Anda di halaman 1dari 7

Studi Kasus : Kartel SMS

Kamis 03 Mar 2016, 09:34 WIB


Jakarta - Lima operator seluler dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung (MA)
akibat permainan kartel tarif SMS kurun 2004-2007. Akibat perbuatannya,
konsumen dirugikan triliunan rupiah.
Atas putusan MA tersebut, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Syarkawi Rauf menyebut bagi konsumen merasa dirugikan, bisa bersama-sama
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Pembayaran ganti rugi itu berbeda
dengan yang disetor ke negara.
"Kerugian konsumen dari perhitungan kami mencapai Rp 2,8 triliun itu lain lagi
akibat praktik kartel. Kalau mau nuntut, forumnya lain, bukan KPPU, tapi bikin class
action

(kelompok

konsumen

yang

merasa

dirugikan),"

ujar

Syarkawi

saat

berbincang dengan detikcom, Kamis (3/3/2016).


MA menjatuhkan hukuman kepada 5 operator yang terbukti melakukan kartel tarif
SMS. Kelimanya operator tersebut yang didenda, yakni PT Excelkomindo Pratama,
Tbk sebesar Rp 25 miliar, PT Telekomunikasi Seluler sebesar Rp 25 miliar, PT
Telekomunikasi Indonesia sebesar Rp 18 miliar, PT Bakrie Telecom, Tbk sebesar Rp 4
miliar dan PT Mobile-8 Telecom Tbk sebesar Rp 5 miliar.
Kasus ini bermula saat KPPU menerima adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 UU
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat oleh sejumlah provider seluler di Indonesia. Dari catatan KPPU, kerugian
konsumen atas praktik kartel tarif SMS itu mencapai Rp 2,8 triliun.
Atas laporan tersebut, KPPU langsung bergerak cepat mengawasi operator-operator
yang dicurigai melakukan kartel tarif SMS sepanjang 2004-2007 untuk tarif off-net
(lintas operator) pada pasar kompetitif. Benar saja dalam kurun waktu tersebut,
enam operator seluler meraup keuntungan hingga Rp 133 triliun.

Atas dasar temuan itu, KPPU memutuskan untuk membawa lima operator yang
dinilai bersalah ke meja hijau karena telah merugikan konsumen hingga miliaran
rupiah. Terhadap putusan itu, para operator pun keberatan dan mengajukan
banding terhadap KPPU ke PN Jakpus dan dikabulkan. Tak terima, giliran KPPU
mengajukan kasasi ke MA.
Hasilnya, pada 29 Februari 2016 lalu ketua majelis hakim agung Syamsul Maarif SH
LLM PhD dengan anggota hakim agung Dr Abdurrahman dan hakim agung I Gusti
Agung Sumanatha mengabulkan kasasi KPPU dan menghukum kelima operator
seluler tersebut.
Sumber: http://news.detik.com/berita/3156336/kartel-sms-vonis-mamodal-konsumen-gugat-operator-karena-merugi-rp-28-triliun
PEMBAHASAN :

Kartel dianggap sebagai dosa terberat pelaku usaha yang tidak saja merugikan
konsumen tetapi juga menciderai alokasi efisiensi sumber daya nasional.
Amerika Serikat memandang perilaku kartel sebagai tindak pidana sehingga
pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara. Selanjutnya ditegaskan bahwa kartel
pada dasarnya adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha
persaingan untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya.(Sumber: Farid
Nasution dan Retno Wiranti, Kartel dan Problematikanya, KOMPETISI, Media Berkala Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, Edisi, 11 tahun 2008, hlm. 4 )

Jika dicermati kasus kartel ini telah melanggar prinsip-prinsip etika bisnis, yaitu :
pertama, prinsip otonomi. Setiap perusahaan yang terdiri dari individu-individu
dalam perusahaan telekomunikasi yang terlibat dalam kasus kartel ini, tidak
memiliki prinsip otonomi yang baik. Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan
bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa
dilakukan

yang dianggapnya baik untuk

Kedua, kasus kartel tersebut menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip


kejujuran. Setiap bisnis seharusnya mempunyai itikad bisnis yang baik yang
direpresentasikan dalam sebuah kejujuran
Ketiga, terdapat prinsip keadilan yang tidak ditegakkan. Dalam sebuah bisnis
prinsip keadilan harus dapat dijalankan. Jika beberapa perusahaan telekomunikasi
melakukan penawaran tariff sms tidak sesuai dengan yang seharusnya mereka
tawarkan, maka prinsip keadilan khususnya kepada konsumen tidak terjadi
Keempat, kasus ini juga telah melanggar prinsip saling menguntungkan. Kongsi
perusahaan telekomunikasi yang dengan semena-mena mematok tariff sms jauh di
atas harga yang seharusnya sama sekali tidak menguntungkan bagi para
konsumen.

Dalam

sebuah

bisnis

seharusnya

bukan

hanya

produsen

yang

diuntungkan, tetapi konsumen juga harus merasakan keuntungan yang sama akibat
pembelian barang atau penggunaan jasa mereka.
Kelima, prinsip integritas moral. Dilakukannya persekongkolan untuk menetapkan
tariff sms diluar tariff sewajarnya, tentunya berpotensi untk mencoreng nama baik
dan integritas moral sebuah perusahaan. Kartel sms yang dilakukan beberapa
perusahaan

telekomunikasi

menunjukkan

adanya

integrasi

moral

yang

rendahkarenatidak bertujuan melakukan bisnis yang berpedoman pada prinsipprinsip etika bisnis pada umunya.

(Sumber:

http://dokumen.tips/documents/etika-bisnis-5584680150a84.html)
SARAN :
PT Telkom melaui anak usahanya PT Telekomunikasi Indonesia yang merupakan
salah satu dari perusahaan-perusahaan yang telah melakukan kartel sms tersebut
harus melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan meminta maaf kepada
konsumen yang dirugikan terhadap praktek kartel sms ini yang telah berlangsung
selama

bertahun-tahun.

Perusahaan-perusahaan

tersebut

juga

harus

menghilangkan praktek tersebut dan memperbaiki cara berbisnis yang sesuai


dengan etika bisnis yang baik maupun secara hukum yang berlaku.
Selain itu agar hal ini tidak terjadi kembali sebaiknya KPPU dapat meningkatkan
monitoring

terhadap

perilaku-perilaku

perusahaan

tidak

hanya

di

bidang

telekomunikasi tetapi juga perusahaan perusahaan dibidang lainnya. Sehingga

kasus seperti ini tidak berlangsung lama untuk penyelesaiannya dan dapat
dideteksi lebih awal.
Dari sisi konsumen kita juga harus dapat menjadi konsumen yang pintar dan cerdas
yang memahami produk yang kita gunakan sehingga dengan adanya pemahaman
ini diharapkan perhatian terhadap adanya praktek-praktek yang tidak bagus ini
dapat kita laporkan lebih awal lagi. Dimana kita sebagai konsumen dapatm
engajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar perlindungan terhadap konsumen
terhadap praktek yang melanggar etika bisnis maupun hukum yang berlaku

Studi Kasus : Telkom Group Blokir Netflix

JAKARTA, KOMPAS.com Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)


Rudiantara menyatakan memahami dan mengapresiasi langkah PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk (Telkom) memblokir layanan streaming Netflix.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam serangkaian tweet di akun Twitter
pribadinya,
Rabu
(27/1/2016).
Seperti diketahui, Telkom telah melakukan pemblokiran layanan Netflix di layanan
internet Indihome, Wifi.id, dan Telkomsel pada Rabu pukul 00.00 WIB. Telkom
menggangap Netflix belum memenuhi regulasi di Indonesia, seperti memuat konten
berbau pornografi.
"Saya memahami/mengapresiasi aksi korporasi oleh Telkom Group yang hari ini
menutup akses Netflix di Indonesia sambil menunggu proses pengeluaran kebijakan
kami di Kominfo yang berkaitan dengan isu tersebut," kicau Menkominfo di akun
Twitter @rudiantara_id.
Pria yang akrab disapa Chief RA tersebut menjelaskan beberapa regulasi yang
berkaitan dengan kehadiran Netflix di Indonesia. Ia mengawali penjelasan dengan

menyebut bahwa Netflix termasuk dalam kategori penyelenggara sistem elektronik


(PSE) asing yang beroperasi di Tanah Air.
Atas alasan itu, mereka wajib untuk membuat badan usaha tetap (BUT) sehingga
memenuhi aspek legalitas, hak, dan kewajiban fiskal, serta perlindungan terhadap
konsumen.
Namun, kehadiran PSE layaknya Netflix juga dilihat dari konteks konten yang
ditayangkan.
"Check and balance harus diterapkan bergantung pada karakteristik konten. Untuk
yang bersifat siaran atau hiburan, misalnya, ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar
Program
Siaran
(P3SPS)
dari
KPI,"
ujarnya.
Demikian juga untuk aspek pornografi, hal ini mesti merujuk pada Undang-Undang
Pornografi dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Adapun persoalan radikalisme
merujuk
pada
Undang-Undang
Terorisme.
Walaupun begitu, masalah sensor dan penyaringan konten tak bisa mengandalkan
Lembaga Sensor Film semata karena mekanismenya tak selaras dengan kecepatan
perkembangan
teknologi.
"Soal sensor, saya sudah diskusi dengan Mendikbud @aniesbaswedan bahkan
sebelum Netflix mengumumkan layanan untuk wilayah Indonesia. Kami sepakat
memberdayakan lembaga yang ada di Kemendikbud dalam membuat koridor
sensor
yang
sesuai
perkembangan
teknologi,"
imbuh
Chief
RA.
Regulasi dan penyaringan konten yang diterapkan pada Netflix tersebut nantinya
akan diterapkan juga pada layanan sejenis yang masuk ke Indonesia. Dengan
begitu, regulasi diharapkan bisa memberikan level playing field.
Berikut ini kicauan lengkap Rudiantara tersebut:
1. Slmt sore teman2. Isu Netflix makin membuka diskusi ttg bisnis Penyelenggara
Sistem Elektronik (PSE) asing yg buka layanan di Ind.
2. Netflix memenuhi kategori sbg PSE yg berarti harus mengikuti kebijakan yg ada
di Indonesia.
3. Yg harus selalu menjadi pegangan adlh bhw kebijakan dibuat selalu untuk
kepentingan atau nilai tambah bagi masyarakat.
4. Salah satu kebijakan yg paling pokok diikuti oleh PSE adl keharusan membuat
Bentuk Usaha Tetap (BUT).

5. Dengan BUT al akan memenuhi unsur legalitas, hak/kewajiban secara hukum,


regulasi fiskal, kepastian perlindungan konsumen, dll.
6. Selain pendekatan bisnis dan legal, kehadiran PSE jg harus dilihat aspek
kontennya.
7. Dinamika perkembangan teknologi yg sangat kencang menjadi tantangan utama
terhadap kebijakan manajemen konten.
8. Check & balance harus diterapkan bergantung pd karakteristik konten.
9. Unt konten yg bersifat siaran atau hiburan, misalnya, ada Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dr KPI.
10. Unt yg berkaitan dengan pornografi sudah ada UU Pornografi dan UU
Perlindungan Anak.
11. Untuk radikalisme, bisa digunakan UU Terorisme.
12. Untuk film, ada LSF. Hanya saja, spt dlm kasus Netflix, mekanisme sensor ini
belum bisa mewadahi kecepatan perkembangan teknologi.
13. Soal sensor, saya sdh berdiskusi dg Mendikbud @aniesbaswedan bahkan sblm
Netflix mengumumkan layanan untuk wilayah Indonesia.
14. Kami sepakat memberdayakan lembaga yg ada di Kemdikbud dlm membuat
koridor sensor yang mekanismenya sesuai perkembangan teknologi.
15. Akan muncul "Netflix2" lain yg akan masuki pasar Ind, harus disikapi scr
seragam dengan regulasi yg memberi Level Playing Field.
16. Saya juga memahami/mengapresiasi aksi korporasi oleh Telkom Group yang
hari ini menutup akses Netflix di Indonesia sambil...
17. ... sambil menunggu proses pengeluaran kebijakan kami di Kominfo yg
berkaitan dg isu tersebut.
18. Demikian beberapa hal berkaitan dg bisnis Penyelenggara Sistem Elektronik yg
bisa saya sampaikan saat ini. Salam, ra.

Saran :

Untuk langkah yang diambil telkom group sendiri untuk memblokir layanan netflix merupakan
langkah yang cukup bagus. Karena seperti yang kita ketahui layanan Netflix sendiri, sebagian
menampilkan konten-konten yang berbau pornografi, yang tentu saja dapat mengancam moral
generasi generasi penerus indonesia.
Netflix sebagai penyedia layanan streaming seharusnya lebih mempersiapkan produknya
khususnya untuk negara-negara yang akan dijadikan market. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
seperti berita diatas netflix terancam untuk tidak dapat memasarkan produknya di negara yang
dituju. Seharusnya netflix dapat menyesuaikan isi konten yang ada layanan streaminnya. Seperti
yang telah diketahui bahwa sebagian dari layanan film atau tv series yang dipasarkan oleh netflix
memiliki konten-konten yang berbau pornografi.
Untuk pemerintah sendiri seharusnya bisa lebih tegas terhadap isu netflix ini, karena masih ada
beberapa penyedia telekomunikasi indonesia masih menunggu keputusan dari pemerintah terkait
isu netflix ini. Pemerintah juga harus cepat membuat suatu mekanisme penyaringan terhadap
konten-konten yang ada khususnya kategori PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) seperti
Netflix. Selain terkait mekanisme pemerintah harus segera menyelesaikan regulasi yang ada
terkait dengan layanan sejenis PSE.

Anda mungkin juga menyukai