Anda di halaman 1dari 7

Suplement

ZAT GIZIMIKRO ZINK, DARI ASPEK MOLEKULER


SAMPAI PADA PROGRAM KESEHATAN MASYARAKAT
Suryani Asad Armin
Bidang Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

PENDAHULUAN
Zink (Zn) termasuk dalam kelompok trace element
yaitu elemen-elemen yang terdapat dalam tubuh dengan
jumlah yang sangat kecil dan mutlak diperlukan untuk
memelihara kesehatan.
Bahwa zink esensial untuk kehidupan telah diketahui
sejak lebih dari seratus tahun yang lalu. Penelitian
mendalam selama 20 tahun terakhir menghasilkan
pengertian tentang peranan biokimia zink dalam tubuh
dan gejala klinik yang timbul akibat defisiensi zink pada
manusia (Almatsier, 2001). Zink memegang peranan
esensial dalam banyak fungsi tubuh, dan sebagai
bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan
lebih dari 300 enzim, berperan dalam berbagai aspek
metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan
dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein,
lemak, dan asam nukleat.
Sebagai bagian dari banyak metabolenzim, zink
sangat dibutuhkan dalam hampir semua aspek
metabolisme seluler. Kajian beberapa hasil penelitian
pada hewan percobaan menunjukkan bahwa zink
bersifat esensial untuk sintesis DNA oleh sel-sel
mamalia. Thimidinkinase, RNA polimerase, DNA
polimerase, ribonuklease dan reverse transkriptase
adalah beberapa enzim zinc-dependent yang
merupakan katalisator penting dalam replikasi dan
transkripsi DNA selama dalam pembelahan sel.
(Shankar & Prasad, 1998; McLange, 1998).
Pengaruh Zink terhadap Fungsi Imun
Telah diketahui bahwa zink memainkan peran
penting pada sistem imun. Anak yang menderita
defisiensi zink sangat rentan terhadap berbagai macam
kuman patogen. Zink mempengaruhi berbagai aspek
dalam sistem imun, mulai sistem pertahanan oleh kulit
sampai regulasi gen pada limfosit. Zink berperan pada
perkembang dan fungsi normal yang memperantarai
imunitas nonspesifik seperti netrofil dan sel NK.
Defisiensi zink juga mempengaruhi perkembangan
imunitas dapatan, mulai dari pertumbuhan dan fungsi
tertentu limfosit T seperti aktivasi, produksi sitokin oleh
Th-1 dan 2, perkembangan limfosit B serta produksi
antibodi, khususnya lgG. Makrofag, sel penting dalam
banyak fungsi imunologis, sangat dipengaruhi oleh
defisiensi zink, dimana dapat menyebabkan ketidakaturan komponen dalam intra sel, produksi sitokin, dan
fagositosis.
Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

Pengaruh zink terhadap aktifitas sel imunokompoten dijelaskan sebagai berikut :


Sel Natural Killer (Sel NK)
Sel NK merupakan satu subset limfosit yang ada
dalam darah dan jaringan limfoid terutama limfa.
Kekurangan zink akan menghambat fungsi sel NK baik
untuk penghancuran sel target maupun untuk
menghasilkan INF- yang akan memicu aktifitas
makrofag (Wahid, 2001).
Dari studi in vitro terungkap bahwa kehadiran zink
akan meningkatkan respon proliferasi limfosit T terhadap
berbagai rangsangan. Pemberian zink ternyata
meningkatkan ekspresi dan fungsi molekul permukaan
limfosit T (misalnya ICAM-1) sehingga memperbaiki
interaksi antar sel dan kemampuannya menangkap
langsung superantigen. Terhambatnya proliferasi
limfosit pada kekurangan zink disebabkan oleh karena
zink sangat dibutuhkan dalam berbagai tahap siklus sel
(G1-S, G2-M). Zink mempromosi produksi
thymidinekinase yang menggerakkan tahap awal ke
tahap akhir G1, zink juga nampaknya berperan
(mekanisme belum jelas) pada pergeseran ke tahap S
(sintesa DNA) dan transisi ke G2 dan M (mitosis). Mitosis
nampaknya cukup berpengaruh oleh kekurangan zink
karena adanya hambatan pada polimerisasi.
Nampaknya zink mempengaruhi berbagai macam
enzim yang berperan dalam replikasi dan transkripsi
DNA seperti DNA polymerase, thymidine kinase, DNAdependent RNA polymerase, deoxyribonucleotidyl
transferase dan aminoacyl transfer RNA syntetase serta
regulator transkripsi yang dikenal sebagai thymidine
kinase sangat sensitif pada kekurangan zink. Pada
kenyataannya, zink dibutuhkan untuk ekspresi berbagai
gen yang mengatur mitosis sehingga kekurangan zink
akan menghambat proliferasi sel yang berdampak pada
berkurangnya jumlah limfosit.
Zink juga berperan pada proses aktivasi limfosit dan
transduksi signal yang muncul akibat adanya
rangsangan antigen yang tertangkap oleh reseptor
limfosit T. Zink terlibat dalam interaksi antara CD4 (sel
T-helper) atau CD8 (sel T-supressor) dengan
tyrosinekinase p56lck. Suatu protein esensial pada
tahap awal aktivasi limfosit T, karena menstimulasi
autofosforilasi tyrosinekinase oleh p56lck dan fosforilasi
T cell receptor complex yang melibatkan CD45.

29

Selanjutnya, zink berperan dalam fosforilasi protein yang


dimediasi oleh protein kinase C, perubahan selanjutnya
akibat fosforilasi protein ini akan mengatur aktivasi dan
proliferasi limfosit T (Wahid, 2001).
Efek Zink pada Sitokin
Sitokin adalah mediator yang dihasilkan oleh sel
dalam reaksi radang atau imunologik yang berfungsi
sebagai isyarat antara sel-sel untuk mengatur respons
setempat dan kadang-kadang juga secara sistemik.
Sitokin mem-pengaruhi peradangan dan imunitas
melalui pengaturan pertumbuhan, mobilitas dan
diferensiasi leukosit dan sel-sel jenis lain. Sitokin yang
juga dikenal sebagai interleukin merupakan pembawa
pesan dari sel-sel imunologis yang mengatur berbagai
aspek biologi leukosit (Aggarawal, 1995; Subowo, 1993).
Sel-sel T helper dapat dikategorikan sebagai sel Th1 dan Th-2 berdasarkan fungsinya dalam cell mediated
immunity = imunitas seluler (Th-1) dan antibody
mediated immunity = imunitas humoral (Th-2). Sitokin
yang berhubungan dengan sel Th-1 diketahui memacu
aktivasi makrofag dan produksi isotip-isotip
imunoglobulin G yang sitofilik. Sitokin yang berhubungan
dengan sel Th-2 cenderung menekan fungsi makrofag
dan imunitas yang diperantarai oleh sel (cell mediated
immunity), disamping memacu produksi isotip-isotip lgC
non sitofilik dan lgE. Percobaan sebelumnya pada
manusia dan pasien-pasien yang menderita siccle cell
anemia dan kanker kepada dan leher memperlihatkan
efek bermakna dari defisiensi zink pada aktifitas
beberapa sitokin. Sebagai ringkasan, hasil-hasil di atas
menunjukkan bahwa defisiensi zink pada manusia
meskipun
ringan
dapat
disertai
dengan
ketidakseimbangan fungsi sel Th-1 dan Th-2 yang
berakibat disregulasi resistensi terhadap infeksi
(Playfair, 1996).
Efek Zink terhadap Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel yang ditandai
oleh berkurangnya volume sel, kondensasi kromatin dan
sitoplasma serta fragmentasi DNA. Apoptasis terjadi
pada proses perkembangan sel yang sangat diperlukan
dalam regulasi kepadatan populasi sel normal.
Apoptosis sebenarnya adalah proses fisiologis yang
normal yang memungkinkan berbagai proses penting
dari perubahan epitel ke perkembangan limfosit T dan
B, namun bila berlebihan menyebabkan ketidak
beraturan dan beberapa proses dasar dapat terjadi,
dengan demikian memiliki konsekuensi penting dalam
kesehatan. Hewan yang defisiensi zink memperlihaetkan
perubahan secara spontan dan perangsangan toksin
yang terus menerus menyebabkan terjadi apoptosis
pada berbagai sel. Kekurangan zink menyebabkan
atropsi timus yang merupakan gambaran utama
defisiensi zink. Sekarang diketahui bahwa atropi ini
berhubungan dengan apoptosis sel dari timusit.
30

Beberapa studi menunjukkan bahwa zink merupakan


regulator apoptosis limfosit in vivo. Suplementasi zink
menurunkan mitotoksin, dan mencegah pemecahan
DNA dalam timusit. Studi in vitro memperlihatkan bahwa
jumlah limfosit dan timusit yang mengalami apoptosis
lebih banyak bila medium tidak diberi zink atau medium
diberi zink chelator. Sebaliknya apoptosis dapat dicegah
oleh penambahan cairan dengan konsentrasi zink tinggi.
Dari sini dapat disarankan bahwa zink merupakan
regulator intrasel yang utama dalam hal mencegah
apoptosis yang berlebihan. Sebagai tambahan
hubungan dosis respons diperlihatkan antara
konsentrasi zink intrasel dengan derajat kerentanan
terhadap terjadinya apoptosis.
Sepertinya aktifitas zink pada berbagai tingkatan
terdapat korelasi yang baik antara aktifitas enzim Ca/Mg
DNA endonuklease dan hambatan fragmentasi DNA.
Keseimbangan kalsium zink mengatur aktifitas
endonuklease, nukleusida fosforilase, dan enzim zink
dependen lainnya dapat menghambat apoptosis
dengan cara mencegah akumulasi racun nukleotida
seperti poli ADP ribose polimerase; inti enzim tergantung
zink (Shankar & Prasad, 1998).
Peranan Zink sebagai Anti oksidan
Oksidan dalam pengertian ilmu kimia adalah
senyawa penerima elektron (elekctron acceptor) yaitu
senyawa yang dapat menarik elektron. Oksidan dapat
mengganggu integritas sel/merusak sel karena dapat
bereaksi dengan komponen-komponen sel yang penting
untuk mempertahankan kehidupan sel, baik komponen
struktural (misalnya molekul-molekul penyusun
membran) maupun komponen fungsional (misalnya
enzim-enzim dan DNA).
Zink mempunyai kegunaan penting yaitu sebagai anti
oksidan; melindungi sel dari pengaruh kerusakan
oksigen yang dihasilkan selama aktivasi imun. Selain
itu zink juga mengatur ekspresi dalam limfosit
metaloetionin dan protein. Dengan aktifitas anti oksidan
konsentrasi zink membran sangat dipengaruhi oleh diit
defisiensi zink. Suplementasi zink dapat mencegah
peroksidasi lemak dan suplementasi zink mencegah
kerusakan paru pada tikus akibat hipoksia dengan cara
membatasi kerusakan membran oleh radikal bebas
selama inflamasi (Shankar & Prasad, 1998).
Hubungan Zink dan Diare
Kaitan antara zink dan diare telah dilaporkan baik
dari hasil penelitian epidemiologis maupun laboratorium.
Kemungkinan mekanisme yang dapat menjelaskan
pengaruh zink terhadap diare dapat dijelaskan sebagai
berikut (Bijleveld et al., 1997) : Diare akut pada anakanak di negara berkembang kebanyakan diare infeksi.
Zink dapat mempunyai efek terhadap beberapa enterosit
dan sel-sel imun yang berinteraksi dengan infectious
agents pada diare. Zink utamanya bekerja pada jaringan

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

dengan kecepatan turnover yang tinggi seperti halnya


pada saluran cerna dan sistem imun dimana zink
dibutuhkan untuk sintesa DNA dan sintesa protein. Pada
binatang percobaan didapat bahwa sel-sel darah putih
terikut dalam sekresi usus halus selama diare yang
berkaitan dengan infeksi. Hasil pemeriksaan mikroskop
elektron mukosa usus penderita diare yang disebabkan
oleh kuman kolera memperlihatkan degranulasi dari
mast sel dan eosinofil mukosa, neutrofil meningkat dan
terjadi perubahan pada serabut saraf enterik. Inflamasi
dan mediator inflamasi dapat terlibat dalam sekresi
berkaitan dengan infeksi diare. Zink menstabilkan
struktur membran dan memodifikasi fungsi membran
dengan cara berinteraksi dengan oksigen, nitrogen dan
ligan sulfur makro molekul hidrofilik, serta aktifitas anti
oksidan (Wapnir, 2000). Zink melindungi membran dari
efek dari infectious agent dan dari peroksidasi lemak.
Pada usus tikus, defisiensi zink menurunkan secara
bermakna absorpsi natrium dan air dan dapat
mempengaruhi aktifitas disakaridase. Penelitian terakhir
menganjurkan bahwa zink dapat bekerja pada tight
junction level untuk mencegah meningkatnya
permeabilitas usus yang berkaitan dengan kurang gizi.
Zink juga mencegah dilepaskannya histamin oleh sel
mast dan respons kontraksi serta sekretori terhadap
histamin dan serotonin pada usus. Akhirnya zink
nampaknya mencegah peningkatan permeabilitas
endotel yang diperakarsai oleh TNF-a, yang juga
merangsang kerusakan permeabilitas lapisan epitel
usus. Oleh karena itu zink dapat merangsang pertahanan
imun, sementara mengurangi efek yang merugikan
akibat aktivasi sel imun pada lapisan epitel usus.
Defisiensi Zink sebagai Penyebab Diare
Dilaporkan bahwa defisiensi zink pada tikus tidak
saja menurunkan kadar zink dalam usus halus, hepar
dan femur, tetapi juga menimbulkan kegagalan absorpsi
air dan natrium. Percobaan ini menunjukkan adanya
kaitan antara status zink dengan kehilangan cairan dan
elektrolit pada diare yang mendukung peranan zink
dalam membran sel. Observasi ini kemungkinan relevan
untuk manusia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian di
Jamaica pada bayi dengan kelainan gizi. Pada penelitian
ini pemberian tambahan zink dalam bentuk diet protein
kacang kedelai (soy-protein diet) mencegah terjadinya
diare pada masa kesembuhannya. Diare yang terjadi
pada bayi yang tidak diberikan tambahan zink
mengandung kadar natrium yang tinggi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa defisiensi yang relatif ringan pada
manusia dapat menimbulkan diare dan pemberian
tambahan zink mempunyai efek yang bermanfaat.
Defesiensi zink memicu berbagai mekanisme fungsi
sel barier endotel (in vitro) dan dapat diperbaiki dengan
suplementasi zink. Data ini mempunyai implikasi yang
penting terhadap proses vaskuler baik akut maupun
kronik. Defisiensi zink mengganggu fungsi endotel sel
diinduksi oleh sitokin. Defisiensi zink menyebabkan
Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

apoptosis sel (Chimienti, 2001; Sunderman, 1995; Tran,


2000). Mekanisme pertahanan sel termasuk : DNA
repair Enzym, anti oksidan dan Poly (ADP-ribosyl)
polymerase = pADPRP. Salah satu karakteristik penting
apoptosis adalah kematian sel yang diawali dengan
fragmentasi DNA.
Efek preventif suplementasi zink terhadap diare.
Zink ion mencegah kematian sel limfoid dengan cara
menghambat endonuklease yang bertanggungjawab
terhadap
fragmentasi
DNA.
Berkurang-nya
bioavailabilitas zink bertanggung jawab terhadap
besarnya gangguan imunologis pada tubuh, dan efek
mendasar zink paling tidak dapat berperan pada
pengurangan proses peroksidasi (Blanchard, 2000;
Wapnir, 2000).
Peringkat ke-5 Diantara Faktor risiko utama penyebab
Penyakit
WHO melakukan pendataan dan pengukuran
tentang sejumlah penyakit, disabilitas dan kematian
yang dapat dihubungkan dengan faktor-faktor resiko
utama dalam kesehatan. Di negara-negara
berkembang, defisiensi zink menduduki peringkat ke-5
diantara 10 faktor resiko tersebut. WHO menghubungkan
800.000 kasus kematian diseluruh dunia setiap
tahunnya dengan defisiensi zink dan lebih dari 28 juta
yang kehilangan kesempatan menjalani pola hidup
sehat. Diperkirakan sebanyak 1/3 dari seluruh populasi
dunia terkena dampak defisiensi zink. Beberapa
miligram tambahan zink setiap hari dapat membuat
jutaan ummat manusia diseluruh penjuru dunia
merasakan perbedaan antara keadaan sakit dan
keadaan sehat beserta hidup yang produktif.
WHO menggunakan skala pengukuran metric-DALY
(disability adjusted life years = masa hidup dengan
adaptasi terhadap kecacatan yang diderita) dimana satu
DALY adalah setara dengan kehilangan satu tahun masa
hidup sehat tanpa kecacatan atau disabilitas. Di negaranegara berkembang, lebih dari 28 juta DALY merupakan
akibat dari kekurangan zink. Hampir setengah dari
kehilangan masa hidup sehat ini terjadi lebih dari
130.000 total masa hidup sehat yang hilang akibat
defisiensi Zn. Sepuluh faktor resiko utama di negaranegara berkembang dalam bentuk persentase penyebab
dari penyakit yang diderita, diukur dalam DALY dimana
defisiensi zink terletak pada urutan ke-5 (WHO, 2002).
Anak-anak di negeri ini banyak yang menderita
defisiensi zink karena asupan protein hewan yang
kurang dan sebahagian besar mengkonsumsi protein
asal serealia yang mengandung tinggi fitat, mengikat
dan menghambat absorpsi zink (Asad, 2000;
Lonnerdal, 2000). Oleh karena zink dibutuhkan untuk
berbagai fungsi normal tubuh misalnya integritas
membran, metabolisme protein dan sintesa asam
nukleat, maka bila terjadi defisiensi akan muncul
gangguan yang luas termasuk gangguan sistem imun
31

dan meningkatkan resiko penyakit infeksi seperti diare


pada lidah dan mukosa mulut (Alpers, 1994). Zink juga
dapat mempengaruhi kontrol nafsu makan oleh
pengaruh langsung pada susunan saraf pusat,
mengganggu perangsangan reseptor-reseptor
epinefrin, dopamin, serotonin, gamma amino butiric acid
dan opiat-opiat (Xie, 1994).
Defisiensi zink dapat terjadi oada golongan rentan,
yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang
tua. Tanda-tanda kekurangan zink adalah gangguan
pertumbuhan dan kematangan seksual. Fungsi
pencernaan terganggu, karena gangguan fungsi
pankreas, gangguan pembentukan kilomikron dan
kerusakan permukaan saluran pencernaan. Disamping
itu dapat terjadi diare dan gangguan fungsi kekebalan.
Kekurangan zink kronis mengganggu fungsi saraf dan
sistem otak. Kekurangan zink juga mengganggu fungsi
kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan nafsu
makan, penurunan ketajaman indra perasa dan
memperlambat proses penyembuhan luka.
Penderita gizi buruk yang mengalami diare berkisar
51,5% hingga 66,3% (Brewster et al., 1997). Studi
pendahuluan penelitian disertasi yang kami lakukan
selama 5 bulan observasi didapatkan bahwa semua
penderita gizi buruk pernah mengalami diare, yang
berlangsung rata-rata 4,5 hari; 28% diantaranya
mengalami diare persisten yakni diare yang berlangsung
>14 hari (Asad, 2001).
Diare dapat merupakan salah satu manifestasi klinik
defisiensi zink. Berbagai laporan penelitian pada
binatang percobaan diketahui bahwa pada defisiensi
zink terjadi kerusakan mukosa usus (Nobili, 1997) dan
menyebabkan rendahnya respon imun sehingga tubuh
rentan terhadap berbagai macam kuman yang
mempermudah terjadinya diare (McLange, 1998).
Kekurangan kalori protein serta defisiensi zink
merupakan faktor yang peranannya penting pada
kelainan struktur usus halus dan turunnya kekebalan
tubuh menyebabkan mudahnya terjadi diare, malah
dapat bermanifestasi sebagai diare persisten (Wapnir,
2000; Asad, 2000).
Defisiensi zink mengakibatkan dampak yang serius
bagi kesehatan, termasuk didalamnya
-

Melemahnya sistem imun dan sebagai akibatnya


terjadi peningkatan prevalensi penyakit-penyakit
infeksi pada anak-anak seperti diare dan
pneumonia.

Hambatan
proses
pertumbuhan
perkembangan pada bayi, anak dan remaja.

Gangguan kesehatan ibu dan bayi dalam


kandungan.

dan

Program-program Kesehatan Masyarakat mampu


Memerangi Defisiensi Zink

32

Dari hasil penelitian yang telah kami lakukan, ada


beberapa pilihan yang dapat dilakukan untuk
menangani defisiensi zink dalam kelompok masyarakat
yang memiliki risiko tinggi yaitu : Pemakaian Suplement
zink, Fortifikasi zink dalam makanan sehari-hari dan
modifikasi pola makan. Berbagai bentuk Zn telah
tersedia dalam bentuk suplement dengan harga yang
murah. Kami sarankan pemakaian zink dalam bentuk
garam-garam yang mudah larut seperti zink-Asetat, zinkSulfat atau zink-Glukonat untuk digunakan dalam
formulasi Supplement dan bentuk suplement ini harus
dikonsumsi setiap hari utamanya diantara waktu makan.
Suplement zink direkomendasikan untuk digunakan
dalam pengobatan beberapa penyakit, contohnya
pemakaian zink sebagai tetapi tambahan selama
proses pengobatan diaret pada bayi dan anak kecil.
Suplement zink ini diberikan dalam bentuk syrup
beraroma. Bentuk tablet kunyah juga dapat diberikan
pada anak-anak usia sekolah. Pendekatan lainnya ialah
dengan cara menggunakan kemasan sachet dosisi
tunggal mikronutrient (bubuk) atau tablet yang mudah
hancur dan larut yang ditambahkan ke dalam makanan
saat disajikan.
Bentuk optimal penggunaan suplement ini
tergantung pada Usia kelompok target yang akan
diberikan, adat budaya setempat dan tingkat kebutuhan
akan penambahan suplement zat gizi dalam makanan
mereka. Metode lain dalam proses suplement zink
adalah pengolesan lemak dengan kadar tinggi dan
penambahan berbagai mikronutrient lainnya. Dalam
berbagai situasi, Zn sudah dapat disertakan dalam
program pengadaan zat gizi harian atau mingguan
seperti penyediaan zat Besi, dimana dalam hal ini
membutuhkan biaya tambahan yang berkisar antara Rp.
1.000-1.500 perorang tiap tahunnya.
Fortifikasi Makanan
Fortifikasi
makanan
merupakan
proses
penambahan zat-zat gizi kedalam makanan sehari-hari,
minuman atau bumbu-bumbu masak yang lazim
dikonsumsi. Proses ini memainkan peran utama dalam
program pemberantasan defisiensi zink di negaranegara industri. Formula bayi, Sereal untuk bayi dan
Sarapan sereal siap saji sering mengalami proses
fortifikasi. Saat ini kita butuh program fortifikasi zink
secara dan skala nasional dimana zat gizi zink dan
mikronutrient lainnya ditambahkan kedalam gandum
dan tepung yang merupakan bahan baku pembuatan
roti dan makanan lainnya. Diharapkan juga adanya
pengadaan minuman campuran dengan komposisi
dasar susu khusus untuk ibu-ibu hamil dan menyusui.
Senyawa-senyawa zink yang dapat digunakan sebagai
zat tambahan termasuk zink-Klorida, zink-Glukonat, zinkOksida, zink-Stearat dan zink-Sulfat, dimana kesemuanya
telah terdaftar sebagai GRAS (Generally Regarded as
Safe = pada umumnya aman) oleh the Food and Drugs
Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

Administration. Pilihan tergantung pada daya larut


senyawa-senyawa tersebut, efek akhir pada cita rasa
produk makanan yang dihasilkan, daftar harga dan
keamanan. Umumnya tingkat fortifikasi pada produk
makanan sereal misalnya, adalah 30-70 mg zink untuk
tiap 1 kg tepung. Program-program fortifikasi sangat
efektif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat,
khususnya pada populasi dengan resiko tinggi dan juga
efektif dari segi biaya.

MODIFIKASI POLA MAKAN


Berbagai cara untuk memodifikasi atau
menganekaragamkan pola makan dengan tujuan untuk
meningkatkan asupan makanan dengan kadar zink
mudah serap tinggi sepantasnya diadakan untuk jangka
waktu yang lama. Suatu tehnik yang dinamakan fortifikasi
ladang juga bisa digunakan. Tehnik ini mencakup
pemakaian pupuk zink yang digunakan untuk
meningkatkan kandungan zink (dan hasil panen ladang
tersebut) dalam padi atau sereal lainnya dan juga
mencakup upaya pembiakan tumbuhan untuk
menghasilkan genotip yang dapat mengefisiensikan
kadar zat gizi zink.
Kisaran perbedaan genotip berdasarkan konsentrasi
zink (dan besi) dalam umbi-umbian misalnya, adalah
sebesar 50% dari nilai rata-rata. Pembiakan tumbuhan
juga telah terbukti berhasil dalam mengembangkan
varietas jagung, gandum dan beras dengan tingkat
kandungan phytate rendah. Orang dewasa yang memiliki
pola makan dengan makanan pokok jagung, kandungan
phytate telah ditekan lebih dari 55%, maka daya serap
rata-rata zink akan meningkat sebesar 78%.
Program jangka panjang lainnya dalam bidang ini
termasuk modifikasi genetik tumbuh-tumbuhan yang
bertujuan menaikkan tingkat penyerapan zink pada
tumbuhan tersebut dan memajukan areal peternakan
hewan di daerah terpencil serta bercocok tanam dengan
medium air yang akan meningkatkan produksi makanan
yang kaya akan zink.

ZINK UNTUK KESEHATAN YANG LEBIH BAIK


Kami yakin bahwa defisiensi zink adalah suatu hal
yang sangat lumrah di negara berkembang termasuk
Indonesia. Makanan yang secara khusus adalah sumber
yang kaya akan zink sukar diperoleh didaerah kaya tetapi
miskin ini. Meskipun zink terdapat pada beragam
makanan, kadar zink tertinggi terdapat dalam daging,
ikan dan kerang, dalam jumlah lebih sedikit terdapat
dalam telur dan makanan harian lainnya. Kandungan
zink juga relatif tinggi dalam kacang tanah, biji-bijian,
kacang polong, sereal, umbi-umbian, buah-buahan dan
sayur mayur. Produk hewani seperti kerang dan daging
yang mengandung zink dalam jumlah besar dan siap
diserap tubuh, tidak dapat dikonsumsi secara luas oleh
karena harganya yang mahal dan pengadaannya yang

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

terbatas. Sereal dan kacang polong yang dapat


diperoleh secara luas juga mengandung zink tetapi
kandungannya hanya sedikit yang dapat diserap karena
penyerapannya di usus dihambat oleh komponen bahan
lain dari makanan ini seperti serat dan phytate. Inilah
yang menyebabkan sehingga banyak orang terutama
keluarga-keluarga miskin di negara kita yang tidak
mendapatkan cukup zink dari makanannya.
Latar belakang masalah sosial dan ekonomi pada
populasi yang berpendapatan rendah, seperti
kemiskinan, kualitas makanan yang rendah, kurangnya
pemahaman akan gizi dan tingginya tingkat paparan
terhadap pathogen mengingat mereka memang hidup
dalam lingkungan dengan sanitasi dan higienitas yang
rendah, kesemuanya ini menyebabkan terjadinya
defisiensi zink. Untuk alasan inilah sehingga identifikasi
jelas terjadinya defisiensi zink berikut penyebabnya perlu
dijadikan sebagai prioritas utama oleh para perencana
kesehatan masyarakat. Penelitian yang telah kami
lakukan menunjukkan bahwa penambahan zink
menyebabkan pengurangan hingga 50% kasus diare.
Penelitian selanjutnya di Afrika juga menunjukkan hasil
serupa dalam hal pengurangan hari menderita diare.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan zink yang dapat
mencegah infeksi diare tidak mengenal batas wilayah
geografi. Keuntungan suplementasi zink sebanding
dengan manfaat yang dapat diperoleh dari program
perbaikan kualitas air bersih, pengadaan air dan sanitasi.
Penelitian tentang infeksi saluran napas bawah di India,
Jamaika, Peru dan Vietnam menunjukkan pengurangan
kasus pneumonia hingga 40% jika anak-anak tersebut
diberi zink. Penelitian terhadap malaria menunjukkan
bahwa zink dapat mengurangi gangguan infeksi
Plasmodium terhadap malaria menunjukkan bahwa zink
dapat mengurangi gangguan infeksi Plasmodium
falsiparum pada anak-anak. Suatu penelitian di India
pada bayi dengan lahir rendah menunjukkan bahwa
dengan suplementasi harian zink dapat mengurangi
angka kematian hingga 68%.
Kelompok populasi yang paling berisiko mengalami
defisiensi zink, yaitu bayi yang dalam masa penyapihan,
anak-anak baru sembuh dari suatu keadaan malnutrisi,
wanita hamil dan menyusui, serta orang tua, termasuk
juga bagi mereka yang karena beberapa hal sulit
memenuhi kecukupan zink dari makanannya.
Berdasarkan berbagai bukti yang ada menunjukkan nilai
positif dengan suplementasi zink, maka seyogyanya jika
program kesehatan masyarakat memfokuskan diri pada
mereka yang menempati posisi berisiko tinggi
mengalami defisiensi zink.

DAFTAR RUJUKAN
1.

Abbas KA, Lichtman HA, Pober SJ (2000): Cellular and molecular


immunology. WB Saunders Company. Aggarawal B, Puri KR (1995):
Human cytokines: Their role in disease and therapy. Blackwell
science : 239 252.

33

2.

Almatsier Sunita (2001): Zink mineral. Dalam : Prinsip dasar


Ilnu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta: 247 250.
3. Alpers DH (1994): Zinc deficiency and taste & smell. JAMA
26 : 272: 1233 1234. Asad Suryani (2001): Pemberian
makanan lokal dalam pelaksanaan day care untuk program
JPSBK (Studi Kaji Tindak). Jurnal Medica Nusantara, Vol 22,
No.4 2001: 484 489.
4. Asad S, Yusuf I : The effect of zinc supplementation on
the TNF-a profile and diarrhea in severity malnourished
children of low income family. Medical Journal of Indonesia,
Vol 12, No.4, Oct-Dec 2003 : 247 251.
5. Bijleveld C, Buller H, Taminiau J, Thomas A (1997): Zinc in
the treatment of diarrhea. Selected Summary. Journal of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 25 : 363 365.
6. Blanchard KR, Cousins JR (2000): Regulation of intestinal
gene expression by dietary zinc: Induction of uroguanylin
mRNA by zinc deficiency. J. Nutr. 130 : 1393S 1398S.
7. Brewster, Monary Mj, Graham SM (1997). Case
management of Kwashiorkor: An Intervention project at
seven malnutrition rehabilitation centers in Malawi. Eur J
Clin Nutr, 51 : 139 147.
8. Chimienti F, Seve M, Richard S, Mathieu J. Favier A (2001):
Role of cellular zinc in programmed cell death: temporal
relationship between zinc depletion, activation of caspases,
and cleavage of Sp family transcription factors. Biochem
Pharmacol 62:51 62.
9. Dijkhuizen AM, Wieringa TF (2001): Vitamin A, Iron and zinc
deficiency in Indonesia. Micronutrient interactions and
effects of supplementation. PhD thesis. Wageningen.
10. IZINCG (2004): Food and Nutrition Bulletion Volume 25 No. 1
(suplemen ke 2), Maret, the International Nutrition
Foundation for the United Nations University.
11. Kim SH, Keen CL (1999): Influence of dietary carbohydrate
on zinc-deficiency-induced changes in oxidative defence
mechanisms and tissue oxidative damage in rats. Biol Trace
Elem Res : 70 : 81 96.
12. Kolsteren PW, Kardjati Sri, Trajssac P, Goyen P (1998): Hair
zinc and copper in Indonesian infants. Asia Pasific J Clin
Nutr. 7 : 151 159.
13. Krebs F Nancy (2000): Overview of zinc absorption and
excretion in the human gastrointestinal tract. J. Nutr. 130:
1374S 1377S.
14. Lepage LM, Giesbrecht JC, Taylor CG (1999): Expression
of T lymphocyte p56lck, a zinc-finger signal transduction
protein, is elevatedby dietery zinc deficiency and diet
restriction in mice. J. Nutr. 129 : 620 627.

20. Nobili Fabio, Vignolini francesco, Fignis Elisabetta &


Mengheri Elena (1997): Treatment of rats with
dexamethazone or thyroxine reverses zinc deficiency
induced intestinal damage. J Nutr. 127 : 1807 1813.
21. Oteiza Pl, et al. (1995): Zinc deficiency causes oxidative
damage to protein, lipids and DNA in rats testes. J Nutr. 125
: 823 829.
22. Oteiza Pl, Clegg MS, Zago MP, Kenn CL (2000): Zinc
deficiency induces oxidative stress and AP-1 activation in
3T3 cells. Free Radical Biol Med. 28 : 1091 1099.
23. Perdue MH (1999): Mucosal immunity and inflammation III.
The mucosal antigen barrie: cross talk with mucosal
cytokines. The American Physiological Society.
24. Powel SR (2000): The antioxidant preperties of zinc. J Nutr.
130 (5S Suppl): 1447S 1454S.
25. Prasad AS (2000): Effect of zinc deficiency on Th1 and
Th2 cytokine shifts. J. Infect Dis 182 Suppl : S62 S68.
26. Rothwell J N, Grimble FR (1992): Metabolic and nutritional
effects of TNF. In Tumor Necrosis Factor, the molecules
and their emerging role in medicine. Editedf by Bruce Beutler.
Raven Press, New York : 23 254.
27. Salgueiro MJ, Zubiallga M, Lysionek A, et al. (2000): Zinc
status and immune system relationship: a review. Biol Trace
Elem Res 76 : 193 205.
28. Sauberlich E.H. (1999): Zinc. in Laboratory tests for the
assessment of nutritional status; 2nd ed. CRC Press : 383
394.
29. Sazawal S, Black RE, Bhan MK, Jalla S, Sinha A Bandari N
(1997) : Efficacy of zinc supplementation in reducing the
incidence and prevalence of acute diarrhea a community
based, double blind, controlled trial. Am J Clin Nutr, 66 : 413
418.
30. Scott EM, Koski GK (2000): Zinc deficiency impairs immune
response againts parasitic nematode infections at intestinal
and systemic sites. American society for nutritional
sciences. J. Nutr. 130 : 1412S 1420S.
31. Subowo (1993): Sitokin dalam Imunobiologi, Angkasa,
Bandung : 187 206 Scrimshaw S Nevin, Giovanni SP
John (1997): Synergism of nutrition, infection, and immunity:
an overview. Am J Clin Nutr. 66 : 464 775.
32. Semred CE (1999): Zinc and intestinal function. Curr
Gastroenterol Rep.1 : 398 403.
33. Shankar HA, Prasad AS (1998): Zinc and immune function
: The biological basis of altered resistance to infection. Am
J Clin Nutr, 68 (Suppl): 447 S 463 S.

15. Lonnerdal B. (2000): Dietary factors influencing zinc


absorption. J Nutr.; 130 (Suppl): 1378S 1383S.

34. Sunderman FW (1995): The influence of zinc on apoptosis.


Am Clin Lab Sci, 25 : 134 142.

16. MacDonald RS (2000): The role of zinc on growth and cell


proliferation. American Society for Nutritional Sciences.

35 Taylor CG, Giesbrecht JA (2000): Dietary zinc deficiency


and expression of T lymphocyte signal transduction proteins.
Can J Physiol Pharmacol, 78: 823 828.

17. Monti D Trotiano L, Tropeaa etal (1992): Apoptosisprogrammed cell death: a role in aging process. Am J Clin
Nutr. 55 : 1208S 1214S.
18. McLange L Kathryn and Huethler Sue (1998):
Pathophysiology, the biologic basis for disease in adults
and children. Third ed. Mosby.
19. Meerarani P, Ramadass P, Toborek M et al. (2000): Zinc
protects against apoptosis of endothelial cells induced by
linoleic by linoleic acid and tumor necrosis factor alpha. Am
J Clin Nutr. 71 : 81 87.

34

36. Thaha dkk (1998): Studi makanan pendamping Air Susu Ibu.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat Dep Kes RI.
37. Tracey J. Kevin (1992): The acute and chronic
pathophysiologic effects of TNF: Mediation of septic shock
and wasting (Cachexia). In: Tumor Necrosis Factors: The
molecules and their emerging roles in medicine. Edited by
Bruce Beutler. Raven Press, New York : 255 273.
38. Tran-Troung AQQ, Ho LH, Chai, Zalewski PD (2000): Cellular
zinc fluxec and the regulation of apoptosis/gene-detected

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

cell death. American Society for Nutritional Sciences. J Nutr.


130 : 130 : 1459S 1466 S.

42. Wellinghausen N, Kirchner H, Rink L (1997): The


immunobiology of zinc. Trends. 18 : 11 519.

39. Virgili F, Canali R, Figus E, Vignolini F, Nobili F, Mengheri E


(1999): Intestinal damage induced by zinc deficiency in
associated with enhanced CuZn superoxide dismutase
activity in rats: effect of dexamethasone or thyroxine
treatment. Free radical Biol Med, 28 : 1091 1099.

43. WHO (2002): The World Health Organization Report.

40. Wahid S (2001): Peran berbagai sel imunokompeten dan


pengaruh zink terhadap aktivitasnya. Advanced Immunology.
Pasca Sarjana Unhas 2001.

45. Yamaoka J, Kume T, Akaike A, Miyachi Y (2000): Suppressive


effect of zinc ion in iNOS expression induced by interferongamma or tumor necrosis factor alpha in murine
keratinocytes. J Dermatol Sci, 23 : 27 35.

41. Wapnir A Raul (2000): Zinc deficiency, malnutrition and the


gastrointestinal tract. American Society for Nutritional
Sciences : 1388S 1392S.

Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005

44. Wildman REC, Medeiros DM (2000): Advanced human


nutrition. CRC Press. Boca Raton London, New York,
Washington D.C.

35

Anda mungkin juga menyukai