Anda di halaman 1dari 21

PRO KONTRA RELOKASI BANDARA ADISUCIPTO

A. PENGERTIAN BANDARA
Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah
airport merupakan sebuah fasilitas di mana pesawat terbang seperti
pesawat udara dan helikopter dapat lepas landas dan mendarat. Suatu
bandar udara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah landasan
pacu atau helipad ( untuk pendaratan helikopter), sedangkan untuk
bandara-bandara besar biasanya dilengkapi berbagai fasilitas lain, baik
untuk operator layanan penerbangan maupun bagi penggunanya seperti
bangunan terminal dan hanggar.(www.manajemenbandara.blogspot.com)
Menurut

Annex

14

dari

ICAO

(International

Civil

Aviation

Organization), Bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan


(termasuk bangunan, instalasi dan peralatan) yang diperuntukkan baik
secara keseluruhan atau sebagian untuk kedatangan, keberangkatan dan
pergerakan pesawat.(www.icao.int)
Sedangkan definisi bandar udara menurut PT (Persero) Angkasa Pura
I adalah lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang
merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya fasilitas bagi
angkutan udara untuk masyarakat.(www.angkasapura1.co.id)

B.

Perkembangan Bandara
Pada masa awal penerbangan, bandara hanyalah sebuah tanah

lapang berumput yang bisa didarati pesawat dari arah mana saja
tergantung arah angin. Di masa Perang Dunia I, bandara mulai dibangun
permanen seiring meningkatnya penggunaan pesawat terbang dan landas
pacu mulai terlihat seperti sekarang. Setelah perang, bandara mulai
ditambahkan fasilitas komersial untuk melayani penumpang. Sekarang,

bandara bukan hanya tempat untuk naik dan turun pesawat. Dalam
perkembangannya,

berbagai

fasilitas

ditambahkan

seperti

toko-toko,

restoran, pusat kebugaran, dan lainya.

C.

PENGOPRASIAN BANDAR UDARA


Fungsi bandara merupakan tempat lepas landas, mendarat pesawat

udara, dan pergerakan di darat pesawat udara. Disamping itu Bandar udara
merupakan

simpul

dari

system

transportasi

udara.

Perencanaan,

pembangunanan dan pengoperasian suatu Bandar udara harus memenuhi


ketentuan keselamatan penerbangan yang secara internasional tercantum
dalam Annex 14 Convention on International Civil Aviation (Vol I : Aerodrome
dan Vol II : Heliport)
Ketentuan ini diadopsi dalam ketentuan nasional berupa Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi
Bandar Udara dan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara
terkait lainnya.
Pengoperasian

Bandar

udara

sesuai

ketentuan

keselamatan

penerbangan dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pengoperasian


pesawat

udara

di

Bandar

udara.

Berkaitan

dengan

hal

tersebut,

Penyelenggara Bandar udara mempunyai kewajiban, sesuai ketentuan


dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation) 139 : Aerodrome, yaitu :
1.

Memenuhi standar dan ketentuan terkait pengoperasian Bandar


udara, termasuk arahan Ditjen Pehubungan Udara yang disampaikan
secara tertulis;

2.

Mempekerjakan personil pengoperasian Bandar udara yang memiliki


kualifikasi/ kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
dalam jumlah yang memadai;

3.

Menjamin Bandar udara (aerodrome) dioperasikan dan dipelihara


dengan tingkat perhatian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.

Mengoperasikan dan memelihara Bandar udara sesuai dengan


prosedur yang terdapat dalam Aerodrome Manual.
Ditjen Perhubungan Udara melakukan pembinaan dalam pengoperasian

Bandar udara berupa penerbitan Sertifikat Operasi Bandar Udara bagi


Bandar udara yang telah memenuhi kewajiban tersebut di atas, serta
melakukan pengawasan berupa audit atau inspeksi secara berkala.
Secara luas termasuk dalam pengertian Bandar udara (aerodrome)
adalah heliport (tempat atau struktur yang digunakan untuk lepas landas,
mendarat dan pergerakan di darat helicopter).
Penyelenggara Bandar Udara,

antara lain adalah Badan Usaha

Kebandarudaraan (PT. Angkasa Pura I dan II), Ditjen Perhubungan Udara


(Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perhubungan Udara), Pemerintah Daerah
Propinsi dan Kabupaten/ Kota, serta Badan Hukum Indonesia.
C. DASAR HUKUM PENGOPERASIAN BANDAR UDARA
Standar dan ketentuan berkaitan dengan pengoperasian bandar udara,
termasuk pengoperasian heliport, yaitu:
1.

Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;

2.

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan


Keselamatan Penerbangan;

3.

Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan;

4.

Keputusan Menteri Perhubungan No. 47 Tahun 2002 tentang


Sertifikat Operasi Bandar Udara;

5.

Keputusan

Dirjen

Perhubungan

Udara

No.

SKEP/100/XI/1985

tentang Peraturan Tata Tertib Bandara;


6.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/13/II/1990 tentang


Standar Rambu Terminal Bandar Udara;

7.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/21/I/1995 tentang


Standar Sistem Pemanduan Parkir Pesawat Udara (Aircraft Docking
Guidance System/ ADGS)

8.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/04/I/1997 tentang


Sertifikasi Kecakapan Pemandu Parkir Pesawat Udara, Sertifikasi
Operator Garbarata dan Sertifikasi Kecakapan Operator Peralatan
Pelayanan Darat Pesawat Udara.

9.

Keputusan

Dirjen

Perhubungan

Udara

No.

SKEP/130/VI/1997

tentang Persyaratan Standar Teknis dan Operasional Helideck.


10.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/94/IV/1998 tentang

Persyaratan Teknis dan Operasional Fasilitas Pertolongan Kecelakaan


Penerbangan dan Pemadan Kebakaran;
11.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/57/IV/1999 tentang

Pemindahan Pesawat Udara Yang Rusak di Bandar Udara;


12.

Keputusan

Dirjen

Perhubungan

Udara

No.

SKEP/112/VI/1999

tentang Persyaratan Standar Teknis dan Operasional Elevated Heliport;


13.

Keputusan

Dirjen

Perhubungan

Udara

No.

SKEP/140/VI/1999

tentang Prosedur Kendaraan Darat dan Pergerakannya Di Sisi Udara;

14.

Keputusan

Dirjen

Perhubungan

Udara

No.

SKEP/262/X/1999

tentang Persyaratan Standar Teknis dan Operasional Surface Level


Heliport;
15.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/345/XII/1999

tentangSertifikat Kecakapan Petugas dan Teknisi Perawatan Kendaraan


PKP-PK serta Petugas Salvage;
16.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/75/III/2001 tentang

Persyaratan Teknis Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara


(Ground Support Equipment);
17.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/11/2001 tentang

Standar Marka dan Rambu pada Daerah Pergerakan Pesawat Udara di


Bandar Udara;
18.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. 93 Tahun 2001 tentang

Persyaratan Badan Hukum Indonesia Sebagai Pelaksana Pengujian


Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support
Equipment/ GSE);
19.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/28/IV/2003 tentang

Sertifikat

Kecakapan

Pelayanan

Pendaratan

Helikopter

(Helicopter

Landing Officer/ HLO);


20.

Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/76/VI/2005 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Perhubungan No. 47 Tahun


2002 tentang Sertiikasi Operasi Bandara.
D. PERSONIL PENGOPERASIAN BANDAR UDARA
Setiap

penyelenggara

bandara

wajib

mempekerjakan

personil

pengoperasian bandar udara yang memiliki kualifikasi dan kompetensi

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kualifikasi dan kompetensi personil


pengoperasian

bandar

udara

dibuktikan

dengan

Sertifikat

Tanda

Kecakapan Personil (STKP/SKP) yang masih berlaku. STKP/ SKP ini harus
dibawa setiap menjalankan kegiatannya dan dapat ditunjukkan setiap kali
dilakukan inspeksi.
1.

STKP/ SKP pengoperasian bandar udara, termasuk heliport yang


diterbitkan oleh Ditjen Perhubungan Udara antara lain:

2.

STKP Operator Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara


(Ground Support Equipment/ GSE);

3.

STKP Pemandu Parkir Pesawat Udara (Marshalling);

4.

STKP Apron Movement Controller;

5.

STKP Helicopter Landing Officer.

E. PERALATAN DAN FASILITAS BANDAR UDARA


Setiap peralatan dan fasilitas yang dioperasikan pada bandar udara
harus dipelihara sehingga memenuhi standar yang berlaku. Inspeksi
terhadap

bandara/

aerodrome

untuk

memastikan

bahwa

bandara/

aerodrome dapat melayani pesawat udara dengan selamat, terutama pada


keadaan :
1.

Setelah terjadi angin kencang, badai dan cuaca buruk lainnya;

2.

Segera setelah terjadinya kecelakaan atau insiden pesawat udara di


aerodrome;

3.

Saat diminta oleh Ditjen Perhubungan Udara.

Adapun yang dimaksud dengan peralatan dan fasilitas bandar udara


adalah:
1.

Fasilitas

pergerakan

pesawat

udara,

antara

lain

landas

pacu

(runway), jalan penghubung landas pacu (taxiway), dan apron;


2.

Alat bantu visual di bandara/ aerodrome, antara lain marka, rambu


dan tanda yang ada di runway, taxiway dan apron;

3.

Alat bantu visual berupa lampu di aerodrome dan sekitarnya


termasuk lampu untuk halangan (obstacle) yang ada di sekitar bandara
(aerodrome).
Untuk menunjang pelayanan pesawat udara di darat, pada beberapa

bandara tersedia peralatan penunjang operasi darat pesawat udara (ground


support equipment/ GSE). Setiap jenis peralatan yang dioperasikan harus
sesuai

peruntukannya

dan

wajib

memenui

persyaratan

teknis

dan

spesifikasi fungsionalnya yang dibuktikan dengan Sertifikat Kelaikan


Operasi yang diterbitkan oleh Ditjen Perhubungan Udara. Jenis peralatan
dan persyaratan sertifikat kelaikan operasi diatur di dalam Keputusan
Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/75/III/2001 tentang Peralatan
Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support Equipment/
GSE).
Pengujian kelaikan peralatan dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga
(Badan Hukum Indonesia) yang telah mendapatkan Sertifikat Persetujuan
dari Ditjen Perhubungan Udara. Syarat dan tata cara bagi Badan Hukum
Indonesia untuk mendapatkan Sertifikat Persetujuan sebagaimana diatur
dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. 93 Tahun 2001 tentang
Persyaratan

Badan

Hukum

Indonesia

Sebagai

Pelaksana

Pengujian

Peralatan Penunjang Pelayanan Darat Pesawat Udara (Ground Support


Equipment/ GSE);

Peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara yang dioperasikan


pada suatu bandara dapat diusahakan oleh pihak di luar bandara. Ijin
pengusahaannya dikeluarkan oleh penyelenggara bandara.
F. PROSEDUR PENGOPERASIAN BANDAR UDARA
Setiap bandar udara yang dioperasikan, wajib memiliki sertifikat operasi
bandar udara. Salah satu persyaratan untuk mendapatkan Sertifikat, pada
bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas tempat
duduk lebih dari 30 (tigapuluh) tempat duduk, adalah tersedianya
Pertunjuk

Pengoperasian

Bandara/

Aerodrome

(Aerodrome

Manual).

Aerodrome Manual disusun oleh Penyelenggara Bandara dalam format yang


telah diatur di dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Udara No. 76 Tahun
2005 (CASR 139 : Aerodrome). Aerodrome Manual berisi informasi mengenai
lokasi bandar udara, informasi mengenai bandar udara yang harus
organisasi penyelenggara bandar udara dan prosedur pengoperasian bandar
udara.
Penyelenggara wajib mengoperasikan bandar udara sesuai dengan prosedur
dalam Aerodrome Manual. Segala penyimpangan terhadap Aerodrome
Manual harus dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara.
Prosedur

pengoperasian

bandar

udara

yang

harus

dimuat

dalam

Aerodrome Manual, meliputi 17 (tujuh belas) prosedur dan langkah-langkah


keselamatan sebagai berikut:
1.

Aerodrome reporting;

2.

Akses ke daerah pergerakan pesawat udara;

3.

Aerodrome Emergency Plan;

4.

Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran;

5.

Inspeksi terhadap daerah pergerakan pesawat udara dan obstacle


limitation surface;

6.

Sistem kelistrikan dan alat bantu visual;

7.

Pemeliharaan daerah pergerakan pesawat udara;

8.

Keselamatan kerja di aerodrome;

9.

Manajemen pengoperasian apron;

10.

Manajemen keselamatan di apron;

11.

Pengawasan pergerakan kendaraan di sisi udara;

12.

Manajemen gangguan binatang liar;

13.

Pengawasan halangan;

14.

Pemindahan pesawat udara yang rusak;

15.

Penanganan bahan berbahaya;

16.

Operasi pada jarak pandang rendah;

17.

Perlindungan terhadap lokasi radar dan alat bantu navigasi yang

terdapat di bandara.
G.

SEKILAS BANDARA ADI SUCIPTO DIY


a) Sejarah
Bandara Adisutjipto adalah bandar udara yang terletak di Sleman,

Daerah Istimewa Yogyakarta. Bandar udara Adisutjipto awalnya di bangun


sebagai pangkalan udara TNI Angkatan Udara. Bandar udara ini dulu
dinamakan

Maguwo,

sesuai

dengan

nama

desa

tempatnya

berada

Maguwoharjo. Pangkalan udara Maguwo dibangun sejak tahun 1940 lalu


dipergunakan oleh Militaire Luchtvaart pada tahun 1942.
Pada tahun 1942 kota Jogjakarta diduduki oleh Tentara Jepang dan
pangkalan udara Maguwo di ambil alih Tentara Jepang dari Pemerintah
Hindia

Belanda.

Bulan

November

1945

lapangan

terbang

beserta

fasilitasnya dapat di kuasai oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jogjakarta


Timur yang di pimpin oleh Bapak Umar Slamet. Pada Tahun 1945
Pangkalan Udara Maguwo di ambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia
dan

dijadikan

Pangkalan

Angkatan

Udara

untuk

mempertahankan

kemerdekaan Republik Indonesia. Lapangan terbang ini digunakan untuk


operasional pesawat-pesawat AURI, serta untuk latihan terbang bagi Kadet
sekolah penerbang di Maguwo yang di pimpin oleh Agustinus Adisutjipto.
Pada tanggal 29 Juli1947 pesawat Dakota VT-CLA yang dikemudikan
oleh Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto ditembak jatuh oleh
pesawat Belanda. tahun 1950 lapangan terbang Maguwo beserta fasilitas
pendukungnya seperti pembekalan diserahkan kepada AURI. Dengan
adanya pertumbuhan dan perubahan pemerintahan pangkalan udara
Maguwo mengalami perubahan nama yang di sesuaikan dengan dinamika
fungsi dan peranan TNI AU. Berdasarkan keputusan kepala staff Angkatan
Udara No.76 Tahun 1952 Tanggal 17 Agustus 1952 nama pangkalan udara
Maguwo diubah menjadi pangkalan udara Adisutjipto.
Semenjak tahun 1959 Bandara Adisutjipto dijadikan untuk Akademi
Angkatan Udara (AAU) Republik Indonesia .Tahun 1964 Direktorat Jenderal
Perhubungan Udaradengan keputusannya dan atas persetujuan Angkatan
Udara

Indonesia,

Pelabuhan

Udara

AdiSutjipto

Jogjakarta

menjadi

pelabuhan udara Gabungan Sipil dan Militer. Pada tahun 1972 dilakukan
perluasan Terminal Sipil yang pertama. Selanjutnya pada tahun

1977

dilakukan perluasan terminal lagi karena volume penerbangan makin

meningkat. Pada tanggal 1 April 1992, sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun


1992, Bandar Udara Adisutjipto secara resmi masuk ke dalam pengelolaan
Perum Angkasa Pura I. Tanggal 2 Januari 1993 statusnya dirubah menjadi
PT (PERSERO) Angkasa Pura I Cabang Bandar Udara Adisutjipto sesuai
Peraturan

Pemerintah

Nomor

Tahun

1993.

(http://adisutjipto-

airport.co.id/sejarah#sthash.fLEmrYVD.dpuf)
b)

Relokasi

Menteri Perhubungan RI Ignasius Jonan menilai kondisi Bandara


Adisutjipto Yogyakarta sekarang termasuk darurat, karena sudah tidak bisa
dikembangkan lagi.
"Tidak banyak yang bisa dilakukan di Bandara Adisutjipto.
Penambahan Terminal B yang sekarang, sudah maksimal.
Pengembangan lain sudah tidak bisa. Tingkatkan kebersihan saja,
Jalan satu-satunya, ya harus segera pindah, Dikatakan, selama ini
pemerintah pusat terus mendukung proses rencana pembangunan
bandara baru. Namun pihak yang berperan penting dalam tahap ini
adalah Pemda DIY. "AP I mau bangunnya kapan, kami selalu siap
mendukung. Tapi paling cepat bandara baru bisa dimanfaatkan 3-4
tahun lagi" (Kedaulatan Rakyat 14 maret 2013)

Presiden Joko Widodo ingin agar lalu-lintas penerbangan sipil,


terkhusus di utara Pulau Jawa, ditata dengan memanfaatkan ruang udara
di selatan Pulau Jawa untuk meningkatkan keselamatan dan kapasitas
penerbangan. Dalam rapat di Kantor Presiden Jakarta, Jumat, Jokowi
memimpin langsung rapat khusus tentang itu. Hadir Sekretaris Kabinet,
Pramono Anung, Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan, dan Wakil Kepala
Staf

TNI

AU,

Marsekal

Madya

TNI

Bagus

Puruhito.

Anung, kepada pers, menyatakan, mengatakan jalur utara Pulau Jawa


sudah sangat padat dengan penerbangan Jakarta-Surabaya yang ada di
urutan ke-11 terpadat di dunia, dengan 170 pergerakan wahana terbang

perjam, sekitar tiga pergerakan wahana terbang permenit. Artinya harus


ada pola perubahan untuk pengaturan ini, tadi diusulkan untuk
pangkalan-pangkalan udara tidak semuanya terkonsentrasi di Jawa,
sehingga latihannya tidak semua di Jawa, seperti Madiun, Yogyakarta,
Malang.
Dia

tidak

menyebut

orang

yang

mengusulkan

hal

itu. Ia

menambahkan, ke depan akan ada beberapa yang akan direlokasi di luar


Jawa, seperti di Kalimantan dan Papua. Indonesia memiliki beberapa
bandara enklav sipil atau bandara yang merupakan pangkalan udara TNI
AU yang juga digunakan untuk penerbangan sipil. Bandara-bandara itu
adalah Bandara Adi Soemarmo di Solo, Bandara Adi Soetjipto di Yogyakarta,
Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta, Bandara Ahmad Yani di
Semarang, Bandara Juanda di Surabaya, Bandara Husein Sastranegara di
Bandung, dan Bandara Abdul Rahman Saleh di Malang. Bandara-bandara
itu memakai landas pacu yang sama dengan landas pacu bagi pesawat
terbang TNI AU.
Merunut pada sejarah pendirian, terlebih dulu berdiri pangkalan
udara (utama) TNI AU baru kemudian dikembangkan ke arah pemanfaatan
sebagai bandara sipil. Contoh adalah Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim
Perdanakusuma, di Jakarta Timur, yang sejak awal memang dirancang
dengan fungsi utama pangkalan udara VIP dan pengamanan Ibukota
Jakarta.

Demikian juga dengan Pangkalan Udara Utama TNI AU Adi Sucipto,


Yogyakarta, yang menjadi cikal-bakal pendirian TNI AU pada 1946. Di
sanalah para penerbang TNI AU dididik dan dilatih. Posisi Pangkalan Udara
Utama TNI AU mirip dengan dermaga Ujung, di Surabaya, bagi TNI AL.
Dermaga Ujung yang kini di dalam lingkungan Komando Armada Indonesia

Kawasan Timur TNI AL menjadi "identitas" dan "rumah" TNI AL walau dia
berdiri di Tegal, Jawa Tengah, pada 1945. (www.viva.com)
Gambar 1.1 Peta Relokasi Bandara Adi Sucipto

H.

PRO DAN KONTRA PEMBANGUNAN BANDARA BARU


Proses pengadaan tanah untuk pembangunan bandar udara di

Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terpaksa dihentikan

untuk sementara. Hal itu menyusul putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta, yang membatalkan Surat Keputusan Gubernur DI Yogyakarta
tentang penetapan lokasi pembangunan bandara di Kulon Progo.

Seperti diberitakan, majelis hakim PTUN Yogyakarta yang diketuai


Indah Tri Haryanti dengan hakim anggota Sarjoko dan Umar Dani
membatalkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015
tentang Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara
Baru di DIY. Majelis hakim menilai SK itu bertentangan dengan Peraturan
Daerah DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) DIY Tahun 2009-2029. Sebab, Perda RTRW DIY sama sekali tidak
menyebut rencana pembangunan bandara di Kulon Progo. Aturan itu juga
tidak menyebut adanya rencana pemindahan Bandara Adisutjipto ke tempat
lain hingga tahun 2029.

Namun MA mengabulkan kasasi dari Pemprov Yogjakarta dimana


Pembangunan bandara baru Yogyakarta yang sempat terhenti akhirnya
dapat dilanjutkan kembali menyusul dikabulkannya permohonan kasasi
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Mahkamah Agung (MA). Meski
salinan putusan belum resmi dikeluarkan, namun website resmi MA telah
memuat putusan tersebut. Pejabat Humas PTUN Yogyakarta Umar Dani
menjelaskan amar putusan kabul yang tercantum dalam rilis dalam website
tersebut menjelaskan permohonan pemohon kasasi dikabulkan. "Putusan

kasasi dengan nomor register 456 K/TUN/2015 itu keluar pada Rabu
(23/9/15) pekan lalu. Isinya, MA mengabulkan permohonan kasasi
Gubernur DIY atas putusan PTUN Jogja.
Bandara Internasional Adi Sutjipto Yogyakarta sudah cukup lama
berada dalam kondisi jenuh, baik di sisi darat maupun di sisi udaranya.
Dengan posisinya sebagai bandara terpadat ketiga di Pulau Jawa serta
kapasitas terminal yang sudah tak mungkin lagi dikembangkan, bandara
ini sudah memenuhi semua syarat untuk segera pindah.Data pergerakan
lalu lintas udara menyebutkan bahwa kapasitas bandara yang didesain
hanya untuk 1,2 juta penumpang per tahun harus menampung 2 kali
jumlah tersebut atau sekitar 2,4 juta penumpang di tahun 2003. Sejak itu,
pergerakan penumpang Bandara Adi Sutjipto terus tumbuh rata-rata 11%,
tapi kapasitas yang ada tidak berubah.
Jalan panjang rencana pembangunan bandara baru Yogyakarta telah
melewati berbagai studi kelayakan hingga penentuan lokasi, proses
sosialisasi kepada warga, masa penyampaian keberatan atas rencana
pembangunan, hingga penerbitan Izin Penetapan Lokasi (IPL) dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur No 68/KEP/2015 tentang
IPL Bandara di Temon, Kulonprogo pada 31 Maret 2015. Namun proses
tersebut sempat terhenti sejak Juni 2015 menyusul putusan majelis hakim
Pengadilan

Tata

Usaha

Negara

(PTUN)

Jogja

yang

mencabut

IPL

pembangunan tersebut. Pencabutan itu merupakan respons atas gugatan


Wahana Tri Tunggal (WTT) yang menolak pembangunan bandara. Gubernur
DIY, Sri Sultan HB X, kemudian mengajukan permohonan kasasi kepada
MA.
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY Dewo Isnu Broto Imam Santoso
menjelaskan bahwa kasasi diajukan karena proses penerbitan IPL Bandara
sudah sesuai dengan prosedur dan aturan perundang-undangan, yakni
Undang-Undang
Pembangunan

(UU)
untuk

No.2/2012
Kepentingan

tentang

Pengadaan

Umum."Perkara

yang

Tanah

bagi

menyangkut

kepentingan umum hanya melalui dua tingkatan pengadilan, yakni


pengadilan tingkat pertama dan jika ada yang mengajukan banding bisa
langsung kasasi ke MA.
Sementara itu sejumlah pihak yang berkepentingan masih menunggu
salinan putusan MA yang mengabulkan kasasi Gubernur DlY tersebut.
"Biasanya MA akan mengirimkan ke pengadilan tingkat pertama dan oleh
PTUN disampaikan ke pemohon dan termohon," jelas Dewo. Senada
dengannya,Pimpinan Proyek Bandara Internasional Kulonprogo Sujiastono
mengatakan
kepastiannya

belum
kami

mendapatkan
masih

http://www.angkasapura1.co.id )
Perubahan Sosial

salinan

menunggu,"

putusan
ujarnya.

tersebut.

"Jadi

(sumber

Perubahan sosial akibat kebijakan relokasi Bandara Adi Sucipto di


Desa palihan Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo dipilih pemerintah
sebagai upaya alternatif untuk menggantikan bandara Adi Sucipto yang
berlokasi di Kabupaten Sleman karena sudah dianggap tidak layak pakai.
Berdasarkan rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kabupaten
Kulon Progo Nomer 1 Tahun 2012. Setelah melalui proses panjang, akhirnya
bandara resmi akan dibangun di Kabupaten Kulon Progo. Pembangunan
merupakan isu yang sensitif bagi masyarakat dan dapat memicu terjadinya
perubahan sosial masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi ketika kebijakan
masih dalam wacana kebijakan. Tidak adanya upaya sosialisasi yang
sinergis antara pemerintah daerah semakin membuat situasi menjadi
semakin rumit. Masyarakat mengganggap pemerintah lamban dan tidak
solutif. Perubahan sosial diteliti menggunakan metode fenomenologi dengan
pendekatan evaluasi bebas tujuan yaitu penelitian tidak berfokus pada
apakah proyek atau kebijakan berhasil mencapai tujuannya namun lebih
pada efek samping yang terjadi atas kebijakan tersebut. Kebijakan relokasi
bandara belum diimplementasikan pembangunannya dan ketika kebijakan
tersebut masih dalam level wacana telah menimbulkan perubahan sosial
dalam masyarakat di Desa Palihan. Perubahan tersebut menyentuh aspek
perubahan nilai, norma dan kepercayaan yang ditandai oleh terjadinya pro
dan kontra dalam masyarakat dan memicu terjadinya konflik, terjadinya
fragmentasi sosial yang ditandai dengan adanya kelompok-kelompok sosial

masyarakat

yang

pada

perkembangannya

kelompok-kelompok

sosial

tersebut dapat menimbulkan konflik bagi masyarakat dan juga adanya


perubahan perekonomian masyarakat. Perubahan tersebut ditandai dengan
munculnya aktivitas ekonomi baru yaitu pelatihan usaha yang nantinya
dipersiapkan

masyarakat

untuk

menghadapi

rencana

pembangunan

bandara. Adanya pro dan kontra merupakan hal yang mutlak dapat terjadi
karena masyarakat memiliki rasionalitas yang berbeda terhadap kebijakan
pemerintah. Masyarakat yang kontra terhadap pembangunan bandara
beranggapan adanya pembangunan tersebut dapat menghilangkan mata
pencaharian masyarakat yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan
buruh tani. Masyarakat merasa belum siap jika harus kehilangan lahan
dan tidak memiliki keahlian lain selain bertani karena profesi sebagi petani
sudah

berlaku

turun-temurun.

Masyarakat

yang

pro

terhadap

pembangunan bandara menganggap adanya pembangunan bandara dapat


membawa kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan menambah
aktifitas perekonomian masyarakat. Dalam perkembangannya, adanya pro
dan

kontra

semakin

meruncing

pada

konflik

masyarakat.

Adanya

demonstrasi menuntut kejelasan pemerintah daerah terkait rencana


pembangunan bandara dan isu kenaikan harga tanah juga menjadi hal
yang tidak dapat dihindari lagi.

Jadi saran bagi pemerintah ialah dengan mengadakan audiensi,


sosialisasi dan juga proses pembebasan tanah dengan perjanjian yang adil
dan tidak merugikan masyarakat. Karena urgensi pembangunan bandara
Kulonprogo dinilai merupakan langkah yang baik karena Bandar Adi
Sucipto sudah tidak dapat dikembangkan lagi. Apabila sudah terjadi
kesepakatan maka akan terciptanya pembangunan bandara yang memberi
manfaat baik kepada pemerintah maupun masyarakat sehingga nantinya
dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat dan pemrov DIY sehingga
kesejahteraan dapat tercipta.
a) dalam hukum dan pemerintahan
Asas ketertiban Penyusunan peraturan dalam relokasi bandara
haruslah memperhatikan keadaan dalam masyarakat. Supaya nantinya
keberadaan bandara tidak hanya untuk kepentingan beberapa golongan
saja. Menurut Drs. H. Bambang Setyadi, M.Si (Drs. H.Bambang Setyadi,
M.Si jurnal Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan No.2,2007:3)
peraturan yang baik haruslah didasarkan pada dua hal, antara lain:
a. asas-asas pembentukan peraturan daerah, asas-asas itu antara lain:
a) Kejelasan tujuan
b) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c) Kesesuaian antara jenis dan muatan

d) Dapat dilaksanakan
e) Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f) Kejelasan rumusan
g) Keterbukaan
Selain itu dalam materi muatan perda haruslah mengandung
asas-asas sebagai berikut, antara lain:
b) Asas pengayoman
c) Asas kemanusiaan
d) Asas kebangsaan
e) Asas kekeluargaan
f) Asas kenusantaraan
g) Asas bhineka tunggal ika
h) Asas keadilan
i) Asas kesamaan dan kepastian hukum
j) Asas keseimbangan,keserasian dan keselarasan
k) Asas lain sesuai substansi perda yang bersangkutan

Anda mungkin juga menyukai