberikan gambaran hipointens pada T! dan
hiperintens pada T2
Meningioma Spinal7,11
18
19
CT scan
bila hendak dilakukan tindakan operatif. CT mielografi digunakan bila tidak
tersedia MRI. CT scan juga dapat menilai jaringan lunak paraspinal.
MRI potongan sagital dapat digunakan sebagai skrining cepat terhadap
keseluruhan aksis spinal dan jaringan lunak sekitarnya. Dalam kasus ini MRI
merupakan pilihan utama. MRI juga dapat membedakan antara tulang
osteoporotik dengan metastase, dimana pada metastase memberikan gambaran
hiperintens sedangkan osteoporotic hipointen
E.2. Infeksi
E.2.1 Spondilitis TB7,,11,15
Spondilitis TB pada umumnya merupakan akibat sekunder dari sumber infeksi
ekstraspinal. Lesi pada spondilitis TB merupakan kombinasi dari osteomielitis dan
artritis yang pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. 1,2 Segmen
anterior dari korpus vertebra yang berdekatan dengan lempengan subchondral
merupakan daerah utama yang mengalami infeksi. Tuberkulosis dapat pula
menyebar dari area tersebut ke diskus intervertebral. Pada orang dewasa,
20
21
Gambar. Fraktur kompresi pada spondilitis TB (A). Gambaran abses paraspinal pada
spondilitis TB (B)
7,11,16
13
Gambar. Lesi litik pada multipel mieloma : pada kranium (A), vertebra (B) dan
tulang panjang (C)
Etiologi pasti dari multipel mieloma sendiri belum diketahui secara pasti, namun
diduga riwayat radiasi sebagai salah satu predisposisi dari keganasan ini.
Gambaran dari keganasan ini adalah meningkatnya proses osteoklas dan
dihambatnya proses osteoblas.7,8,9
Manifestasi klinisnya berupa nyeri punggung sepanjang tulang belakang dan
nyeri radikuler. Fraktur patalogis dapat terjadi sebagai akibat proses osteoklas
yang berkelanjutan, disertai dengan gejala anemia, leukopenia dan
trombositopenia akibat kegagalan sumsum tulang.
Gambaran pada rontgen polos berupa :
-
Scalloping endosteal
Gambaran CT scan :
-
Gambaran MRI :
-
23
E.4. Osteochondroma7,11
rotation,
vertical
compression,
hyperextension,Lateral
flexion,Uncinate process fracture, atlanto occipital dislocation,odontoid
fractures. Pada vertebra thorakolumbal dikenal bermacam macam mekanisme
cedera seperti Axial compression, Extension,Flexion, Flexion rotatio, Shear,
Flexion distraction.
24
Akibat dari fraktur pada vertebra maka akan terjadi suatu kompresi
mielum dan atau radiks saraf dengan gejala klinis yang berbeda beda
tergantung pada lokasi fraktur. Kemungkinan yang paling sering adalah kompresi
sisi anterior dan posterior tapi tidak tertutup kemungkinan terjadi kompresi dari
sisi lateral.
Pada kasus trauma medulla spinalis seperti halnya kasus trauma lainnya
maka harus dilakukan penilaian awal ABC ( airway breathing circulation ) yang
dilanjutkan dengan fiksasi atau imobilisasi terutama bila dicurigai suatu fraktur
yang tidak stabil yang dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Setelah
memberikan terapi cedera dan kelainan penyerta maka dapat dilakukan
dekompresi operatif pada kasus dengan perburukan deficit neurologis.
E.6. Gangguan Degeneratif Diskus Intervertebralis : Protrusi, Stenosis 7
Gangguan degeneratif pada diskus intervertebralis seringkali didapatkan
di daerah lumbal dan cervical yang pergerakannya sangat mobil dan memiliki
diskus intervertebralis yang lebih luas. Gangguan degeneratif diskus sendiri
dapat berupa spondylosis, stenosis dan prolaps.
Cervical
Vertebra cervical meskipun tidak menanggung berat badan secara
keseluruhan seperti halnya vertebra lumbal, namun perlu diingat bahwa vertebra
cervical menanggung cranium dan segala isinya dengan total berat berkisar
6,5kg dan merupakan daerah yang memiliki fungsi mobilitas selain vertebra
lumbal.
Segmen C4/5 dan C5/6 merupakan daerah pada vervical yang sering
mengalami gangguan degeneratif . Pada usia lanjut biasanya kemungkinan
gangguan dapat meluas hingga daerah C3/4 sebagai akibat degenerasi vertebral
cervical secara keseluruhan dan menyisakan daerah C3/4 satu satunya daerah
dengan fungsi flexi-extensi. Beberapa individu dapat ditemukan adanya
penyempitan vertebra cervical, namun seringkali gejalanya baru akan muncul
setelah ligamentum flavum menebal seiring dengna bertambahnya usia. Pada
kasus ini stenosis kanalis akan dapat terdeteksi secara radiologis. Namun jarang
sekali stenosis terjadi pada daerah cervical disertai daerah lumbal.
Gangguan degeneratif pada vertebra cervical dapat terjadi secara akut
maupun kronis. Pada kasus akut bisanya didahului oleh kejadian trauma berat
( terjadi protrusi diskus ), sedangkan pada kasus kronis biasanya didapatkan
riwayat trauma minor yang terjadi secara terus menerus, sebagai contoh adalah
joki kuda yang secara terus menerus mengalami cedera flexi selama
mengendarai kuda. Jarak antara trauma kronis dengan klinis dapat berselang
beberapa tahun dengan rentang 5 10 tahun.
Klinis yang ditmibulkan oleh gangguan diskus ini dapat berupa
radikulopati, mielopati cervical. Penatalaksanaan untuk kasus degeneratif diskus
adalah pemberian analgetik yang adekuat, fisioterapi, edukasi untuk
menghindari gangguan lebih lanjut. Terapi terakhir adalah operatif bila
didapatkan deficit neurologis yang progresif dan kegagalan dengan terapi
konservatif.
Thorakal
25
8. Spinal
Cord
Compression
taken
from
http://en.wikipedia.org/wiki/Spinal_cord_compression
9. Guidetti. Differential Diagnosis of Intramedullary and Extramedullary
Tumours. Handbook of Clinical Neurology. North Holland Pub. Co. Amsterdam.
1975
10.Felice J Esposito. Spinal Astrocytoma, Emedicine Specialities, Neurology,
Neuro-oncology. Juni 2008. Taken from www.emedicine.com
11.Woodruff. The Spine, In Fundamental of Neuroimaging, W.B Saunders Co.
Philadelphia. 1993
12.Carmen Armon. Amyotrophic lateral Sclerosis, Emedicine Specialities,
Neurology,
Neuromuscular
Diseases.
Januari
2010.
Taken
from
www.emedicine.com
13.Hassan Ahmad. Syringomyelia, Emedicine specialities, Neurology, Movement
and
neurodegenerative
Diseases.
September
2008.
Taken
from
www.emedicine.com
14.Victor Tse. Spinal Metastasis and Metastatic Disease to the Spine and Related
Structures. Emedicine Specialities, Neurology, Neuro-oncology. Maret 2009.
Taken from www.emedicine.com
15.Jose Hidalgo. Pott Disease ( Tuberculous Spondylitis ). Emedicine Specialities,
Infectious Disease, Bone and Joint Interface. Agustus 2008. Taken from
www.emedicine.com
16.Federico Vinas. Spinal Infections. Emedicine Specialities, Orthopedic Surgery,
Spine. November 2008. Taken from www.emedicine.com
17.Foerster. Multiple Myeloma in Cancer : Principles and Practice of Oncology. 4 th
ed. JB Lippincott Co. Philadelphia. 1993
18.Sara Grethlein. Multiple Myeloma. Emedicine Specialities, Hematology, Plasma
Cell Disorders. November 2009. Taken ffrom www.emedicine.com
27