Anda di halaman 1dari 21

ONKOGENIK VIRUS

Onkogenik virus adalah virus yang diduga menyebabkan kanker atau tumor pada
manusia. Onkogengenik virus atau yang biasa disebut dengan Virus tumor dibedakan menjadi
dua yaitu Virus tumor DNA dan Virus tumor RNA. Virus tumor DNA diklasifikasikan menjadi
kelompok papilomavirus, poliomavirus, adenovirus, herpesvirus, poxvirus dan hepatitis B
virus. Sedangkan Virus tumor RNA sebagian besar adalah family retrovirus, yaitu hepatitis C
virus (Flavivirus), HTLV tipe 1 dan 2 yang telah diketahui penyebab kanker namun berperan
secara tidak langsung pada manusia.
Virus tumor DNA yang dibahas yaitu papilomavirus, poliomavirus, adenovirus, poxvirus
dan hepatitis B virus. Sedangkan virus tumor RNA yang dibahas yaitu hepatitis C virus, HTLV
tipe 1 dan 2. (Pembahasan tentang herpes oleh kelompok III).

A.

Virus tumor DNA

1. ADENOVIRUS
Adalah virus yang dapat bereplikasi dan menimbulkan penyakit pada saluran pernafasan,
pencernaan, dan kemih serta pada mata.Virus ini dapat menetap pda penjamu selama
berbulan-bulan.
a) Morfologinya
Adenovirus berdiameter 8-10nm dan memperlihatkan bentuk simetri ikosahedral, dengan
kapsid terbentuk dari 252 kapsomer. Adenovirus

tidak

memiliki

amplop serta

mengandung 13 % DNA dan 87% protein. Partikelnya diperkirakan mempunyai berat


molekul 175 X 10 6. Adenovirus termasuk unik diantara virus virus ikosahedral, yaitu
mereka mempunyai struktur yang disebut fiber yang keluar dari tiap sudut-sudutnya dan
berjumlah 12 atau basa- basa penton. Keseluruhan kapsid dibentuk dari 240 hexon
kapsomer. Hexon, penton, dan fiber mendasari antigen adenovirus yang utama dan
penting dalam klasifikasi virus serta diagnosisi penyakit.
DNA Adenovirus berbentuk lurus bruntai ganda. Keseluruhan deretan DNA dari genom
beberapa tipe adenovirus sudah diketahui. Genom virus mengandung sekitar 3500036000 pasang basa. Kandungan guanine- plus- cytosine DNA nya terendah dalam grup A

(tipe 12,18,dan 31) Adenovirus, tipe yang paling bersifat onkogenik kuat, dan berkisar
setinggi 61% pada tipe lain. Ini merupakan salah satu criteria yang dipakai dalam isolasi
grup pada manusia.
b)

Genom
DNA untai ganda, linear, 26-45 kbp, terikat protein sampai terminal, infeksius

c)

Patogenesis
Adenovirus menginfeksi dan bereplikasi dalam sel-sel epitel saluran pernafasan, mata,
saluran pencernaan, kandung kemih, dan hati. Mereka biasanya tidak mennyebar diluar
liimfonodi regional. Virus grup C menetap sebagai infeksi laten selama bertahun-tahun
didalam adenoid dan tonsil serta dilepaskan dalam feses berbulan-bulan setelah infeksi
permulaan. Biakkan sel jangka panjang secara invitro memungkinkan virus untuk
tumbuh, tetapi mereka tidak dapat diisolasi secara langsung dari suspense jaringan
tersebut. Pada kenyataannya, nama adenovirus mencerminkan penemuan isolate
permulaan dari explantasi adenoid manusia. Kebanyakan adenovirus manusia didalam
epitel usus setelah pencernaan tetapi biasanya lebih banyak menimbulkan infeksi
subklinis daripada gejala yang nyata.

d)

Transmisi
Penyakit ini dapat menular melalui jalur fecaloral (dari kotoran ke mulut), droplet
pernafasan, kontak langsung atau benda yang terkontaminasi.

e)
f)

Klasifikasi
Adenoviridae termaksud onkogenik virus DNA.
Diagnosis Laboratorium
i. Isolasi dan identifikasi Virus: Sampel sampel seharusnya dikumpulkan dari tempat
yang terjangkit pada awal penyakit untuk mendapatkan isolasi virus yang optimal.
Isolasi virus dalam biakan sel membutuhkan sel-sel manusia. Sel-sel embrioginjal
primer manusia adalah yang paling rentan tetapi biasanya tidak tersedia.klinis sel
epitel manusia yang sudah ditemukan, seperti Hep-2, HeLa dan KB, peka tetapi sulit
untuk dipelihara tanpa mengalami degenerasi dalam waktu panjang yang dibutuhkan (

28 hari) untuk mendeteksi beberapa isolate alam yang tumbuh lambat. Perkembangan
efek sitopatik yang khas- sel-sel bengkak yang bergerombol melingkar-merupakan
indikasi adanya adenovirus dalam biakan yang diinokulasi. Adenovirus menyebabkan
pertambahan glikolisis sel,sehingga media tumbuh cenderung menjadi sangat asam
pada biakan yang terinfeksi. Isolate dapat diidentifikasi sebagai adenovirus dengan
tes imunofluoresen menggunakan suatu antibody antihekson dan sel-sel yang
terinfeksi. Tes H1 dan Nt mengukur antigen spesifik-tipe dan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi serotype spesifik.
Deteksi adenovirus mungkin dapat dipercepat menggunakan teknik shell vial.
Spesimen virus disentrifugasi langsung dalam sel biakkan jaringan; kultur diinkubasi
selama 1-2 hari dan kemudian dites dengan antibody monoclonal secara langsung
terhadap epitope group- reaktif pada antigen hekson. Baru juga, sel-sel epitel hidung
dari pasien dapat dicat langsung untuk mendeteksi antigen virus.
Adenovirus yang memilih hidup di usus dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
langsung terhadap ekstra feses dengan mikroskop electron dengan ELISA, atau
dengan tes aglutinasi latex. Walaupun sulit, mereka dapat diisolasi dalam lini sel-sel
ginjal embrio manusia yang ditransformasi dengan fragmen dari DNA 5
adenovirus(sel-sel 293).
Karena Adenovirus dapat menetap dalam usus dan dalam jaringan limfoid untuk
massa yang lama dank arena timbulnya kembali pelepasan virus dapat dipercepat oleh
infeksi lain, kebermaknaan dan isolasi virus harus di interpretasikan dengan hati-hati.
Temuan virus dari mata, paru, dan saluran genital bersifat diagnostic untuk infeksi
baru. Isolasi virus dari tenggorokan pada pasien dengan penyakit pernafasan dapat
dipertimbangkan sebagai sesuatu yang relevan dengan penyakit klinis. Isolasi virus
dari specimen feses tidak meyakinkan kecuali satu dari tipe yang ada dalam feses
ditemukan dari pasien dengan gastroenteritis.

ii. Serologi

Infeksi manusia dengan tipe adenovirus apa saja merangsang peningkatan antibody
yang terikat komplemen pada antigen grup adenovirus semua tipe. Tes CF adalah
suatu metode yang mudah untuk mendeteksi infeksi oleh semua grup adenovirus.
Suatu kenaikan 4 kali lipat atau lebih pada titer antibody yang terikat komplemen
antara sera fase akut dan fase penyembuhan menandai infeksi baru oleh suatu
adenovirus, walaupun tidak memberi petunjuk tentang tipe spesifik yang terlibat.
Jika dibutuhkan identifikasi spesifik dari respons serologi pasien maka dapat dipakai
tes Nt dan HI. Pada tindakan kasus, titer antibody penetralisir pada orang yang
terinfeksi menunjukkan peningkatan 4 kali lipat atau lebih terhadap tipe adenovirus
yang ditemukan pada pasien.

g). Pencegahan
Penyakit ini dapat menular melalui jalur fecaloral (dari kotoran ke mulut), sehingga
menjaga kebersihan tangan sebelum makan sangat dianjurkan. Juga dalam hal ini, hindari
hubungan tekhnik seks tertentu yang berisiko menjadi jalur fecal-oral ini missal:
Anilingus, coprophilia, dan ass to mouth. Menjaga tingkat chlor yang memadai sangat
diperlukan untuk mencegah kolam renang menjadi penyebab penyakit ini.

h). Pengobatan
Kebanyakan infeksi jenis virus ini adalah ringan dan tidak memerlukan pengobatan
kecuali pengobatan pada gejalanya. Karena tidak ada terapi khusus virus, penyakit
adenovirus serius dapat dikontrol hanya melalui pengobatan gejala dan komplikasi
infeksinya. Kematian sangat langkah terjadi.

2.Poxvirus
Adalah virus yang terbesar dan paling kompleks. Infeksi oleh sebagian besar poxvirus
ditandai dengan ruam meskipun lesi yang diinduksi oleh beberapa anggota family secara
nyata bersifat proliferative.
a) Morfologi
Poxvirus cukup besar untuk dilihat sebagai partikel tanpa bentuk dengan mikroskop
cahaya. Dengan mikroskop electron, virus tersebut tampak sebagai partikel berbentuk

ellipsoid atau batu bata yang berukuran sekitar 400 x 230 nm. Strukturnya kompleks dan
tidak berbentuk ikosahedralmaupun simetri heliks. Permukaan luar partikel mengandung
lekukan. Virus memiliki membrane lipoprotein luar, atau selubung yang menutup inti dan
dua struktur fungsi yang tidak diketahui fungsinya, yang disebut badan lateral.
Inti mengandung genom virus DNA untai ganda linear yang besar (130 375 kbp).
Sekuens genom yang komplit dikenali untuk beberapa poxvirus, termasuk vaksinia dan
variola. Sekitar 185 frame bacaan terbuka. DNA mengandung urutan berulang terminal
yang terbalik dengan panjang yang bervariasi, dan untai dihubungkan di bagian ujung
oleh lingkar penjepit. Pengulangan terminal dalam urutan

terbalik dapat mencakup

penyediaan region sehingga beberapa gen ada di kedua ujung genom. DNA kaya akan
basa adenine dan timin
Komposisi kimiawi poxvirus menyerupai komposisi bakteri. Virus vaksinia terutama
terdiri dari protein (90%), lipid (5%), dan DNA (3%). Lebih dari 100 polipeptida
structural telah terdeteksi. Sejumlah protein mengalami glikosilasi atau fosforilasi. Lipid
adalah kolesterol dan fosfolipid.
Virion mengandung berbagai macam enzim, termasuk system transkripsi yang dapat
menyintesis polidenilat, tutup, dan mRNA virus yang mengandung metil.

b) Genom
DNA untai ganda, linear ; ukuran 130 375 kbp; mempunyai lengkung terminal,
mempunyai isi G + C (30 40%) kecuali untuk Parapoxvirus (63%)

c) Patogenesis
Meskipun poxvirus atau cacar telah dieradikasi, pathogenesis penyalit memberikan
gambaran untuk Infeksi poxvirus lain.
Port dentre virus variola adalah membrane mukosa saluran penapasan atas. Setelah
virus masuk, hal berikut terjadi : (1) multiplikasi primer dalam jaringan limfoid yang
mendapat aliran dari tempat masuk; (2) viremia dan infeksi sementara pada sel

retikuloendotelial di seluruh tubuh; (3) fase kedua multiplikasi dalam sel tersebut,
menyebabkan; (4) viremia kedua yang lebih hebat dan; (5) penyakit klinis.
Pada fase praerupsi, penyakit hampir infeksius. Pada hari keenam sampai kesembilan,
lesi dalam mulut cenderung mengalami ulserasi dan mengeluarkan virus. Oleh karena itu,
pada awal penyakit, virus yang infeksius berasal dari lesi dalam mulut dan saluran
pernapasan atas. Kemudian, pustule pecah dan menyebarkan virus ke lingkungan pasien
cacar.
Pemeriksaan histopatologi kulit memperlihatkan proliferasi lapisan sel yang menonjol
seperti duri. Sel yang berproliferasi tersebut mengandung banyak inklusi sitoplasma.
Terdapat infiltrasi sel mononuclear, terutama di sekitar pembuluh darah di dalam korium.
Sel epitel lapisan malpighi membengkak karena sitoplasma mengembung dan mengalami
degenerasi balon. Vakuola dalam sitoplasma membesar. Membrane sel pecah dan
menyatu dengan membrane sel sebelahnya yang juga terinfeksi, menyebabkan
terbentuknya vesikel. Vesikel membesar dan terisi sel putih dan debris jaringan. Semua
lapisan kulit terkena dan terjadi nekrosis yang nyata pada korium. Oleh karena itu,
pembentukan parut terjadi setelah infeksi variola. Histopatologi yang sama terjadi pada
vaksinia meskipun virus vaksinia menyebabkan lesi pustular yang terlokalisasi hanya di
tempat inokulasi.
d) Cara transmisi
Transmisi cacar terjadi melalui kontak antar kasus. Cacar sangat menular. Virus stabil
dalam lingkungan ekstraseeluler

tetapi paling sering ditularkan melalui penyebaran

pernapasan. Virus kering pada krusta dari lesi kulit dapat bertahan hidup pada pakaian
atau bahan lain dan menyebabkan infeksi.
Pasien sangat infeksius selama 2 minggu pertama ketika dimulainya demam. Droplet
pernapasan lebih dulu infeksius daripada lesi kulit.
e) Klasifikasi
Poxvirus adalah family Poxviridae yang termaksud virus onkogenik DNA.
f) Diagnosis Laboratorium

Uji bergantung pada pemeriksaan mikroskopik direk pada bahan dari lesi kulit, penemuan
virus dari pasien, identifikasi antigen virus dari lesi, dan yang kurang penting adanya
antibody dalam darah.
Beberapa uji laboratorium tersedia untuk memperkuat cacar :
i.

Isolasi dan Identifikasi Virus


Lesi kulit adalah spesimen pilihan untuk isolasi virus. Poxvirus stabil dan tetap dapat
hidup pada spesimen selama berminggu-minggu walaupun dan tidak dibekukan.
Pemeriksaan langsung bahan klinis dengan mikroskop electron digunakan untuk
identifikasi cepat partikel virus. (sekitar 1jam) dan dengan mudah dapat membedakan
infeksi poxvirus dari cacar air (cacar air disebabkan oleh herpesvirus). Orthopoxvirus
tidak dapat dibedakan satu sama lain dengan mikroskop electron karena ukuran dan
morfologinya sama. Namun virus tersebut dapat dibedakan dengan mudah dari
tanapoxvirus dan parapoxvirus.
Isolasi virus dilakukan dengan cara inokulasi cairan vesikel ke membran korialantoik
embrio ayam. Uji ini merupakan uji laboratorium yang paling dipercaya. Uji ini
merupakan cara termudah untuk membedakan kasus cacar dari vaksinia generalisata,
untuk lesi yang dihasilkan oleh virus tersebut pada membran yang jelas berbeda.
Selama 2 - 3 hari , bintik vaksinia berukuran besar dengan pusat nekrotik, sedangkan
bintik variola berukuran jauh lebih kecil. Cacar sapi dan cacar monyet menimbulkan
lesi hemoragi yang berbeda. Parapoxvirus, virus moluskum kontangiosum, dan
tanapoxvirus tidak tumbuh pada membran.
Kultur sel juga dapat digunakan pada isolasi virus. Sel primata manusia dan bukan
manusia adalah paling rentan. Orthopoxvirus tumbuh baik dalam sel yang dikultur;
parapoxvirus dan tanapoxvirus tumbuh kurang baik, dan virus moluskum
kontangiosum, masih belum dapat ditumbuhkan pada kultur sel.
Antigen virus dapat dideteksi pada gel agar. Presipitasi pada bahan yang dikumpulkan
dari lesi kulit. Uji tersebut mengidentifikasi orthopoxvirus sebagai suatu kelompok.
Uji tersebut merupakan pengganti yang baik jika mikroskop electron tidak tersedia.

Tersedia pemeriksaan reaksi rantai polymerase (PCR) yang spesifik untuk berbagai
poxvirus dan digunakan untuk deteksi dan identifikasi.
ii.

Serologi
Isolasi virus perlu untuk identifikasi cepat dan akurat pada infeksi poxvirus. Namun,
pemeriksaan antibody dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis. Antibody
muncul setelah minggu pertama infeksi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan HI,
Nt, ELISA, RIA, atau imonofluoresensi. Tidak satupun pemeriksaan tersebut akan
membedakan virus diantara orthopoxvirus.

g). Pencegahan
Metisazon adalah agen kemoterapi yang bermanfaat melawan poxvirus. Agen ini efektif
sebagai profilaksis tetapi tidak bermanfaat untuk mengobati penyakit yang telah ada.
Vaksinasi dengan Vaksinia
Virus vaksinia untuk vaksinasi dibuat dari lesi vesikel (limfe) yang dihasilkan di kulit
anak sapi dan dapat ditumbuhkan pada embrio ayam. Vaksin akhir mengandung gliserol
40% untuk menstabilkan virus dan fenol 0,4% untuk menghancurkan bakteri. Standar
WHO untuk vaksin cacar adalah bahwa vaksin mempunyai potensi tidak kurang dari 10 8
unit pembentuk bintik permilimeter. Vaksin dihasilkan kultur sel baru masih
dikembangkan. Vaksin vaksinia tidak mengandung virus cacar.
Ringkasan mengenai vaksinasi berikut juga diberikan karena virus vaksinia
dipertimbangkan sebagai vector memasukan gen asing untuk tujuan imunisasi.
A. Waktu Vaksinasi
Komplikasi vaksinasi paling sering terjadi pada anak usia kurang dari 1 tahun. Oleh
karena itu, vaksinasi antara 1 dan 2 tahun lebih dipilih daripada vaksinasi dalam tahun
pertama. Revaksinasi telah dilakukan dengan interval 3 tahun.
B. Reaksi dan Interprestasi
1. Vaksinasi pertama pada orang yang sangat rentan, tampak papul yang
dikelilingi oleh daerah hyperemia pada hari ketiga atau keempat. Ukuran papul
bertambah sampai tampak vesikula (pada hari kelima dan keenam). Vesikel
mencapai ukuran maksimum pada hari kesembilan kemudian menjadi pustula.
Kemudian terjadi pengeringan pustule dan berakhir setelah sekitar 2 minggu,
meninggalkan parut cekung merah muda yang akhirnya menjadi putih.

Pembacaan hasil biasanya dilakukan pada hari ke 7. Jika reaksi ini tidak terlihat,
vaksinasi harus diulang.
2. Vaksinasi ulang keberhasilan vaksinasi terlihat pada 6 8 hari lesi vesikuler
atau pustular atau suatu area indurasi yang teraba mengelilingi lesi sentral, yang
bias menjadi kudis atau borok. Ketika terjadi reaksi meragukan, vaksinasi ulang
harus dikerjakan menggunakan jumlah dosis vaksin yang baru.
C. Komplikasi Vaksinasi
1. Vaccinia Generalisata ditunjukan oleh kejadian kumpulan lesi vaccinia
diseluruh permukaan tubuh. Setelah vaksinasi, anak-anak yang menderita eczema
bias mengalami lesi vaccinia diatas area eczematous ( eczema vaccinia). Anakanak dengan eczema sebaiknya tidak divaksinasi. Vaccinia generalisata dapat
terjadi tanpa eczema, tetapi jarang.
2. Ensefalitis pasca vaksinasi angka kematian kasus serius ini bias setinggi 40%.
Insiden di A.S sekitar 3 per sejuta diantara orang yang divaksinasi pertamakali
pada seumur hidup. Onsetnya mendadak dan terjadi sekitar 12 hari setelah
vaksinasi. Penyebabnya tidak diketahui.
3. Vaccinia Nekrosum atau Vaccinia Progresif merupakan hasil dari
ketidakmampuan membuat antibody atau membentuk resistensi seluler dan bisa
fatal. Pengobatan dengan immunoglobulin vaccinia atau metisazone mungkin
penting. Imunodefesiensi congenital aquesita dan imunosupresi merupakan
kontraindikasi pemberian vaksin.
4. Vaccinia Janin meskipun jarang, wanita yang divaksinasi di akhir kehamilan
dapat mengeluarkan virus pada janinnya dan menyebabkan bayi yang lahir mati.
Karena itu vaksinasi pada kehamilan sebaiknya dihindari.
5. Infeksi secara kebetulan ini terjadi ketika satu bagian tubuh yang jauh dari
tempat inokulasi menjadi terinfeksi. Vaccinia ocular adalah komplikasi yang
paling sering dan kadang-kadang menyebabkan kerusakan penglihatan.
h). Pengobatan
Imunoglobulin vaksinia dibuat dari darah orang yang divaksinasi dengan virus vaksinia.
Dianjurkan untuk pengobatan pada semua komplikasi kecuali ensefalitis pascavaksin.

3. Papilomavirus
a) Morfologinya
Berbentuk ikosahedral tanpa selubung dengan diameter 55 nm.

b) Genom
DNA untai ganda, sirkular, BM juta, 8kbp
c) Patogenesis
Infeksi HPV tidak selalu berkembang menjadi kanker serviks. Sebagian besar infeksi
HPV (antara 50 - 70 %) menghilang melalui respon imun alamiah, setelah melalui masa
beberapa bulan hingga dua tahun. Meskipun demikian, kanker serviks dapat berkembang
apabila infeksi akibat HPV tipe onkogenik tidak menghilang.
Dalam pengertian yang luas, diperkirakan bahwa dari setiap satu juta wanita yang
terinfeksi HPV tipe onkogenik, hampir 10 % (100.000) akan terjadi perubahan sel serviks
prakanker (displasia serviks). Dari angka tersebut, sekitar 8 % (8.000) akan mengalami
perubahan prakanker pada sel - sel yang terdapat di permukaan serviks (karsinoma in
situ), dari jumlah tersebut, 20 % (1.600) akan terus berkembang menjadi kanker serviks
apabila dibiarkan.
Perkembangan dari infeksi HPV onkogenik menjadi kanker serviks dapat terjadi apabila
terjadi infeksi yang menetap dari beberapa sel yang terdapat pada serviks (sel epitel pipih
atau lonjong di zona transformasi serviks). Sel - sel ini sangat rentan terhadap infeksi
HPV dan ketika terinfeksi, akan berlipat ganda, berkembang melampaui batas wajar dan
kehilangan kemampuannya untuk memperbaiki abnormalitas genetiknya.
Hal ini akan mengubah susunan sel dalam serviks. Virus HPV akan bercampur dengan
sistem peringatan yang memicu respons imun yang seharusnya menghancurkan sel
abnormal yang terinfeksi oleh virus. Perkembangan sel yang tidak normal pada epitel
serviks dapat berkembang menjadi pra kanker yang disebut juga sebagai cervical
intraepithelial neoplasia (CIN).
Apabila memperhatikan infeksi HPV onkogenik yang persisten maka ditemukan tiga pola
utama pada pra kanker, dimulai dengan infeksi pada sel serta perkembangan sel - sel
abnormal yang dapat berlanjut menjadi intraepithelial neoplasia dan pada akhirnya
menjadi kanker serviks.
Yang dapat menyebabkan kanker adalah HPV genital tipe 16, 18, 31, 35, 39, 45, 51, 52,
dan 58. Lebih dari 70% kanker leher rahim disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18. Virus
ini menular terutama melalui hubungan seks, termasuk anal sex, oral sex, dan hand sex.
Papiloma laring pada anak disebabkan oleh HPV-6 dan HPV-11, infeksi didapatkan
ketika bayi dilahirkan melewati jalan lahir pada ibu yang menderita kutil genital.
d) Transmisi

Setiap wanita berisiko terkena infeksi HPV onkogenik yang dapat menyebabkan kanker
serviks. HPV dapat dengan mudah ditularkan melalui aktivitas seksual meskipun
demikian transmisi tidak tergantung dari adanya penetrasi namun cukup melalui sentuhan
kulit diwilayah genital tersebut (skin to skin genital contact).
Dengan demikian setiap wanita yang aktif secara seksual memiliki risiko untuk terkena
kanker serviks. Diperkirakan bahwa 50 - 80 % wanita dapat terkena infeksi HPV
sepanjang hidupnya dan 50 % infeksi tersebut merupakan tipe onkogenik.
e) Klasifikasi
Termasuk family Papilomaviridae yang dahulu merupakan genus dalam family
Papovaviridae
f) Diagnosis Laboratorium
Diagnosis kanker serviks berdasarkan hasil histopatologik, sedangkan deteksi infeksi
HPV tipe 16 dan 18 dilakukan dengan teknik PCR dan p53 dengan teknik
imunohistokimia peroksidase anti peroksidase
g) Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah infeksi human papilloma virus (juga untuk mencegah
serangan segala macam virus lainnya) adalah dengan menjaga kondisi tubuh agar tetap
sehat dan bugar dengan pola hidup seimbang: cegah stres, hindari polusi, konsumsi
makanan bergizi dan seimbang, cukup olahraga, cukup istirahat.
h) Penanganan dan Pengobatan
Dengan adanya perkembangan terkini terhadap vaksin inovatif untuk melindungi dari
infeksi HPV onkogenik, vaksinasi melawan kanker serviks akan menjadi kenyataan.
Terdapat vaksin yang menargetkan HPV 16 dan HPV 18 yang mampu mencegah 70 %
kanker serviks.
Ada pengobatan yang bisa dilakukan untuk menghilangkan masalah yang ditimbulkan
oleh HPV pada pria. Kutil kelamin dapat diobati dengan obat, pembedahan, atau dengan
frozen off. Beberapa pengobatan harus dilakukan dengan dokter dan bisa dilakukan oleh
pasien dirumah. Tidak ada pengobatan yang disebut diatas lebih baik dari yang lainnya,
kutil kelamin akan timbul kembali setelah beberapa bulan dilakukan pengobatan,
sehingga diperlukan beberapa kali pengonbtan. Dengan mengobati kutil kelamin tidak
akan menurunkan resiko seseorang untuk menularkan ke pasangannya, karena hal ini lah
beberapa orang memutuskan untuk tidak megobati and membiarkannya untuk sembuh

sendiri, tetap seperti ukuran semula atau menjadi besar dan banyak. Kutil ini tidak akan
berkembang menjadi kanker atau membahayakan kesehatanmu. Pada kasus kanker penis
atau anus bisa diobati dengan pembedahan, radioterapi dan kemoterapi, atau terapi
kombinasi dari ketiga diatas. Pasien dan dokternya yang memutuskan terapi yang terbaik.
Beberapa model memprediksi bahwa vaksin bersamaan dengan screening akan
mengurangi resiko kanker serviks dibandingkan hanya melakukan screening saja, dan
secara signifikan akan mengurangi hasil screening abnormal yang membutuhkan
tindakan lebih lanjut.
Vaksinasi terbaik yang dapat dikembangkan untuk melawan kanker serviks adalah
kombinasi vaksin yang dapat memberikan cakupan yang lebih luas terhadap tipe - tipe
HPV onkogenik dan mampu memberikan perlindungan yang lebih panjang.

4. Poliomavirus
Merupakan manifestasi yang jarang dari infeksi poliomavirus di otak yang sering
berkembang dengan cepat pada saat menimbulkan gejala.
a) Morfologinya
Iksohedral naked, Virion struktur kapsid, ukurannya 45 nm.
b) Genom
DNA untai ganda, dengan berat molekul 3-5x106 ; 5-8kbp
c) Patogenesis
Penyakit ini dikarakterisasikan sebagai kerusakan progresif atau peradangan pada massa
putih otak pada dua lokasi. Penyakit ini biasanya muncul pada orang yang sistem
kekebalan tubuhnya kurang, contohnya pasien yang terserang HIV. Penyakit ini
menyerang otak dan medulla spinalis. Sering terjadi pada penderita kelainan fungsi
limfosit T (gangguan kekebalan), seperti pada leukimia, limfoma dan AIDS. Laki-laki
lebih sering terkena.
d) Transmisi
Poliomavirus didapat dari vaksin poliovirus yang dikembangkan pada sel monyet yang
tidak diketahui telah terinfeksi SV40.
Transmisi poliomavirus diduga berkaitan dengan poliomavirus pada resipien trnsplantasi
ginjal.
e) Klasifikasi
Merupakan Genus pada family Papovaviridae.

f) Diagnosis Laboratorium
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya yang memburuk secara progresif.
Untuk membantu menegakkan diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI.
Tetapi diagnosis pasti sering tidak dapat dibuat, sampai penderita tersebut meninggal dan
dilakukan pemeriksaan terhadap jaringan otaknya.
g) Pengobatan
Tidak ada pengobatan untuk penyakit ini. Pada penderita yang bertahan hidup, para
peneliti menduga bahwa fungsi sistem kekebalan tertentu telah berperan dalam
menghentikan infeksi atau pengrusakan jaringan otak.

. Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B (VHB) selain menyebabkan hepatitis, virus ini merupakan faktor resiko
dalam perkembangan kanker hati pada manusia. Penelitian laboratorium dan epidemologi
telah membuktikan bahwa infeksi persisten virus hepatitis B merupakan penyebab penting
penyakit hati kronis dan perkembangan karsinoma hepatoselular.
a) Morfologi
Mikroskop electron dari serum positif HBsAg menunjukkan tiga bentuk morfologi.
Jumlah terbanyak adalah partikel bulat berdiameter 22 nm. Partikel kecil ini dibuat secara
tersendiri oleh HbsAg seperti juga bentuk tubuler dan filamentosa, yang berdiameter
sama tetapi panjangnya bisa lebih dari 200 nm dan dihasilkan dari produksi HBsAg yang
berlebihan. Yang lebih besar, virion bulat 42 nm (disebut partikel Dane) jarang terlihat.
Permukaan luar, atau amplop, berukuran 27 nm yang mengandung HbsAg dan
mengelilingi suatu inti nukleokapsid bagian dalam yang untai tunggal genom DNA
sirkuler yang bervariasi, menghasilkan partikel yang secara genetika heretogen dengan
suatu rentang berat jenis yang lebar.
b) Genom
Genom virus mengandung sebagian DNA sirkuler untai ganda, dengan panjang 3200 bp.
Isolat-isolat HBV yang berbeda berbagi 90-98% dalam kesesuaian nukleotida. Panjang
penuh DNA untaian minus (L atau untai panjang) melengkapi semua mRNA HBV;
untaian positif (S atau untaian pendek) bervariasi antara 50-80% dari panjang unit.
c) Patogenesis

Virus Hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah
partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel
hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HBsAg bentuk bulat
dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang
respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah reseptor imun nonspesifik
(innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa
menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA,
yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu dengan
mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktifasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak
reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VBH-MHC kelas I yang ada pada
permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC)
dan dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang
ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respons imun
adalah peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan
menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga
terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas
interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T
CD8+ (mekanisme memsitrolitik).
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi
antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-HBe. Fungsi anti HBs adalah netralisasi partikel
VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian anti-HBs
akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan
gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B Kronik ternyata dapat
ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa
karena anti-HBs yang bersembunyi dalam kompleks dengan HBsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri,
sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap.
Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan faktor virus
ataupun faktor pejamu. Faktor virus antara lain terjadinya imunotoleransi terhadap
produk VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis integrasi genom
VHB dalam genom sel hati. Faktor pejamu antara lain faktor genetik, kurangnya produksi

IFN, adanya antibodi tehadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons
antidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi tehadap produk VHB dalam persistensi VHB
adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh itu
HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh
kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi VHB dapat
disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang menyebabkan tidak dapat
diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg pada mutan tersebut akan menghambat
eliminasi sel yang terinfeksi VHB.
d) Transmisi
Jalur infeksi dari hepatitis virus tipe B yaitu terutama parenteral.
e) Klasifikasi
Virus Hepatitis B (VHB) termasuk ke famili hepadnaviridae, genus orthohepadnavirus.
f) Diagnosis Laboratorium
Gambaran serologi setelah pajanan HBV diperlihatkan pada tabel di bawah ini.
Hasil Pemeriksaan
Interpretasi
HBsAg

Anti-HBs

Anti-HBc

Infeksi HBV akut awal.

()

Infeksi HBV, akut maupun kronik.

Infeksi HBV yang lalu dan kekebalan terhadap hepatitis B

Kemungkinan: infeksi HBV masa lalu, pembawa HBV,


periode hilangnya HBV dan munculnya anti-HBs, reaksi
positif palsu/nonspesifik.

Agen infeksius lain.

Respon terhadap vaksin.

Aktivitas DNA polimerase, HBV DNA, dan HBeAg, yang ditemukan pada stadium
viremia hepatitis B, terjadi pada awal periode inkubasi, bersamaan atau segera setelah
timbulnya HbsAg pertama kali. Konsentrasi partikel HBV yang tinggi dapat timbul
dalam darah (sampai 1010 partikel/ml) selama fase awal infeksi; kemampuan menularkan
paling tinggi pada waktu ini. HbsAg biasanya dapat dideteksi 2-6 minggu setelah

berkembangnya tanda klinis dan biokimia hepatitis serta menetap sepanjang perjalanan
klinis penyakit tetapi khas menghilang 6 bulan setelah pajanan.
g) Pencegahan dan Pengendalian
Vaksin hepatitis B telah tersedia sejak 1982. Vaksin awal dibuat dengan memurnikan
HBsAg yang berhubungan dengan partikel 22 nm dari carrier positif HBsAg yang sehat,
pada partikel diberi perlakuan dengan zat yang menginaktifkan virus (formalin, urea,
pemanasan). Sediaan yang mengandung pertikel 22 nm intak sangat efektif dalam
menurunkan infeksi HBV. Meskipun masih digunakan di negara tertentu, di Amerika
Serikat, vaksin yang berasal dari plasma telah digantikan dengan vaksin yang berasal dari
DNA rekombinan. Vaksin ini mengansung HBsAg yang dihasilkan oleh DNA
rekombinan pada sel ragi atau pada galur sel mamalia yang kontinu. HBsAg yang
diekspresikan dalam ragi membentuk partikel berdiameter 15-40 nm, dengan ciri khas
morfologi antigen permukaan bebas dalam plasma meskipun antigen polipeptida yang
dihasilkan oleh ragi rekombinan tidak mengalami glikosilasi. Vaksin yang diformulasikan
menggunakan bahan yang dimurnikan ini mempunyai potensi yang sama dengan vaksin
yang dibuat dari antigen yang berasal dari plasma.
Profilaksis sebelum pajanan dengan vaksin hepatitis B yang tersedia secara komersil saat
ini dianjurkan oleh WHO, Centres for Disease Control dan Prevention, dan Advisory
Commitee on Immunization Practise untuk semua kelompok yang berisiko dan rentan. Di
Amerika Serikat, vaksin HBV dianjurkan untuk semua anak sebagai bagian jadwal
imunisasi yang telah ada.
Kelompok dengan imunosupresi, seperti pasien hemodialisis atau mereka yang menerima
kemoterapi kanker atau terinfeksi HIV, berespon kurang baik terhadap vaksinasi daripada
orang yang sehat.
Studi terhadap imunisasi pasif menggunakan imunoglobulin hepatitis B (HBIG) spesifik
memperlihatkan efek protektif jika diberikan segera setelah pajanan. HBIG tidak
dianjurkan untuk profilaksis sebelum pajanan karena vaksin HBV tersedia dan efektif.
Orang yang terpajan HBV perkutan atau melalui kontaminasi permukaan mukosa harus
segera menreima vaksin HBIG maupun HBsAg yang diberikan secara simultan di tempat
berbeda untuk memberikan perlindungan segera degnan antibodi yang didapat secara
pasif diikuti dengan kekebalan aktif yang dibangkitkan oleh vaksin.
Imunoglobulin yang diisolasi dari plasma dengan metode fraksionasi etanol dingin tidak
terbukti menularkan HBV, HAV, atau HIV, meskipun penularan HCV melalui sediaan ini

terjadi di Amerika Serikat pada 1994. Imunoglobulin yang dibuat di luar Amerika Serikat
dengan metode lain telah diimplikasikan pada wabah hepatitis B dan C.
Perempuan yang merupakan carrier HBV atau yang menderita hepatitis tipe B saat hamil
dapat menularkan penyakitnya ke bayinya. Efektivitas vaksin hepatitis dan HBIG dalam
mencegah hepatitis B pada bayi yang dilahirkan dari ibu positif HBV telah terbukti.
Penurunan harga vaksin untuk program kesehatan masyarakat memungkinkan vaksinasi
pada bayi baru lahir mudah diberikan di area endemik tinggi. Harga HBIG yang tinggi
menghambat penggunaannya di sebagian besar negara.
Pasien hepatitis B akut umumnya tidak perlu diisolasi selama tindakan pencegahan
terhadap peralatan dan darah dijalankan dengan ketat di area perawatan pasien umum
maupun di laboratorium. Karena pasangan suami-istri dan kontak intim dengan penderita
hepatitis B akut berisiko mengdapatkan hepatitis tipe B, kepada mereka perlu
diinformasikan mengenai kebiasaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi atau
penularan. Tidak ada bukti bahwa pengolahan makanan yang positif HBsAg asimtomatik
memiliki risiko kesehatan terhadap masyarakat umum.
h) Pengobatan
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu:
1. Kelompok Imunomodulasi
Interferon
Timosin alfa I
Vaksinasi Terapi
2. Kelompok Terapi Antivirus
Lamivudin
Adefovir Dipivoksil
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progresi jejas
hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atua menghilangkan injeksi.
Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya
petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA VHB). Pada
umumnya, serokonversi dari HBeAg menjadi anti-Hbe disertai degnan hilangnya DNA
VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati, serokonversi HBeAg tidak dapt dipakai
sebagai tiitk akhir terapi dan respons terapi hanya dapat dinilai dengan pemeriksaan DNA
VHB.

B. Virus Tumor RNA


1. Flavivirus Virus Hepatitis C

Virus hepatitis C menyebabkan hepatitis C. Infeksi kronis dengan HCV dipandang sebagai
faktor penyebab karsinoma hepatoseluler. Kemungkinan besar HCV bekerja secara tak
langsung dalam perkembangan karsinoma hepatoseluler.
a) Morfologi
Virion 60 nm, berbentuk bulat dan memiliki amplop.
b) Genom
Genomnya berukuran 9,4 kb dan mengkode protein core, dua glikoprotein amplop, dan
beberapa protein non struktural.
c) Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati VHC masih sulit dilakukan karena
terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse yang
dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih
belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang
menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat
menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini
diketahui pula mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam unit sel terutama
berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis. Adanya bukti-bukti ini
menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus berlangsung.
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah
masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak
bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel
hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas
limvosit sel T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1
menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL.
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronik dapat ditemukan proses inflamasi
kronik berupa nekrosis gerigit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal
yang lebih lanjut dapat masuk ke lobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat
menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang
agak khas untuk infeksi VHC adalah agregrat limfosit di lobulus hati namun tidak
didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC.
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam menentukan
prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologis dapat dilakukan skoring untuk

inflamasi dan fibrosis di hati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi
pasien maupun komunikasi antara ahli patologi. Saat ini sistem skoring yang mempunyai
variasi intra dan interobserver yang baik di antaranya adalah METAVIR dan ISHAK
d) Transmisi
Jalur infeksi Hepatitis Virus tipe C (HVC) yaitu terutama parenteral.
e) Klasifikasi
Hepatitis Virus C (HVC) termasuk dalam famili Flaviviridae, genus Hepacivirus.
f) Diagnosis Laboratorium
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasi dengan memeriksa antibodi yang dibentuk tubuh
terhadap VHC bila virus ini menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama setelah
infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan
infeksi VHC pada infeksi akut, namun antibodi terhadap VHC masih terus bertahan
bertahun-tahun (18-20 tahun).
Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik enzyme immuno
assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini adalah antigen C-100
dan beberapa antigen non-struktural (NS 3,4 dan 5) sehingga tes ini menggunakan
poliantigen dari VHC. Dikenal beberapa generasi pemeriksaan antibodi VHC ini dimana
antigen yang digunakan semakin banyak sehingga saat ini generasi III mempunyai
senseitifitas dan spesifitas yang tinggi. Antibodi terhadap VHC dapat dideteksi pada
minggu ke 4-10 dengan sensitifitas mencapai 99% dan spesifisitas lebih dari 90%.
Negatif palsu dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi sistem kekebalan tubuh seperti
pada pasien HIV, gagal ginjal, atau pada krioglobulinemia.
Immunoblot assay dulu digunakan untuk tes konfirmasi pada mereka dengan anti-HCV
positif dengan EIA. Saat ini dengan tingkat sensetifitas dan spesifisitas EIA yang sudah
sedemikian tinggi, tes konfirmasi ini tidak lagi digunakan.
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh pasien
terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC
dalam serum maupun hati relatif sangat kecil sehingga diperlukna teknik amplifikasi agar
dapat terdeteksi. Teknik polymerase chain reaction (PCR) dimana gen VHC digandakan
oleh enzim polimerase digunakan sejak ditemukannya virus ini dan saat ini umumnya
digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun menentukan
jumlah virus dalam serum (kuantitatif). Teknik ini juga dipakai dalam menentukan
genotife VHC. Teknik lain adalah dengan menggandakan signal yang didapat dari gen

VHC yang terikat pada probe RNA sehingga dapat dihitung jumlah kuantitatif VHC.
Hasil dari kedua metode ini sulit dibandingkan satu sama lain walaupun saat ini telah ada
standarisasi dalam satuan pemeriksaan sehingga di masa datang diharapkan satu
pemeriksaan dapat diikuti atau dilakukan pemeriksaan ulang dengan pemeriksaan lain
dengan hasil yang dapat dibandingkan.
Untuk menentukan genotipe VHC selain dengan teknik PCR, juga digunakan teknik
hibridisasi atau dengan melakukan sequencing gen VHC.
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC dilakukan pada
penapisan darah untuk transfusi darah. Umumnya unit-unit transfusi darah menggunakan
deteksi anti-VHC dengan EIA maupun dengan cara imunokromatografi, namun masih
terdapat kasus-kasus pasien yang terinfeksi oleh VHC walaupun deteksi anti-VHC sudah
dinyatakan negatif.
Teknik deteksi nukleotida lebih sensitif daripada deteksi anti-VHC karena itu di dunia
saat ini telah dikembangkan teknik menggunakan realtime PCR yang dapat mendeteksi
RNA VHC dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 50 kopi/mL). Selain itu,
teknologi menggunakan teknik transcription-mediated amplication (TMA) juga telah
dikembangkan untuk meningkatkan sensitivitas deteksi VHC. Teknik-teknik yang sangat
sensitif ini berguna untuk deteksi infeksi VHC di kalangan pasien maupun di kalangan
masyarakat umum untuk transfusi darah.
g) Pencegahan dan Pengendalian
Tidak ada vaksin untuk hepatitis C. Pengukuran pengendalian tertuju pada aktivitas
pencegahan yang menurunkan resiko untuk tertular oleh HCV. Ini termasuk skrining dan
tes darah, plasma, organ, jaringan dan semen donor, inaktivasi virus dari produk-produk
yang berasal dari plasma, konseling orang-orang dengan kebiasaan seksual atau
pengguna obat beresiko tinggi, implementasi pelaksanaan pengendalian infeksi dalam
perawatan kesehatan dan tempat kejadian lain, serta edukasi profesional dan masyarakat.
h) Pengobatan
Pasien biasanya diketahui terinfeksi VHC setelah adanya pemeriksaan anti-HCV positif.
Untuk mengetahui adanya infeksi sebenarnya, pemeriksaan RNA VHC perlu dilakukan
dimana sekaligus diketahui jumlah virus di dalam darah serta genotipe VHC.
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan nilai ALT lebih
dari batas atas nilai normal. Menurut panduan penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2
kali batas atas nilai normal. Hal ini mungkin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai

ALT di atas batas nilai normal biasanya sudah menunjukkan adanya fibrosis yang nyata
bila dilakukan biopsi hati.
Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin.
Umumnya disepakati bila genotipe VHC adalah genotipe 1 dan 4, maka terapi perlu
diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24
minggu.

Anda mungkin juga menyukai