PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan
maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana
damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari
hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.
Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila islam mengatur masalah
perkawinan dengan amat teliti dan terperinci. Untuk membawa umat manusia
hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengahtengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan
ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq
( Tuhan Maha Pencipta ) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan
kehidupan sejenisnya.
Selain itu, dalam berbangsa dan bernegara sebagai warga negara yang baik
kita harus taat dan patuh pada hukum yang berlaku. Untuk urusan perkawinan,
negara kita telah memiliki undang-undang perkawinan dan termuat juga dalam
Kompilasi Hukum Islam. Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun
dan syarat perkawinan yang telah ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut
sah. Ada satu hal yang masih menjadi halangan untuk sah atau tidaknya sebuah
perkawinan. Hal tersebuat adalah halangan perkawinan atau disebut juga dengan
mahram.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud larangan perkawinan itu?
2. Apa yang dimaksud dengan mahram?
3. Bagaimana hubungan antara hukum di Indonesia dengan syariat islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Larangan Perkawinan
Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan
tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan.
Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin
dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi
oleh laki-laki tertentu karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan
yang dalam fiqh munakahat disebut dengan mawani an-nikah. Dimaksud dengan
penghalang perkawinan atau mawani an-nikah yaitu hal-hal, pertalian-pertalian
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menghalangi terjadinya
perkawinan dan diharamkan melakukan akad nikah antara keduanya.1
Dalam hal ini larangan yang dimaksud adalah perempuan-perempuan mana saja
yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki karena adanya hubungan mahram
atau sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Mahrom adalah
semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab,
persusuan dan pernikahan. [Al-Mughni 6/555]
Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah, Mahrom adalah orang-orang yang
haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan
lain-lain.[An- Nihayah 1/373]
Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan, Mahrom wanita adalah suaminya dan semua
orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak,
1 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika, Jakarta,
1995), hal. 45
anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara
sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya.2
Larangan bilangan
Larangan mengumpulkan
Larangan kehambaan
Larangan kafir
Larangan ihram
Secara garis besar larangan perkawinan itu ada dua macam yaitu :
Pertama: Larangan perkawinan untuk selamanya dalam arti sampai kapanpun dan
dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkawinan. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram muabbad.
Kedua: larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu tertentu; suatu ketika
bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi
haram, yang disebut mahram muaqqat.4
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 yang berisi tiga
ayat menjelaskan bahwa Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita. Hal ini sama dengan
Mahram muabbad, yaitu orang yang haram melakukan pernikahan untuk
selamanya ada tiga kelompok. Larangan perkawinan itu berlaku untuk :
a. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan.
KHI telah mengatur larangan perkawinan karena hubungan
kekerabatan yang tertera pada pasal 39 ayat 1 berbunyi :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
Di dalam ayat di atas telah jelas disebutkan bahwa perempuan-perempuan
yang haram dikawini oleh laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungan
kekerabatan atau Nasab adalah sebagai berikut:
Ibu
Anak
Saudara
Saudara ayah
Saudara ibu
Anak dari saudara laki-laki; dan
Anak dari saudara perempuan5
disebutkan di atas sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat
22 dan 23:
22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu
tersebut menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi si anak sehingga perempuan
tersebut sudah menjadi seperti ibunya. Sedangkan perempuan itu menghasilkan
ASI karena mempunyai anak dari hubungan dengan suaminya maka suaminya
tersebut telah seperti ayah dari anak yang menyusu tersebut. Demikan pula anak
dari perempuan itu sudah seperti saudara bagi anak yang menyusu tersebut.
Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak yang belum sampai
umurnya dua tahun, maka menurut hukum seperti anak perempuan itu. 7Hal ini
juga tertera dalam surat an-Nisa ayat 23. Terdapat perbedaan faham diantara
ulama, apakah muhrim dengan jalan persusuan itu, bercabang juga terhadap
muhrim dengan jalan perkawinan atau tidak? Sebagian ulama berpendapat, tidak!
Mazhab yang empat berpendapat, ia bercabang pula kepada muhrim sebab
perkawinan, maka haram atas seorang suami menikah ibu persusuan istrinya,8
Syarat-syarat yang menjadikan muhrim adalah sebagai berikut :
1. Umur anak sewaktu menyusu kurang dari dua tahu.
7 H. Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Jakarta: ATTAHIRIYAH, jakarta, 1976), hal. 401
8 Ibid hal 402.
233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya
dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
2. Menyusunya anak itu lima kali sampai kenyang dan waktu yang terpisah.
Mahram muaqqat adalah larangan kawin yang berlaku untuk sementara
waktu disebabkan oleh hal-hal tertentu. Bila hal tersebut sudah tidak ada, maka
larangan itu tidak berlaku lagi.9hal ini bisa dijadikan acuan pada KHI pasal 40
9Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006) , Hal.124
sampai pasal 44. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal sebagai
berikut :
a. Mengawini Dua Orang Saudara dalam Satu Masa
Pasal 41 mengatur larangan mengawini dua orang saudara sekaligus. Yaitu
dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yag
bersaudara, atau seorang perempuan di permadukan dengan saudara perempuan
bapaknya, atau anak perempuan saudaranya, da seterusnya menurut pertalian
mahram. Pasal itu berbunyi :
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang
wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau
keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun
isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Hal ini juga telah di jelaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 23.
Hukum dari perkawinan kedua itu adalah haram sesuai dengan pangkal ayat ini
yang berbunyi : yang artinya diharamkan atasmu
mengawininya. Hikmah dari perkawinan ini adalah merusak silaturahmi antara
orang yang seharusnya menjaga silaturahmi. Jika istrinya sudah diceraikan maka,
penghalang perkawinan itu hilang dan dia boleh menikahi saudara perempuannya.
b. Poligami di luar batas
Dalam pasal 42 mengatur tentang poligami diluar batas. Ayat tersebut
berbunyi :
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
9
Poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang, tetapi
dibatasi paling banyak adalah empat orang. 10 Maka, jika seorang lelaki telah
memiliki empat orang istri, haram baginya untuk menikah lagi, kecuali dia telah
menceraikan salah satu istrinya dan telah melewati masa iddah. Seperti yang
tertera pada surat an-Nisa ayat 3 :
Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
10
tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain;
Hal ini juga di jelaskan dalam surat an-Nisa ayat 24 :
24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki.
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
11
e.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn
seorang wanita karena keadaan tertentu:
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
12
221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Dan dengan adanya ayat di atas telah jelas bahwa perkawinan beda agama itu
dilarang baik secara hukum maupun secara syariat. Halangan ini dapat gugur
apabila calon istri maupun suami yang mau menikah telah beriman kepada Allah
SWT.
13
3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin
Wanita yang hamil tidak boleh digauli (jima) sampai ia melahirkan, dan yang tidak
hamil tidak boleh digauli sampai setelah datangnya satu kali haid. (HR. Abu Daud :
2159, Di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Irwa : 7/214 no : 2138)
BAB III
KESIMPULAN
Bila diperhatikan UU perkawinan dan KHI yang mengatur tentang
perkawinan kelihatannya hampir semua ketentuan terdapat dalam fiqih telah
diakomodir dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Bahkan
14
ketentuan dalam perundangan tersebut hampir seluruhnya berasal dari fiqih yang
bersumber langsung pada Al-Quran.
Menurut ajaran agama islam larangan perkawinan itu memang ada, bahkan
sudah sangat jelas diatur dalam al-quran, hadist dan sunah. Jadi bagi umat
muslim wajib untuk mematuhinya. Ada 2 hal tentang larangan perkawinan
tersebut yaitu : larangan sementara dan larangan selamanya.
Larangan sementara adalah larangan perkawinan hanya dalam waktu
sementara tidak untuk selamanya. Contoh dari larangan sementara adalahWanita
yang sedang dalam masa iddah, baik masa iddah cerai maupun masa iddah
ditinggal mati berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan
234.
Larangan selamanya adalah larangan perkawinan dalam waktu yang lama
atau selama-lamanya contoh nya wanita yang mempunyai hubungan darah dalam
garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan , baik dari anak
laki-laki maupun anak perempuan ke bawah haram untuk dinikahi.
Namun, ada dua point yang belum terdapat dalam KHI yaitu hukum
tentang menikahi wanita yang sedang berihram dan menikahi pezina. Semoga hal
ini dapat menjadi acuan bagi kita untuk lebih menyempurnakan Hukum
perkawinan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika, Jakarta,
1995)
Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat
15
16