batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara
terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan
diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga
membentuk lapisan batubara.
Pembentukan Batubara
Komposisi batubara hampir sama dengan komposisi kimia jaringan tumbuhan, keduanya
mengandung unsur utama yang terdiri dari unsur C, H, O, N, S, P. Hal ini dapat dipahami,
karena batubara terbentuk dari jaringan tumbuhan yang telah mengalami coalification. Pada
dasarnya pembentukkan batubara sama dengan cara manusia membuat arang dari kayu,
perbedaannya, arang kayu dapat dibuat sebagai hasil rekayasa dan inovasi manusia, selama
jangka waktu yang pendek, sedang batubara terbentuk oleh proses alam, selama jangka waktu
ratusan hingga ribuan tahun. Karena batubara terbentuk oleh proses alam, maka banyak
parameter yang berpengaruh pada pembentukan batubara. Makin tinggi intensitas parameter
yang berpengaruh makin tinggi mutu batubara yang terbentuk.
Ada dua teori yang menjelaskan terbentuknya batubara, yaitu teori insitu dan teori drift. Teori
insitu menjelaskan, tempat dimana batubara terbentuk sama dengan tempat terjadinya
coalification dan sama pula dengan tempat dmana tumbuhan tersebut berkembang.
Teori drift menjelaskan, bahwa endapan batubara yang terdapat pada cekungan sedimen
berasal dari tempat lain. Bahan pembentuk batubara mengalami proses transportasi, sortasi
dan terakumulasi pada suatu cekungan sedimen. Perbedaan kualitas batubara dapat diketahui
melalui stratigrafi lapisan. Hal ini mudah dimengerti karena selama terjadi proses transportasi
yang berkaitan dengan kekuatan air, air yang besar akan menghanyutkan pohon yang besar,
sedangkan saat arus air mengecil akan menghanyutkan bagian pohon yang lebih kecil
(ranting dan daun). Penyebaran batubara dengan teori drift memungkinkan, tergantung dari
luasnya cekungan sendimentasi.
Pada proses pembentukan batubara atau coalification terjadi proses kimia dan fisika, yang
kemudian akan mengubah bahan dasar dari batubara yaitu selulosa menjadi lignit,
subbitumina, bitumina atau antrasit. Reaksi pembentukkannya dapat diperlihatkan sebagai
berikut:
2. Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan
waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit
dan gambut.
Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik,
mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya.
Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi
sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 3575% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.
Warna coklat
Material belum terkompaksi
Mernpunyai kandungan air yang sangat tinggi
Mempunvai kandungan karbon padat sangat rendah
Mempunyal kandungan karbon terbang sangat tinggi
Sangat mudah teroksidasi
Nilai panas yang dihasilkan amat rendah.
Warna kecoklatan
Material terkornpaksi namun sangat rapuh
Mempunyai kandungan air yang tinggi
Mempunyai kandungan karbon padat rendah
Mempunyai kandungan karbon terbang tinggi
Mudah teroksidasi
Nilai panas yang dihasilkan rendah.
Warna hitam
Material sudah terkompaksi
Mempunyai kandungan air sedang
Mempunyai kandungan karbon padat sedang
Mempunyai kandungan karbon terbang sedang
Sifat oksidasi rnenengah
Nilai panas yang dihasilkan sedang.
Pada saat ini sebagian besar penambangan batubara dilakukan dengan metode tambang
terbuka, lebih-lebih setelah digunakannya alat-alat besar yang mempunyai kapasitas muat dan
angkut yang besar untuk membuang lapisan tanah penutup batubara. Dengan demikian
pekerjaan pembuangan lapisan tanah penutup batubara menjadi lebih murah dan menekan
biaya ekstraksi batubara. Selain itu prosentase batubara yang diambil jauh lebih besar
dibanding dengan batubara yang dapat diekstraksi dengan cara tambang dalam. Penambangan
batubara dengan metode tambang terbuka saat ini diperoleh 85% dari total mineable reserve,
sedang dengan metode tambang dalam paling besar hanya 50% saja. Walaupun demikian
penambangan secara tambang terbuka mempunyai keterbatasan yaitu :
Dengan peralatan yang ada pada saat sekarang ini keterbatasan kedalaman lapisan batubara
yang dapat ditambang.
Pertimbangan ekonomis antara biaya pembuangan batuan penutup dengan biaya
pengambilan batubara
Beberapa tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka tergantung pada letak
dan kemiringan serta banyaknya lapisan batubara dalam satu cadangan. Disamping itu
metode tambang terbuka dapat dibedakan juga dari cara pemakaian alat dan mesin yang
digunakan dalam penambangan.
Beberapa tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka adalah :
Contour Mining
Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada endapan batubara yang terdapat di
pegunungan atau perbukitan. Penambangan batubara dimulai pada suatu singkapan lapisan
batubara dipermukaan atau cropline dan selanjutnya mengikuti garis contour sekeliling bukit
atau pegunungan tersebut. Lapisan batuan penutup batubara dibuang kearah lereng bukit dan
selanjutnya batuan yang telah tersingkap diambil dan diangkut. Kegiatan penambangan
berikutnya dimulai lagi seperti tersebut diatas pada lapisan batubara yang lain sampai pada
suatu ketebalan lapisan penutup batubara yang menentukan batas limit ekonominya atau
sampai batas maksimum kedalaman dimana peralatan tambang tersebut dapat bekerja. Batas
ekonomis ini ditentukan oleh beberapa variable antara lain :
Peralatan yang digunakan untuk cara penambangan ini pada umumnya memakai peralatan
yang mempunyai mobilitas tinggi atau dikenal mobile equipment. Alat-alat besar seperti :
Alat muat : wheel loader, track loader, face shovel, back hoe
Alat angkut jarak jauh : off highway dump truck
Alat angkut jarak dekat : scraper
Peralatan yang bersifat mobile antara lain track shovel, front end loader, bulldozer, scrapper
Peralatan yang bersifat bekerja secara continue membuang lapisan tanah penutup tanpa
dibantu alat angkut.
Stripping Mining
Tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada endapan batubara yang lapisannya datar
atau dekat dengan permukaan tanah. Alat yang digunakan dapat berupa alat yang sifatnya
mobile atau alat penggalian yang dapat membuang sendiri. Penambangan batubara yang akan
dilakukan diwilayah kontraktor tambang batubara Kalimantan akan dimulai dengan cara
tambang terbuka yang memakai alat kerja bersifat mobile.
Pada penambangan batubara dengan metode tambang dalam yang terpenting adalah
bagaimana mempertahankan lubang bukaan seaman mungkin agar terhindar dari
kemungkinan :
Keruntuhan atap batuan
Ambruknya dinding bukaan lubang (rib spalling)
Penggelembungan lantai lapisan batubara (floor heave)
Kejadian tersebut diatas disebabkan oleh terlepasnya energy yang tersimpan secara alamiah
dalam endapan batubara. Energy yang terpendam tersebut merupakan akibat terjadinya
perubahan atau deformasi bentuk endapan batubara selama berlangsungnya pembentukan
deposit tersebut. Pelepasan energy tersebut disebabkan oleh adanya perubahan keseimbangan
tegangan yang terdapat pada massa batuan akibat dilakukannya kegiatan pembuatan lubanglubang bukaan tambang. Disamping itu kegagalan dapat disebabkan batuan dan batubara itu
tidak mempunyai daya penyangga disamping factor-faktor alami dari keadaan geologi
endapan batubara.
Penambangan batubara secara tambang dalam kenyataannya sangat ditentukan oleh cara
mengusahakan agar lubang bukaan dapat dipertahankan selama mungkin pada saat
berlangsungnya penambangan batubara dengan biaya rendah atau seekonomis mungkin.
Untuk mencapai keinginan tersebut maka pada setiap pembuatan lubang bukaan selalu
diusahakan agar:
Dalam ilmu perbatuan, dikenal istilah moisture dan air. Moisture didefinisikan sebagai air
yang dapat dihilangkan bila batubara dipanaskan sampai suhu 105C. Sementara itu, air
dalam batubara ialah air yang terikat secara kimia pada lempung.
Semua batubara mempunyai pori-pori berupa pipa-pipa kapiler, dalam keadaan alami
pori-pori ini dipenuhi oleh air. Didalam standar ASTM, air ini disebut moisture bawaan
(inherent moisture). Ketika batubara ditambang dan diproses, air dapat teradsorpsi pada
permukaan kepingan batubara, menurut standar ASTM air ini disebut moisture permukaan
(surface moisture). Air yang terbentuk dari penguraian fraksi organik batubara atau zat
mineral secara termis bukan merupakan bagian dari moisture dalam batubara.
Moisture yang datang dari luar saat batubara itu ditambang dan diangkut atau terkena
hujan selama penyimpanan disebut free moisture (standar ISO) atau air-dry loss (standar
ASTM). Moisture jenis ini dapat dihilangkan dari batubara dengan cara dianginkan atau
dikering-udarakan. Moisture in air-dried sample (ISO) atau residual moisture (ASTM) ialah
moisture yang hanya dapat dihilangkan bila sampel batubara kering-udara yang berukuran
lebih kecil dari 3 mm (-3 mm) dipanaskan hingga 105C. Penjumlahan antara free moisture
dan residual moisture disebut total moisture. Data moisture dalam batubara kering-udara ini
digunakan untuk menghitung besaran lainnya dari basis kering-udara (adb), bebas- ash (daf)
dan basis kering, bebas-mineral matter (dmmf).
Kandungan air total merupakan dasar penilaian yang sangat penting. Secara umum, tinggi
rendahnya kandungan air berpengaruh pada beberapa aspek teknologi penggunaan batubara
terutama dalam penggunaan untuk tenaga uap. Dalam penggerusan, kelebihan kandungan air
akan berakibat pada komponen mesin penggerus karena abrasi. Parameter lain yang
terpengaruh oleh kandungan air adalah nilai kalor. Semakin besar kadar air yang terkandung
oleh batubara maka akan semakin besar pula nilai kalor dalam pembakaran.
Penentuan kandungan air didalam batubara bisa dilakukan melalui proses satu tahap atau
proses dua tahap. Proses dilakukan dengan cara pemanasan sampel sampai terjadi
kesetimbangan kandungan air didalam batubara dan udara. Penentuan kandungan air dengan
cara tersebut dilakukan pada temperatur diatas titik didih air (ASTM 104-110o C).
Kandungan Abu (Ash content)
Coal ash didefinisikan sebagai zat organik yang tertinggal setelah sampel batubara
dibakar (incineration) dalam kondisi standar sampai diperoleh berat yang tetap. Selama
pembakaran batubara, zat mineral mengalami perubahan, karena itu banyak ash umumnya
lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya zat mineral yang semula ada didalam batubara.
Hal ini disebabkan antara lain karena menguapnya air konstitusi (hidratasi) dan lempung,
karbon dioksida serta karbonat, teroksidasinya pirit menjadi besi oksida, dan juga terjadinya
fiksasi belerang oksida.
Ash batubara, disamping ditentukan kandungannya (ash content), ditentukan pula susunan
(komposisi) kimianya dalam analisa ash dan suhu leleh dalam penentuan suhu leleh ash.
Abu merupakan komponen non-combustible organic yang tersisa pada saat batubara
dibakar. Abu mengandung oksida-oksida logam seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, dan CaO, yang
terdapat didalam batubara. Kandungan abu diukur dengan cara membakar dalam tungku
pembakaran (furnace) pada suhu 815C. Residu yang terbentuk merupakan abu dari batubara.
Dalam pembakaran, semakin tinggi kandungan ash batubara, semakin rendah panas yang
diperoleh dari batubara tersebut. Sebagai tambahan, masalah bertambah pula misalnya untuk
penanganan dan pembuangan ash hasil pembakaran.
Kandungan Fixed carbon
Fixed Carbon (FC) menyatakan banyaknya karbon yang terdapat dalam material sisa
setelah volatile matter dihilangkan. FC ini mewakili sisa penguraian dari komponen organik
batubara ditambah sedikit senyawa nitrogen, belerang, hidrogen dan mungkin oksigen yang
terserap atau bersatu secara kimiawi. Kandungn FC digunakan sebagai indeks hasil kokas
dari batubara pada waktu dikarbonisasikan, atau sebagai suatu ukuran material padat yang
dapat dibakar di dalam peralatan pembakaran batubara setelah fraksi zat mudah menguap
dihilangkan. Apabila ash atau zat mineral telah dikoreksi, maka kandungan FC dapat dipakai
sebagai indeks rank batubara dan parameter untuk mengklasifikasikan batubara.
Fixed Carbon ditentukan dengan perhitungan : 100% dikurangi persentase moisture, VM,
dan ash (dalam basis kering udara (adb)).
Data Fixed Carbon digunakan dalam mengklasifikasikan batubara, pembakaran, dan
karbonisasi batubara. Fixed Carbon kemungkinan membawa pula sedikit presentase nitrogen,
belerang, hidrogen, dan mungkin pula oksigen sebagai zat terabsorbsi atau bergabung secara
kimia.
Fixed Carbon merupakan ukuran dan padatan yang dapat terbakar yang masih berada
dalam peralatan pembakaran setelah zat-zat mudah menguap yang ada dalam batubara keluar.
Ini adalah salah satu nilai yang digunakan didalam perhitungan efesiensi peralatan
pembakaran.
Volatile Matter
Definisi volatile matter (VM) ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel batubara
dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi oleh kadar
moisture). Suhunya adalah 900oC, dengan waktu pemanasan tujuh menit tepat.
Volatile yang menguap terdiri atas sebagian besar gas-gas yang mudah terbakar, seperti
hidrogen, karbon monoksida, dan metan, serta sebagian kecil uap yang dapat mengembun
seperti tar, hasil pemecahan termis seperti karbon dioksida dari karbonat, sulfur dari pirit, dan
air dari lempung.
Moisture berpengaruh pada hasil penentuan VM sehingga sampel yang dikeringkan dengan
oven akan memberikan hasil yang berbeda dengan sampel yang dikering-udarakan. Faktorfaktor lain yang mempengaruhi hasil penentuan VM ini adalah suhu, waktu, kecepatan
pemanasan, penyebaran butir, dan ukuran partikel.
VM yang ditentukan dapat digunakan untuk menentukan rank suatu batubara, klasifikasi,
dan proporsinya dalam blending. Volatile matter juga penting dalam pemilihan peralatan
pembakaran dan kondisi efisiensi pembakaran.
Analisa Ultimat (analisa elementer) adalah analisa dalam penentuan jumlah unsur Karbon
(Carbon atau C), Hidrogen (Hydrogen atau H), Oksigen (Oxygen atau O), Nitrogen
(Nytrogen atau N) dan Sulfur (Sulphur atau S).
Komponen organik batubara terdiri atas senyawa kimia yang terbentuk dari hasil ikatan
antara karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan sulfur. Analisa ultimat merupakan analisa
kimia untuk mengetahui presentase dari masing-masing senyawa. Dari hasil analisa tersebut,
penggunaan batubara khususnya PLTU dapat memperkirakan secara stoikiometri udara yang
akan dibutuhkan dalam pembakaran batubara nanti.
untuk menentukan proses pembakaran, terutama untuk penyediaan jumlah udara yang
dibutuhkan.
Untuk penentuan karbon dan hidrogen dalam batubara yang mempunyai rank rendah
digunakan cara Liebig, karena batubara yang banyak mengandung volatile matter tinggi dapat
meledak bila dipanaskan sampai suhu tinggi. Namun, penetapan kadar karbon dan hidrogen
sesuai metode ASTM D 5373-02 adalah dengan menggunakan Teknik Infra Red (IR).
Pada metode ASTM D 5373-02, contoh batubara dibakar pada temperatur tinggi dalam
aliran oksigen sehingga seluruh hidrogen diubah menjadi uap air dan karbon menjadi
karbondioksida. Uap air dan karbondioksida ditangkap oleh detektor infra red. Melalui
detektor inilah kandungan karbon dan hidrogen dapat dibaca.
Nitrogen
Nitrogen dalam batubara hanya terdapat sebagai senyawa organik. Tidak dikenal adanya
mineral pembawa nitrogen dalam batubara, hanya ada beberapa senyawa nitrogen dalam air
kapiler, terutama dalam batubara muda. Pada pembakaran batubara, nitrogen akan berubah
menjadi nitrogen oksida yang bersama gas buangan akan bercampur dengan udara. Senyawa
ini merupakan pencemar udara sehingga batubara dengan kadar nitrogen rendah lebih
disukai.
Prinsip penentuan nitrogen dalam batubara semuanya dengan cara mengubah nitrogen
menjadi amonium sulfat melalui destruksi terhadap zat organik pembawa nitrogen dalam
batubara. Dalam metode ini, digunakan asam sulfat dan katalisator. Banyaknya amonium
sulfat yang terbentuk ditentukan dengan cara titrimetri.
Selain itu, seperti juga pada penentuan kadar karbon dan hidrogen, dalam metode ASTM D
5373-02 kadar nitrogen dapat diketahui dengan menggunakan Thermal Conductivity (TC)
pada alat yang sama dengan penentuan kadar karbon dan hidrogen di atas. TC inilah yang
akan menangkap kadar nitrogen dalam nitrogen oksida.
Data nitrogen digunakan untuk membandingkan batubara dalam penelitian. Jika oksigen
diperoleh dari perhitungan, maka nitrogen diperoleh dari sampel yang ditentukan. Dalam
pembakaran pada suhu tinggi, nitrogen akan diubah menjadi NOx yang merupakan salah satu
senyawa pencemar udara.
Sulfur
Dalam proses pembakaran, sulfur dalam batubara akan membentuk oksida yang
kemudian terlepas ke atmosfir sebagai emisi. Ada tiga jenis sulfur yang terikat dalam
batubara, yaitu :
1. Sulfur organik, dimana satu sama lain terikat ke dalam senyawa hidrogen sebagai
substansi dari batubara.
2. Mineral sulfida, seperti pirit dalam fraksi organic (pyritic sulfur).
3. Mineral sulfat, seperti kalsium sulfat atau hidrous iron.
Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua (setelah ash) dalam batubara,
karena :
1. Dalam batubara bahan bakar, hasil pembakarannya mempunyai daya korosif dan sumber
polusi udara.
2. Moisture dan sulfur (terutama sebagai pirit) dapat menunjang terjadinya pembakaran
spontan.
3. Semua bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan dalam proses pencucian.
Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah dalam
pemanfaatannya. Bila batubara itu dibakar, sulfur akan menyebabkan korosi dalam ketel dan
membentuk endapan isolasi pada tabung ketel uap (yang disebut slagging). Disamping itu
juga menimbulkan pencemaran udara. Sebagian sulfur akan terbawa dalam hasil pencairan
batubara, gasifikasi, dan pembuatan kokas. Jadi harus dihilangkan dulu sebelum dilakukan
proses-proses tersebut.
Oksigen
Oksigen merupakan komponen pada beberapa senyawa organik dalam batubara. Oksigen
ini didapatkan pula dalam moisture, lempung, karbonat, dan sebagainya. Oksigen juga
memiliki peranan penting sebagai penunjuk sifat-sifat kimia dengan derajat pembentukan
batubara.
Unsur oksigen dapat ditemukan hampir pada semua senyawa organik dalam batubara.
Dalam batubara kering unsur oksigen akan ditemukan pada besi oksida, hidroksida dan
beberapa mineral sulfat. Oksigen juga sebagai indikator dalam menentukan peringkat
batubara.
5. Ada beragam produk turunan yang dihasilkan dari batubara yang kesemuanya digunakan
secara langsung dalam berbagai proses industri dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat akan sumber energi. Produk turunan batubara diantaranya adalah Coal Bed
Methane, Coal Liquification, Briket, dll.
1. Coal Bed Methane (Gas Methane)
Coal Bed Methane (CBM) adalah gas CH4 yang dapat ditemukan pada coal layer. Gas
tersebut diserap pada bagian atas di permukaan batubara (untuk pertambangan batubara
dalam/underground). CBM dapat ditemukan pada pecahan batubara, pada kedalaman lebih
dari 500 meter dan biasanya tertutup oleh air. Jika dibor melalui metode dewatering, air akan
disedot begitu tekanan menurun, dan gas terlepas. Pengembangan teknologi menunjukkan
bahwa CBM dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif.
Kelebihan CBM dibanding dengan gas konvensional adalah CBM lebih bersih (tidak banyak
campuran, murni methane). Penggunaan gas methane menghasilkan karbondioksida dengan
jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pembakaran batubara.
Di bawah hukum dan regulasi Indonesia, operasional CBM dikategorikan sebagai operasional
minyak dan gas. Perusahaan yang berminat untuk mengkomersialiasi CBM harus masuk
dalam perjanjian kerjasama dengan Dirjen MIGAS sebagai regulator. Hal ini sangat mirip
dengan Production Sharing Contract pada industri minyak dan gas.
2. Coal Liquification (Batubara Cair)
Sebagai alternatif untuk menggantikan energi minyak bumi, saat ini telah dikembangkan
teknologi pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir setara dengan output minyak
bumi. Pengembangan produksi bahan bakar sintetis berbasis batubara pertama kali dilakukan
di Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang
dikembangkan Franz Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode
proses sintesis Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk
memproduksi bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif
pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun 1974 sebagai
pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.
Cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan setengahnya
merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-bituminous coal dan brown coal.
Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak didominasi oleh kandungan air. Peneliti Jepang
kemudian mulai mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini agar
kelangsungan energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan mengubah kualitas batubara yang
rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar
berkualitas serta ramah lingkungan. Dikembangkanlah proses pencairan batubara dengan
nama Brown Coal Liquification Technology (BCL).
Adalah suatu kenyataan bahwa, cadangan sumber daya minyak bumi dan gas di Indonesia
saat ini sudah semakin terbatas. Menyadari hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan
serangkaian kebijakan di bidang pengembangan sumber energi alternatif yaitu Peraturan
Presiden (Perpres) No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi
Presiden (Inpres) No.2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara Menjadi
Bahan Bakar Lain, menargetkan 2% (setara 189.000 barel/hari) bauran energi nasional pada
tahun 2025 berasal dari pencairan batubara.
1. Harga produksi lebih murah dibandingkan dengan biaya produksi rata-rata minyak bumi
yang berlaku di dunia saat ini.
2. Jenis batubara yang dapat dipergunakan adalah batubara yang berkalori rendah (low rank
coal), yakni kurang dari 5.100 kalori, yang selama ini kurang diminati pasaran.
3. Batubara cair dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti bahan bakar pesawat jet (jet
fuel), mesin diesel (diesel fuel), serta bensin dan bahan bakar minyak biasa.
4. Teknologi pengolahannya lebih ramah lingkungan.
2.2 Prospek Batubara Cair
Produksi Batubara Cair di Indonesia mulai berkembang setelah Pemerintah mengeluarkan
Inpres No. 2/ 2006 tentang batubara yang dicairkan. Saat ini telah tercatat 11 perusahaan
batubara telah menandatangani kesepakatan membentuk konsorsium untuk berpartisipasi
dalam program pencairan batubara di Indonesia yang merupakan business to business yang
terdiri dari perusahaan Jepang dan Indonesia.
Hingga tahun 2025 sedikitnya dibutuhkan tujuh pabrik untuk mencapai target pemanfaatan
batubara cair sebanyak dua persen. Hasil produk batubara yang dicairkan berupa bahan bakar
cair pengganti bahan bakar minyak yang akan distandarkan dengan BBM.
Program pencairan batubara tersebut akan dijalankan dalam tiga tahapan. Pertama, tahap
pembangunan kilang untuk semi komersial pada 2009 berkapasitas 13.500 barel per hari.
Kedua, pembangunan kilang tambahan dengan kapasitas yang sama sehingga pada 2017
diperkirakan kapasitas mencapai 27.000 barel. Ketiga, adalah pembangunan kilang komersial
sebanyak enam unit
arang dari proses oil refinery. Gas yang dimaksud adalah gas-gas yang keluar dari proses
gasifikasi dan umumnya berbentuk CO, CO2, H2, dan CH4.
Gasifikasi berbeda dengan pirolisis dan pembakaran. serta dibedakan berdasarkan kebutuhan
udara yang diperlukan selama proses. Jika jumlah udara/bahan bakar (AFR, air fuel ratio)
sama dengan 0, maka proses disebut pirolisis. Jika AFR yang diperlukan selama proses
kurang dari 1.5, maka proses disebut gasifikasi. Jika AFR yang perlukan selama proses lebih
dari 1.5, maka proses disebut pembakaran (lihat gambar 1).
Adapun alasan pengembangan teknologi gasifikasi batubara adalah sebagai berikut:
1. Teknologi ini adalah cara untuk memperoleh Gas Bakar Sintetis melalui proses gasifikasi
batubara termasuk yang berkalori rendah, diketahui bahwa Indonesia sangat banyak memiliki
cadangan (sekitar 85 milyar ton) batubara muda atau lignite merupakan sumber bahan baku
yang dapat digunakan dalam teknologi ini (disarankan untuk menggunakan batubara
berkalori 4500 kcal keatas)
2. Dengan melimpahnya cadangan batubara tentunya menjadikan harga lebih murah
sementara jaringan distribusinya pun terus meluas.
3. Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai salah satu komponen biaya produksi yang dominan
terus membebani kalangan Industri dengan harganya yang naik tajam sejak tahun 2005,
apalagi harga BBM didalam negeri sangat tergantung dengan pasar dunia, sementara
cadangannya pun semakin menurun.
sebesar 210 ribu ton. PTBA adalah produsen briket terbesar saat ini dengan produk briketnya
terutama adalah briket yang terkarbonisasi.