Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar belakang
Perkembangan

dan

kemajuan

yang

telah

dicapai

dalam

melaksanakan pembangunan nasional telah berhasil meningkatkan


kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Masyarakat memiliki
kemudahan untuk memperoleh dan memanfaatkan hasil-hasil industri baik
produksi dalam negeri maupun luar negeri. Namun disamping itu terdapat
pula dampak negatif akibat terjadinya kontak kulit manusia dengan
produk-produk industri atau pekerjaan yang dilakukannya. Diantaranya
adalah penyakit dermatitis kontak yang merupakan respon peradangan
terhadap bahan eksternal yang kontak pada kulit. Dikenal dua macam jenis
dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang merupakan respon
non imunologik dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan oleh
mekanisme imunologik spesifik, keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis.
Bahan penyebab dermatitis kontak alergik pada umumnya adalah
bahan kimia yang terkandung dalam alat-alat yang dikenakan oleh
penderita (asesoris, pakaian, sepatu, kosmetika, obat topikal dll), atau yang
berhubungan dengan pekerjaan atau hobi (semen, sabun cuci, pestisida,
bahan pelarut, bahan cat, tanaman dll) dapat pula oleh bahan yang berada
disekitarnya (debu semen, bulu binatang atau polutan yang lain).
Disamping bahan penyebab ada faktor penunjang yang mempermudah
timbulnya dermatitis kontak tersebut yaitu suhu udara, kelembaban,
gesekan dan oklusi.
Dermatitis kontak alergik pada lingkungan kerja terjadi lebih
sedikit dari pada dermatitis kontak iritan, namun bila hanya ditinjau dari
statistik yang ada hal ini dapat menyesatkan karena sesungguhnya banyak

dermatitis kontak alergi yang tidak terdiagnosis sehingga tidak dilaporkan.


Salah satu penyebab utamanya adalah tidak tersedianya alat / bahan uji
tempel (patch test) sebagai sarana diagnostik.
Untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak alergik perlu
dilakukan uji tempel. Uji tempel bila memungkinkan dilakukan 2 minggu
setelah dermatitisnya sembuh. Oleh karena bila baru saja sembuh, apalagi
masih aktif, maka ambang rangsang kulit terhadap iritasi maupun sensitasi
menurun. Tujuan uji tempel selain untuk membuktikan bahwa dermatitis
yang terjadi adalah dermatitis kontak alergik, juga untuk menemukan jenis
bahan alergen kontak. Kecuali ini dapat pula sebagai tes prediksi untuk
menentukan bahan apa saja yang dapat ditoleransi oleh penderita. Supaya
hasilnya dapat dipercaya uji tempel harus selalu disesuaikan dengan
riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis serta dilakukan dengan prosedur
baku.

1.2.
Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
- Untuk memenuhi tugas stase kulit dan kelamin
1.2.2. Tujuan Khusus
- Mahasiswa mampu melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada
-

kasus dermatitis kontak alergi


Mahasiswa mampu melakukan penanganan dan penatalaksanaan pada
kasus dermatitis kontak alergi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik
terhadap paparan bahan iritan eksternal yang mengenai kulit. Dikenal dua
macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang timbul
melalui mekanisme non imunologik dimana kerusakan kulit terjadi langsung
tanpa didahului proses sensitisasi dan dermatitis kontak alergik yang
diakibatkan mekanisme imunologik, terjadi pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen.
Menurut Gell dan Coombs dermatitis kontak alergik adalah reaksi
hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV) yang diperantarai sel, akibat antigen
spesifik yang menembus lapisan epidermis kulit. Antigen bersama dengan
mediator protein akan menuju ke dermis, dimana sel limfosit T menjadi
tersensitisasi. Pada pemaparan selanjutnya dari antigen akan timbul reaksi
alergi.
2.2. Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih
sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin
bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung
bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi mengenai
prevalensi dan insidens DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa
angka yang mendekati kebenaran belum didapat.
Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi namun dermatitis
kontak alergik lebih jarang dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul
pada usia dewasa tapi dapat mengenai segala usia. Prevalensi pada wanita dua
kali lipat dari pada laki-laki. Bangsa Kaukasian lebih sering terkena dari pada
ras bangsa lain. Nampaknya banyak juga timbul pada bangsa Afrika-Amerika

namun lebih sulit dideteksi. Jenis pekerjaan merupakan hal penting terhadap
tingginya insiden dermatitis kontak.
2.3. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum
diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus
stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup).
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi
sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga
faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum
korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang
menderita sakit, terpajan sinar matahari).
2.4. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti
respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau
reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitifitas tipe lambat. Reaksi ini
terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya
individu yang telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA.
1. Fase sensitisasi
Hapten yang masuk kedalam sel epidermis melewati stratum
korneum akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta di konjugasikan
pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel
Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag
dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit
terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan
sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehinga mampu

menstimulasi sel-T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans


dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi
molekul permukaan sel termasuk MHC klas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7.
Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF, yang
dapat mengaktifasi sel-T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan
molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC klas I dan
II.
TNF

menekan

produksi

E-cadherin

yang

mengikat

sel

Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga


memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar
limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada
sel-T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang
mengenali HLA-DR sel Langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang
mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidak adanya se-T spesifik
ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresikan IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan
menstimulasi proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak.
Turunan sel ini yaitu sel T memori (sel T teraktivasi) akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan beredar keseluruh tubuh. Pada saat tersebut
individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3
minggu.
Menurut konsep danger signal (sinyal bahaya) bahwa sinyal
antigenik murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan
sinyal iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya
sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal
dari alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap
respon iritan, dari bahaya kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau
kombinasi dari ketiganya. Jad sinyal bahaya yang menyebabkan sensitisasi
tidak berasal dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang

menyertainya. Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi


sensitisasi.
2. Fase elisitasi
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan
ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi oleh sel antigen,
diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya
kompleks HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah
tersensitisasi (sel T memori) baik dikulit maupun dikelenjar limfe sehingga
terjadi proses aktivasi. Dikulit proses aktivasi lebih kompleks dengan
hadirnya sel-sel lain. Sel Langerhans mensekresikan IL-1 yang menstimulasi
sel-T untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan
mernyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T
teraktivasi juga mengeluarkan IFN- yang akan mengaktifkan keratinosit
mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. Adanya ICAM-1 memungkinkan
keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit yang lain yang
mengekspresi

molekul

LFA-1.

Sedangkan

HLA-DR

memungkinkan

keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+ dan juga


memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juda dapat
merupakan target sel-T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan
juga sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNF- dan GMCSF, semuanya
dapat mengaktivasi sel-T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan
eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mas dan
makrofag. Sel mas yang berada didekat pembuluh darah dermis akan
melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan
PGD2, dan leukotrien B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mas
(prostaglandin) maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi
vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti
komplemen dan kinin mudah berdifusi kedalam dermis dan epidermis. Selain
itu faktor kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit dan sel

darah dari dalam pembuluh darah masuk kedalam dermis. Rentetan kejadian
tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam.
2.5. Gejala klinik
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung
pada keparahan dermatitis dan lokasinya. Pada yang akut dimulai dengan
bercak

eritematosa

yang

berbatas

jelas,

kemudian

diikuti

edema,

papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan
dari pada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak iritan mungkin penyebabnya juga
campuran.
DKA dapat meluas ketempat lain, misalnya dengan cara
autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.
2.5.1. Berbagai lokasi kejadian DKA
1. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering
di tangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling
sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit
akibat kerja, sepertiga atau lebih mengenai tangan. Tidak jarang
ditemukan riwayat atopi pada pasien. Pada pekerjaan yang basah wet
work, misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pegatur rambut di
salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Etiologi dermatitis
tangan sangat kompleks karena banyak faktor yang berperan disamping
atopi. Contoh bahan yang dapat menyebabkan dermatitis tangan,
misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen dan pestisida.
2. Lengan

Alergen penyebab umumnya sama dengan pada tangan, misalnya


oleh jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman.
DKA di ketiak dapat disebabkan oleh deodoran, antiperspiran,
formaldehid yang ada di pakaian.
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan
kosmetik, spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen),
nikel (tangkai kaca mata). Semua alergen yang berkontak dengan tangan
dapat mengenai wajah, kelopak mata dan leher, misalnya pada waktu
menyeka keringat. Bila terjadi di bibir atau sekitarnya mungkin dapat
disebabkan oleh lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di
kelopak mata dapat disebabkan oleh maskara, eye shadow, obat tetes
mata dan salap mata.
4. Telinga
Anting atau jepit telinga yang terbuat dari nikel, dapat menjadi
penyebab dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat
topikal, tangkai kaca mata,cat rambut, hearing aids, dan gagang telepon.
5. Leher
Sebagai penyebab antara lain kalung dari nikel, cat kuku yang
berasal dari ujung jari), parfum, alergen di udara, dan zat pewarna
pakaian.
6. Badan
Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat
pewarna, kancing logam, karet, plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.
7. Genitalia
Penyebab antara lain antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
deterjen. Bila mengenai daerah anal, mungkin disebabkan obat anti
hemoroid.
2.6. Diagnosis

Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan


pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berukuran numular di
sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan
erosi, maka perlu dipertanyakan apakah penderita memakai kancing celana
atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal
dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik
yang bersangkutan maupun keluarganya.
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan
pola kelainan kulit yang sering terjadi dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh
jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan ditempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat
kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.
2.7. Diagnosis Banding
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis
numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang
terutama ialah dengan DKI. Dalam keadaaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena
kontak alergi.

2.8. Uji Tempel

Pelaksanaan uji tempel dilakukan setelah dermatitisnya tenang


(sembuh) sekurang-kurangnya 2 minggu. Tempat melakukan uji tempel
biasanya di punggung, dapat pula dibagian luar lengan atas. Bahan uji
diletakkan pada sepotong kain atau kertas, ditempel pada kulit yang utuh,
ditutup dengan bahan impermeabel, kemudian direkat dengan plester. Setelah
48 jam di buka, reaksi di baca 48 jam (pada waktu dibuka), 72 jam dan atau
96 jam. Untuk bahan tertentu bahkan baru memberikan reaksi setelah satu
minggu. Hasil positif dapat berupa eritema dengan urtikaria sampai vesikel
atau bula. Penting dibedakan apakah reaksi karena alergi kontak atau karena
iritasi, sehubungan dengan konsentrasi bahan uji terlalu tinggi. Bila oleh
karena iritasi, reaksi akan menurun setelah 48 jam (reaksi tipe decresendo),
sedangkan reaksi alergi kontak makin meningkat (reaksi tipe cresendo).
2.9. Pengobatan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak
adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen
penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema,
vesikel atau bula, serta eksudativa (madidans), misalnya prednison 30
mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari.
Sedangkan kelainan kulit cukup dikompres dengan larutan garam faal atau
larutan air salisil 1:1000.
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah
mendapatkan

pengobatan

kortikosteroid

kortikosteroid secara topikal.

2.10. Prognosis

10

sistemik),

cukup

diberikan

Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat


disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik,
dermatitis numularis atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak
mungkin dihindari.

11

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas
Nama

: Ny. A

Umur

: 75 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Kinali, Pasaman Barat

Status

: Menikah

3.2. Anamnesa
Seorang pasien wanita berusia 75 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 6 Oktober 2015 dengan :
Keluhan Utama
Pasien merasakan gatal pada sela-sela jari kaki, punggung kaki dan tengkuk yang
meningkat sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
-

Pasien merasakan gatal pada sela-sela jari kaki, punggung kaki dan
tengkuk yang meningkat sejak 2 hari yang lalu. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak 3 bulan ini. Awalnya hanya bintik-bintik kemerahan
kemudian digaruk lama kelamaan menjadi kehitaman dan terkelupas.

Gatal dirasakan hilang timbul.

Pasien memakai sendal jepit yang talinya karet (sendal swallow).


12

Pasien belum pernah berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit


sebelumnya dan hanya berobat kampung seperti tidak makan telor,
ikan laut, ikan kolam.

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Penyakit timbul sejak 3 bulan yang lalu.

Riwayat bersin di pagi hari (disangkal).

Riwayat asma (disangkal).

Riwayat diabetes (disangkal).

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat keluarga bersin dipagi hari (disangkal).

Riwayat asma (disangkal).

3.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum

: Tampak sakit ringan.

Kesadaran

: Compos mentis cooperatif.

Status Gizi

: Baik.

Pemeriksaan Thorax

: diharapkan dalam batas normal.

Pemeriksaan Abdomen

: diharapkan dalam batas nomal.

3.4. Status Dermatologikus


Lokasi

: Punggung kaki kiri dan kanan, sela-sela jari kaki,

dan puggung.
Distribusi

: Simetris, Bilateral.

Bentuk

: Khas.

13

Susunan

: Tidak khas.

Batas

: Tegas.

Ukuran

: Numuler-Plakat.

Efloresensi

: makula hiperpigmentasi, skuama melekat dan

skuama terlepas.
Status Venerologikus

: tidak ditemukan kelainan.

Kelainan Selaput

: tidak ditemukan kelainan.

Kelainan Kuku

: kuku dan jaringan sekitar kuku tidak ditemukan

kelianan.
Kelainan Rambut

: tidak ditemukan kelainan.

Kelainan Kelenjer Limfe

: tidak terdapat pembesaran KGB.

14

15

16

3.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan.
3.6. DIAGNOSA
Dermatitis kontak alergi e.c sendal karet.
3.7. DIAGNOSA BANDING
Dermatitis Kontak Iritan.
3.8. PEMERKSAAN ANJURAN
Uji tempet (Patch Test).

17

3.9. PENATALAKSANAAN
Umum :
-

Menghindari kontak dengan bahan yang memicu terjadinya reaksi alergi

Menjelaskan kepada pasien untuk tidak menggunakan sandal yang


merupakan penyebab alergi

Menjelaskan pada pasien agar tidak menggaruk-garuk lesi

Menjaga kebersihan kulit

Khusus :

Sistemik : - methyl prednisolon tab 2x1


- CTM tab 1X1

Topikal : bersol 0,05% cream 2xsehari, pagi setelah mandi dan malam
sebelum tidur

PROGNOSIS
Quo ad sanationam

: Bonam

Quo ad vitam

: Bonam

Quo ad cosmetikum : Dubia ad Bonam


Quo ad functionam

: Bonam

18

RSUD ACHMAD MOCHTAR


Ruangan Poliklinik : Kulit dan Kelamin
Dokter : dr. ZS
SIP NO. 696969/SIP/2015

Bukittinggi, 7 Oktober 2015

R/ Bersol 15 gr No. II
Suc
R/ CTM tab No. XX
S1dd1
R/ Methyl Prednisolon No. XX
S2dd1

Pro : Ny. A
Umur : 75 tahun
Alamat : Kinali, Pasaman Barat

19

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.


Gunawan, Gun. S.(ed).2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FK-UI.
Menaldi, Sri.(ed). 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK-UI.
Siregar, R.S. 2014. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta:EGC

20

Anda mungkin juga menyukai