Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

Kajian Teori
1. Kecerdasan
Istilah kecerdasan diturunkan dari kata intelegensi (Wahab, 2000 : 70). Intelegensi
merupakan suatu kata yang memiliki makna yang sangat abstrak. Namun demikian, banyak
ahli psikologi yang mencoba mengembangkan ikonnya dalam memahami intelegensi.
Dari berbagai macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli psikologi, Wahab
menyimpulkan bahwa kecerdasan adalah suatu konsep abstrak yang diukur secara tidak
langsung oleh psikologi melalui tes intelegensi untuk mengestimasikan proses intelektualnya.
Lebih lanjut, Wahab (2000) mengatakan bahwa intelegensi mempunyai beberapa
komponen, antara lain kemampuan verbal, keterampilan pemecahan masalah, kemampuan
belajar dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, dan pengalaman sehari-hari.
Intelegensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis secara kritis, cermat,
dan teliti serta menghasilkan ide-ide baru secara efektif dan efisien.
Kecerdasan Bahasa
Gardner, Howard dalam bukunya yang berjudul Multiple Intelligences (1993)
mengatakan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai ternyata memiliki banyak
keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan
seseorang. Gambaran mengenai spektum kecerdasan yang luas telah membuat mata para
orang tua maupun guru tentang adanya wilayah-wilayah yang secara spontan akan diminati
oleh anak-anak dengan semangat yang tinggi. Dengan demikian, masing-masing anak
tersebut akan merasa pas menguasai bidangnya masing-masing. Bukan hanya cakap pada
bidang tersebut yang memang sesuai dengan minatnya, melainkan juga akan sangat
menguasainya sehingga menjadi amal. Para ahli lebih lanjut mengatakan bahwa terdapat
unsur kecerdasan. Salah satunya adalah kecerdasan verbal linguistik atau yang lebih dikenal
dengan istilah kecerdasan bahasa. Kecerdasan bahasa ini berkaitan dengan kemampuan
menggunakan kata-kata dan memanfaatkan bahasa untuk mengekspresikan pengertian yang
kompleks secara efektif.
Kecerdasan bahasa tidak hanya sekedar bisa menulis dan bisa membaca secara harfiah
sesuatu yang seringkali kita banggakan pada anak-anak kita di usia TK tetapi juga berkaitan
dengan kemampuan untuk mencerna apa yang dibaca dan menuangkan apa yang dipikirkan.
Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya senang bercerita dan kaya kosakata (Tim Pustaka
Famili, 2006 : 82).

Menurut Gardner (1993), kecerdasan bahasa memuat kemampuan seseorang untuk


menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan dalam berbagai bentuk
yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.
Anak-anak dengan kecerdasan bahasa yang tinggi, umumnya ditandai dengan
kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa, seperti :
membaca, menulis karangan, membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya.
Anak-anak seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat, misalnya terhadap
nama-nama seseorang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka
cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal
penguasaan suatu bahasa baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Mayer dan Salovey (1997) mengungkapkan ada lima ranah kecerdasan emosional di
dalam bahasa, yaitu (1) mengenali emosi sendiri, (2) mengatur emosi, dan (3) memotivasi (4)
mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan dengan orang lain.
(1) Mengenali Emosi Sendiri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar
kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasan dari waktu ke
waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk
mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan.
Akhirnya, tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi
pengambilan keputusan masalah.
(2) Mengatur Emosi
Mengatur emosi berarti menanggapi perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan
tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi
dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat
melepas kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan cepat
dari semua itu. Sebaliknya, orang yang buruk kemungkinannya dalam mengelola emosi akan
terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif
yang merugikan dirinya sendiri.
(3) Memotivasi Diri
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui berikut, yaitu : a) cara
mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja
seseorang; c) kekuatan berpikir positif; d) optimisme; e) keadaan flow (mengikuti aliran),
yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang
terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada suatu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri
yang dimilikinya, seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai
segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

(4) Mengenali Emosi Orang Lain


Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika
seseorang terbuka pada emosi sendiri, dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca
perasaan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
(5) Membina Hubungan dengan Orang Lain
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang
mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. tanpa memiliki keterampilan,
seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak
dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseorang
seringkali dianggap angkuh mengganggu atau tidak berperasaan.
Hal yang hampir senada juga dikemukakan oleh Robert Coles dalam bukunya yang
berjudul The Moral Intellegence of Children, (1997) bahwa di samping IQ, ada suatu jenis
kecerdasan yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam
hidupnya.
Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang anak untuk bisa menghargai dirinya
sendiri maupun diri orang lain, memahami perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya,
dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Semua ini merupakan kunci keberhasilan bagi
seorang anak di masa depan.

2. Pembelajaran Cooperative Learning


Cooperative learning adalah model pembelajaran yang secara sadar dan sistematis
mengembangkan interaksi yang lebih silih asah, silih asih, dan silih asuh antarsesama siswa
sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata (Abdurahman dan Bintoro, 2000 : 78).
Falfasah yang mendasari model cooperative learning dalam pendidikan adalah falsafah
homo homini socios. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa
manusia adalah makhluk sosial. Tanpa kerja sama atau kooperatif, tidak akan ada individu,
keluarga, organisasi, atau sekolah (Lie, 1999 : 28).
Dalam konteks di atas, Johnson dan Smith (1991) mengatakan bahwa tidak semua kerja
kelompok bisa dianggap cooperative learning.
Lie (2000 : 90) berpendapat bahwa cooperative learning bertujuan untuk menghasilkan
manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya. Selain itu, suasana yang
positif timbul dari metode cooperative learning bisa memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mencintai pekerjaan dan sekolah. Dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan ini,
siswa merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.
Dapat disimpulkan bahwa esensi dari cooperative learning terletak pada tanggung
jawab individu, sekaligus kelompok, sehingga dalam diri setiap siswa tumbuh dan
berkembang sikap-laku saling ketergantungan (independent) secara positif. Dengan demikian
menjadikan belajar melalui kerja sama dalam kelompok akan berjalan seoptimal mungkin.
Kondisi ini dapat mendorong siswa untuk belajar, bekerja, dan bertanggung jawab sampai
tujuan dapat diwujudkan.

3. Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Group Investigation


Sharan tahun 1991 mengembangkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi
kelompok atau yang lebih populer dengan istilah group investigation yang semula dirancang
oleh Horbert Thelan. Pembelajaran ini dimaksudkan untuk membina sikap tanggung jawab
dan bekerja sama dalam kelompok, dan membina sikap saling menghargai pendapat anggota
kelompok serta membiasakan untuk berani mengungkapkan pendapat.
Basically, group investigation involves the integration of four essential features :
investigation interaction interpretation and intrinsic motivation (Sharan & Sharan, 1992).
Ciri-ciri dari pembelajaran group investigation adalah adanya kegiatan penyelidikan,
interaksi hubungan (timbal-balik), interpretasi, dan motivasi diri. Pembelajaran dengan
menggunakan model group investigation sangat sesuai dengan filosofi dari Jon Dewey yang
menyebutkan bahwa The students would have experienced meaningful learning if they have
been exposed to the stages of scientific inquiry. Dengan demikian, melalui pembelajaran ini
dapat membantu siswa untuk learn how to learn (Sharan & Sharan, 1992).
Untuk menghindari perbedaan pemahaman bebrapa istilah yang digunakan dalam judul
dan pernyataan karya tulis perlu diberikan penjelasan sebagai berikut.
a. Kecerdasan bahasa adalah kecerdasan yang memuat kemampuan seseorang untuk
menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan dalam berbagai bentuk
yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Indikator peningkatan kecerdasan
bahasa adalah pertambahan perbendaharaan kosakata, kecakapan dalam mengolah kata, dan
bercerita.
b. Metode cooperative learning adalah pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil yang
siswanya belajar dan bekerja sama untuk mencapai tujuan seoptimal mugkin.
c. Metode cooperative learning tipe group investigation adalah salah satu tipe dari
pembelajaran cooperative learning yang mengajak siswa untuk berperan serta dalam
penentuan topic, kebebasan dalam mengemukakan pendapat, dan menuntut siswa untuk
melakukan kerja sama dengan anggota kelompoknya.

1. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah


Ada beberapa alasan pemilihan strategi pemecahan masalah dalam penerapan metode
cooperative learning tipe group investigation :

a. Bagi Anak / Siswa


1. Meningkatkan kecerdasan bahasa
2. Menanamkan sikap emosional yang baik pada anak dalam melakukan kerja sama
3. Meningkatkan kemampuan siswa untuk berbicara secara lancar
4. Meningkatkan kekayaan kosakata siswa
5. Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide atau gagasan
6. Meningkatkan kemampuan siswa dalam menceritakan isi cerita tentang gambar yang ada
secara berurutan
7. Meningkatkan makna kerja sama
b. Bagi Guru
1. Menambah wawasan guru tentang metode pembelajaran yang bisa diterapkan di Taman
Kanak-kanak
2. Meningkatkan keterampilan dalam penggunaan metode yang tepat dalam proses
pembelajaran
3. Meningkatkan keterampilan guru dalam memilih alat pembelajaran yang tepat
4. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan kualitas profesional guru dalam
melakukan pembelajaran
5. Meningkatkan minat untuk melakukan pembaharuan / inovatif
6. Meningkatkan pemahaman tentang metode

2. Hasil atau Dampak Yang Dicapai


Dari penerapan metode cooperative learning tipe group investigation diperoleh hasil atau
dampak sebagai berikut :
a. Anak dapat bekerja sama dengan baik oleh semua kelompoknya
b. Anak dapat berbicara lancar dalam menceritakan gambar
c. Anak mempunyai kekayaan kosakata
d. Anak mempunyai kemampuan mengungkapkan ide / gagasan cerita
e. Anak dapat menceritakan gambar secara urut

3. Kendala-Kendala Yang Dihadapi


Ada beberapa kendala dalam penerapan metode cooperative learning tipe group
investigation sebagai berikut :
a. Anak masih malu dan belum terbiasa untuk bercerita di depan kelas
b. Anak masih merasa belum terbiasa mengutarakan ide atau gagasannya
c. Anak masih sulit menggunakan kosakata dalam kegiatan berbicara dan bercerita
d. Yang berani maju ke depan kelas belum semuanya

4. Faktor-Faktor Pendukung
Ada beberapa faktor pendukung terlaksananya penerapan metode cooperative learning
tipe group investigation sebagai berikut :
a. Silabus
Silabus merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran
pengelolaan kelas yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan RPP.
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP adalah perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam
mengajar dan disusun tiap putaran. Dalam RPP, memuat kompetensi dasar, indikator
pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran, skenario pembelajaran, alat peraga, penilaian,
dan kegiatan belajar mengajar.
c. Lembar Observasi Siswa
Lembar obsevasi ini digunakan untuk memantau setiap perkembangan siswa mengenai
kemampuan bercerita yang menjadi patokan dalam pengukuran tingkat kecerdasan bahasa
siswa.
d. Lembar Observasi Guru
Lembar observasi ini disusun untuk memantau perkembangan dari proses pembelajaran
yang dilakukan oleh guru. Penguasaan terhadap metode yang dipakai serta penguasaan khas
dalam menerapkan metode.

5. Alternatif Pengembangan
Di dalam penerapan metode cooperative learning tipe group investigation ini ada
alternatif pengembangan yaitu :

a. Penerapan metode cooperative learning tipe group investigation karena dapat


meningkatkan kemampuan berbahasa siswa maka perlu dimanfaatkan dan disosialisasikan
kepada guru atau TK lain.
b. Pembelajaran dengan menggunakan metode cooperative learning tipe group investigation
mampu mengarah kecerdasan emosi anak, hubungan dengan orang lain, membiasakan anak
untuk bekerja sama dalam kelompok kecil maka perlu ditingkatkan dan disosialisasikan
kepada guru atau TK lain.
c. Penerapan metode cooperative learning tipe group investigation karena dapat menambah
wawasan guru dalam menerapkan metode dan melatih keterampilan guru dalam mengelola
kelas maka perlu ditingkatkan dan disosialisasikan kepada guru atau TK lain.

Anda mungkin juga menyukai