Anda di halaman 1dari 86

Jurnal Widya Prabha 2014

3
12
19
29
42
57
68

Jurnal Widya Prabha 2014

Pengantar Redaksi

Puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga apa yang kita rencanakan dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
Penerbitan jurnal tahunan Widya Prabha ke-3 ini telah dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan
rencana. Jurnal ini diterbitkan sebagai salah satu publikasi berbagai aspek tentang pelestarian cagar budaya. Upaya publikasi itu merupakan bagian dari implementasi program internalisasi cagar
budaya kepada masyarakat.

Terimakasih kepada para kontributor tulisan yang telah meluangkan waktu dan memanfaatkan kesempatan untuk menulis artikel dalam jurnal ini. Kepada semua Tim Redaksi yang telah
dapat mewujudkan jurnal ini, kami tidak lupa memberikan penghargaan yang tinggi. Semoga jurnal
ini dapat menjadi sumbang saran di dalam kajian tentang pelestarian dan dapat menjadi bahan
kepustakaan. Diakui bahwa berbagai kontribusi penulisan tersebut masih terbatas dan belum maksimal, oleh karena itu berbagai kritik dan saran diperlukan untuk perbaikan penerbitan di masa
mendatang. Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan dan meridhoi setiap upaya kita dalam mengimplementasikan internalisasi tentang pentingnya cagar budaya bagi penguatan karakter
bangsa.

Redaksi

Catatan Redaksi :
Perspektif Budaya dan Lingkungan dalam Pelestarian
Peran budaya di dalam berbagai bidang kehidupan, disadari maupun tidak, pada dasarnya memiliki
posisi sentral dan menentukan. Di dalalam era pembangunan yang mengejar pertumbuhan diyakini bahwa
pertumbuhan ekonomi akan dapat memperbaiki standard kehidupan dan kesejahteraan. Secara logis
sumber daya alam menjadi tumpuan untuk dapat dieksploatasi bagi kepentingan manusia. Pada akhirnya
ekplorasi yang dilakukan tidak mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis. Tidak mengherankan
apabila kemudian muncul kritik dan mendesak ditinggalkannya praktek-praktek seperti tersebut diatas.
Paradigma yang kemudian muncul adalah pendekatan yang pembangunan berkelanjutan yang holistik
dengan mengimplementasikan asas keseimbangan dengan aspek-aspek sosial - budaya dan lingkungan hidup.
Artinya, bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi sosial, pelestarian
budaya, dan lingkungan hidup.
Pada dasarnya budaya dapat diartikan sebagai corak hidup di dalam suatu lingkungan masyarakat
yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepakati bersama. Dapat
pula dipersepsikan sebagai sistem makna dan pemahaman arti dalam suatu sistem kepercayaan serta
pola perilaku kehidupan yang dilakukan masyarakat pendukung. Proses itu untuk menghayati kehidupan
di dalam memperjuangkan kehidupan (survival) bagi kehidupan yang bermartabat. Apa yang menjadi tata
nilai budaya dan kearifan di dalam masyarakat dapat menjadi kunci di dalam melakukan peendekatan bagi
terwujudnya upaya membangun kelestarian budaya dan alam sekelilingnya. Kita semua dituntut untuk
menjaga keseimbangan dan harmoni hubungan di antara manusia, alam, dan lingkungannya.
Satu contoh bahwa di dalam menjaga eksistensi geo heritage dan ekosistem Merapi harus memahami
bagaimana persepsi masyarakat tentang lingkungannya serta pola perilaku untuk memperjuangkan
kehidupan yang berkeseimbangan. Tentunya aspek pencegahan atau preventif menjadi pilihan yang
utama untuk dilakukan. Hal itu baik yang dilakukan dalam konteks lingkungan maupun budaya. Tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana menjaga kelestarian budaya dalam arti melakukan proses konservasi material
dan bangunan cagar budaya seperti halnya yang dilakukan di Benteng Cepuri Kotagede. Apabila pendekatan
preventif tidak dapat membuahkan hasil konkrit maka tentu harus menjalankan aspek kuratif atau represif.
Aspek represif inilah yang telah dilakukan di dalam menjaga eksistensi bangunan cagar budaya SMA 17 1
Yogyakarta. Menjaga eksistensi bangunan, sebagai salah satu properti budaya, juga akan dapat menjaga nilai
atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang tersurat inilah yang perlu terus dibudidayakan di
dalam masyarakat. Kedepannya, tugas menjaga keberlanjutan di dalam konteks keseimbangan merupakan
tanggungjawab bersama. Pemahaman arti penting dan pembelajaran pentingnya menjaga eksistensi
alam, lingkungan, dan warisan budaya sangat urgen untuk di implementasikan dalam rangka membangun
peradaban bangsa.

Redaksi

Jurnal Widya Prabha 2014

PERAN BUDAYA DALAM


PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP *
Oleh :
Dra. Niken Wirasanti,M.Si **
I. Pendahuluan

Konsep
pembangunan
berkelanjuan
yang dicanangkan World Commission on
Environment and Development di bulan April
1987 mendeklarasikan upaya mengatasi berbagai
kemelut lingkungan yang terjadi di belahan dunia.
Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk
Indonesia sepakat memadukan lingkungan hidup
dalam pembangunan, sehingga lahirlah pola
Pembangunan Berkelanjutan atau berwawasan
Lingkungan.
Artinya
arah
pembangunan
dilaksanakan dengan memperhatikan kontuinitas
dalam hal kelangsungan hidup alam dan manusia.
Namun sejak lahirnya konsep tersebut hingga saat
ini apakah lingkungan hidup menjadi semakin baik?
Kasus bencana alam yang terus terjadi di berbagai
tempat dan bumi semakin panas mengindikasikan
masalah lingkungan belum terintregrasi dengan
baik dalam pembangunan berkelanjutan.
Cita-cita
utama
pembangunan
berkelanjutan adalah upaya untuk mensinkronkan,
mengintegrasikan dan memberi bobot yang
sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu
ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup.
Artinya Pembangunan aspek sosial-budaya dan
lingkungan hidup tidak boleh dikorbankan demi
dan atas nama pembangunan ekonomi.
Konflik sosial-budaya yang terjadi di
tanah air, yaitu perasaan diberlakukan tidak adil,
termarjinalisasi, dan terancam secara budaya
adalah contoh terabaikannya aspek sosial-budaya
dalam pembangunan nasional (Keraf, 2002). Kasus
yang sama terjadi pada masalah pemanfaatan
sumberdaya alam yang berorientasai pada

pendapatan daerah, tanpa memperhatikan kualitas


lingkungan yang semakin buruk. Krisis ekologi yang
terjadi menujukan kuatnya paham antroposentis dalam
kebijakan pembangunan yang lebih mementingkan
pertumbuhan ekonomi dan persepsi yang keliru
tentang kekayaan alam. Pertumbuhan ekonomi
diyakini akan memperbaiki standart
kehidupan
masyarakat menjadi lebih sejahtera, dan sumberdaya
alam merupakan sumberdaya yang siap dieksploitasi
untuk pertumbuhan ekonomi. Eksplorasi alam tidak
lagi mempertimbangkan keseimbangan ekologis.
Paradigma pembangunan berkelanjutan yang
sangat antroposentris tersebut mendesak untuk
ditinggalkan dan diganti dengan cara pandang yang
lebih holistik dan saling melengkapi dengan memberi
perhatian pada aspek sosial-budaya dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Berdasarkan kondisi tersebut
muncul permasalahan : Mengapa aspek budaya perlu
lebih ditingkatkan perannya saat ini dalam menjaga
keseimbangan ekosistem?. Asumsinya pendekatan
budaya yang meletakkan manusia dalam kapasitasnya
sebagai makhluk berbudaya, beretika, bermoral dan
berdimensi spiritual-transendental sangat relevan
untuk dikaji dan ditransformasikan dalam kehidupan
saat ini mengingat tingkat kerusakan ekologi di sekitar
kita dari hari ke hari semakin meningkat.

II. Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Ekologis



Kelangsungan hidup manusia tergantung pada
pemeliharaan ekosistem, karena ekosistem merupakan
batas keberadaan dan kerangka kerja kegiatan manusia,
ekositem dapat berjalan tanpa kita, namun kita tidak
dapat berbuat apa-apa tanpa ekosistem, selama kita
hidup di bumi ini (Kompas, 2004). Pada dasarnya secara

naluriah manusia dimanapun tempat tinggalnya pasti


akan mencari ketenangan dan keamanan diri. Adapun
sumber dari intervensi ketidaktentraman dibayangkan
bukan hanya dari suasana psikologis di dalam
dirinya semata, melainkan juga dbayangkan berasal
lingkungan jagad raya yang dipersepsikan sebagai
sesuatu yang misterius, dan menakjubkan, yang tidak
dapat dicerna oleh akal pikiran. Dari persepsi ini mulai
menggagas adanya daya-daya alam adiduniawi yang
mengitari dirinya, dan dikonsepsikan sebagai dewadewa (Suhardi, 2009).

Pandangan masyarakat terus berlanjut,
khususnya masyarakat Jawa beranggapan lingkungan
merupakan sebagai sumber energi yang bermanfaat
untuk kehidupan manusia. Masyarakat berteori
tentang tatanan jagat raya (kosmogoni) yang memiliki
perputaran gerak yang sempurna, misalnya rotasi
perjalanan benda-benda angkasa yang demikian
tertibnya, merupakan perwujudan keseimbangan
alam dan dunia. Jagat raya bergerak demikian pula
isi dunia termasuk masyarakatnya. Apabila manusia
mampu menyerasikan hidupnya sesuai dengan hukum
alam yaitu gerak perputaran alam semesta, maka akan
diperoleh kesejahteraan.

Gerak harmonis dari benda-benda di jagat raya
digerakkan oleh sebuah kekuatan (daya) dan apabila
kekuatan itu memancar pada seorang pemimpin, atau
raja, maka pemimpin atau raja tersebut dianggap
memiliki daya linuweh (kesaktian). Asumsinya semakin
kuat pancaran yang dimiliki seorang pemimpin atau
raja maka individu tersebut akan semakin memiliki
kewibawaan dan berkharisma. Implikasinya dari
kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin/raja
akan tercapai keadaan tata titi tentrem karta raharjo.

Sejumlah naskah Jawa kuna, misalnya Babad
Tanah Jawi, Kitab Centini, Wedatama menceritakan
adanya gambaran ideal seorang pemimpin atau raja
dalam menjaga tata tertib kosmos. Demikian pula
ramalan-ramalan Joyoboyo yang populer masa
Kerajaan Kadiri-abad XIII Masehi, dan ramalan Pujangga
Ronggowasito (masa Kerajaan Surakarta-abad XVIII
Masehi). Dalam sejarah kebudayaan dikenal nama-

nama yang menjadi gambaran ideal seorang tokoh


pemimpin yang mampu mengembalikan keserasian
dalam hubungan manusia dengan ekosistemnya,
yaitu tokoh Ratu Adil, dan tokoh Satrio Piningit.

Pada masa Kerajaan Mataram (Islam) RajaRaja Mataram sebagai pewaris tahta kerajaan harus
bersikap dan berbuat sebagai kalifah dari Tuhan
(Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah
Tanah Jawa). Tugas yang diemban adalah
Hamengku, Hamangku, Hamangkoni. Asas tersebut
bermakna keseimbangan dunia-akherat, finansialspiritual, manunggaling Kawulo Gusti yaitu suatu
tekad mengelola alam tanpa merusak dan menjaga
segala kekayaan alam yang merupakan pemberian
sekaligus amanah Sang Pencipta (Suhardjo, 2004).
Masih di lingkungan kraton sejumlah nama raja
disebut dengan nama Paku Buwono (tiang pancang
alam semesta), Hamengku Buwono ( Penguasa
atau Pemelihara alam semesta), Pakualam ( tiang
pancang alam semesta) Mangkunegara ( pemelihara
negara).
Selain gambaran ideal seorang pemimpin,
dalam sastra Jawa pun termuat ajaran-ajaran
pentingnya menjaga keharmonisan antar sesama
dan lingkungan. Naskah Jawa yaitu Serat Sasana
Mulyo (Kompas, 2 November 2009) menyebutkan
sikap hemat dan bersahaja (gemi nastiti)
merupakan penangkal sikap konsumeristik yang
makin menjangkiti masyarakat. Gaya hidup boros
dan bermewah-mewah bertentangan dengan etika
Jawa. Prinsip hemat dan cermat dapat menjadi
pedoman dalam mengelola sumberdaya alam.
Gambaran dari masyarakat adat yang
kehidupannya menyatu dengan alam lingkungannya
merupakan lanjutan konsep kepercayaan yang
telah dikenal turun-temurun. Masa Jawa Kuna
memiliki kepercayaan yang berlandaskan pada
konsep kosmogonis yaitu kepercayaan adanya suatu
keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos)
dengan alam manusia (makrokosmos) (Geldern,
1942). Menurut kepercayaan ini manusia selalu
ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang

Jurnal Widya Prabha 2014


terpancar dari antara bintang-bintang dan planet.
Kekuatan tersebut dapat membawa kesejahteraan
atau bencana terganung dari dapat atau tidaknya
individu aau komunitas menyerasikan hidup dan
semua kegiatannya dengan gerak alam semesta.
Individu atau komunitas dapat memperoleh
keserasian dengan mengikuti petunjuk astrologi
atau sejumlah perlambang yang menujukkan akan
datangnya keberuntungan atau bencana (Sumadio,
2007). Terkait dengan hal tersebut, diyakini tata
ruang kraton (Yogyakarta- Surakarta), disusun
dan diselaraskan dengan tatanan jagat raya,
keseimbangan secara keruangan ditata dengan
menempatkan pejabat-pejabat kraton di penjuru
mata angin dari kraton. Dalam konsep Jawa, tata
letak daerah-daerah penyangga yang terpusat
di kraton dikenal dengan konsep Mancapat dan
Mancalimo.
Orang Jawa sangat akrab dengan kosmologi,
yang dicakup dalam istilah kejawen. Perlu dimaklumi
di sini bahwa kejawen bukanlah katagori agama,
tetapi menunjuk kepada suatu etika dan gaya hidup
yang dimaklumi oleh seluruh fikiran Jawa (Mulder,
1996). Sehingga istilah kejawen apabila dipandang
sebagai ilmu pengetahuan merupakan etika dan
gaya fikiran yang tidak terhindar dari agama, nuansa
mistis dan legenda, tasawuf, serta filsafati. Lebih
tegas Sonny Keraf (2002 ) berpendapat hakekat
manusia bukan hanya makhluk sosial tetapi juga
makhluk ekologis. Sebagai bagian dari komunitas
ekologis manusia mempunyai kewajiban moral
dan tanggungjawab untuk menghormati setiap
kehidupan, baik terhadap manusia maupun pada
makhluk lain dan benda-benda non hayati, karena
semua benda di alam semesta mempunyai hak
yang sama untuk ada, hidup, dan berkembang.
Dengan memahami dirinya sebagai bagian integral
dari alam, maka dalam memanfaatkan alam harus
dilakukan secara arif, yaitu menjaga keseimbangan
dan kelestariannya (Keraf,2009., Elliot.,1955.)

Eksploitasi sumberdaya alam diatur dengan
berbagai macam aturan religius untuk menjamin

agar keselarasan ekosistemnya dapat terjaga dan


aturan-aturan tersebut melahirkan sejumlah tradisi.
Tradisi tersebut terus berlangsung dilengkapi dengan
sejumlah mitos. Van Peursen (2005) menjelaskan
dalam tahap perkembangan kebudayaan yang imanen,
mistik berkembang dengan baik sedangkan ilmu
pengetahuan belum dapat berkembang.
Kesadaran manusia dalam mengelola
lingkungan untuk menjaga kelestarian alam
lingkungan telah dimiliki masyarakat lokal di Indonesia
melalui kearifan budaya daerah baik berupa adat
maupun tradisi. Kearifan masyarakat lokal berintikan
kesadaran manusia akan eksistensinya di alam
semesta. Bagi masyarakat lokal alam dan lingkungan
merupakan wilayah yang sakral, berdimensi spiritual
transendental. Jalinan persahabatan dengan alam
dan lingkungan hidupnya diwujudkan dalam berbagai
upacara adat atau upacara religius, yang sarat dengan
makna kehidupan manusia sebagai mikrokosmos dan
alam semesta sebagai makrokosmos. Berbagai bentuk
kearifan tradisional tersebut dihayati, dan diwariskan
secara turun temurun yang membentuk sikap dasar
manusia sehari-hari, seperti yang tampak pada
berbagai upacara adat masyarakat misalnya acara
bersih desa, rasulan dan pethik laut.

III. Pendekatan Budaya dalam pengelolaan


Lingkungan

Pendekatan budaya dalam pengelolaan
lingkungan diartikan sebagai upaya mencari dan
mengembangkan sumber-sumber kekuatan yang ada
dalam diri manusia, yang dapat dilihat dari adat dan
tradisi masyarakat yang bersifat arif, bertanggung
jawab terhadap alam dan lingkungannya. Kebudayaan
adalah suatu corak hidup dari suatu lingkungan
masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan
spiritual dan tata nilai yang disepakati oleh masyarakat
pendukungnya, oleh karenanya menjadi eksistensial
bagi lingkungan masyarakat tersebut. Hilangnya budaya
suatu masyarakat adalah hilangnya identitas dan jati
diri masyarakat yang berarti hilang pula keberadaanya

sebagai suatu pribadi (Wibowo, 1995).



Manusia adalah makhluk berbudaya dan
budaya manusia penuh dengan simbol-simbol. Dengan
kata lain budaya manusia penuh diwarnai dengan
simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham
yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang
mendasarkan diri pada sejumlah tanda. Simbolisme
sangat menonjol peranannya pertama-tama dalam
religi. Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk upacaraupacara religius (Herusatoto,2007).
Ritus atau upacara religius merupakan sarana
yang menghubungkan manusia dengan yang keramat.
Ritual bukan hanya sarana memperkuat ikatan sosial
kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga
suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa
penting yang menyebabkan krisis. Kegiatan upacara
tersebut akan berpengaruh menyatukan semua orang
dalam suatu usaha bersama sedemikian rupa, sehingga
ketakutan dan kekacauan bergerak menjadi tindakan
bersama dan optimisme tertentu. Keseimbangan
hubungan di antaranya semua orang, yang tadinya
kacau, menjadi normal kembali.

Upacara pada masa krisis itu berdasarkan
anggapan bahwa dalam jangka waktu hidupnya manusia
mengalami banyak krisis dan sering amat menakutkan.
Dalam hal menghadapi masa krisis manusia butuh
melakukan perbuatan untuk memperteguh dan
menguatkan dirinya (Koentjaraningrat, 2006).

Pendapat yang lain (Van Gennep
Koentjaraningrat, 2006), menyebutkan bahwa upacara
religius secara universal pada azasnya berfungsi
sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali
semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.
Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap
masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval
waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya
regenerasi semangat kehidupan sosial seperti itu.
Hal ini disebabkan karena selalu ada saat-saat ketika
semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai
akibatnya akan muncul kelesuan dalam masyarakat.

Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala
turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya

terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, atau


pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian.
Saat itu energi manusia seolah-olah sudah habis
terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang
hampir berlalu itu. Untuk menghadapi tiap musim
yang baru masyarakat memerlukan regenerasi
semangat kehidupan sosial.

Sikap takut sekaligus bercampur dengan
percaya terhadap hal-hal gaib serta keramat
menyebabkan masyarakat mempunyai sikap serba
religi yaitu suatu getaran yang menggerakkan
jiwa manusia. Selanjutnya keyakinan tersebut
diwujudkan dalam berbagai kegiatan upacara
(ritus). Kegiatan yang serba religi merupakan suatu
upaya untuk menjaga keharmonisan dan sekaligus
berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia
gaib lainnya.
Sikap ritual dalam upacara adat dapat dilihat
pada maksud dan tujuannya. Pada umumnya
upacara adat memandang alam, Tuhan dan
menusia sebagai kesatuan ritual. Maksud dan
tujuan ini dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan
yang diwujudkan dalam bentuk keberhasilan
kehidupannya. Misalnya atas hasil panen yang baik,
dan hasil tangkap ikan yang melimpah. Di samping
itu upacara tersebut juga merupakan permohonan
keselamatan kesejahteraan hidup untuk masa yang
akan datang. Semua itu dapat terwujud apabila
kelestarian dan keharmonisan kosmos dan segala
unsur terjaga.

Dalam kepercayaan orang Jawa bahwa
kosmos atau alam semesta ini terdiri atas makrokosmos dan mikro kosmos. Suatu keserasian dan
keharmonisan tidak hanya diwujudkan dalam
hubungan vertikal, antara manusia dengan alam
semesta atau jagad gedhe, tetapi juga dalam bentuk
hubungan horisontal yaitu hubungan manusia
dengan manusia dalam kehidupan sosialnya.
Keselarasan dalam kehidupan masyarakat akan
menjamin kehidupan yang baik bagi individu.
Untuk menjaga keselarasan horisontal tersebut
seseorang wajib melakukan kewajiban-kewajiban

Jurnal Widya Prabha 2014


sosialnya. kewajiban sosial dilakukan berdasarkan
pada prinsip rukun dan hormat antara sesama
warga masyarakat (Mulder,2001).

Untuk menjaga hubungan serasi dan
hormat baik vertikal maupun horisontal manusia
melakukan upacara adat. Upacara adat merupakan
sikap religius yang dilakukan menurut tata kelakukan
baku. Upacara adat ini akan berlangsung berulangulang baik setiap hari, setiap musim panen, setiap
tahun, pada hari-hari tertentu. Masing-masing
upacara memiliki tata cara yang berbeda-beda di
masing-masing daerah. Namun demikian secara
keseluruhan dapat dilihat bahwa ada tindakan yang
sama yang dilakukan meliputi berdoa, bersujud,
bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan
menyanyi, berprosesi, berdrama suci, membisu,
berpuasa, bertapa dan bersemedi. Selain itu
terdapat komponen yang menyertai kegiatan
upacara religi yaitu (Koentjaraningrat, 2006):
tempat upacara, saat upacara, benda upacara, para
pelaku upacara ritual.

Gambaran dunia bagi masyarakat Jawa
yaitu alam merupakan lingkup kehidupan sejak
kecil. Irama-irama siang dan malam, musim dingin,
musim kemarau menentukan kehidupan seharihari dan seluruh perencanaannya. Dari lingkungan
sosial-budaya masyarakat belajar bahwa alam
dapat mengancam, tetapi juga memberi berkah
ketenangan bahwa eksistensinya tergantung dari
alam. Pergulatannya dengan alam membantu
orang Jawa untuk meletakkan dasar-dasar
masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya
terhadap alam menentukan ungkapannya dalam
berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara
rakyat (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat
Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib
yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari
padanya ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah
ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan
kehidupannya. Berikut adalah contoh kasus
kegiatan budaya yang dikumpulkan berdasar hasil
pengamatan yang dilakukan di sejumlah tempat

(Wirasanti, 2001).

Sejumlah kegiatan budaya (ritual) di
berbagai tempat yang hingga kini masih berlangsung
menggambarkan upaya manusia untuk selalu dekat
dengan alam. Mereka meyakini keberlangsungan
hidup manusia dapat langgeng apabila mampu
berkomunikasi yakni menghormati, menghargai
dengan alam. Sonny Keraf (2002) berpendapat alam
mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena
kehidupan manusia tergantung pada alam. Tetapi
terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia
adalah bagian integral dari alam, manusia adalah
anggota komunitas ekologis.

Rangkaian upacara yang dipilih sebagai pusat
kegiatan biasanya memiliki arti khusus bagi masyarakat
pendukungnya. Masyarakat di Dusun Gunungbang,
Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul memusatkan
kegiatan di sumber air. Selain itu tempat berupa laut
juga merupakan pusat kegiatan upacara ritual yang
disebut dengan labuhan atau petik laut, contohnya di
sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Berkaitan dengan
hal tersebut ada salah satu tradisi yang populer di Jawa
yang dilakukan saat menjelang pergantian tahun, yaitu
bulan Suro (atau bertepatan dengan 1 Muharam).
Masyarakat Jawa percaya bulan tersebut memiliki arti
khusus, yang terlihat dari berbagai upacara ritual yang
dilakukan. Tradisi turun-temurun menganjurkan bahwa
bulan tersebut saat yang tepat untuk menjalankan laku
prihatin. Tujuannya di masa-masa mendatang selalu
dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Tradisi yang masih dilakukan di lingkungan
kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran
dalam menyambut tahun baru Jawa atau disebut
tanggap warso tidak dengan berpesta pora, melainkan
dengan berbagai laku yang bernilai keprihatinan.
Malam menjelang pergantian tahun (yang bertepatan
dengan 1 Muharam) masyarakat berbondong-bondong
melakukan prosesi mengelilingi benteng kraton dengan
membisu. Mereka merasakan saat pergantian waktu
(tahun) tersebut dengan berjalan keliling dan membisu
memberikan suggesti untuk bersikap prihatin dan
mawas diri dalam menyongsong awal tahun.


Ada upacara menyambut pergantian tahun baru
Jawa (Sura) atau Muharam dalam kalender Islam, ada
pula upacara ritual menyambut tahun baru Syaka bagi
umat Hindu. Upacara ritual menyambut tahun baru
Syaka yang dikenal dengan Tawur Agung dilakukan
di Dusun Ringintelu, Desa Ngadirenggo, Kecamatan
Wlingi, Kabupaten Blitar.

Tawur Agung yang berarti pengorbanan besar
adalah upacara sakral yang berfungsi sebagai ruwatan
bagi alam bumi beserta makhluknya. Upacara ini
ditujukan untuk menjalin hubungan timbal balik antara
manusia dengan alam lingkungan atas kesejahteraan
hidup yang telah dipetik oleh manusia dari alam bumi
dan sebaliknya bumi sendiri agar tidak atau jangan
sampai membiaskan dampak negatip bagi manusia
yang dapat menyeret ke penderitaan dan kehancuran.
Upacara ini lebih cenderung difungsikan sebagai
ruwatan agung. Secara tradisi upacara dilaksanakan
menjelang pergantian tahun baru Syaka sehari
sebelum hari raya Nyepi. Sebelum upacara Tawur
Agung telah dilakukan rangkaian kegiatan beberapa
hari sebelumnya.

Pergantian tahun ini didasarkan pada
pengalihan purnama (Bulan penuh) dan tilem (bulan
mati). Artinya perayaan Nyepi dimulai setiap awal bulan
kesepuluh atau sehari setelah hari tilem yaitu bulam
kesembilan. Menurut perhitungan yang didasarkan
pada peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi
serta pergantian musim diperkirakan hari raya Nyepi
jatuh pada bulan Maret. Tepatnya tahun 2010 Masehi
ini hari raya Nyepi jatuh pada hari selasa, 16 Maret
2010.
Beberapa hari sebelum acara Tawur Agung
telah dimulai upacara Melasthi (sesaji untuk air/
lautan) di pantai Balekambang dengan membersihkan
semua peralatan upacara. Puncak acara Tawur Agung
ditandai dengan pemusnahan Bhutakala (ogoh-ogoh).
Arti simbolisnya yaitu figur Bhutakala identik dengan
penyebab kehancuran moral manusia, selanjutnya
tokoh tersebut dibakar dengan api suci hingga menjadi
abu, yang pada akhirnya abu diambil segenggam untuk
ditabur di masing-masing pekarangan rumah penduduk

sebagai simbol peruwat (mengelola) bumi. Tepat


pada pukul 00.00 tengah malam semua warga
(Hindu) di Wringintelu (Blitar-Jawa Timur) mulai
melaksanakan brata penyepian.

Selanjutnya terkait dengan masalah bahaya
gaib yang mengancam individu dan lingkungan,
masyarakat Jawa mengenal upacara pensucian.
Yang dimaksud dengan upacara pensucian yaitu
upacara yang ditujukan terhadap seseorang untuk
membebaskan dirinya dari segala macam kutukan,
fitnah, penyakit. Manusia yang terkena itu akan
berakibat buruk pada lingkungan sekitarnya.
Dengan kata lain manusia terkutuk selalu membuat
onar sehingga suasana tidak tentram, tidak adalagi
keselarasan.

Upacara ritual (upacara pensucian) yang
sekarang dikenal dengan nama ruwatan itu telah
dikenal pada masa Jawa Kuno sekitar abad XI
Masehi. Hal ini antara lain dibuktikan dengan
dipahatkannya cerita Sudamala pada candi-candi
abad XI Masehi sampai abad XV Masehi. Contohcontoh candi yang memahatkan relief Sudamala
adalah Candi Tigawangi, Candi Panataran, dan candi
Sukuh. Adanya sejumlah candi yang menampilkan
sebagian adegan dari cerita tentang ruwatan,
merupakan suatu indikasi bahwa kisah tersebut
populer dikalangan masyarakat pendukungnya.
Kepopuleran cerita itu ditambah dengan
adanya sejumlah karya sastra yang memberikan
gambaran tentang kegiatan upacara pensucian.
Karya sastra tersebut diantaranya adalah naskah
Kakawin Sumanasantaka (XXXII 1 18), Kakawain
Kresnandaka XXV XXVI), Kakawin Parthayadya IX
1 10, 1-12), dan Cerita Nawaruci.

Kisah ruwatan dalam cerita Sudamala telah
melalui kurun waktu berabad-abad, dihayati dan
diminati oleh masyarakat dari angkatan ke angkatan.
Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di lereng
bukit Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kab. Kulon Progo
akhir-akhir ini resah dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya. Curah hujan yang memuncak
akan memicu pergerakan tanah yang akan

Jurnal Widya Prabha 2014


mendorong tanah dan perakaran pohon hingga
batangnya condong. Mereka memahami kejenuhan
kadar air dalam tanah akan menyebabkan longsir.
Ancaman tersebut membuat warga resah. Pilihan
masyarakat menghadapi situasi tersebut adalah
melakukan ruwatan bumi. Mayarakat beranggapan
ketenangan batin yang hendak dicarai dalam
ritual ruwatan. Ketenangan jiwa akan memicu
berpikir jernih dan sigap menghadapi berbagai
ancaman bencana. Ritual ruwatan selalu diakhiri
dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon
Murwokolo. Sampai sekarang kisah itu masih
dapat disaksikan melalui pertunjukan wayang kulit.
Sebagai salah satu tradisi yang hidup di dalam
tata budaya masyarakat Jawa tentunya dari cerita
tersebut ada suatu simbol dari pandangan hidup
Jawa yang berisi petuah yang ingin disampaikan
kepada tiap-tiap generasi. Petuah tersebut bersifat
didaktis filsafati.

Sifat didaktis filsafati dari cerita pensucian
(misalnya cerita Sudamala atau Murwokolo) yaitu
tentang hakekat kehidupan di dunia yang menurut
pengawikan kejawen mempunyai pengertian
bahwa hidup haruslah berdasarkan apa yang
dinamakan kebenaran. Ada dua tingkat kebenaran
yaitu kebenaran yang bersifat ketuhanan (kebenaran
ilahi) yang mutlak adanya dan yang juga disebut
kebenaran sejati, sedangkan yang lain disebut
kebenaran manusiawi (Timoer,1990). Dijelaskan
lebih lanjut sifat filsafati dari cerita tentang ruwatan
tampak bahwa dalam diri manusia bermukim
dua kekuatan saling berlawanan, yaitu kekuatan
destruktif (nafsu rendah, angkara) yang membawa
manusia menuju kepada hidup sesat, malapetaka,
dan kekuatan kontruktif (budi utama, keluhuran)
yang mengangkat manusia kepada kebenaran.
Manusia sebagai makhluk memiliki kedua kekuatan
berlawanan itu dan selalu dihadapkan kepada suatu
pilihan dilematis (konflik) dengan dirinya sendiri.
Dalam berebut pengaruh itu terlihat berdasarkan
cerita ruwatan bahwa kekuatan destruktiflah yang
agaknya jauh lebih dominan dibandingkan dengan

kekuatan yang konstruktif.



Adapun usaha untuk menghindari dan
menjauhkan diri dari gangguan kejahatan manusia
harus belajar dan mencari ilmu tentang rahasia
kehidupan dunia melalui kearifan serta kebajikan. Dari
cerita-cerita tentang pensucian itulah tampak adanya
cita-cita kesempurnaan hidup yang harmoni, selaras
dengan alam dan lingkungannya. Artinya cerita-cerita
itu mengisahkan perbuatan seseorang yang apabila
berbuat kejahatan, menghina, menghasut, tidak jujur
dan sebagainya pasti akan mendapatkan hukuman dari
Sang Pencipta. Untuk terbebas kembali dari bebagai
dosa, maka harus dilakukan upacara pensucian
yaitu suatu upacara yang bertujuan membebaskan
seseorang dari berbagai kesalahan, melepaskan diri
dari malapetaka atau menghalau dan mengimbangi
kekuatan jahat yang muncul pada saat-saat tertentu.

Selain sifat didaktis filsafati dari cerita tersebut
juga tampak memiliki arti berkaitan dengan moral
dan religi. Nilai moral dan religi yang tampak dari
cerita ruwatan tersebut adalah gambaran dunia Jawa
tradisional. Maksudnya yaitu masyarakat dan alam
merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak kecil.
Irama-irama siang dan malam, musim dingin, musim
kemarau menentukan kehidupan sehari-hari dan seluruh
perencanaannya. Dari lingkungan sosial masyarakat
belajar bahwa alam dapat mengancam, tetapi juga
memberi berkah ketenangan bahwa eksistensinya
tergantung dari alam. Pergulatannya dengan alam
membantu orang Jawa untuk meletakkan dasardasar masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya
terhadap alam menentukan ungkapannya dalam
berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara rakyat
(Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat Jawa,
alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib yaitu
misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari padanya
ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah ungkapan
kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya.

Jadi orang Jawa menghadapi dunia sebagai
tempat dimana kesejahteraannya tergantung dari
apakah ia mampu untuk menyesuaikan diri dengan
kekuatan yang angker itu. Terdapat hubungan yang

erat antara sistem sosial-budaya dan alam. Perlu ada


harmoni antara dunia manusia dan dunia alam, antara
dunia batin dan dunia lahir, antara makrokosmos dan
mikrokosmos. Ketika harmoni ini terganggu maka
akan terjadi kekacauan dan bencana. Dengan upacara
dan segala perlengkapanya, maka msayarakat merasa
selamat. Perasaan selamat itu berkaitan dengan
terbebasnya seseorang dari kekacauan tak manusiawi
yang menimbulkan malapetaka. Masalah malapetaka
dikaitkan dengan kedudukan seseorang dalam keadaan
bahaya disebabkan oleh karena orang tersebut
berbuat salah atau bertindak melanggar normanorma yang berlaku dalam masyarakat (Mulder,2001.,.
Wirasanti,2001).
Dengan selesainya pelaksanaan ritus religius
yang telah dilakukan, maka memberi suatu keadaan
psikis tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan
keseimbangan batin. Niels Mulder (2001) berpendapat
bahwa masyarakat Jawa menganggap bahwa realitas
tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah dan
tanpa hubungan dengan satu sama lain, melainkan
bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan
menyeluruh. Artinya dunia masyarakat dan alam bagi
orang Jawa, kodrati bukanlah bidang yang berdiri
sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya
sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan
pengalaman. Terdapat keterkaitan antara masyarakat
dan alam sekelilingnya, masyarakat yang resah akan
membuat makhluk lainnya juga tidak aman.

Masih terkait dengan makna ritus religius
tersebut, orang Jawa beranggapan bahwa hidup
manusia sebenarnya tidak sendirian, tetapi berada
bersama dengan segala yang ada dijagat raya ini. Oleh
karena itu ia harus menjaga keselarasan dirinya dengan
segala yang ada di sekelilingnya, agar tidak mengganggu
penghuni alam lainnya dan agar ia pun tidak diganggu
oleh makhluk lainnya pula, termasuk oleh manusia
lain yang hidup bersamanya (Herusatoto,2007).
Ringkasnya pandangan hidup masyarakat Jawa Kuno
selalu mengarah kepada suatu cita-cita untuk dapat
hidup selaras dengan alam sekitarnya, yang dalam
prakteknya diwujudkan dalam tingkah lalu atau

10

pergaulan yang susila.


Menyitir pendapat Anton Neben dalam tulisannya
di sebuah surat kabar (Suara Pembaharuan,
Desember 1999) dengan judul merayakan nilainilai disebutkan kebiasaan merayakan sesuatu
mengasumsikan bahwa orang menaruh perhatian
akan nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan
tersebut. Di tengah rutinitas hidup sehari-hari,
perayaan tersebut akan membuat kegairahan
hidup terbangkitkan, makna dan paradigma baru
dimunculkan. Perayaan perayaan yang kental
bernuansa religius, selain mengetengahkan relasi
vertikal dengan Yang Ilahi, juga relasi horisontal
baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan
lingkungan hidup.
Dalam relasi dengan diri sendirinya manusia
menyadari kenyataan bahwa ia masih diperkenankan
ada, hidup dan bernafas. Sejumlah kegiatan ritual
yang dilakukan merupakan bentuk tanggung jawab
manusia untuk tetap menyadari bahwa alam bukan
semata-mata tersedia untuk kepentingan manusia.

IV. Penutup
Keberadaan masyarakat adat beserta seluruh
kekayaan dan nilai-nilai budayanya perlu diakui,
dijamin, dan dilindungi kebebasannya untuk
menunjukkan identitas atau menjadi diri sendiri.
Hal ini wajar mengingat kearifan masyarakat lokal
penuh pesan moral dan falsafah hidup yang concern
terhadap alam dan lingkungan. Kearifan tersebut
didasarkan pandangan yang holistik yaitu keinginan
untuk terus menjalin harmoni antara manusia,
alam, dan lingkungan. Citra lingkungan yang penuh
dengan makna kearifan ekologis ini amat penting
untuk membangun kesadaran religiusitas manusia
yang berdimensi spiritual dalam upaya menjaga
kelestarian daya dukung lingkungan. Dengan
kata lain watak dan keutamaan yang baik dalam
kehidupan manusia akan mempengaruhi tingkah
laku seseorang dalam menghadapi dan mengolah
lingkungan hidup di sekelilingnya.

Jurnal Widya Prabha 2014


Daftar Pustaka
Elliot, Robert (ed)., 1955, Environmental Ethics,
Oxford Univ,Press,
Geldern, Heine 1942, Conceptions of State and
Kingship in Sout-east Asia, FEO vol 22, hlm
15-39
Herusatoto, Budiono., 2007, Simbolisme dalam
Budaya Jawa, PT, Henindita, Yogyakarta.
Koentjaraningrat,
2006,
Masalah-Masalah
Pembangunan Masyarakat Pedesaan di
Indonesia, Jakarta: LP3ES
Keraf, Sonny., 2002, Etika Lingkungan, penerbit
Kompas, Jakarta
Mulder, Niels 1996, Agama Hdup sehari-hari dan
Perubahan, (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama.
Mulder., Niels (2001),Ruang Batin Masyarakat
Indonesia , Yogyakarta, LKis
Sumadio, Bambang ed., 2007, Sejarah Nasional
Indonesia jilid II, Jakarta: Balai Pustaka
Suhardjo, Drajad., 2004, Mengaji Ilmu Lingkungan
Kraton, Yogyakarta, Safirna Insania Press.
Susilo, Eko Budi., 2003, Menuju Keselarasan
Lingkungan, Averroes Perss, Malang.
Suseno, Frans Magnis 1984, Etika Jawa Sebuah
analisis Filsafati Tentang Kebijakan Hidup
Jawa, Jakarta :PT, Gramedia, edisi I
Suhardi 2009, Ritual : Prncaharian Jalam
Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat
Perspektif Antrolopogi, Yogayakrat :Pidato
Pengukuhan Guru Besar Antropologi UGM
Timoer, Soenarto 1990, Ruwatan dipandang dari
sudut filsafat, seminar ruwatan, Yogyakarta:
tidak diterbitkan.

Wibowo, Fred., 1995, Budaya untuk Wisata atau


Wisata untuk Budaya, Harian Kedaulatan
Rakyat Oktober, Yogyakarta.
Wirasanti, Niken 1992, Mengamati Alam Pikir dan
Praktek Keagamaan Masyarakat Jawa Kuna
Melalui Relief Cerita Sri Tanjung dan Sudamala,
Laporan Penelitian FIB-UGM, tidak diterbitkan.
_________, 2001, Aspek Budaya Menyangkut Ritual,
Masyarakat Jawa dalam Keseharian, laporan
Penelitian, Fak.ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Wibowo, Samudra (ed), 1991, Pembangunan
Berkelanjutan, Konsep dan Kasus, PT. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
The World Commission on Environment and
Devolepment, 1987, Our Common Future,
Oxford Univ Press, Oxford.
Peursen, Van 2005 , Strategi Kebudayaan, Yogyakarta :
Yayasan Kanisius.

*) Sebagian materi diseminarkan dalam Forum


komunikasi Lingkungan Hidup kab.Gunungkidul,2004
dan telah diperbaharui.
**) Penulis adalah Dosen Jurusan Arkeologi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

11

Geoheritage Gunungapi Merapi yang Kharismatik :


Masalah Persepsi dan Konservasi Ekosistem*
Oleh :
Andi Sungkowo **
I. Pendahuluan
Abstract
Gunungapi Merapi sejak ratusan tahun
memiliki ekosistem dan sosiosistem vulkan yang spesifik.
Artinya Gunungapi Merapi sebagai sebuah heritage
menyimpan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
hayati yang menyatu dengan sosio-kultur masyarakat
di sekitarnya. Dalam sejarahnya, Gunungapi Merapi
terus menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Meskipun
dampak letusan berpotensi sebagai ancaman, tetapi
tetap saja dalam rentang waktu yang panjang
kawasan tersebut menjadi daya tarik kamunitas untuk
tinggal dekat dengan Gunungapi Merapi. Masyarakat
memahami sifat-watak Gunungapi Merapi, dan tandatanda alam dipahami masyarakat sebagai sesuatu
yang sakral yaitu kekuatan-kekuatan yang berjiwa,
yang harus di hormati. Sikap hormat menjadi prinsip
dan panduan hidup sehari-hari dalam upaya menjaga
harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.
Potensi yang beragam menjadikan Gunungapi
Merapi saat ini rentang terhadap eksploitasi oleh
berbagai pihak dan pada saatnya akan memicu
terjadinya degradasi lingkungan. Pilihannya adalah
mengelola Gunungapi Merapi dengan semangat
konservasi.
Oleh karena konservasi kawasan
merupakan proses publik, maka dalam pelaksanannya
harus melibatkan masyarakat setempat, karena
mereka memiliki pengetahuan lokal yang telah
mentradisi dan terbukti mampu menjaga dan
mengelola Gunungapi Merapi tetap lestari. Kata kunci
: Geoheritage, persepsi, Konservasi.

12


Indonesia mempunyai deretan gunungapi
aktif sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik (Ring
of Fire on Pasific Rims), Gunungapi Merapi yang
terletak di dua wilayah (Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta) merupakan salah satu
dari gunungapi aktif dan dampak erupsinya sering
mengakibatkan banyak korban baik harta benda
maupun jiwa. Gunungapi Merapi memiliki potensi
ancaman bencana yang rata-rata setiap 3-5 tahun
sekali menunjukkan aktivitas dengan produknya
berupa aliran lava, awan panas (wedhus gembel),
hujan abu, dan bahaya sekunder berupa gerakan
massa tanah dan banjir lahar. Produk tersebut
jelas merupakan ancaman bagi jiwa manusia, dan
disisi lain gunungapi Merapi menyimpan potensi
semberdaya alam yang sangat dibutuhkan untuk
bahan pembangunan (bahan galian tambang),
pertanian-peternakan, dan sumber air untuk
masyarakat setempat dan sekitarnya bahkan
untuk wilayah lainnya. Oleh karena itu walaupun
penduduk dibayang-bayangi oleh bencana letusan
Gunungapi Merapi, tetapi tetap menjadi pilihan
untuk bertempat tinggal pada di lereng kawasan
Gunungapi Merapi.
Dalam sejarah kebudayaan menunjukkan
kawasan Gunungapi Merapi telah menjadi hunian
masyarakat dibuktikan dengan data arkeologis
berupa candi yang diasumsikan bangunan tersebut
milik komunitas pendukungnya untuk beribadah.
Bahkan pesanggrahan-pesanggrahan masa Mataram
Islam yaitu milik Kraton Surakarta dan Yogyakarta.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
Gunungapi Merapi dalam dimensi ruang dan waktu

Jurnal Widya Prabha 2014


menjadi ikon bagi masyarakat pendukungnya,
meskipun kawasan tersebut dekat dengan bencana.
Bukti-bukti di lapangan menunjukkan aktivitas
Gunungapi Merapi mengubur hampir semua
temuan purbakala yang ada dikawasan tersebut.
Pada masa Mataram Islam posisi Gunungapi Merapi
menjadi penting terkait dengan pembangunan
keraton Yogyakarta.

Kawasan Gunungapi Merapi sebagai
kawasan pelestarian alam adalah sebuah langkah
yang mudah dipahami oleh berbagai pihak
mengingat peran pentingnya sebagai fungsi
ekologis, fungsi ekonomis, dan fungsi sosial-budaya.
Pada tahun 2002 menjadi pusat perhatian para
pemerhati dan ahli lingkungan, juga masyarakat
khususnya masyarakat yang tinggal di lereng
Gunungapi Merapi, karena adanya surat keputusan
dari Pemerintah (Departemen Kehutanan) yang
mengeluarkan penetapan (SK No 134/MENHUT
II/2004) kawasan Gunungapi Merapi sebagai Taman
Nasional Gunungapi Merapi (TNGM). Munculnya
penetapan tersebut karena Gunungapi Merapi
berfungsi sebagai hutan lindung, cagar alam, dan
hutan wisata sehingga layak untuk dikembangkan
menjadi Taman Nasional yang dalam UU Nomer 5
tahun 1990 diidentikan dengan kawasan pelestarian
alam. Rencana TNGM tersebut tampaknya tidak
mudah dipahami masyarakat, dibuktikan dengan
bentuk penolakan terhadap rencana tersebut.
Masyarakat memiliki persepsi tentang melindungi
kawasan Gunungapi Merapi.
Memahami persepsi masyarakat tentang
lingkungannya dan bagaimana harus mensikapi
persepsi tersebut tampaknya belum populer untuk
tidak mengatakan sulit. Kesulitan memahami
persepsi masyarakat akan menjadi kendala dalam
upaya menjadikan Gunungapi Merapi sebagai
kawasan konservasi dalam wujud Taman Nasional.
Terkait dengan hal itu dalam tulisan ini akan diulas
bagaimana memahami geoheritage Gunungapi
Merapi dan peranannya dalam upaya mengelola
kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan

konservasi.

II. Geoheritage Merapi



Bagi ahli vulkanologi, tulisan terkait dengan
aktivitas Gunungapi Merapi sudah cukup banyak.
Catatan sejarah letusan Gunungapi Merapi ditentukan
berdasarkan pemetaan distribusi endapan hasil
letusan, sehingga dapat disusun teprosratigrafi
atau urutan perlapisan produk letusan gunung
tersebut (Andreastuti, 2009). Adapun menurut
Camus, dkk (2000) dalam Bahagiarti (2002) mencatat
evolusi vulkanik Gunungapi Merapi menghasilkan
batuan dengan karakteristik spesifik dalam setiap
periodenya. Selanjutnya dijelaskan letusan periode
kegiatan Gunungapi Merapi dapat dibagi menjadi
empat periode, yaitu periode Pre Gunungapi Merapi
menghasilkan
lava; ancient Gunungapi Merapi
menghasilkan lava yang membentuk gunung bibi; auto
breksia lava dan endapan lahar; middle Gunungapi
Merapi menghasilkan endapan lava batulawang dan
gajah mungkur, lava andesitik yang tebal dipisahkan
oleh sesar kukusan umur 2200 - 14.000; recent
Gunungapi Merapi menghasilkan endapan lava tipis
dan endapan awan panas dan lahar umurnya 1000
tahun hingga 2000 tahun; dan modern Gunungapi
Merapi mempunyai kegiatan yang sangat khas yang
disebut tipe Gunungapi Merapi. Di sisi lain Gunungapi
Merapi menangkap, menyimpan, dan mengalirkan
air bersih dalam batuannya dalam jumlah besar,
membentuk sistem hidrologi yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Gunungapi Merapi dan sekitarnya.

Gunungapi Merapi merupakan gunungapi
strato, mempunyai karakteristik berkaitan dengan
pertumbuhan dan gugurnya kubah lava yang
menghasilkan gas beracun solfatara (S2) di sekitar
kepundan, juga awan panas yang oleh masyarakat
disebut Wedhus Gembel (glowing cloud). Selain
sifat letusan eksplosif tersebut, juga letusan effusive
ditandai dengan lelehan lava pijar. Jika dimusim
penghujan berpotensi terjadi lahar.

13


Banyak ahli berpendapat Gunungapi Merapi
itu eksotis sekaligus memiliki karakterisik unik
dibandingkan dengan gunungapi lainnya yaitu ketika
aktivitasnya meningkat berupa asap yang selalu
mengepul, wedhus gembelnya yang membahana,
hingga lava pijarnya yang menyala. Fenomena tersebut
sesungguhnya sangat indah dipandang, tetapi juga
menakutkan. Karakteristik tersebut dipersepsikan
masyarakat Gunungapi Merapi memiliki nilai
kharismatik sehingga banyak cerita-cerita mistik, atau
folklor yang kini tetap hidup dan hadir dalam kehidupan
sehari-hari masyarakatnya. Berbagai fenomena
terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi sering
dipersepsikan dengan hal-hal yang sifatnya irasional.
Namun dibalik ungkapan-ungkapan yang terkesan tidak
logis tersimpan makna bentuk kesadaran masyarakat
dalam menghayati kekuatan-kekuatan adikodrati.
Sikap dan persepsi masyarakat yang
menganggap Gunungapi Merapi adalah gunungapi
yang berkharisma telah berlangsung lama, dibuktikan
adanya peninggalan Mataram Kuna (Hindu-Buddha)
dan Mataram baru (Islam) yang tersebar di lereng
tengah, dan lereng bawah Gunungapi Merapi. Gunung
dalam banyak kebudayaan dihayati sebagai tempat
yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia
atas, tempat yang tinggi disimbolkan dengan segala
yang mulia dan yang menguasai sekitarnya. Para
leluhur (dewata) selalu dibayangkan hidup dalam
wilayah puncak-puncak gunung. Dari sumber tertulis
dikisahkan para kawi mempersonifikasikan gunung
untuk menggambarkan karyanya dan merasakan
bahwa alam pada dasarnya bersatu dengannya
(Mangunwijaya, 1995, Wirasanti, 2009).
Bukti-bukti arkeologis berupa candi, prasasti,
dan data toponim menunjukkan adanya sejumlah
peninggalan purbakala abad VIII dan abad XVII
awal abad XVIII tersebar di lereng tengah hingga
bawah Gunungapi Merapi (Sumadio, 1984; Wirasanti,
2000, 2009). Dalam sejarahnya kawasan yang pernah
menjadi wilayah kerajaan Mataram Kuna itu mengalami
kehancuran akibat aktivitas vulkanik Gunungapi
Merapi. Semua candi di temukan rusak dan sebagian

14

terbesar terpendam abu vulkanik.


Masih di lereng gunungapi Gunungapi
Merapi, masuk wilayah Boyolali terdapat
pesanggrahan dan petilasan Paku Buwono X yaitu
Pesanggrahan Pracimoharjo, petilasan Tapak Noto
dan Susuh Angin. Pada masa pembangunan kraton
Yogyakarta, keberadaan Gunungapi Merapi terkait
dengan kosmologi Kraton, yaitu dunia ini terdiri
atas lima bagian. Bagian tengah kraton Yogyakarta
sebagai pusatnya, bagian utara gunungapi
Gunungapi Merapi, bagian timur Gunung Semeru,
bagian selatan Laut Selatan dan bagian barat di
Sendang Ndlepih di Gunung Menoreh.

Gunungapi Merapi memiliki potensi
sumberdaya hayati dan non hayati, dan kultur
misalnya hutan, sumber air, binatang, dan sejumlah
petilasan, yang bagi masyarakat Gunungapi Merapi
tempat-tempat tersebut dipercayai sebagai
tempat-tempat yang dijaga oleh makhluk halus,
sehingga terdapat sejumlah pamali yang harus
dihormati. Cara masyarakat menghormati adalah
mentaati pantangan untuk tidak menebang pohon,
merumput, berburu, mengucapkan kata-kata kotor,
mengumpat, buang air besar dan kecil di tempattempat yang dianggap angker.
Tempat-tempat yang diangap angker,
diantaranya kawah Gunungapi Merapi yang
dianggap sebagai keraton makhluk halus, ke arah
bawah terdapat suatu tanah lapang dengan batuan
dan pasir yang dipercayai sebagai Pasar Bubrah.
Selain itu terdapat Gunung Wutoh yang dianggap
sebagai pintu gerbang utama Kraton Gunungapi
Merapi. Cara masyarakat berinteraksi dan sekaligus
menjaga harmoni dengan lingkungan Gunungapi
Merapi yaitu dengan melakukan upacara adat,
diantaranya Sedekah Gunung, Selamatan Ternak,
Selamatan Selasa Kliwon, Selamatan Mencari
orang Hilang, upacara Merawat Kali dan selamatan
menghadapi Bencana Gunungapi Merapi.
Manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungan akan banyak memperoleh pengalaman
sehingga pada akhirnya memperoleh gambaran

Jurnal Widya Prabha 2014


tentang lingkungan hidup sekelilingnya, yaitu
bagaimana lingkungan berfungsi dan bagaimana
berbagai fenomena alam bereaksi terhadap
berbagai
perubahan.
Secara
sosiokultural
masyarakat Gunungapi Merapi khususnya di
lereng selatan (Yogyakarta) mempercayai bahwa
Gunungapi Merapi dan dinamikanya terkait dengan
pandangan supranatural. Pandangan ini kemudian
menjadi mitos yang membuat mereka terlindungi,
aman, termasuk letusannya. Mitos supranatural
Gunungapi Merapi tidak hanya bewujud simbol
dan pandangan hidup masyarakat lokal, melainkan
juga menjadi suatu keyakinan yang membangun
interaksi dinamis kuat dan membentuk etos kerja
(Ghazali, 2008).
Masyarakat sekarang ini masih tetap
menganggap bencana yang berasal dari Gunungapi
Merapi disikapi oleh masyarakat sebagai takdir
yang harus diterima. Kesadaran masyarakat
dalam menghayati kekuatan-kekuatan adikodrati
menunjukkan kesatuannya dengan tata lingkungan
yang memandang individu atau komunitas sebagai
bagian integral dari alam sekitarnya. Masyarakat
terus menjalin dengan lingkungannya dan
membentuk ikatan dan relasi dengan ekosistemnya.
Sikap hormat dan menjaga hubungan baik dengan
lingkungan menjadi prinsip moral yang selalu
dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan
upacara religius- adat (Wirasanti, 2002).
Tanda-tanda alam terkait dengan aktivitas
Gunungapi Merapi merupakan pengetahuan yang
mengarahkan masyarakat Gunungapi Merapi untuk
bersikap tetap bertahan di lokasi tempat tinggalnya
atau menjauh menghindar dari aktivitas Gunungapi
Merapi. Persepsi yang sangat kuat tersebut mampu
menjadi panduan kehidupan mereka secara turun
temurun. Untuk itulah Gunungapi Merapi layak
disebut sebagai geoheritage karena kekhasannya
yang selalu menarik untuk terus dikaji dari
berbagai sisi, baik dari aspek geofisik maupun dari
sosiokultural masyarakatnya.

III. Memahami Persepsi Masyarakat dan


Konservasi Ekosistem Gunung Merapi
Secara sosio-kultural masyarakat lereng
Gunungapi Merapi memiliki sejumlah pengetahuan
lokal dalam memahami berbagai fenomena alam
termasuk persepsinya terhadap aktivitas Gunungapi
Merapi. Tanda-tanda alam yang ditemui sehari-hari
menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia
dengan alam lingkungan yang harmonis, dan
merupakan pedoman hidup dan budaya yang menarik.
Dari interaksinya dengan lingkungan tempat mereka
hidup, menghasilkan berbagai pengalaman dan citra
lingkungan hidupnya, dan memberikan serangkaian
petunjuk mengenai perilaku yang akan mereka lakukan
terhadap lingkungan (Sumarwoto, 1998).
Persepsi masyarakat tentang aktivitas
gunungapi Gunungapi Merapi dan sekaligus
lingkungannya menunjukkan bahwa persepsi
tersebut terikat oleh budaya (culturebound).
Artinya bagaimana kita memaknai pesan, obyek,
atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang
kita anut. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya,
maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat
subyektif. Semakin besar perbedaan nilai-nilai budaya
antara dua pihak, semakin besar pula perbedaan
persepsi mereka terhadap realitas. Tedapat unsurunsur budaya yang mempengaruhi persepsi yakni, 1)
kepercayaan (belief), nilai (values), dan sikap (attitudes),
2) pandangan dunia (worldview), 3) organisasi sosial
(social oganization), 4) tabiat manusia (human
nature), 5) Orientasi kegiatan (activity orientation), 6)
persepsi tentang diri dan orang lain ( perseption of self
and other) (Mulyana. 2009). Berdasarkan pengertian
tersebut persepsi masyarakat Gunungapi Merapi
dipengaruhi kepercayaan, pengetahuan dan nilainilai yang telah mereka kenal secara turun-temurun,
semuanya tentang alam lingkungan sekitar Gunungapi
Merapi.
Menyadari bahwa perbedaan nilai-nilai budaya
suatu masyarakat akan berbeda pula persepsinya
terhadap fenomena alam dan lingkungannya. Untuk

15

itu bagi masyarakat luar yang memiliki nilai budaya


berbeda dengan masyarakat Gunungapi Merapi,
pasti akan kesulitan memahami kondisi realitas
masyarakat Gunungapi Merapi, yang menurut mereka
kurang rasional. Wajarlah kalau pada waktu muncul
gagasan menjadikan Gunungapi Merapi menjadi
TNGM terjadi penolakan oleh warga masyarakat
Gunungapi Merapi. Penolakan masyarakat antara lain
karena rencana tersebut tergesa-gesa dianggap tidak
demokratis, tidak transparan, dan tidak partisipatif.
Selain itu tercetus juga persepsi berupa kekhawatiran
masyarakat setempat tidak dapat lagi atau dibatasi
aksesnya menuju lokasi-lokasi yang biasanya menjadi
ajang berkumpulnya warga dalam berbagai upacara
adat, dan masyarakat petani-peternak tidak dapat
merumput untuk pakan ternak.
Ide membenahi, dan melestarikan ekosistem
Gunungapi Merapi tentunya tidak salah, karena
dilandasi spirit konservasi. Pengertian konservasi
berarti menyelamatkan, melindungi, melestarikan,
dan menyimpan. Dalam konteks perlindungan dan
pengelolaan terhadap fungsi Gunungapi Merapi dan
budaya yang berlangsung padanya dengan pendekatan
konservasi, maka Gunungapi Merapi sebagai suatu
ekosistem yang utuh, tentunya memiliki dinamika
geofisik spasial. Jika dalam konteks ekologi bahwa salah
satu sistem tidak berfungsi, maka siklus pemulihan
sumberdaya hayati akan menjadi kendala. Degradasi
yang terjadi pada ekosistem dan ekologi akan berujung
pada bencana. Keberfungsian sistem ekosistem
Gunungapi Merapi, bergantung pada daya dukung.
Sebelum semuanya terlambat gagasan menjadikan
Gunungapi Merapi sebagai kawasan konservasi adalah
tepat, namun dalam pelaksanaannya tampaknya tidak
sederhana. Silang pendapat baik yang pro maupun
yang kontra terus terjadi saat ditetapkan sebagai Taman
Nasional Gunungapi Merapi (TNGM), dan bukan Cagar
Alam, Taman Hutan Raya, Suaka Margasatwa, atau
lainnya. Bahkan ada yang mengusulkan Gunungapi
Merapi menjadi Laboratorium Alam Lingkungan Hidup
(Bronto, 2002).

16

Rencana mewujudkan Gunungapi Merapi


dengan Format Taman Nasional disinyalir mengacu
kesepakatan Internatonal Union for Conservation of
Nature and Natural Resaurces (IUCN) 1994a, format
tersebut dianggap tidak sesuai apabila diterapkan di
gunungapi Gunungapi Merapi. IUCN mendefinisikan
taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi,
daerah reserve alam ketat, monumen alam, daerah
konservasi habitat dan margasatwa, lanskap yang
dilindungi, dan area perlindungan sumberdaya.
Peraturan Pemerintah Nomer 68 Tahun 1998 pasal
1 angka 6, menyebutkan kawasan Taman Nasional
adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.

Perlindungan dan pengelolaan fungsi
Gunungapi Merapi perlu disesuaikan dengan
kondisi komunitas lokal Gunungapi Merapi dengan
memahami sumberdaya dan pengetahuan lokal
masyarakat. Artinya dalam perlindungan dan
pengelolaan perlu mengadaptasi pengetahuan lokal
masyarakat yang selama ini memiliki ikatan batin
kuat dengan alam lingkungan Gunungapi Merapi,
dan ikatan batin tersebut mampu memunculkan
tanggungjawab untuk menjaga Gunungapi Merapi.
Masyarakat telah membuktikan melalui perilaku
penuh tanggung jawab, sikap hormat dan peduli
terhadap sumberdaya di sekelilingnya, dan hal itu
telah menjadi prinsip yang dianut secara turuntemurun. Masyarakat meyakini perilaku yang
selaras dan serasi mampu menjaga keutuhan
ekosistem Gunungapi Merapi. Mudah-mudahan
tidak ada peubah dari luar ekosistem Gunungapi
Merapi yang mempengaruhi kondisi tersebut,
berdasarkan kepentingannya.

Jurnal Widya Prabha 2014

IV. Penutup
Gunungapi Merapi sebagai geoheritage
memiliki ekosistem yang menyatu dengan
sosiokultur masyarakatnya yang spesifik. Dalam
dimensi ruang dan waktu ekosistem Gunungapi
Merapi tetap menarik perhatian masyarakat
untuk menjadi tempat hunian, meskipun kawasan
tersebut dekat dengan ancaman aktivitas
gunungapi. Catatan sejarah menujukkan sejak masa
kerajaan Mataram Hindu pada abad VIII Masehi
dan Kerajaan Mataram Islam (XVI Masehi) memilih
ekosistem Gunungapi Merapi menjadi pilihan untuk
membangun bangunan permukiman dan bangunan
ritual (misalnya candi, keraton dan pesanggrahan).
Hubungan antara komunitas dengan sumberdaya
alam dan lingkungan yang berlangsung di
Gunungapi Merapi apabila kurang memperhatikan
karakteristiknya akan mengakibatkan penurunan
kualitas sumberdaya dan lingkungannya.
Kultur masyarakat dalam berinteraksi
dengan Gunungapi Merapi terus berlangsung
dan memunculkan pandangan yang sifatnya
supranatural, diwujudkan dengan sejumlah cerita
mistis, cerita-cerita rakyat, dan tata upacara adat dan
tradisi. Gunungapi Merapi akhirnya menjadi mitos
yang menurut persepsi masyarakat tetap aman dan
nyaman sebagai hunian, bahkan bersahabat dengan
bencana letusan Gunungapi Merapi. Pengetahuan
yang menyeluruh tentang Gunungapi Merapi baik
yang ilmiah (Vulkanologi) dan pengetahuan lokal
yang dikonstruksi oleh komunitasnya menjadikan
Gunungapi Merapi sebagai sebuah geoheritage
yang terus berkharisma. Sudah seharusnya menjaga
kelestarian fungsi lingkungan Gunungapi Merapi,
bercermin pada perilaku arif komunitas yang hidup
dan berlangsung di kawasan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Andreastudi, SD, Stratigraphy and Geochemestry of
Gunungapi Merapi Volkano, Central Java:
Implikation for Assesssment of Volkanic
Hazards. Ph. D University of Aukland Zealand.
Anonim, 2001, Rancangan Pengembangan Taman
Nasional Gunung Gunungapi Merapi Propinsi
DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop
DIY, tidak dipublikasikan.
Anonim, 2002, Sekitar Pengertian dan Persepsi Taman
Nasional Gunung Gunungapi Merapi, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, tidak
dipublikasikan.
Bahagiarti K, 2002, Gunungapi Merapi Sebagai
Sumberdaya Hidrogeologi, harian Kedaulatan
Rakyat, 28 September.
Bronto S, Gunungapi Merapi Sebagai Laboratorium
Alam Lingkungan Hidup, Harian Kedaulatan
Rakyat, 30 September 2002
Ghozali I., 2008, Pasag Gunungapi Merapi, : Kebijakan
Lokal Pengelolaan Bencana; Pola Penanganan
Darurat Letusan Gunungapi Merapi, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Rais J., 2004, Menata Ruang Laut Terpadu, Jakarta;
Pradnya Paramita
Setyawati K, Wiryomartono K, Willem van der Molen,
2002, Katalog Naskah Gunungapi MerapiMerbabu, Yogyakarta : Penerbit Universitas
Sanata Darma
Sumadio B, ed al, 1984, Sejarah Nasinal Jilid II, Jakarta
: Penerbit Jambatan.
Sumarwoto O., 1989, Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, Jakarta : Penerbit Djambatan.
Manunwijaya, 1995, Wastu Citra, Jakarta: Gramedia
Mulyana D., 2009; Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,
Bandung ; Remaja Rosdakarya
Noordyn, 1982, Bujangga manik Journeys Through Java
: Topographical Data From An Old Sundanese
Source, BKI S-Gravenhage Martinus Nijhoff,
Deel 138, h. 413-442

17

Wirasanti Niken., 2000, Pemanfaatan Sumberdaya


Lingkungan Pada Masa Mataram Kuna abad
IX-X Masehi (Studi Kasus Wilayah Prambanan
dan Sekitarnya), Tesis Pascasarjana UGM.
Wirasanti Niken., 2009, Cara Pandang Pengetahuan
Lokal Masyarakat Kawasan Gunungapi Merapi
Sebagai Komunitas Ekologis , Jurnal Sejarah
dan Budaya Vol IV no.7 Juni, hlm 572-583
Wiryomartono Ign. K, 1987, Arjunawiwaha,
Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat tanggapan
dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa,
Disertasi UGM,
Wiryomartono Ign. K, 1990, The Scriptoria in
the Merbabu- Gunungapi Merapi, BKI,
S-Gravenhage Martinus Nijhoff , Deel 130 h
502-509.

* Artikel ini disampaikan dalam seminar Vise Utilization


of Mineral, Energy and Geoheritage for Prosperity. 3rd
Indonesia-Malaysia Joint Conference, di UPN VeteranYogyakarta 6-8 Oktober 2010 .
** Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknologi Mineral, UPN Veteran Yogyakarta.

18

Jurnal Widya Prabha 2014

REINTERPRETASI DAN REVITALISASI KOMPLEKS TAMAN


WISATA CANDI BOROBUDUR DAN PRAMBANAN :
Sebuah usulan pengelolaan sumberdaya arkeologi terintegrasi
Oleh:
Gunadi Kasnowihardjo*

ABSTRACT
Physically
the
Borobudur
and
Prambanan
temple area and surround are
included in the Temple Tourism Park (TTP).
This TTP managed by PT. Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan one of State-Owned
Enterprises (Badan Usaha Milik Negara/BUMN),
the Ministry of Tourism and Creative-Economy.
However, there are some academic problems
which need to be re-examined for the benefit
of future professional management. Several
archaeological problems that are required to
re-assesment are the datas that related to
stupika and tablet, remains Bodhisatwa statue,
fragments of pottery and ceramics in southwest
of Borobudur temple. In the Temple Tourism
Park of Prambanan area, there is a concept of
Mandala at Sewu temple complex. The question
is, whether borders of Prambanan Temples
Tourism Park is correct? Hopefully the study
and reinterpretation as mentioned above will
provide a healthier contribution to the revitalize
the Borobudur and Prambanan Temples Tourism
Park area.

Key words: Borobudur and Prambanan Temples


Tourism Park, archaeological problems,concept
of mandala, reinterpretation, revitalization.

I. PENDAHULUAN
Kawasan percandian Borobudur dan
Prambanan serta candi candi yang ada diantara
kedua kompleks percandian tersebut sejak tahun
1991 oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai
situs cagar budaya dunia (World Heritage Site)
dengan nomor : 592 th. 1991 (Candi Borobudur)
dan 642 th. 1991 (Candi Prambanan). Bagi
bangsa Indonesia pengakuan dunia tersebut
merupakan salah satu kebanggaan yang patut
disyukuri. Sebagai salah satu obyek wisata
budaya berskala internasional, Taman Wisata
Purbakala Candi Prambanan Sewu ini menjadi
Daerah Tujuan Wisata yang potensial bagi
pemerintah maupun masyarakat.
Mengingat potensi situs cagar budaya,
serta agar situs tersebut dapat dipertahankan akan
pengakuan dunia internasional sebagai world
heritage site, maka perlu diberikan dukungan
yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai
situs cagar budaya dunia. Salah satu dukungan
yang dapat diberikan adalah dukungan akademis
yang terkait dengan kondisi fisik kawasan situs
cagar budaya dunia kompleks percandian
Prambanan Sewu. Adapun dukungan akademis
yang dimaksud ialah mencari batas batas situs
Candi Sewu berdasarkan konsep mandala yang
diperkirakan belum dijadikan pertimbangan
dalam menentukan kawasan cagar budaya
dunia tersebut.

19

Sumber : http://townsofusa.com

II. TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR


Sejak awal abad XIX AD di dalam
sejarah kesenian Eropa Candi Borobudur
dikenal sebagai salah satu puncak karya
seni dari ajaran agama Budha Jawa. Candi
yang dibangun pada abad VIII AD ini sempat
beberapa abad tenggelam dan terlupakan
hingga seluruh bangunannya tertutup tanah dan
semak belukar. Setelah kurang lebih selama
1000 tahun yaitu pada tahun 1907 Masehi Candi
Borobudur diketahui oleh Th. Van Erp seorang
sarjana berkebangsaan Belanda yang waktu itu
datang ke Indonesia bersama dalam kesatuan
tentara kolonial. Candi Borobudur kemudian
digali dan dibersihkan, di bawah kepemimpinan
Van Erp inilah selanjutnya dilakukan penelitian
dan pemugaran Candi Borobudur hingga tahun
1911. Kegiatan pemugaran yang dilakukan pada
saat itu yang paling penting yaitu rekonstruksi
lantai selasar yang telah mengalami penurunan

20

Candi
Borobudur
atau kemlesakan yang cukup siknifikan. Hingga
saat ini oleh para peneliti dan pemerhati Candi
Borobudur lantai tersebut dikenal sebagai lantai
Van Erp. Sejak saat itu pula Candi Borobudur
dikenal masyarakat secara luas bahkan hingga
mancanegara dan bahkan dikenal sebagai salah
satu dari 9 keajaiban dunia.
Perlu disadari oleh kita semua bahwa
keberadaan Candi Borobudur yang terletak di
wilayah Kabupaten Magelang ini tidak dapat
dipisahkan dengan candi-candi dan bangunan
kuna lain yang ada di sekitarnya. Demikianpula
dengan masyarakat dan lingkungannya. Sebagai
candi terbesar di Indonesia yang berlatar
belakang agama Budha, diperkirakan candi
Borobudur merupakan pusat pengembangan
agama Budha di Indonesia. Oleh karena itu
keberadaan candi ini tentu saja didukung oleh
berbagai aktivitas termasuk didalamnya adalah
berbagai fasilitas pendukungnya. Tinggalan lain
seperti Candi Mendut dan Candi Pawon serta

Jurnal Widya Prabha 2014


data lain seperti misalnya umpak-umpak batu
yang diperkirakan bekas alas tiang bangunan
profan yang digunakan sebagai tempat istirahat
oleh para peziarah atau para pendeta termasuk
lingkungan Borobudur yang perlu diperhatikan.
Demikian pula dengan keberadaan masyarakat
dan lingkungan alamnya, selama ini kurang
diperhatikan oleh pengelola kawasan wisata
Candi Borobudur.
Sudah lebih dari dua dasawarsa kawasan
Candi Borobudur dijadikan kawasan Taman
Wisata dan dikelola oleh PT. Taman Wisata
Candi Borobudur & Prambanan salah satu
BUMN dibawah Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif. Dalam pengelolaan kawasan
Candi Borobudur ini ada sesuatu yang perlu
saya ingatkan yaitu bergesernya konsep Taman
Purbakala menjadi Taman Wisata diawali dari
pergeseran konsep inilah akhirnya dikemudian
hari muncul berbagai persoalan terkait dengan
pengelolaannya. Memperhatikan beberapa hal
seperti tersebut di atas, maka dalam pengelolaan
kawasan wisata Candi Borobudur kedepan perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Secara
akademis,
mengembalikan
potensi atau konteks arkeologis Candi
Borobudur baik dalam skala mikro, meso
ataupun makro. Dalam skala mikro
misalnya beberapa data artefaktual yang
ditemukan di sekitar halaman candi baik
dari ekskavasi maupun survey. Konteks
dalam skala meso antara lain data
toponimi, sumberdaya alam sekitar, dan
informasi dari berbagai referensi maupun
legenda yang berkembang tentang Candi
Borobudur. Sedangkan konteks dalam
skala makro misalnya hubungan antara
Candi Borobudur, Mendut dan Candi
Pawon, serta objek-objek lain baik yang
berupa artefak maupun nonartefak.
2. Apabila pertimbangan akademis ini dapat
dikaji kembali, maka upaya pelestarian

pusaka budaya dan pengelolaan Candi


Borobudur beserta lingkungannya akan
dapat ditata kembali terutama dalam
melibatkan peran serta masyarakat di
sekitar kawasan Borobudur.
3. Pedagang asongan perlu disebar di
beberapa titik dengan jumlah yang
rasional di masing-masing titik, sehingga
kondisi pedagang asongan tidak terkesan
semrawut.
Inilah impian saya cepat atau lambat
mudah-mudahan impian ini akan menjadi
kenyataan, amin.

III. TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN


Walaupun
secara
fisik
kawasan
percandian Prambanan Sewu dan candi candi
yang berada diantaranya telah dikemas menjadi
bagian dari Taman Wisata Candi Prambanan
yang dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan salah satu Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, akan tetapi secara
akademis masih terdapat berbagai permasalahan
yang perlu dikaji, diteliti, dan diluruskan demi
pengelolaan di masa yang akan datang yang
lebih profesional. Beberapa permasalahan
arkeologis yang perlu dikaji kembali antara lain
tentang konsep mandala pada kompleks Candi
Sewu. Seingat penulis, yang saat itu ikut menjadi
salah satu anggota tim penelitian arkeologi,
konsep mandala Candi Sewu belum dijadikan
pertimbangan dalam menentukan seberapa
luas areal yang dibutuhkan untuk Taman Wisata
Candi Prambanan. Bahkan tinggalan lain yang
ditemukan saat penelitian yang merupakan data
baru seperti misalnya konstruksi stupa perwara
dan sisa-sisa pagar ketiga yang terletak di
sebelah Timur Candi Sewu, tidak masuk dalam
perhitungan dan pertimbangan.

21

Candi
Prambanan
Kata mandala adalah bahasa Sanskerta
yang dalam kamus Jawa Kuna Inggris dapat
diartikan sebagai: anything round, disk, circle,
orb, ring, circumference, district, teritory,
province, country, multitude, collection, whole
body (Zoetmulder, P.J. 1982: Hal. 1099).
Secara sederhana Dr. Riboet Darmosoetopo
mengartikan mandala adalah kawasan atau
lingkup
keagamaan
yang
diekspresikan
secara fisik berupa bangunan bangunan
keagamaan dan dapat pula melambangkan
sebuah kekuasaan (wawancara langsung
dengan Dr. Riboet Darmosoetopo, 12 Mei
2010). Berdasarkan pengertian di atas, maka
keberadaan Candi Gana di sebelah Timur, Candi
Bubrah di Selatan, Candi Kulon (?) di Barat, dan
Candi Lor di sebelah Utara diperkirakan sebagai
bagian dari mandala candi Sewu. Namun
demikian, dalam pengelolaan dan penataan
kawasan situs cagar budaya dunia Candi
Prambanan Sewu ataupun Taman Wisata
Candi Prambanan Sewu tersebut, Candi
Gana, Candi Kulon, dan Candi Lor ketiganya

22

terlepas dari konsep mandala dan dipisahkan


pula oleh pagar batas Taman Wisata yang tidak
memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan
akademis seperti misalnya batas batas suatu
situs (Gunadi, 1996).
Dibangunnya Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan yang dimulai sejak
awal tahun 1980 an, dilatar belakangi oleh
keberadaan tinggalan arkeologis yang ada
di dua kawasan tersebut. Selain bertujuan
melestarikan kawasan cagar budaya yang
berskala internasional, keberadaan Taman
Wisata tersebut akan menambah daya tarik
wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata
budaya ini. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah
kunjungan wisatawan tahun 2009 baik wisatawan
nusantara maupun wisatawan mancanegara
yang mencapai rata rata 76.960 orang per
bulan untuk wisatawan nusantara dan 12.595
orang per bulan untuk wisatawan mancanegara.
Demikian pula dalam sepuluh tahun terakhir
(2000 2009) diketahui bahwa jumlah kunjungan
di obyek wisata budaya ini cukup signifikan,

Jurnal Widya Prabha 2014


seperti terlihat pada daftar di bawah. Bahkan
harapan pengelola PT. Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan jumlah wisatawan
di Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan
Sewu untuk tahun 2010 mencapai 1.200.000
orang. Harapan tersebut ternyata tidak sia sia,
karena hingga minggu ke tiga bulan Desember
2010 pengunjung di obyek wisata tersebut telah
mencapai 1.011.918 orang. Sehingga program
Sejuta Turis ke Prambanan yang dicanangkan
pada tahun 2010 tersebut hampir mencapai
harapan (http://travel.kompas.com).

Jumlah Wis Nus dan Wis Man Th. 2000 2009


TAHUN
WISNUS
WISMAN
JUMLAH

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009

899.463
915.383
908.276
888.686
451.987
549.997
856.029
923.540

91.975
95.287
86.613
48.357
77.417
75.638
44.073
74.590
114.951
130.372

900.076
963.740
985.693
964.324
452.060
624.587
970.980

JUMLAH
8.460.460
839.273 9.299.733
Sumber : PT. TWC Borobudur-Prambanan.

IV. SITUS CANDI BOROBUDUR,


PRAMBANAN DAN NILAI HISTORISARKEOLOGISNYA

Dua kompleks percandian Borobudur
dan Prambanan yang berada di kawasan Taman
Wisata, masing masing memiliki keunikan dan
nilai nilai historis arkeologis yang berbeda.
Berdasarkan prasasti iwagrha yang berangka
tahun 778 aka atau tahun 856 Masehi, candi
Prambanan dibangun pada masa pemerintahan
Rakai Pikatan dan dilanjutkan oleh Rakai
Kayuwangi. Candi Prambanan atau dikenal
dengan nama Lara Jonggrang merupakan
bangunan suci agama Hindu, terlihat dari ciri
ciri arsitektur, relief dan beberapa arca yang
melengkapi bangunan tersebut. Kompleks Candi

Prambanan terdiri dari tiga buah candi utama,


tiga buah candi wahana, dan dua buah candi apit
yang semuanya berada di halaman pertama yang
terletak dibagian paling dalam. Halaman kedua
yang secara konsentris mengelilingi halaman
pertama terdapat empat baris candi perwara
dengan jumlah keseluruhannya mencapai 224
buah. Sedangkan halaman ketiga hingga saat ini
batas atau pagar keliling belum ditampakkan baik
oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Yogyakarta maupun saat pembangunan Taman
Wisata Candi Prambanan Sewu.

Perbedaan
antara
Candi
Sewu
dan Prambanan antara lain Candi Sewu
berlatar belakang agama Budha, sedangkan
arsitekturnya lebih tambun dibanding Candi Lara
Jonggrang yang terlihat ramping. Ciri lain Candi
Sewu atap atau kemuncak berbentuk stupa
yang merupakan salah satu lambang dari agama
Budha. Adapun susunan halaman sama dengan
Candi Prambanan, yaitu terdiri dari tiga halaman
yang konsentris. Halaman pertama ditempatkan
bangunan candi utamanya yang tidak memiliki
candi wahana. Halaman kedua ditemukan
sejumlah candi perwara yang susunannya sama
dengan candi perwara di kompleks Prambanan.
Di halaman kedua sisi Timur pada tahun 1980 an
pernah ditemukan sisa-sisa bangunan perwara
yang diperkirakan sebagai stupa perwara
yang mirip dengan stupa perwara yang ada
di kompleks Candi Plaosan. Bangunan Candi
Sewu oleh para ahli dikaitkan dengan sebuah
prasasti yang ditemukan di Dusun Kelurak tidak
jauh dari Prambanan.

Prasasti Kelurak atau disebut juga Prasasti
Manjusrigrha merupakan prasasti batu berangka
tahun 782 M yang ditemukan di Desa Kelurak, di
sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan,
Jawa Tengah. Keadaan batu prasasti Kelurak
sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya
kurang diketahui. Secara garis besar, isinya

23

adalah tentang didirikannya sebuah bangunan


suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja
Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya.
Menurut para ahli, yang dimaksud dengan
bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang
terletak di Kompleks Percandian Prambanan.
Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada
Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan
kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kelurak ditulis
dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan
bahasa Sansekerta. Prasasti ini kini disimpan
dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta
(http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurak).

Dalam pembangunan Taman Wisata
Candi Prambanan, kompleks Candi Sewu
dan candi candi lain yang terletak di antara
keduanya seperti Candi Lumbung dan Candi
Bubrah semuanya masuk dalam area atau
kawasan taman wisata tersebut. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan
Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan
antara lain bertujuan untuk melestarikan
tinggalan cagar budaya yang tidak ternilai
harganya. Dengan demikian pengembangan
kawasan dan situs cagar budaya sebagai
obyek wisata tersebut tidak semata mata
mempertimbangkan faktor ekonomis, akan
tetapi kepentingan ekonomis tersebut mampu
mendukung upaya pelestariannya.

Selain dari pada itu, kawasan Taman
Wisata Candi Prambanan Sewu oleh UNESCO
telah ditetapkan sebagai situs warisan budaya
dunia atau World Heritage Site. Oleh karena
status atau peringkat sebagai situs warisan
dunia tersebut sewaktu waktu dapat dicabut
dari daftar UNESCO, maka perlu didukung agar
pengakuan internasional tersebut dapat dijaga
kontinuitasnya. Situs situs cagar budaya yang
telah diakui dan masuk dalam daftar World
Heritage Sites UNESCO, oleh pemerintah
termasuk kawasan strategis yang harus tetap

24

dipertahankan. Sehingga berbagai sektor terkait


dalam program kerjanya disarankan dapat
memberikan dukungan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing masing lembaga. Hal
ini sesuai dengan Kontrak Kinerja Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di bidang Kebudayaan
dan Pariwisata.

V. PEMBAHASAN

Setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu
dikaji untuk mendukung Kawasan Taman Wisata
Candi Prambanan Sewu baik sebagai situs
cagar budaya dunia ataupun sebagai Kawasan
Strategi Nasional, pertama adalah pertimbangan
akademis yaitu terkait antara batas-batas situs
dan areal atau kawasan taman wisata. Mengacu
pada konsep mandala yang ada di kompleks
Candi Sewu, ada asumsi bahwa candi tersebut
dahulu di kelilingi oleh 4 buah sandi yang berada
di 4 penjuru mata angin. Ke empat candi tersebut
adalah Candi Bubrah di sisi Selatan, Candi Gana
di Timur, Candi Lor (Candirejo) di Utara, dan
Candi Kulon yang terletak di sisi Barat Candi
Sewu. Di antara keempat candi tersebut hanya
Candi Bubrah dan Candi Gana yang masih
dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan Candi
Lor sisa-sisa batu candi sebagian digunakan
oleh penduduk setempat untuk pagar dan
pondasi rumah masih dapat ditelusuri. Adapun
untuk memastikan keberadaan Candi Kulon
perlu dilakukan penelitian lapangan, guna
membuktikan asumsi di atas.

Kata mandala adalah bahasa Sanskerta
berasal dari akar kata manda yang berarti inti atau
pokok dan tambahan kata la yang berarti sesuatu
yang ditambahkan. Konsep tata ruang dalam
mandala bervariasi yaitu dapat diwujudkan dalam
satu area (one square) yang disebut Pitha atau
Upapitha, empat area (Ugrapitha), dan sembilan
area atau Sthandila ( http://en.wikipediar.org /

Jurnal Widya Prabha 2014


wiki/Mandala). Mengacu pada konsep mandala
tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Candi
Bubrah, Gana, Lor, dan Candi Kulon merupakan
4 area penyangga Candi Sewu. Sampai saat
ini tidak seorangpun ahli arkeologi yang pernah
membicarakan tentang konsep mandala Candi
Sewu yang dikaitkan dengan pembangunan
taman wisata tersebut. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila selain Candi Bubrah,
ketiga candi lain yang terletak di sisi Timur,
Utara dan Barat tidak pernah dipertimbangkan
dalam pembangunan Kawasan Taman Wisata
Candi Prambanan Sewu. Candi Bubrah sendiri
karena posisinya yang terletak diantara Candi
Prambanan dan Candi Sewu sehingga secara
kebetulan termasuk dalam zona taman wisata.
Kedua, secara ideologis, keberadaan
Candi Prambanan yang Hinduistis dan Candi
Sewu yang Budhistis dalam satu lokasi yang
sangat berdekatan, hal ini mensiratkan kepada
generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang tentang isu isu multikultural yang telah
berkembang sejak abad IX M. Bahkan apabila
kita kaji lebih tajam tentang pagar halaman
ketiga masing masing percandian Prambanan
dan Sewu, kemungkinan sekali akan ditemukan
data yang saling tumpang tindih antara pagar
terluar kedua candi tersebut. Apabila mengacu
kepada waktu pembangunannya, Candi Sewu
dibangun pada tahun 782 sedangkan Candi
Prambanan didirikan tahun 856, dengan
demikian ada selisih waktu 74 tahun. Walaupun
demikian, dapat diperkirakan bahwa pada masa
pembangunan Candi Prambanan eksistensi
agama Budha saat itu dapat dikatakan masih
stabil sebagai agama kerajaan. Sehingga tanpa
ada pemahaman dan toleransi yang tinggi dari
masing masing pemeluk agama Hindu dan
Budha, niscaya kedua kompleks bangunan
suci yang berbeda keyakinan tersebut dapat
dibangun secara berdampingan.

Ketiga adalah pertimbangan praktis,


bahwa kajian tentang Kawasan Taman Wisata
Candi Pramaban Sewu ini seperti telah
disebutkan sebelumnya yaitu sebagai langkah
konkrit dalam mendukung pengembangan
kawasan
strategis
demi
kepentingan
pengelolaan yang lebih profesional. Agar
dapat meningkatkan kualitas pengelolaan
suatu kawasan strategis seperti situs
situs yang sudah ditetapkan sebagai World
Heritage Site, maka perlu dilakukan kajian
kajian secara periodik, baik kajian akademis
maupun pertimbangan lainnya. Sebagai aparat
pemerintah yang ada di daerah dan langsung
menyentuh pada tugas pokok dan fungsi
lembaga, maka program seperti ini merupakan
action dari sebagian kecil kontrak kinerja
pemerintah.

VI. PENUTUP

Mengacu pada Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010 2014, mengenai
bidang sosial budaya dan kehidupan beragama,
utamanya dalam kerjasama yang sinergis antar
pihak terkait dalam upaya pengembangan nilai
budaya, pengelolaan keragaman budaya serta
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
warisan budaya. Peraturan Presiden yang
kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya
Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata tahun 2010 2014 antara lain
menetapkan arah kebijakan dan strategi tentang
peningkatan kesadaran dan pemahaman
jati diri dan karakter bangsa. Dalam rangka
melaksanakan arah kebijakan Peningkatan
Kesadaran dan Pemahaman Jati Diri dan
Karakter Bangsa, maka strategi diarahkan
dengan :

25

Kompleks Candi Borobudur

Kompleks Candi Prambanan

1) Peningkatan internalisasi nilai-nilai budaya


yang mendukung pembangunan karakter dan
pekerti bangsa.
2) Peningkatan revitalisasi dan reaktualisasi
nilai-nilai tradisi.
3) Peningkatan pemberdayaan komunitas adat.
4) Peningkatan internalisasi kesejarahan dan
wawasan kebangsaan (periksa Rencana Strategis
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun
2010 2014, http://www.budpar.go.id/page).

Atas dasar Peraturan Presiden RI Nomor
5 tahun 2010 dan Rencana Strategis Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010
2014 di atas, maka penulis sebagai peneliti di
salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata mengusulkan
perlunya suatu kegiatan penelitian yang dapat
dilakukan secara kolaboratif inter disipliner yang
melibatkan beberapa ahli seperti arkeologi,
antropologi, sejarah, dan kepariwisataan. Salah
satu contoh kasus yang diusulkan dalam artikel ini
ialah kawasan Taman Wisata Candi Prambanan,

yang sangat menarik untuk dilakukan kajian


ulang ataupun re-interpretasi beberapa hal
yang berkaitan antara luas situs dan luas taman
wisata, beberapa data arkeologi baru, serta
manfaat praktis yang selama ini belum banyak
dilakukan.

Kawasan
Taman
Wisata
Candi
Prambanan, yang di dalamnya meliputi Candi
Sewu dan candi candi lain yang berada di
antaranya, setelah oleh UNESCO ditetapkan
sebagai salah satu World Heritage Site, maka
ada konskwensi untuk tetap menjaga dan
meningkatkan kualitas situs agar dikemudian
hari status sebagai warisan budaya dunia dapat
terus dipertahankan. Kajian kajian seperti
disebutkan di atas dapat dilakukan secara
kolaboratif dalam suatu tim penelitian yang terdiri
dari berbagai disiplin ilmu antara lain arkeologi,
sejarah, antropologi dan kepariwisataan.
Dengan penelitian terpadu tersebut akan dapat
ditemukan langkah langkah konkrit dalam
mengembangkan kawasan strategis atau situs

26

Jurnal Widya Prabha 2014


situs cagar budaya yang telah ditetapkan
sebagai World Heritage Site. Selanjutnya model
penelitian seperti ini akan dapat diterapkan
pada situs situs yang lain. Masih banyak situs
situs arkeologi yang dalam pengelolaannya
belum dilakukan secara sinergis antara bidang
penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan
(Kasnowihardjo, 2001 dan 2004). Terutama situs
situs yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat
baik untuk kepentingan pariwisata maupun ilmu
pengetahuan.

* Penulis adalah staff Balai Arkeologi Daerah


Istimewa Yogyakarta. (gunbalar@yahoo.com)

Daftar Pustaka
Boechari, 1978. Bahan Kajian Arkeologi Untuk
Pengajaran Sejarah, Majalah Arkeologi,
Th. II. No. 1. Sept. 1978, hal. 3 26.
Fakultas Sastra, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi
Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gibbon, Guy, 1984. Anthropological Archaeology,
Columbia University Press, New York.
Gunadi, 1996. Pengertian Situs dan Batas
Batas Situs, Pertemuan Ilmiah Arkeologi
ke VII, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
(IAAI), Cipanas, Jawa Barat.
Kasnowihardjo, Gunadi. 2001. Manajemen
Sumberdaya Arkeologi, pengantar Prof.
Dr. Edi Sedyawati, Penerbit LEPHAS,
Universitas Hasanuddin, Makassar. ISBN
979-530-035-0.
Kasnowihardjo, Gunadi. 2004. Manajemen
Sumberdaya Arkeologi-2, Pengantar Prof.
Dr. Sumijati Atmosudiro, diterbitkan oleh
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komda
Kalimantan, ISBN 979-98450-1-7.
Liebert, Gosta. 1976. Iconographic Dictionary Of
The Indian Religions, E.J. Brill, Leiden.
Peraturan
Presiden
Republik
Indonesia
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010 2014,
BAPPENAS.
Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata Tahun 2010 2014, http://
www.budpar.go.id
Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian
Kualitatif, Dasar teori dan terapannya
dalam penelitian, Sebelas Maret University
Press, Surakarta.

27

Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese English


Dictionary, Koninklijk Instituut voor Taal,
Land En Volkenkunde, sGravenhage
Martinus Nijhoff.
http://travel.kompas.com Sejuta Turis ke
Prambanan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurak
http://en.wikipediar.org /wiki/Mandala

28

Jurnal Widya Prabha 2014

KOTA BARU YOGYAKARTA :


CITRA KAWASAN DAN UPAYA PENGENDALIANNYA
Oleh
Sri Suharini, SS dan Drs. Ign. Eka Hadiyanta, MA.*

I. Pengantar
Komunikasi antara orang-orang Eropa
dan khususnya kumpeni dagang dengan
Kerajaan Mataram terutama sejak era Kartasura
semakin intensif. Kondisi itu terus berlanjut dan
semakin meningkat seiring dengan dinamika
sosial politik kerajaan. Artinya, bahwa setiap
momentum politik tertentu di kerajaan ada
koherensi hubungan dengan
kumpeni.
Demikian juga pada pasca Perjanjian Giyanti
1755 M, komunitas orang-orang Eropa di
Kasultanan Yogyakarta juga sudah ada sejak
masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Hal ini dapat dibuktikan dengan
eksisnya berbagai fasilitas kantor
residen
atau pun lembaga-lembaga (sipil dan militer),
prasarana umum, dan berbagai tempat usaha
swasta. Berbagai fasilitas yang berkembang itu
menunjukkan bahwa hubungan antara pribumi
dengan Eropa sudah terjalin lama.
Keberadaan berbagai fasilitas publik
pemerintahan dan swasta antara lain: Kantor
Residen atau Gedung Gubernuran (sekarang
Gedung Agung) 1824 M, Benteng Vredeburg
(benteng
perdamaian)
dahulu
bernama
Rustenberg (1778 M), Loji Kecil, dan Societeit
De Vereneging (1822 M), Societeit Militer,
Javasche Bank, Kantor Pos, serta tempattempat usaha swasta baik di perkotaan maupun
di pedesaan. Hal itu menunjukkan adanya
intensitas
tingggi adanya penetrasi orangorang Eropa. Komunitas orang-orang Eropa
tersebut mengalami perkembangan pesat pada
masa Kasultanan Yogyakarta berada di bawah

pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII


(1877 1921 M). Menurut data dari Europeans,
1921 M tahun 1905 M jumlah penduduk Eropa
1.477 jiwa, sedangkan sumber yang lain yaitu
Bevolking Solo en Djokja 1893, penduduk Eropa
di Yogyakarta pada tahun 1893 M ada 1849 jiwa.
Pesatnya perkembangan tersebut, khususnya
untuk orang-orang Belanda, berkaitan erat
dengan tumbuh dan berkembangnya lembagalembaga swasta, antara lain: pabrik, asuransi,
perbankan, pendidikan, kesehatan, bar dan
perhotelan. Disamping itu, pada abad ke-19
sampai dengan awal abad ke-20 kemudian
tumbuh fasilitas-fasilitas untuk sarana religius
untuk beribadat, antara lain: Gereja Protestan
(Jl. Margamulya depan Pasar Beringharjo) dan
Gereja Kidul Loji Jl. Secodiningratan. Para
awal abad ke-20 wilayah hunian berkembang,
tidak hanya berada di sekitar pusat kota tetapi
kemudian bergeser ke arah utara Jetis, timur
(Bintaran dan Baciro), dan timur laut (Kota
Baru).
II. Eksistensi Awal Kawasan Kota Baru


Munculnya ide awal perluasan hunian
orang-orang Eropa di Yogyakarta pada dasarnya
disebabkan adanya peningkatan kebutuhan
lahan untuk orang Belanda. Di Kota Yogyakarta
pada masa Residen Cornelis Canne tahun 1917
M terjadi perluasan personel untuk kepentingan
pengawasan pajak, kehakiman dan pendidikan.
Di samping itu, juga merupakan konsekuensi
logis adanya perkembangan lembaga-lembaga
swasta, antara lain: administratur pabrik-

29

pabrik gula 17 lokasi, karyawan Asuransi


Nv Levensverzekering Mij Milmij van 1859
cabang Yogyakarta (kantornya sekarang untuk
Bank BNI), dan profesi kesehatan. Untuk itu
kemudian bekerjasama dengan Departemen
Pekerjaan Umum (Burgelijk van Openbare
Werken) mengadakaan perencanaan untuk
memenuhi kebutuhan ruang. Untuk kepentingan
perluasan lahan tersebut, maka Residen Canne
kemudian mengajukan permohonan kepada
Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk dapat
menyediakan tempat khusus bagi orang-orang
Eropa, sebagian besar di sebelah timur Sungai
Code.

Pengaturan pelaksanaan pembuatan
hunian baru tersebut diatur dalam Rijksblad van
Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917. Isi
Rijksblad, antara lain: mengatur pemberian lahan
beserta adanya wewenang supaya didirikan
bangunan, jalan, taman, perawatan (diatur oleh
kasultanan), sedangkan penggunaan tanah
diatur oleh komisi pengguna tanah (Comissie
van Grondbedrij) dengan anggota yang
ditentukan oleh Sultan dan Residen. Sebagai
pelaksana proyek pembuatan kawasan adalah
Departemen van Sultanaat Werken, sebagai
ketua yaitu Ir. L.V.R. Bijleveld (Gegeven, 1926
A., Reza Hudiyanto, 1997). Proyek kawasan Kota
Baru mulai dikerjakan pada tahun 1917 M, yaitu
dengan beaya awal sejumlah F. 170.000,- untuk
mendapatkan lahan dan pembuatan jalan serta
assenering sejumlah f. 35.000 dan f. 89.000,(Reza Hudiyanto, 1997). Proses pembangunan
hunian atau perumahan di kawasan itu
dilaksanakan sampai dengan awal tahun 1920an. Menurut data artefaktual yang masih ada
sebagai salah satu perancang pembangunan
di kawasan Kota Baru, yaitu, Arch. En. Ings.
Bur. Fermont- Cuyper. Berdasarkan data-data
yang ada konsultan perencana tersebut juga
merancang bangunan di wilayah Purworejo,
Jawa tengah.

30

Di dalam Kawasan Kota Baru disamping


diperuntukkan untuk hunian, juga ada fasilitasfasilitas pendukung lainnya, yaitu fasilitas religius
(Gereja Katholik Santo Antonius dan Gereja
Protestan),
kesehatan, olah raga (Stadion
Bijleveld sekarang Kridosono dan Kolam
Renang), serta sarana pendidikan (HIS, Mulo,
AMS) (Sri Sutjiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo,
1980). Antara kawasan tersebut di atas dengan
pusat kota dihubungkan dengan akses jaringan
jalan yang melintas Sungai Code (Boulevard
Jonquiere / sekarang Jalan Abu Bakar Ali)
dan sampai jalan poros Tugu - Keraton. Perlu
diketahui, bahwa jembatan di atas Sungai Code
dan jaringan jalan tersebut selesai dibuat pada
tahun 1924 M. Oleh masyarakat luas sekarang
jembatan itu dikenal dengan nama jembatan
Kewek atau dari asal kata kerkweg yaitu jalan
menuju Gereja Santo Antonius.
Pada masa pendudukan Jepang, kawasan
tersebut diambil alih untuk kepentingan tentara
Jepang, baik untuk perkantoran, perumahan,
tangsi, gudang dll. Perlu diketahui, bahwa
salah seorang perwira tentara Jepang, yaitu
Butaico Mayor Otsuka menempati rumah
bekas karyawan Nilmij (Sekarang kantor
Asuransi Jiwasraya Yogyakarta). Rumah Otsuka
mempunyai nilai sejarah tinggi mengingat pada
saat itu sebagai tempat perundingan pelucutan
senjata tentara Jepang oleh Pejuang Republik
Indonesia. Perundingan gagal dan kemudian
terjadi pertempuran untuk mengambil alih senjata
secara paksa. Oleh karena itu, pada masa
awal kemerdekaan (6-7 Oktober 1945) tempat
tersebut sebagai salah satu tempat kancah
perjuangan perebutan senjata melawan tentara
Jepang (dikenal dengan nama Pertempuran Kota
Baru). Disamping itu, pada waktu Yogyakarta
menjadi Ibu Kota Republik Indonesia mulai 4
Januari 1946 M sampai dengan 1949 M, ada
beberapa bangunan di kawasan tersebut yang
dipergunakan untuk kepentingan pemerintah

Jurnal Widya Prabha 2014


pusat. Bangunan tersebut antara lain: Gedung
seminari Santo Ignatius untuk Kementrian
Pertahanan, Christelijke MULO (SMU BOPKRI
I) untuk Militer Akademi, Muskala Dikbud untuk
Kementrian Luar Negeri dan Kementrian P
dan P, Kantor Transmigrasi Kota Yogyakarta
untuk rumah Let. Jend. Urip Soemohardjo dan
route akhir Pangsar Sudirman serta salah satu
perumahan Jiwasraya untuk kantor Intelijen.

III.

Citra Kawasan Kota Baru

Di dalam perspektif arsitektural pada


dasarnya suatu lingkungan binaan dibuat untuk
memenuhi kebutuhan hidup atau mewadahi
berbagai aktivitas, baik melakukan kegiatan
sosial, budaya, politik,
berusaha, maupun
bertempat tinggal. Dilihat dari kelengkapan fisik,
sarana dan prasarannya kawasan Kota Baru
dibuat inheren dengan rancangan sebagaimana
fungsi yang menjadi peruntukannya, yaitu hunian
yang mempunyai ciri-ciri layaknya sebuah kota.
Kawasan Kota Baru tersebut dibuat dengan
kelengkapan fasilitas sebagaimana suatu kota.
Perlu diketahui, bahwa konsep rancangan
kota baru diperkenalkan pertama kali oleh Sir
Elbenezer Howard di dalam buku klasiknya
Garden Cities of Tomorrow, 1898). Gagasan
ini dimaksudkan untuk mengatasi keruwetan
dan kesumpekan kota serta upaya pemekaran
perkotaan (urban sprawl) (Eko Budihardjo,
1977).
Di dalam konteks kehidupan masyarakat
urban saat ini kawasan Kota Baru tersebut
mempunyai
komponen-komponen
yang
ditengarai dapat membentuk suatu nilai atau
makna lingkungannya. Komponen-komponen
tersebut menurut Lynch (1960) ada 5 (lima)
katagori, antara lain: pertama: jejalur (paths),
bahwa jalur-jalur di kawasan Kota Baru ditata rapi,
hal itu sebagai sarana sirkulasi transportasi, baik

untuk fasilitas di dalam kawasan maupun ke luar


kawasan, antara lain: Jl. Abu Bakar Ali (Boulevard
Jonquiere), Jl. Atmo Sukarto (Emplacementweg),
Jl. Faridan M. Noto (Sultanboulevard), dan Jl.
Lempuyangan (Stationsweg). Kedua batas
(edges), batas-batas fisik kawasan Kota Baru,
yaitu Sungai Code (barat), Jl. Jend. Sudirman
(utara), jalur kereta api Lempuyangan (selatan).
Dan Jl. Wahidin Sudiro Husodo / Klitren (timur).
Ketiga: Segmen kawasan (distric), bagian suatu
kawasan yang mempunyai ciri tertentu yaitu
Kridosono (sekitar Sport-boulevard), Bethesda.
Keempat: Simpul (nodes), simpul merupakan
bertemunya beberapa jalur jalan, antara lain:
Pertigaan Abu Bakar Ali - Kleringan, perempatan
Gondokusuman (Museum Angkatan Darat Gramedia), Gondolayu (Tuguwetan), Klitren, Jl.
Kridosono (Sportboulevard) dan Lempuyangan.
Kelima: land mark, yaitu tanda-tanda fisik yang
menonjol atau tengeran di kawasan Kota Baru,
antara lain: Gereja Santo Antonius, Seminari
Tinggi atau Kateketik, Stadion Kridosono, SMAN
3, BOPKRI I, RS. DKT, dan RS. Bethesda.
Ciri-ciri tersebut di atas yang membedakan
dengan kawasan hunian Belanda lainnya, baik
di Bintaran maupun Jetis. Hunian Belanda di
Bintaran dan Jetis tersebut kelengkapan dan
fasilitasnya tidak selengkap sebagaimana
yang ada di kawasan Kota Baru. Dilihat dari
beberapa tinggalan dan komponennya, maka
rancangan kawasan tersebut sangat rapi
dengan pemanfaatan ruang yang teratur. Tata
ruang kawasannya dibuat seperti yang ada di
Belanda, yaitu tidak berorientasi arah utaraselatan, seperti halnya konsep tata ruang
tradisional (Sumulyo, 1993: 4). Di samping itu,
gaya atau style bangunan yang ada di kawasan
itu bergaya indis, yaitu perpaduan antara
arsitektur lokal dengan Belanda atau Eropa pada
umumnya. Perlu diketahui, bahwa ciri-ciri yang
dominan pada bangunan di Kota Baru, antara
lain bangunan tinggi, besar, halaman luas,

31

jendela-pintu berukuran panjang besar, variasi


daun pintu rangkap dengan model krepyak,
langit-langit tinggi, jendela atap, hiasan kaca,
teras terbuka, dan ukuran kamar besar. Ciri-ciri
dan lambang pada bangunan tersebut berbeda
dengan yang ada pada bangunan masyarakat
pribumi, hal ini tentunya mempunyai koherensi
dengan refleksi orang Eropa yang mempunyai
latar belakang budaya yang berbeda dengan
pribumi. Dalam perspektif penguasa atau
kaum colonial, hal itu untuk menunjukkan gaya
hidupnya sebagai golongan yang berkuasa
(Djoko Soekiman, 1996).

Atas dasar citra kawasan dan nilai penting
Cagar Budaya, maka Kota Baru oleh Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk di dalam
salah satu kawasan di Kota Yogyakarta yang
telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya
dengan SK No. 186/ 2011, Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan kawasan
itu maka setiap perencanaan pembangunan,
rehabilitasi, dan pemugaran oleh masyarakat
maupun lembaga harus memenuhi ketentuan
sesuai peraturan perundangan yang berlaku
(Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya dan Peraturan Daerah No.
6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan
Budaya dan Cagar Budaya beserta Peraturan
Gubernur yang terkait (Pergub No. 62 / 2013
tentang Pelestarian Cagar Budaya, Pergub No.
55 / 2014 tentang Pengelolaan Cagar Budaya,
dan Pergub No. 56 / 2014 tentang Penghargaan
Pelestari Warisan Budaya dan Cagar Budaya.
IV. Kemerosotan Citra Kawasan
Kondisi saat ini kawasan Kota Baru
merupakan tempat yang mempunyai daya tarik,
bagi berbagai kepentingan. Faktor penarik dan
pendorongnya, yaitu letak strategis kawasan
dekat dengan beberapa perguruan tinggi fasilitas
penting kota, dan kawasan pertokoan di Jl. Jend.
Sudirman, Jl. Urip Soemohardjo, dan tidak jauh

32

dari Jl. Poros Tugu-Malioboro-Keraton. Kondisi


tersebut menjadikan kawasan ini mengalami
perkembangan pesat, akibatnya memunculkan
proses pergeseran penggunaan kawasan, yaitu
yang semula sebagai kawasan hunian dengan
berbagai fasilitasnya kemudian didominasi
banyaknya tempat-tempat usaha baru, lembaga
pendidikan, kantor dll. Kondisi tersebut menjadi
pemicu tumbuh kembangnya penciptaan tata
ruang kontemporer berdasarkan selera pemilik
dan orientasi kebutuhan alih fungsi. Dengan
demikian, kawasan
yang masuk katagori
Kawasan Cagar Budaya tersebut kemudian
tumbuh
dan
berkembang
sebagaimana
mekanisme pasar, yaitu sesuai trend dan
kebutuhan masyarakat serta lingkungannya.
Akibatnya adanya tantangan kontemporer
tersebut yang paling terasa adalah semakin lama
adanya kemerosotan citra kawasan dan corak
bangunan indis berubah secara cepat. Bahkan
banyak bangunan yang dibongkar serta tumbuh
kembangnya wajah asing fasad bangunan
yang kontradiktif dengan lingkungannya. Hal itu
banyak terlihat di Jl. Abu Bakar Ali selatan jalan,
Jl. Yos Sudarso, Jl. Suroto, Jl. Hadi Darsono, Jl.
Wardhani,
Jl. Faridan M. Noto, Jl. Nyoman
Oka dan Jl. Jend Sudirman. Kecenderungan
tersebut kalau tidak terkendali menjadikan
hambatan dan tantangan upaya konservasi
atau pelestarian, untuk ke depan memerlukan
langkah nyata sebagai solusi problema yang
berkembang.
Peruabahan
di
Kota
Baru
terus
berlangsung berdasarkan identifikasi pendataan
yang dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Yogyakarta (sekarang BPCB) tahun
2008 atau pencermatan kondisi bangunan dapat
dibedakan menjadi beberapa katagori yaitu:
A. Bangunan masih autentik atau asli (38
%).
B. Bangunan autentik dengan perubahan
minimal (18 %).

Jurnal Widya Prabha 2014


C. Bangunan autentik dengan perubahan
bagian fasad (12 %).
D. Bangunan sudah berubah total atau baru
(32 %).


Berdasarkan data tersebut lebih dari 40 %
bangunan di Kota Baru mengalami perubahan
dan kondisi itu mendorong kearah kemerosotan
citra kawasan. Apabila tidak dilakukan langkahlangkah konkrit maka kecenderungan itu
akan semakin terus berkembang, dan tidak
terkontrol.
V.

Konklusi:
Kawasan

Upaya

Pengendalian

Secara keseluruhan kondisi tersebut


memerlukan
langkah-langkah
antisipasi
dan pengelolaan agar tidak menjadikan
kecenderungan semakin berlanjut, antara lain,
pertama, kepastian peruntukan tata ruang
yang mengarah pada upaya-upaya pelestarian
kawasan. Hal itu harus diikuti dengan peraturan
perijinan bangunan yang selektif. Kedua ,
regulasi di tingkat daerah, baik SK Gubernur,
ataupun Perda pelindungan kawasan cagar
budaya yang mengikat. Surat Keputusan
tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya
Kota Baru tentu harus dipandang sebagai salah
satu upaya pengendalian kerusakan lingkungan
budaya. Ketiga, memberikan panduan teknis
tentang pelaksanaan rehabiliasi, revitalisasi,
dan adaptasi bangunan. Keempat, penerapan
reward-punishment, insentif-disinsentif, sanksi
- kompensasi maupun penghargaan di dalam
kawasan cagar budaya. Contoh: reward dapat
berupa pemberian penghargaan sertifikat, plakat,
kompensasi langsung dan keringanan pajak
(PBB) maupun fasilitas lainnya. Disisi lain perlu
adanya punishment (hukuman) yang berupa
penegakan hukum sesuai aturan yang berlaku
bagi yang melanggar atau bahkan melakukan

tindakan pidana. Kelima, akuisisi public (publik


acquisition) oleh pemerintah secara selektif.
Keenam, penanganan secara lintas sektoral
dan konprehensif serta sistematis, terutama
dalam rekomendasi perijinan proses rehabiliasi.
Ketujuh, revitalisasi kawasan dalam rangka
mewujudkan kembali vitalitas kawasan di dalam
pengembangan potensi, baik sosial-budaya,
ekonomi dukungan utilitas dan pemanfaatan serta
pengembangan lainnya sampai tercapai tujuan
pelestariannya. Kedelapan, mengakomodasi
partisipasi masyarakat, serta berkolaborasi
dengan berbagai pihak terkait (stake holders),
baik kalangan akademik, masyarakat, dan
pemerintah (pemerintah daerah dan pusat).

Perlu disadari, bahwa segala sesuatu
itu tentu akan berproses dan berubah,
oleh karena itu perubahan dengan berbagai
permasalahannya perlu diantisipasi. Langkahlangkah upaya pelestarian diperlukan agar
keberadaan
kawasan
dapat
berproses,
berkembang, mengalami perubahan secara
alami, tidak tercerabut dari konteks lingkungan,
kharakter, dan identitasnya (keunikan budaya
dan citra kawasan indis). Untuk hal ini dapat
membendingkan dengan kawasan-kawasan
indis di kota-kota lainnya, seperti kawasan
Menteng Jakarta, little Netherland, Semarang,
dan Bandung. Perubahan frontal atau drastis
akan menjadikan rusaknya lingkungan budaya,
sehingga akan menjadikan kawassan budaya
tercerabut
dari
konteks
lingkungannya.
Terjadinya bunuh diri arsitektural harus dicegah
agar kharakter dan identitas, dan autentisitas
kota bahkan bangsa secara keseluruhan tidak
hilang. Keutuhan autentisitas akan menjadi
modal sosial budaya untuk upaya reproduksi
nilai-nilai penting bagi proses kehidupan.

33

Foto bangunan dan peta kawasan Kotabaru

Kantor RRI (Jl. A. Jazuli No. 4)


Bangunan asli masih dipertahankan, pada sisi utara
ada tambahan bangunan baru. Dahulu bangunan
ini merupakan rumah tinggal Dr. Yap

Gereja Santo Antonius (Jl. I.D.N. Oka. no. 1)


Bangunan induk masih asli, pada bagian depan ada
tambahan penutup teras dari beton. Pada sisi Utara
dan Selatan ada tambahan gedung baru.

Wisma Anggaran (Jl. A. Jazuli No. 6)


Bangunan masih asli/otentik, ada tambahan
pada sisi timur.

Jl. Abu Bakar Ali No. 24


Bangunan asli, mempunyai hiasan menarik berupa
pola-pola geometris di bawah atap. Bangunan tambahan di sebelah Barat bangunan utama

Gardu listrik (ANIEM)


Jl. Ungaran No. 91.
terletak di persimpangan jalan, bangunan
masih asli meskipun
dipenuhi dengan
graffiti

34

Jurnal Widya Prabha 2014

Kolese St. Ignatius (Jl. Abu Bakar Ali No. 1)


Bangunan asli, namun ada tambahan kanopi pada pintu
masuk. Bangunan ini pernah digunakan sebagai kantor
Kementerian Pertahanan.

STEI Islamic Business School


(Jl. I.D.N. Oka No. 3A)
Atap masih asli, namun ada bangunan tambahan di
seputarnya sehingga menutup bangunan asli

Kantor Majalah Fresh (Jl. I.D.N. Oka No. 7)


Bangunan utama asli, teras diberi atap, daun pintu baru.
Bangunan tambahan disebelah Selatan bangunan utama

Kantor harian Republika (Jl. Perahu No. 4)


Saat ini merupakan kantor harian Republika. Pada
bagian belakang masih asli, namun fasadnya sudah
tertutup bangunan baru.

Jl. Sunaryo No. 1


Bangunan masih asli hanya terdapat
tambahan atap teras

Impressions Body Care (Jl. I.D.N. Oka No. 5)


Kondisi bangunan telah mengalami perubahan tetapi
arsitektur bangunan disesuaikan dengan bangunan lama.
(bangunan lama dan baru digabung menjadi 1)

35

36

Gedung Bimo (Jl. I.D.N. Oka No.30)


Bangunan baru, 2 lantai

Toko Buku Gramedia (Jl. Krasak No. 54)


Bangunan baru

Lab. Pusat IST AKPRIND (Jl. I.D.N. Oka No.32)


Bangunan baru, 2 lantai

kantor Bank Lippo (Jl. Krasak No. 50)


Bangunan baru

Kantor UPT Perpustakaan Dinas Kebudayaan


Kota Yogyakarta (Jl. Suroto No. 9)
Bangunan baru, 2 lantai.

Jl. I.D.N. Oka No. 13.


Di lokasi ini dahulu merupakan bangunan museum OD
yang bangunannya Berarsitektur indis. Bangunan tersebut kemudian diganti dengan Masjid Syuhada.
Masjid ini merupakan bangunan monumen
peringatan untuk penghormatan korban peristiwa
pertempuran Kotabaru 7-10-1945.

Jurnal Widya Prabha 2014

37

38

Jurnal Widya Prabha 2014

39

40

Jurnal Widya Prabha 2014


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Laporan Pendataan Kawasan
Kota Baru, Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala Yogyakarta.
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Disertasi
Universitas Gadjah Mada, 1996.
Eko Budiharjo, Arsitektur Sebagai Warisan
Budaya, Jakarta: Djambatan, 1997.
Gegeven over Djokjakarta, 1926 A
Hudiyanto, Reza. 1997. Perkembangan
Pemukiman Masyarakat Eropa di Kota
Yogyakarta 1917-1936, Skripsi S1 FIB,
Universitas Gadjah Mada.
Lynch, Kevin. 1960. The Image of The City.
Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta No. 12
tahun 1917.
Sri Sutjiatiningsih dan Sutrisno Kutoyo, 1980.
Sejarah Pendidikan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Jakarta:
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kutoyo, Sutrisno. 1981. Sejarah Pendidikan
Daerah
Istimewa
Yogyakarta.
Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sumulyo, Yulianto. 1993. Atrsitektur Kolonial
Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gama
Press.

* Penulis adalah staff Balai Pelestarian Cagar


Budaya Yogyakarta

41

PENGUJIAN PENGARUH PERTUMBUHAN MIKROORGANISME


PADA BATU PUTIH DI KRATON RATU BOKO *
Oleh :
Wikanto Harimurti, MA **
I. Pendahuluan

Cagar budaya yang ada di wilayah Yogyakarta
terbuat dari berbagai jenis material antara lain
batu andesit, batu putih (tuff), batu-bata, kayu
dan logam. Dari beberapa material cagar budaya
tersebut ada beberapa jenis yang rentan terhadap
pengaruh klimatologi, seperti misalnya batu bata
dan batu putih. Pada kedua material tersebut
pelapukan alami berjalan terus-menerus lebih
cepat dari pelapukan natural terhadap material
lain. Sifat fisik batu putih dan batu-bata yang lebih
rentan terhadap fluktuasi lingkungan membuat
material ini harus mendapatkan perhatian lebih
intensif. Terutama jika kerentanan itu disebabkan
oleh pelapukan yang disebabkan mikroorganisme.

Mengingat hal demikian, maka dilakukan
penelitian yang terkait dengan pelapukan dan
variasi mikroorganisme yang berhabitat di batu
putih tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui penurunan kualitas batuan candi yang
mengisi talud barat pendopo komplek Kraton Ratu
Boko, dan mengetahui ketidaklengkapan komponen
batu putih sehingga dapat mengakibatkan
kerapuhan/kerusakan pada batu serta untuk
mengetahui mikroorganisme apa saja yang merusak
dan memicu pelapukan.

II. Dasar Teori


A. Pengertian dasar tentang : Mineral Batu
putih
Batuan sedimen adalah batuan
yang terbentuk dari akumulasi material
hasil perombakan batuan yang sudah
ada sebelumnya atau hasil aktivitas kimia
maupun organisme, yang diendapkan

42

lapis demi lapis pada permukaan bumi yang


kemudian mengalami pembatuan ( Pettijohn,
1975 ). Batuan sedimen hanya 5 % dari seluruh
batuan-batuan yang terdapat di kerak bumi.
Dari jumlah 5 % ini, batu lempung adalah 80
%, batu pasir 5 % dan batu gamping kira-kira
80 % (Pettijohn, 1975 ).
Secara umum, dari hasil analisis
kimia terlihat adanya hubungan yang jelas
antara derajat pelapukan dengan perubahan
komposisi kimia. Komposisi SiO2, MgO, K2O,
CaO dan Na2O mengalami pengurangan
terhadap meningkatnya derajat pelapukan.
Sedangkan, komposisi Al2O3, TiO2, dan H2Ocenderung mengalami pengayaan terhadap
naiknya derajat pelapukan. Sementara itu,
Fe2O3 mengalami pengurangan pada derajat
pelapukan I sampai III yang kemudian
mengalami pengayaan kembali pada derajat
pelapukan IV dan VI. Walaupun demikian,
beberapa indeks memperlihatkan hubungan
yang tidak jelas.
Secara
umum,
indeks
yang
menggambarkan berkurangnya SiO2 dan
perbandingan antara oksida mobile dengan
immobile memperlihatkan hubungan yang
jelas terhadap derajat pelapukan. Sedangkan,
indeks yang didasarkan atas kesamaan
karakteristik geokimia seperti oksida mobile
dengan mobile atau immobile dengan
immobile memperlihatkan hubungan yang
tidak baik. Begitupun dengan indeks yang
melibatkan kelimpahan Fe2O3, memperlihatkan
pola perubahan yang tidak teratur.
Hasil dari pengujian sifat fisik dan

Jurnal Widya Prabha 2014


mekanik, terdapat hubungan yang jelas
terhadap perubahan derajat perlapukan.
Kandungan air (w), porositas (n), angka
pori (e), batas cair (LL), batas plastis (PL),
indeks plastisitas (IP) dan nisbah Poisson (vd)
mengalami peningkatan terhadap naiknya
derajat pelapukan.
Sedangkan, densitas () modulus
elastisitas (Ed), modulus geser (Gd) mengalami
pengurangan terhadap meningkatnya derajat
pelapukan.
(http://digilib.itb.ac.id/gdl.php
?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdlasepnurjam-33703)
B. Pengertian dasar tentang : Mikroorganisme
1. Lumut (Moss)
Tumbuhan lumut adalah golongan
tumbuhan
tingkat
rendah
yang
filogenetiknya lebih tinggi daripada
golongan algae. Dalam klasifikasi tumbuhan,
golongan tumbuhan lumut termasuk divisi
Bryophyta. Pengaruh yang disebabkan oleh
tumbuhan lumut dapat bersifat mekanik
atau kimiawi. Pengaruh sifat mekanik yaitu
berkembangnya akar tumbuh-tumbuhan
di batuan yang dapat merusak struktur
batuannya. Pengaruh zat kimiawi yaitu
berupa zat asam yang dikeluarkan oleh
akar- akar lumut sehingga makanan mudah
diserat oleh akar lumut. Zat asam ini
merusak batuan sehingga garam-garaman
mudah diserap oleh akar.
2. Ganggang (Algae)
Ganggang yang hidup di bangunan
cagar budaya merupakan ganggang
sederhana atau disebut juga microalgae
(gambar 1). Algae merupakan produsen
dalam ekosistem sehingga keberadaannya
merupakan permulaan dari kehidupan
mikroorganisme lainnya seperti lichen
dan lumut. Mikroalga merupakan alga

berukuran mikro yang biasa dijumpai


ditempat yang lembab atau berair, cukup
sinar matahari dan karbondioksida.

Selain itu mikroalga merupakan
tumbuhan thalus yang berklorofi dan
mempunyai pigmen tumbuhan yang
dapat menyerap cahaya matahari
melalui proses fotosintesis. Hidup di
air tawar, payau, laut dan hidup secara
terestrial, epifit, dan epizoic.

Gambar 1. Microalgae jika dilihat


secara mikroskopik

3. Jamur Kerak (Lichens)


Jamur kerak atau lichens (gambar
2.) merupakan asosiasi dari jamur
dan ganggang, dimana jamur sebagai
mikrobiont dan ganggang sebagai
photosynthetic symbiont-photobiont.
Lichens
menyebabkan
kerusakan
secara fisik dan kimiawi batuan.Lichens
dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu
crustose/menempel,
foliose/seperti
daun dan fruticose/berambut-rambut.

Gambar 2. Contoh lichen yang umumnya ada di


batu (Xanthoparmeliacf.lavicola,a foliose
lichen, on basalt)

43

III. Pelaksanaan Penelitian


Kegiatan pengujian pengaruh pertumbuhan
mikroorganisme pada batu putih di Kraton Ratu
Boko ini dilakukan pada tanggal 25 November
sampai dengan 3 Desember 2013 (selama 5 hari
kerja). Dengan sasaran kegiatan pengujian adalah
batu putih asli dari isian talud barat pendopo
komplek Kraton Ratu Boko yang ditumbuhi
mikroorganisme.
A. Hasil pengujian batu secara fisik di
laboratorium BPCB Yogyakarta

Dari hasil pengujian di laboratorium
terhadap sampel batu dari Kraton Ratu Boko
dihasilkan data-data seperti dibawah ini :

Batu putih lama memiliki grafik yang
lebih tinggi pada parameter porositas, ini
dapat diartikan bahwa kondisi batu putih
sudah mengalami penurunan kualitas
karena porositasnya yang sudah meningkat
(Gambar 3.), jika porositas meningkat berarti
bahwa volume rongga-rongga dalam batu
semakin besar. Jika batu sudah mengalami
peningkatan porositas maka berarti juga
telah mengalami penurunan kekompakan
material.

Perubahan porositas akan sangat
mempengaruhi densitas dari batuan,
semakin besar porositasnya maka akan
semakin menurun densitasnya karena batuan
dipenuhi rongga bukan kristal/material.
Peningkatan porositas ini diakibatkan oleh
terjadinya proses destruksi atau pelarutan
unsur-unsur dalam batuan sehingga ronggorongga dalam batuan semakin besar. Dari
hasil penghitungan presentase batu putih
lama dan baru, batu putih lama sudah
mengalami penambahan porositas sebesar
8,36 %. Kekerasannya juga sudah menurun
ke skala 2 dari skala 3, skala kekerasan
yang digunakan adalah skala Mohs dengan
pembanding (gambar 4.)

44

Gambar 3. Kondisi batu yang telah


mengalami pertambahan porositas

Gambar 4. Skala kekerasan batu yang di uji sudah


berubah dari kekerasan mineral gypsum menjadi
kekerasan mineral calcite.

Jurnal Widya Prabha 2014


B. Pengujian dari Laboratorium Biologi
1. Ganggang/Algae
Dalam penelitian ini, Ganggang/Algae yang diperoleh dari sampel, difoto dengan menggunakan
mikroskop dan diidentifikasi menggunakan buku identifikasi mikroalga, diperoleh hasil sebagai
berikut:
a. Euglena sp.
Sel-sel, berwarna hijau, berbentuk metabolic dan berukuran sekitar 50 m, bagian posterior
menyempit sampai berujung tumpul, peri plast berbentuk spirally striated, kloroplast berjumlah
banyak, diskus (cakram) berbentuk tidak teratur, paramylon body banyak dan berbentuk batangan
kecil tersebar. (Radha et al., 2006; Mahendraperumal and Anand, 2008).
b. Chroococcus sp
Thallus berlendir, seperti agar-agar (gelatinous), sel kelihatan biru-hijau, bulat atau hemispherical,
3-4 m diameter, tunggal atau berpasangan, selubung berwarna, sangat tipis, hamper tidak terlihat.
Didapatkan sebagai kerak kehijauan di permukaan berkapur pada dinding batuan (Desikachary,
1959).

Gambar 5. Euglena sp.

Gambar 6. Chroococcus sp

2. Lumut/Moss
Lumut yang diperoleh dari sampel batuan, kemudian diidentifikasi dengan menggunakan kunci
identifikasi dan selanjutnya diperoleh hasil, bahwa lumut yang tumbuh di batuan putih candi adalah
lumut dengan nama takson tingkat jenis Bryum clavatum (Schimp.) C. Mull.

Gambar 7. Lumut Bryum Clavatum (Schimp.) C. Mull

Keterangan Gambar 7. :
A. Batu putih candi
B. Populasi lumut di atas batu

C. Sampel lumut segar


D. Preparat anatomi daun

45

Gambar 8.
Beberapa
potongan batu
putih yang
ditumbuhi
lumut

Gambar 10.
SEM dengan
perbesaran
1.500 x pada
batu putih di
bawah
tumbuhan
lumut

C. Hasil Scaning Electron Microskup (Sem) Pada


Batu Putih Candi Yang Ditumbuhi Lumut
(Kerjasama dengan laboratorium Sistematika
Tumbuhan Fak. Biologi UGM)
1. Hasil SEM Batu Putih
Berdasarkan hasil SEM pada Batu
Putih candi yang ditumbuhi lumut, yang telah
dipotong secara manual (dengan Cutter) secara
tranversal, maka penampang melintangnya
terlihat pada gambar 8, 9, & 10. Pada
penampang lintang batu dengan perbesaran
1.500x (gambar 10) dapat terdeskripsi adanya
organ lumut yang berupa risoid (akar lumut)
yang bersifat uniselluler, tidak bercabang dan
halus seperti rambut. Selain risoid, dijumpai
pula adanya protonema (tumbuhan muda)
yang terdiri dari sel-sel yang berbentuk
benang yang bercabang banyak. Hal ini akan
sangat berbeda apabila dibandingkan dengan
penampang melintang batu putih yang tidak
ditumbuhi lumut (gambar 11). Pada gambar

46

Gambar 9.
SEM dengan
perbesaran 30x
pada batu putih
yang ditumbuhi
lumut

Gambar 11.
SEM dengan
perbesaran 1500 x
pada batu putih
yang tidak
ditumbuhi
lumut

11. ini tidak dijumpai adanya risoid maupun


protonema.

Apabila dilihat secara morfologi
fisik batu putih yang ditumbuhi lumut
menunjukkan lebih porous dibanding batuan
pembanding gambar 11 (tidak ditumbuhi
lumut), dimana pada batuan pembanding ini
terlihat pori-pori batuannya berukuran kecilkecil, bahkan secara umum struktur partikel
batuannya terlihat masih kompak dan padat.
Pori-pori pada batuan yang ditumbuhi lumut
ini terdeskripsi cukup lebar dengan diameter
150 m yang berhimpitan antara pori satu
dengan pori yang lain membentuk pola
seperti jala dengan lakuna-lakuna (lubang),
sehingga tipe ornamentasi yang terlihat
seperti tipe Retikulat.

Perubahan
porositas
batuan
yang cukup lebar ini lambat laun akan
menyebabkan kerusakan (pelapukan) pada
batuan. Kerusakan batuan ini kemungkinan
besar dapat disebabkan oleh agen biotik dan

Jurnal Widya Prabha 2014


abiotik. Agen biotik yang dapat melapukkan
batuan adalah organisme Jamur, Lichen
dan Lumut. Kerusakan biotik dapat terlihat
sebagai hasil proses kerusakan biologis yaitu
proses yang bersifat mekanis dan proses
kimia yang desimilatif.
Tumbuhan lumut yang hidup pada
batuan candi telah teridentifikasi dengan
nama jenis Bryum clavatum (Schimp.) C. Mull.
Jenis lumut ini tergolong dalam lumut epilith
yang mempunyai cara adaptasi pengambilan
air dengan tipe Endohydric, yaitu air diambil
dari substrata dan dihantarkan secara
internal ke organ daun atau permukaan
evaporasi lain. Sifat permukaan dari
tumbuhan ini adalah water-rapellent, oleh
karena itu dalam mengambil air dan zat-zat
makanan lumut Bryum clavatum dengan
menggunakan organ risoid, yaitu dengan
cara menembus pori-pori batuan. Sehingga
secara mekanis mampu memperlebar poritas
batuan dan dapat memecah pori-pori antar
batuan, sehingga dapat merubah pori-pori
batuan menjadi lakuna-lakuna yang ukuran
lubangnya lebih besar.
Kenyataan ini dapat terjadi karena
risoid yang telah menyerap air mempunyai
bentuk morfologi menjadi lebih besar, secara
internal dengan kemampuan hidroskopis
risoid dapat mendorong pori batuan yang
berukuran kecil menjadi lebih lebar. Selain
itu seperti kita ketahui bahwa volume air
sangat dipengaruhi oleh fluktuasi suhu yang
ada disekitarnya, sehingga air yang ada di
dalam risoid ini juga akan berpengaruh, yaitu
akan mengembang jika suhu dingin (malam)
dan menyempit jika suhu panas (siang).
Proses mengembang dan menyempitnya air
di dalam risoid inilah yang menyebabkan
pori-pori batuan semakin lebar dan akhirnya
menyebabkan pelapukan batuan jika terjadi
secara terus menerus.

Selain bentuk pelapukannya dapat


terlihat berupa perubahan porositas batuan
yang dilakukan aktifitas risoid lumut Bryum
clavatum secara mekanik (fisik), secara
kimiawi lumut ini dapat pula merubah
kandungan unsur-unsur batuan. Hal ini
karena risoid lumut ini dapat mengambil
mineral terlarut dari dalam batuan, sehingga
batu putih candi tidak hanya mengalami
penghancuran fisik tetapi disertai perubahan
struktur kimiawi batuan tersebut.
Dalam mengambil mineral-mineral
terlarut pada tumbuhan ini dapat dilakukan
dengan proses kimia desimilatif , misalnya
hasil aktifitas respirasi risoid lumut ini
dapat menghasilkan zat asam arang (karbon
diaksida), selanjutnya karbon diokasida
akan beraksi dengan air dalam pori
batuan dan mengahsilkan asam karbonat,
kemudian asam karbonat inilah yang
dapat menghacurkan (memecah) garam
mineral batuan. Seluruh mineral-mineral
yang terlarut dalam air dalam batuan
dapat diserap oleh risoid lumut ini, karena
akumulasi mineral atau logam tidak bersifat
selektif, tetapi secara pasif sebagai penukar
ion. Sehingga mineral atau logam yang tidak
diperlukan oleh tubuhnya diendapankan
pada seluruh tubuhnya. Kenyataan ini dapat
terlihat bahwa tubuh lumut Bryum clavatum
menjadi agak keras dan kaku.
Berdasarkan hasil SEM batuan
diatas, untuk perawatan batu putih candi
yang telah dilakukan dengan menyikat
batuan tidak tepat dilakukan. Hal ini karena
batuan hanya bersih pada permukaannya,
sedangkan protonema yang ada di dalam
setiap pori batuan masih tetap hidup dan
akan muncul ke permukaan batuan lagi
sebagai tumbuhan lumut. Oleh karena itu
sebagai saran untuk pengawetan batuan
perlu dilakukan penelitian yang tepat

47

untuk mencegah dan memberantas organisme


perusak batuan yang tumbuh pada batu putih
candi.
b. Jamur kerak/Lichens
Pada sampel batu candi yang digunakan
ditemukan 2 jenis lichen, yaitu Lepraria
nivalis dan Pertusaria sp. L. nivalis lebih
mendominasi permukaan batu daripada
Pertusaria sp. Dengan pengamatan langsung,
L. nivalis tampak berwarna hijau muda keabuabuan sedangkan Pertusaria berwarna hijau
tua keabu-abuan (Gambar 12.c,d).
1. Lepraria nivalis Laundon
Deskripsi Syn. Lepraria crassissima :
Talus crustose, diffuse, hijau muda
keabu-abuan (segar) sampai hijau
kekuningan (kering), permukaan atas
talus penuh tertutup soredia yang
tampak seperti tepung hingga talus tidak
kelihatan, talus sangat tipis. Soralia, isidia
dan apotesia tidak ada. Soredia sangat
banyak, bergerombol menutupi seluruh
permukaan atas talus, berupa granula
yang tampak halus, berwarna hijau keabuabuan sampai kecoklatan dan mudah
lepas dari talus.
Jika dipisahkan dengan substratnya,
permukaan bawah tampak berwarna
putih (lapisan medula), helaian helaian
hifa longgar putih tampak jelas melekat di
permukaan substrat. K+ kuning C Sumber
referensi: Lepraria (Dobson, 1992);
Lepraria nivalis (Wirth, 1995)
Keterangan Gambar 13 :
Morfologi L. nivalis (a,c,e dan Pertusaria
sp. (b,d,f) menunjukkan permukaan atas
talus L. nivalis
(a) dan Pertusaria sp.
(b) soredia memenuhi seluruh permukaan
talus L. nivalis
(c) soredia di dekat celah di permukaan
talus Pertusaria sp.

48

(d) permukaan bawah talus L. nivalis


(e) dan Pertusaria sp.
(f) Keterangan: soredia (S) (bar = 1 mm)

Gambar 12. Batu candi yang ditumbuhi lichen (a,b);


koloni lichen di permukaan batu (c,d). Keterangan: L.
nivali (panah merah) dan Pertusaria sp. (panah kuning)

Gambar 13.
Morfologi L.
nivalis dan
Pertusaria sp.

Gambar 14.
Mikrokristal
pada
pengujian
L. nivalis
dengan
reagen
G.A.An. (a,b)
dan G.A.o-T
(c,d).

Jurnal Widya Prabha 2014


2. Pertusaria sp.
Talus crustose, hijau tua keabu-abuan,
kasap dan tidak mengkilap, permukaan
tidak rata dan tampak terdapat tonjolantonjolan, terdapat celah / retakan. Soralia,
isidia dan apotesia tidak ada. Soredia lebih
sedikit (daripada L. nivalis), menggerombol
di dekat celah / retakan di permukaan atas
talus, berupa granula yang tampak lebih
kecil daripada L. nivalis dan berwarna hijau
tua keabu-abuan (seperti warna talus). Jika
dipisahkan dengan substratnya, permukaan
bawah tampak berwarna putih tebal dan
padat (lapisan medula) dengan helaian hifa
yang tidak tampak jelas. Medula K+ kuning
C-, soredia K+ kuning C+ kuning. Indikasi
atranorin (Gambar 15.b).
Sumber referensi: Pertusaria (Dobson, 1992;
Wirth, 1995)

Gambar 15. Mikrokristal pada pengujian Pertusaria


sp.dengan reagen G.A.An. (a,b); G.A.o-T. (c,d);
G.E. (e) dan G.A.W. (f).

D. Hasil Analisis Scanning Electron Microscope


(SEM) Batu Candi Yang Ditumbuhi
Lichen ((Kerjasama dengan laboratorium
Sistematika Tumbuhan Fak. Biologi UGM)
Komunitas lichen yang hidup pada
substrat batu (saxicolous lichens) yang
dominan dijumpai pada sampel batu candi
menunjukkan tipe talus seperti kertas/ kerak
(crustose). Lichen tipe tersebut talusnya tidak
memiliki lapisan korteks bawah sehingga talus
langsung melekat pada permukaan batu. Tipe
lichen seperti kertas/kerak melekat kuat pada
substrat dan tidak dapat dipisahkan dengan
substratnya tanpa menghancurkan substrat
tersebut. Beberapa jenis lichen bahkan dapat
tumbuh di bagian dalam celah batuan (Budel
& Scheidegger, 2008; Paracer & Ahmadjian,
2000). Zona kontak antara lichen pada batu
dengan substratnya menyediakan kondisi
mikro yang ideal untuk mempelajari interaksi
keduanya, yaitu berupa pelapukan secara
biologis (Adamo & Violante, 2000).
Pada gambar 16. tampak permukaan
paling atas merupakan lapisan korteks atas,
selanjutnya lapisan medula, kemudian
substrat batu candi. Simbion fotosintetik
lichen tidak dapat diamati karena lapisan alga
tidak tampak jelas dalam gambar tersebut.
Talus lichen sebagian besar tersusun atas
helaian hifa fungi yang bentuknya menyerupai
benang. Lapisan korteks berupa kumpulan
hifa yang tersusun padat dan helaian hifanya
tidak tampak jelas sedangkan lapisan medula
berupa kumpulan hifa yang helaiannya
tampak jelas dan tersusun lebih longgar. Pada
jenis lichen tersebut tidak dijumpai lapisan
korteks bawah sehingga hifa penyusun
lapisan medula langsung melekat pada
permukaan batu. Menurut Adamo & Violante
(2000), fungi yang berasosisiasi dalam lichen
(mycobiont) akan lebih berperan penting

49

dalam kemampuan lichen melapukan substrat dibanding simbion fotosintetiknya. Hal tersebut disebabkan
karena posisi hifa fungi yang kontak langsung dengan permukaan batu sedangkan simbion fotosintetiknya
terletak diantara lapisan korteks atas dan medula.
Pada gambar 16. sebagian hifa juga dapat dijumpai terdapat hingga ke bagian dalam substrat batu.
Terdapat kemungkinan bahwa lichen tersebut merupakan euendolithic form, yaitu jenis/bentuk yang aktif
melubangi batuan (Chen et al, 2000). Hifa pada lapisan medula melakukan penetrasi aktif masuk ke dalam
pori-pori batu.
Ketebalan talus lichen diperkirakan sekitar 250 m. Lapisan medula lebih tebal daripada lapisan
korteks atas. Berdasarkan foto Scanning Electron Microscope (SEM), penetrasi hifa dapat mencapai 3 mm
masuk dalam pori-pori batu.

Gambar 16.
Penampang bujur batu candi yang ditumbuhi lichen
menunjukkan ketebalan crustose lichens (L); helaian hifa fungi
penyusun lichen (H); lapisan korteks atas lichen (K); dan bagian
substrat batu candi (B) (bar = 400 m)

Gambar 17.
Helaian hifa yang terdapat pada bagian
dalam batu candi

Pada gambar 17. dapat dilihat helaian hifa yang menyerupai benang dijumpai terletak di bagian
dalam batu. Hifa-hifa tersebut terletak dalam rongga yang besar diantara struktur bagian dalam batu yang
tidak padat dan tampak rapuh. Beberapa helaian hifa tampak melilit fragmen batu yang telah hancur dan
terlepas dari batu induknya.
Permukaan batu tepat di bawah talus lichen beresiko mengalami retakan, disagregasi dan fragmentasi
(Adamo & Violante, 2000). Pada gambar 18c. dapat dilihat retakan vertikal di bawah lapisan medula tebal
yang tersusun atas kumpulan hifa fungi. Struktur batu tepat di bawah talus lichen hingga kedalaman 3 mm
dimungkinkan hanya berupa kumpulan fragmen batu (gambar 18 b). Kestabilan bagian tersebut dipengaruhi
oleh hifa yang saling mengikatkan antar fragmen batu dan talus lichen yang menyelubungi permukaan batu.
Menurut Tiano (2009), fragmen-fragmen batu bahkan juga dapat dijumpai tersebar dalam talus lichen.
Batu yang menjadi substrat pertumbuhan lichen akan cenderung mengalami kerusakan baik
secara fisik (pelapukan biogeofisik) maupun kimia (pelapukan biogeokimia) jika dibandingkan batu yang
tidak ditumbuhi organisme. Kerusakan secara fisik diakibatkan karena proses biomekanik, yaitu aktivitas

50

Jurnal Widya Prabha 2014


penetrasi hifa pada substratnya. Lichen yang
tampaknya hanya melekat di permukaan batu
ternyata juga melakukan penetrasi masuk ke
dalam pori-pori batu. Hifa pada lapisan korteks
bawah melekat erat pada permukaan batu dan
melakukan pertumbuhan masuk ke dalam poripori batu. Pertumbuhan hifa menghasilkan
rongga-rongga yang semakin besar dan dalam
mengikuti pertumbuhan hifa tersebut. Hifa
juga mengalami hidrasi dan dehidrasi secara
bergantian mengikuti kondisi lingkungan
sekitarnya yang menyebabkan helaian hifa
tersebut mengembang (hidrasi) dan menyusut
(dehidrasi) secara bergantian menyebabkan
rongga-rongga dalam batu semakin besar
(Adamo & Violante, 2000).

Gambar 18.
Substrat batu candi menunjukkan sampel batu yang dianalisis
SEM (a) dengan bagian batu yang berrongga (lingkaran) dan
bagian batu yang padat dan masif (persegi); fragmen-fragmen
batu (b); dan bagian batu yang berrongga vertikal (X) dan
retakan vertikal (Y) (c). Keterangan: bar = 1 mm (a);
300 m (b); 100 m (c).

Penetrasi lichen pada batu menyebabkan


porositas batu semakin bertambah. Pada
gambar 18.c. dapat dilihat rongga-rongga
vertikal pada substrat batu yang dihasilkan
oleh aktivitas penetrasi hifa. Rongga tersebut
menyebabkan konsistensi substrat berkurang
sehingga pada bagian permukaan batu hingga
bagian yang masih dapat dijumpai penetrasi hifa

memiliki kecenderungan untuk lebih mudah


terfragmentasi.
Menurut Tiano (2009), aktivitas
fisik lichen berbahaya karena penetrasi
hifa dapat mencapai 15 mm dan hifa dapat
mengembang hingga mencapai 35 kali dari
berat keringnya ketika mengalami hidrasi.
Pertumbuhan lichen lambat tetapi konstan,
yaitu mencapai 1 mm per tahun dan dapat
menutupi permukaan batu pada area yang
luas. Menurut Lisci et al. (2002), kedalaman
penetrasi hifa tergantung pada jenis lichen,
jenis dan kondisi alami substratnya. Menurut
Adamo & Violante (2000), permukaan
batu tepat di bawah talus lichen dapat
mengalami fragmentasi bahkan retakan
akibat aktivitas mekanik talus lichen.
Intensitas disintegrasinya merupakan hasil
dari berkurangnya kekompakan, kekerasan
dan perubahan kondisi permukaan batu.
Kerusakan secara kimia (pelapukan
biogeokimia) disebabkan karena proses
biokimia, yaitu berupa interaksi metabolit
sekunder yang dihasilkan fungi yang
berasosiasi dalam lichen (mycobiont)
dengan mineral substratnya. Metabolit
sekunder yang sebagian besar berupa
asam yang dapat membentuk kompleks
logam yang bersifat dapat larut (Easton,
1995). Metabolit sekunder menyebabkan
perubahan komposisi lapisan permukaan
batu yang terletak di bawah talus lichen,
yaitu berupa penurunan unsur kimia utama
batu (misalnya Al, Mg, Mn, Zn, Si, Ca, K, Fe)
dan akumulasi unsur kimia lain terutama Ca
di dalam talus lichen (Tiano, 2009).
Metabolit sekunder yang paling
banyak dikenal dan dipelajari adalah asam
oksalat. Komunitas lichen pada batu dengan
tipe talus seperti kertas/ kerak (saxicolous
crustose lichens) dapat menghasilkan asam
oksalat hingga mencapai 50 % dari berat

51

total talusnya (Tiano, 2009). Asam oksalat


bereaksi dengan mineral substrat membentuk
berbagai garam oksalat tergantung pada kation
yang tersedia dan kondisi hidrasi substrat (Lisci
et al., 2002). Menurut Ibarrondo et al. (2012),
jika asam oksalat diekskresikan pada substrat
yang banyak mengandung Ca karbonat maka
terjadi reaksi netralisasi, yaitu rekasi asambasa yang menghasilkan Ca oksalat. Ca oksalat
yang dihasilkan dalam bentuk monohidrat/
whewellite (CaC2O4.H2O) dan dihidrat/
weddellite (CaC2O4.2H2O).
Menurut Lisci et al. (2002), kelarutan
kedua senyawa tersebut rendah. Kristal
whewellite dan weddellite diakumulasi pada
talus, di bagian batas antara substrat dan talus
atau kadang membentuk lapisan kristal di
permukaan atas talus. Pada talus Caloplaca,
bagian talus yang berwarna putih menunjukkan
positif mengandung Ca oksalat sedangkan
bagian apotesia yang berwarna hitam
menunjukkan negatif terhadap Ca oksalat. Pada
genus tersebut Ca oksalat tidak terdistribusi
secara merata (Ibarrondo et al., 2012). Menurut
Easton (1995), kandungan Ca dan K dalam talus
lichen sangat berkaitan dengan komposisi
mineral tersebut pada substratnya.
Proses respirasi lichen menghasilkan CO2.
Pemutusan ikatan CO2 dalam air yang diabsorbsi
oleh talus menghasilkan pembentukan asam

karbonat. Asam karbonat juga sedikit berperan


dalam pelapukan yang terjadi pada substrat di
bawah talus lichen (Adamo & Violante, 2000).
Pada potongan membujur batu dengan talus
lichen di permukaannya menunjukkan variasi
distribusi kompleks logam pada lapisan batu
yang berbeda. Analisis menggunakan Raman
Spectrometer menunjukkan lapisan yang
berwarna merah-kecoklatan menunjukkan
terdapat megnesit (MgCO3), lapisan putih
sebagian besar tersusun atas Ca oksalat dalam
bentuk monohidrat dan dihidrat (Ibarrondo et
al., 2012).
Bagian batu yang masih dapat dijumpai
penetrasi hifa terletak dekat dengan permukaan
sedangkan bagian yang dipastikan bebas dari
organisme letaknya jauh di dalam batu dan jauh
dari permukaan batu (Gambar 18.a). Kedua
bagian tersebut menunjukkan karakteristik
struktur yang berbeda. Batu yang bebas
organisme tampak padat dan permukaannya
relatif halus sedangkan batu yang dijumpai
adanya organisme permukaannya tampak lebih
kasar, tampak lapuk karena konsistensinya
berkurang dan menjadi mudah hancur. Pada
potongan membujur batu (Gambar 19.),
bagian batu yang masih dijumpai penetrasi
hifa menunjukkan struktur yang tampak
berongga dan terdapat fragmen-fragmen batu
sedangkan bagian batu yang lebih dalam (tidak

Gambar 19.
Struktur bagian dalam
batu candi menunjukkan
struktur yang berrongga
akibat penetrasi hifa
lichen dan terdapat
fragmen-fragmen batu
(a); serta struktur yang
relatif padat tanpa
penetrasi hifa lichen (b)

52

Jurnal Widya Prabha 2014

Gambar 20.
Proses kerusakan yang disebabkan lichen pada substrat batuan (Chen et al, 2000)

dijumpai hifa) menunjukkan struktur yang


tampak relatif lebih padat. Pada gambar 19.b.
digunakan sampel batu sebagai pembanding
yang letaknya 6-11 cm dari permukaan batu.
Dapat dipastikan pada bagian tersebut bebas
organisme karena letaknya yang jauh dari
permukaan batu sehingga jauh dari jangkauan
penetrasi organisme. Gambaran skematis
proses pelapukan yang disebabkan oleh lichen
pada substrat batuan menurut Chen et al, 2000
dapat dilihat pada gambar 20.

Menurut Chen et al. (2000), kerusakan
fisik batuan diawali dengan penetrasi hifa
pada pori-pori batuan, cekungan dan lubang
intergranular pada retakan-retakan mineral
induk. Tipe lichen yang paling merusak adalah
tipe talus seperti kertas/ kerak (crustose). Tipe
tersebut melakukan penetrasi vertikal dan
horizontal hingga 4 mm melalui pori-pori batuan.
Penetrasi hifa dilakukan dengan melubangi
batuan sebagai ruang untuk pertumbuhan talus.
Pertumbuhan hifa dapat melepaskan mineral
dari batuan induk sehingga pertumbuhan hifa
tersebut akan sebanding dengan bertambahnya
fragmen mineral di permukaan batuan induk.

Batuan induk dengan mineral micaceous


dipecah menjadi kristal-kristal berukuran
kecil sedangkan mineral kuarsa dan feldspar
dipecah menjadi butiran-butiran yang lebih
kecil.
Candi sebagai salah satu bangunan
peninggalan bersejarah merupakan warisan
budaya yang harus dijaga dan dilestarikan
eksistensinya agar nilai-nilai luhur budaya
bangsa tetap terpelihara. Selain fisik
dan kimia, biologi merupakan faktor
yang sangat penting dalam mendorong
perubahan karakteristik komposisi dan
struktur batu candi. Keberadaan organisme
pada batu menimbulkan masalah dalam
upaya konservasi candi dan bangunan
bersejarah lain yang terbuat dari batu, yaitu
mendorong terjadinya pelapukan biologis
akibat interaksi organisme tersebut dengan
batu sebagai substratnya. Keberadaan lichen
pada permukaan batu dapat meningkatkan
proses biomekanik (pelapukan biogeofisik)
dan biokimia (pelapukan biogeokimia). Hal
tersebut berkaitan dengan peran ekologis
lichen dalam soil development (pedogenesis),

53

yaitu mempercepat perubahan batuan


dengan mempercepat pelapukan mineral
penyusun batuan (Adamo & Violante,
2000). Meskipun tanah yang terbentuk
jumlahnya diperkirakan sangat sedikit tapi
peran lichen sebagai organisme perintis
dapat memfasilitasi kolonisasi organisme
lain, misalnya bakteri, lumut dan tumbuhan
tingkat tinggi, pada substrat batu tersebut
(Easton, 1995; Lisci et al., 2002).
IV.

54

Dampak Populasi Lichen Pada Batu


Efek
yang
ditimbulkan
oleh
pertumbuhan lichen pada permukaan batu
candi berlangsung secara perlahan-lahan
dan akan tampak jelas dalam jangka waktu
yang lama. Hal tersebut didukung dengan
pengamatan penetrasi lichen yang hanya
mencapai 3 mm masuk ke dalam pori-pori
batu serta karakter pertumbuhan talus
lichen yang lambat. Menurut Hale (1983),
pertumbuhan lichen sangat lambat dan
pertumbuhan crustose lichens paling lambat
dibandingkan tipe lichen yang lain, yaitu 0,25
1,00 mm/ tahun. Pertumbuhan tersebut
bervariasi dipengaruhi oleh habitat dan
umur lichen. Menurut Adamo & Violante
(2000), penutupan oleh lichen menyebabkan
perubahan warna dan detail pahatan
pada bangunan karya seni dan bangunan
bersejarah.
Terdapat kemungkinan bahwa efek
paling merugikan terjadi jika lichen tumbuh
pada permukaan batu candi yang memiliki
pahatan baik berupa relief maupun arca.
Detail pahatan relief dan arca tersebut
semakin lama menjadi kurang jelas. Menurut
Tiano (2009), permukaan batu yang awalnya
tampak halus dan bersih berubah secara
perlahan-lahan menjadi kasar dan berpori
disertai terbentuknya retakan mikro dan
patahan dengan butiran-butiran kristal.

V.

Penutup
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian diketahui bahwa berdasarkan
uji fisik dan kimia batuan, batu putih yang
merupakan batu penyusun isian talud barat
pendopo komplek Kraton Ratu Boko diketahui
bahwa:
1. Unsur-unsur penyusun dari batu putih banyak
yang sudah larut, sehingga kekompakan
atau kekuatan ikatan antar unsur penyusun
batu berkurang, ini dibuktikan dari kenaikan
porositas dan uji kekerasannya.
2. Berdasar hasil penelitian porositas sampel
sudah naik 8,36%, sehingga ruang antar
unsur menjadi lebih luas, kekompakan,
kekuatan dan kekerasan berkurang,.
3. Dari hasil uji kekerasan batu putih sudah
berubah dari skala 2 menjadi skala 3 ini
berarti bahwa batu putih sudah berubah
dari kekerasan mineral gypsum menjadi
kekerasan mineral calcite (batu putih sudah
lebih lunak jika dibandingkan dengan batu
putih yang masih segar)
4. Dari hasil identifikasi di laboratorium Biologi
dapat diketahui mikroorganisme yang berada
pada batuan yaitu :
Algae/ microalgae yang ditemukan
dalam sampel ada 2, yaitu :
a. Euglena sp
b. Chrococcus sp
Lumut yang ditemukan dalam sampel
yaitu ada satu jenis Bryum clavatum
(Schimp.) C. Mull
Lichens yang ditemukan dalam batuan
ada 2 jenis yaitu :
a. Lepraria crassissima
b. Pertusaria sp.
5.. Berdasarkan hasil analisa sampel penurunan
kualitas baik fisik dan unsurnya salah
satu yang mempengaruhi adalah adanya
pertumbuhan mikroorganisme oleh lumut,
ganggang, dan jamur kerak.

Jurnal Widya Prabha 2014


6. Akumulasi lichen dominan pada sampel batu
candi menunjukkan tipe talus seperti kertas/
kerak (crustose). Talus tersusun dari lapisan
korteks atas, lapisan medula, kemudian
substrat batu candi. Batu yang menjadi
substrat pertumbuhan lichen mengalami
kerusakan secara fisik (pelapukan biogeofisik)
maupun kimia (pelapukan biogeokimia).
Kerusakan secara fisik diakibatkan proses
biomekanik, yaitu aktivitas penetrasi hifa
pada substrat serta hidrasi dan dehidrasi
hifa. Kerusakan secara kimia disebabkan
karena proses biokimia, yaitu interaksi
metabolit sekunder yang dihasilkan fungi
yang berasosiasi dalam lichen (mycobiont)
dengan mineral substratnya. Foto SEM
menunjukkan penetrasi hifa mencapai 3
mm masuk dalam pori-pori batu, terdapat
helaian hifa menyerupai benang terletak
dalam rongga yang besar di dalam batu yang
melilit fragmen batu, terdapat rongga dan
retakan vertikal di dalam batu. Pertumbuhan
lichen menyebabkan porositas batu semakin
bertambah, konsistensi substrat berkurang,
lebih mudah terfragmentasi.
7. Pertumbuhan lichen di permukaan batu
candi menimbulkan masalah dalam upaya
konservasi candi. Efek yang ditimbulkan
berlangsung secara perlahan-lahan dan
tampak jelas dalam jangka waktu yang lama.
Kerusakan batu candi akibat pertumbuhan
lichen meliputi perubahan warna dan detail
pahatan terutama pada relief maupun arca.
Detail pahatan relief dan arca semakin lama
menjadi kurang jelas. Permukaan batu yang
awalnya tampak halus dan bersih berubah
secara perlahan-lahan menjadi kasar dan
berpori disertai terbentuknya retakan
mikro. Batu menjadi lapuk dan rapuh karena
struktur dalamnya yang tidak padat dan
konsistensinya berkurang.

B. Rekomendasi/saran
Untuk meminimalisir pertumbuhan
mikroorganisme perlu pembersihan
mekanis
secara
rutin
dan
berkesinambungan.
melakukan treatment pada kondisi
tertentu, sehingga tidak merusak
permukaan batu.
Perlu dicari dan dikembangkan solusi
untuk menghilangkan mikroorganisme
dengan bahan yang ramah lingkungan.

*) Tulisan ilmiah ini adalah hasil penelitian laboratorium


BPCB Yogyakarta, tahun 2013, dan diedit kembali dalam
rangka penyusunan jurnal tahunan Widya Prabha 2014
**) Penulis adalah staf di Balai Pelestarian Cagar Budaya
Yogyakarta

55

Daftar Pustaka
Adamo, P. and P. Violante. 2000. Weathering of rock
and neogenesis of minerals associated with
lichen activity. Applied Clay Science No.16.
Elsevier Science. pp: 229-256
Budel, B. and C. Scheidegger. 2008.
Tallus
Morphology and Anatomy. Lichen Biology.
2nd ed. Edited by T.H. Nash Cambridge
University Press. New York. pp: 40-68
Chen, J., H.P. Blume and L. Beyer. 2000. Weathering
of rocks included by lichen colonization a
review. Catena No.39. Elsevier Science. pp:
121-146
Desikachary T.V. 1959. Cyanophyta: Indian Council
ofAgricultural Research, New Delhi,686 pp
Dobson, F.F. 1992. Lichen: an Illustrated to the
British and Irish Species. The Richmond
Publishing Co. Ltd. England
Easton, R.M. 1995. Lichens and Rocks: A Review.
Geoscience Canada. Vol. 21 No. 2.
Hale, M.E. 1983. The Biology of Lichens. 3rd ed.
Edward Arnold. London
Huneck, S. and I. Yoshimura. 1996. Identification of
Lichen Substances. Springer. Berlin
Ibarrondo I., I. Martnez-Arkarazo, Juan-Manuel
Madariaga. 2012. Biominerals Resulting
from Biodeterioration Promoted by Different
Saxicolous Lichens. Macla No. 16. revista de
la sociedad espaola de mineraloga
Lisci, M., M. Monte and E. Pacini. 2002. Lichens
and higher plants on stone: a review. Elsevier
Science Ltd.
Mahendraperumal, T.M. and N. Anand, 2008.
Manual of fresh water algae of Tamilnadu.
Bishen Singh Mahendrapal Singh, 23-A,
Dehra Dun. 1-124 pp
Paracer, S and V. Ahmadjian. 2000. Symbiosis : An
Introduction to Biological Assiciations. 2 ed.
Oxford University Press, Inc. New York.
Radha, S. K., Jena, M. and Adhikary, S. P. 2006.
Euglenophytes of Orissa state, East Cost of

56

India. Algae (Koreal Journal of Phycology) 21:


61-73
Tiano, Piero. 2009. Biodegradation of Cultural Heritage:
Decay Mechanisms and Control Methods. Italy
Volkmar, Wirth. 1995. Die Flechten Baden-Wrttembergs
(The Lichens: Baden-Wrttembergs). Vol. 1.
2nd ed. English translation by Doyle Anderegg.
Germany

Jurnal Widya Prabha 2014

EFEKTIFITAS LEMPUNG SEBAGAI NAT


PADA BATU PUTIH DI BENTENG CEPURI
Oleh :
Mida Andriana, MA*
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bahan lempung merupakan bahan asli
yang dipergunakan oleh nenek moyang sebagai
salah satu bahan bangunan dan bahkan sampai
saat ini masih ada yang bertahan. Penggunaan
lumpur dan tanah liat juga digunakan pada
bangunan-bangunan cagar budaya di dunia
seperti di Babilonia, Iran dan juga Piramida di
Mesir. Campuran inilah yang merupakan sejarah
dibuatnya semen. Namun pada saat ini metode
membangun dengan menggunakan bahan
lempung tidak lagi dilakukan.
Ilmu teknik pengerjaan lempung sebagai
bahan bangunan mungkin sudah banyak yang
hilang karena dianggap tidak relevan lagi
dengan perkembangan bahan bangunan yang
semakin beragam/maju, sehingga banyak bahan
bangunan yang telah diganti misalnya dengan
semen. Namun, pengembalian teknis tradisional
pada bangunan tradisional yang berkaitan
dengan keaslian material dan workmanship
sangat penting dipelajari dan digali lebih dalam
lagi karena hal ini sangat penting untuk menjaga
kelestarian serta pengembalian ke aslinya.
Berdasarkan paradigma konservasi saat
ini hal yang paling penting ditekankan untuk
kegiatan konservasi adalah intervensi minimum
dan mengembalikan metode konservasi tersebut
berdasarkan pada kearifan tradisional. Intervensi
minimum adalah usaha dalam melaksanakan
konservasi sedikit mungkin mengambil tindakan
yang dapat menyebabkan efek samping bagi
kelestarian cagar budaya. Jadi tindakan yang
dilakukan hanya jika memang benar-benar

diperlukan. Sedangkan kearifan tradisional


akan menjauhkan cagar budaya dari bahan
kimia. Penggunaan bahan kimia dalam
jangka waktu yang pendek mungkin dapat
menyelesaikan persoalan konservasi, namun
dalam jangka panjang seringkali akibatnya
tidak bisa diprediksi. Bahkan, seringkali
bahan konservan lebih kuat sehingga
merusak bahan asli. Oleh karena itu metode
kearifan tradisional sangat dibutuhkan
untuk digali lagi lebih dalam sehingga bisa
digunakan untuk pelestarian cagar budaya.
Penggunaan
lempung
dalam
pelestarian cagar budaya kini mulai
diujicobakan kembali pada kegiatan
pemugaran ataupun konservasi, namun
keefektifan lempung pada bangunan
Cagar Budaya belum dapat diuji.
Uji efektifitas ini dilatarbelakangi
oleh adanya aplikasi lempung sebagai nat di
Benteng Cepuri. Lempung digunakan sebagai
pengganti tanah lempung lama sebagai
penyusun atau perekat susunan batu putih
pada Benteng Cepuri. Untuk itu penelitian
efektifitas lempung ini dapat dipakai sebagai
bahan pertimbangan selanjutnya tentang
penggunaan lempung pada Bangunan Cagar
Budaya.
B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya
2. DIPA-023.15.2.427798/2013 tanggal 5
Desember 2012

57

3. Program Kerja Kelompok Pemeliharaan


Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Yogyakarta Tahun Anggaran 2013
4. Surat Tugas Nomor : 3013/CB5/KP.A.3/
2013 tanggal 15 November 2013
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui karakteristik lempung, sifat
fisik dan kimia lempung serta kemampuan/
efektifitas lempung jika di gunakan sebagai
mortar pengisi nat di Beteng Cepuri Kotagede.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mendukung kegiatan pelestarian
benda cagar budaya khususnya bangunan
cagar budaya dengan material batu.

Foto 1. situasi Benteng Cepuri

58

II. Dasar Teori


A. Mineral Lempung
Lempung adalah kelompok mineral,
kristalnya sangat kecil, hanya dapat dilihat dan
dibedakan dengan mikroskop. Lempung dapat
dibedakan berdasarkan struktur kristal dan
variasi komposisinya. Lempung atau tanah liat
memiliki butiran yang sangat halus, bersifat
plastik, yaitu mudah dibentuk, dan mempunyai
daya lekat. Lempung membentuk gumpalan
keras saat kering dan lengket apabila basah
terkenaair. Sifat ini ditentukan oleh jenismineral
lempungyang mendominasi. Mineral lempung
digolongkan berdasarkan susunan lapisan
oksida silikon dan oksida aluminium yang
membentukkristalnya. Golongan 1:1 memiliki
lapisan satu oksida silikon dan satu oksida
aluminium, sementara golongan 2:1 memiliki
dua lapis golongan oksida silikon yang mengapit
satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung
golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat,
menyusut saat kering dan memuai saat basah.
Karena perilaku inilah beberapa jenis tanah
dapat membentuk kerutan-kerutan atau pecahpecah bila kering. Partikel mineral lempung
biasanya bermuatan negatif sehingga partikel
lempung hampir selalu mengalami hidrasi, yaitu
dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air yang
disebut sebagai air teradsorbsi.
Mineral lempung merupakan koloid
dengan ukuran sangat kecil (kurang dari 1
mikron). Masing-masing koloid terlihat seperti
lempengan-lempengan kecil yang terdiri dari
lembaran-lembaran kristal yang memiliki
strukturatom yang berulang. Lembaranlembaran kristal yang memiliki struktur atom
yang berulang tersebut adalah:
(http://
ptbudie.wordpress.com/2010/05/31/minerallempung/)
1. Tetrahedron / Silica sheet
Merupakan
gabungan
dari
Silica
Tetrahedron (Gambar 1)

Jurnal Widya Prabha 2014


2. Octahedron / Alumina sheet
Merupakan gabungan dari
Octahedron. (Gambar 2)

Alumina

Gambar 3. Struktur Kaolinit

Jenis Jenis dan Kegunaan Mineral Lempung


Jenis mineral lempung yang utama ialah:
Kaolinit 1:1 Al2(Si2O5(H2O))
Illit 2:1 KAl2(AlSi3O10(OH)2)
Smektit 2:2 (AlMg)4Si8O20(OH)10)
Klorit 2:1:1 (MgFe)6-x(AlFe)xSi4-xAlx(OH)10
Berdasarkan
struktur
kristal
dan
variasi
komposisinya
dapat
dibedakan
menjadibeberapa jenis mineral lempung
diantaranya: kaolinit, halloysite, momtmorillonite
(bentonites),
illite,
smectite,vermiculite,
chlorite,attapulgite dan allophone.
Komposisi kimia dari kaolinit, yaitu SiO2 46.54%,
Al2O3 39.50%, dan H2O 13.96% (Sarapaa dan
Al-Ani 2008). Molekul air dalam struktur kristal
kaolinit dapat ditemukan pada ruang antar
lapisannya seperti gambar 3 di bawah ini:

B. Metode Penentuan Jenis Mineral Lempung


Penentuan jenis mineral lempung
baik secara kimia maupun secara fisik telah
dikembangkan melalui berbagai metode,
dengan menggunakan alat mulai dari yang
sederhana sampai penggunaan alat yang
modern. Menurut Sastiono (1997) dan Sjarif
(1991), penentuan mineral lempung secara
kualitatif dan kuantitatif dapat dibagi atas
dua kelompok besar yaitu:
a. Metode berdasarkan sifat fisik
b. Metode berdasarkan sifat. kimia
Setiap metode mempunyai kelemahan
dan kelebihan, sehingga kombinasi beberapa
metode perlu dilakukan untuk memperoleh
hasil yang lebih baik.
Pengujian fisik terhadap lempung :
1. Ukuran butir tanah

Pengukuran distribusi butir di
laboratorium dilakukan dengan 2 cara yaitu
sieve analysis dan hydrometer analysis.
Sieve analysis dilakukan untuk tanah yang
berbutir kasar yaitu tertahan saringan
no. 200 (diameter lebih besar dari 0,06
mm), percobaan dilakukan dengan cara
mekanis.

Butiran yang besar akan mengendap

59

terlebih dahulu di dalam suatu larutan dan


yang lebih kecil akan lebih lambat, dengan
mengukur kecepatan jatuh partikel di dalam
larutan berdasarkan Hukum Stoke, dapat
diketahui prosentase masing masing range
ukuran.
2. Plastisitas Tanah (Atterberg limits)

Lempung mempunyai sifat yang
sangat spesifik, antara lain mempunyai sifat
muai susut yang sangat besar dalam keadaan
aslinya, tetapi setelah lempung diolah,
maka sifat muai susut yang besar ini dapat
dihilangkan, sehingga dapat dipergunakan
sebagai bahan bangunan olahan. Untuk
mendapatkan data-data tentang tingkat
plastisitas dan tingkat kejenuhan lempung,
maka dilakukan pengujian-pengujian, baik
di laboratorium maupun di lapangan. Jenis
pengujian tanah lempung yaitu:
a. Plastic limit atau batas plastis.
b. Shringkage limit atau batasan susut.
c. Liquid limit atau batasan cair.

Pengujian plastisitas tanah lempung
berdasarkan pada daya lekat lempung dan
tingkat muai susutnya dilakukan dengan
melihat jumlah air yang dikandung, maka
perbedaan plastisitas sampel yang diuji akan
berbeda-beda pada setiap jenis sampel.

Dari pengujian ini dapat diketahui
batas Plastis atau keadaan antar plastis dan
semi padat (Plastis Limit), batas cair yaitu batas
atau keadaan antara cair dan plastis (Liquid
Limit ), dan batas susut yaitu keadaan antara
semi padat dan padat (Shrinkage Limit). Batasbatas tersebut lebih dikenal dengan batasbatas Atterberg ( Atterberg Limits ). Dengan
diketahui nilai konsistensi lempung maka sifat
plastisitas dari lempung dapat diketahui. Nilai
plastisitas berada pada range 1-12, sedangkan
tingkat plastis yang paling baik pada range
6.5.

60

Gambar 4. Kedudukan index Plastisitas

Gambar 5. Skema uji batas cair

3. Uji Klasifikasi Teknik



Hasil pengujian indeks propertis
lempung
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi dan mengklasifikasikan
lempung. Indeks plastisitas dan sifat perubahan
volume lempung berhubungan erat dengan
jumlah partikel yang berukuran lebih kecil
dari 0.001 mm, yaitu partikel yang sifatnya
bergantung pada gaya permukaan dan bukan
gaya gravitasi. Skempton mengemukakan
rumus dari parameter aktifitas (Ac) sebagai
berikut:

Jurnal Widya Prabha 2014

Tabel 1. Hubungan aktivitas dan kandungan


mineral tanah menurut Skempton (1953)

keletakannya pada bangunan Benteng. Pada


posisi di tengah campuran lempung dan
pasir yang digunakan dengan perbandingan
3 lempung dan 1 pasir. Pada bagian pinggir
atau batu luar campuran yang digunakan
adalah lempung, semen dan kapur dengan
perbandingan lempung : kapur : semen
adalah 3 : 2 : 1, campuran ini berfungsi
sebagai perekat.

Tabel 2. Hubungan mineral lempung dengan


aktivitasnya (Skempton dan Mitchel)


Dalam tabel 1-2. dapat dilihat
hubungan aktivitas dan kandungan mineral
tanah lempung. Dari Tabel tersebut dijelaskan
bahwa untuk aktivitas yang lebih besar dari
1.25 digolongkan aktif dan sifatnya ekspansif,
aktivitas antara 0.75 1.25 digolongkan
normal, sedangkan yang kurang dari 0.75
digolongkan tidak aktif.

III. Pelaksanaan Kegiatan



Kegiatan penelitian efektifitas lempung ini
dilakukan pada tanggal 18 22 November 2013
(selama 5 hari kerja). Sasaran kegiatan pengujian
adalah lempung yang diaplikasikan sebagai nat dan
spesi pada bangunan Benteng Cepuri di Kotagede.
A. Tahapan kegiatan
1. Pengamatan aplikasi lempung di lapangan

Pengamatan pada penerapan lempung
pada kegiatan pemugaran di Benteng Cepuri.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa aplikasi
lempung pada bangunan Benteng Cepuri di
Kotagede digunakan sebagai nat, perekat dan
juga berfungsi sebagai pengisi. Campuran yang
digunakan berbeda-beda tergantung pada

Foto 2. Aplikasi lempung : kapur : semen

foto 3. Aplikasi lempung : pasir


Sedangkan untuk penutupan natnat pada susunan batu putih, digunakan
lempung yang dicampur dengan air
kemudian disaring dengan saringan halus
untuk mendapatkan air lempung (yiyit).
Setelah didapat air lempung yang bebas
kerikil kemudian ditambahkan dengan semen
dan kapur yang juga telah disaring halus.
Campuran air lempung, semen, dan kapur
yang memiliki butiran yang sama tersebut
sehingga mudah diaplikasikan ke nat batu
yang cukup rapat hingga terisi penuh.

61

2. Pengujian Laboratorium
a. Pelaksanaan kegiatan dengan melakukan
beberapa pengujian di laboratorium
teknik sipil. Pengujian-pengujian yang
dilakukan adalah :
Pemeriksaan Kadar Air (Water Content)
Percobaan ini dimaksudkan untuk
menentukan kadar air tanah.
Pemeriksaan Berat Jenis (Specific
Gravity) Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menentukan berat jenis butiran
tanah (Gs).
Pemeriksaan
Analisa
Saringan
(Sieve Analysis) Pemeriksaan ini
bertujuan, Untuk mengetahui gradasi
pembagian butiran dari suatu contoh
tanah berbutiran kasar. Untuk
mengklasifikasikan tanah.
Pemeriksaan Analisa Hidrometer
(Hydrometer Analysis) Bertujuan
untuk menentukan macam butiran
tanah yang lolos saringan nomor 200
dan lengkung gradasinya.
Pemeriksaan Batas Cair (Liquid Limit)
Pemeriksaan batas cair ini bertujuan
untuk menentukan kadar air suatu
sampel tanah pada batas cair.
Pemeriksaan Batas Plastis (Plastic
Limit) Percobaan ini bertujuan untuk
menentukan kadar air suatu tanah
dalam keadaan batas plastis.
Pemeriksaan Potensial Mengembang
ASTM D4546-90 menyajikan tiga cara
pengukuran tekanan mengembang.
Dalam penelitian ini yang digunakan
hanya metoda A (free Swell Pressure
Test). Dari metoda A ini bisa
diperoleh:
a) Nilai mengembang bebas (free
swell)
b) Nilai Persentase mengembang
(percent swell)

62

c) Nilai Tekanan mengembang (swelling


pressure)
B. Pelaksanaan kegiatan pengujian di laboratorium
BPCB Yogyakarta
Pengujian lempung di laboratorium dilakukan
dengan membuat miniatur pasangan batu putih
dengan menggunakan lempung. Miniatur ini
kemudian di uji dengan metode aging, namun
pada pengujian ini teknik uji dengan aging tidak
bisa dilanjutkan karena lempung tidak mampu
bertahan dalam air pada siklus aging test. Dari
sini diketahui bahwa metode pengujian aging test
tidak bisa dilakukan terhadap spesi tanah.

Sampel batu
dengan
aplikasi lempung

Sampel batu
dengan
aplikasi
semen:kapur

Sampel batu
dengan
aplikasi
semen : pasir

Penelitian aging
test
di laboratorium

Foto 4. Kegiatan pengujian laboratorium

Jurnal Widya Prabha 2014


IV. Analisa Data
Perilaku dan sifat lempung sangat tergantung
pada komposisi mineral, unsur-unsur kimia, partikelpartikelnya dan pengaruh lingkungan di sekitarnya.
Sehingga untuk dapat memahami sifat dan perilakunya
diperlukan pengetahuan tentang mineral dan
komposisi kimia lempung. Sehingga mineralogi adalah
faktor utama untuk mengontrol ukuran, bentuk dan
sifat fisik serta kimia dari partikel tanah. Berdasarkan
hasil penelitian laboratorium karakteristik tanah asli
yaitu meliputi batas-batas Atterberg, analisa distribusi
butiran, kepadatan, kadar air optimum, berat jenis, dan
nilai kembang-susut (swelling) dihasilkan data seperti
tabel 3 dibawah ini:

Tabel 3.
Hasil pengujian karakter sampel tanah Kotagede dan Bayat

Lempung Desa Wiro, Bayat, Klaten termasuk


dalam lempung lempung ekspansif. Batas konsistensi
antara lain nilai LL = 65,54 %, PL = 21,4 %, dan PI =
44,14 % sedangkan kandungan fraksi halus 67,74 %
dengan nilai spesifik gravitas = 2,754. Menurut Unified
Soil Classificatin System (USCS) lempung asli termasuk
dalam kelompok CH yaitu lempung anorganik dengan
plastisitas tinggi (hight plasticity clay) atau lempung
gemuk (fat clays), sedangkan berdasarkan American
Association of State Highway and Tranportation
Officials (ASHTO) termasuk dalam kelompok A-7-6,
merupakan lempung lempung buruk apabila digunakan
untuk fondasi jalan. (Sumber: (www.polines.ac.id//
jurnal_wahana_1332665217.pdf).
Sedangkan data hasil analisis lempung
Kotagede dapat dijelaskan seperti uraian di bawah ini
sehingga diketahui karakteristik sampel lempung yang

diaplikasikan di Kotagede.
A. Uji Klasifikasi Teknik (Sistem Klasifikasi
AASHTO dan Unifed)
1. Ukuran butiran
ASTM D-653 memberikan batasan bahwa
secara fisik ukuran lempung adalah partikel
yang berukuran antara 0,002 mm sampai
0,005 mm. Namun untuk menunjukkan
hal itu perlu saringan yang lebih kecil dari
No.200 sehingga hal ini tidak bisa dilakukan
di laboratorium. Akan tetapi literatur lain
menjelaskan bahwa cukup dengan saringan
terkecil No 200 sudah dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan ukuran butir tanah.
Ukuran partikel sampel yang dia[plikasikan
di Kotagede adalah sebagai berikut:
Kerikil: fraksi yang lolos saringan
ukuran 75 mm (3 in) dan tertahan
pada saringan No. 10 sebesar 0%
Pasir: fraksi yang lolos saringan No. 10
(2 mm) dan tertahan pada saringan
No.200 (0,075 mm) sebesar 30%
Lanau dan lempung: fraksi yang lolos
saringan No. 200 sebesar 69,89%
Sehingga memperoleh grafik ukuran
butiran seperti grafik di bawah ini:

Gambar 6. Grafik ukuran butiran tanah

63

2. Specific Gravity (Sg)



Dari hasil penelitian Sg dari tanah
yang diaplikasikan di Kotagede sebesar 2,66
sehinggan dapat diperkirakan (Sg) sebesar
2,66 merupakan tanah lempung anorganik
atau berlanau yang memiliki mineral
dominan Kaolinite (Al2O32SiO22H2O) dapat
dilihat pada tabel 4 dan 5. Mineral Kaolinite,
mempunyai ukuran partikel yang lebih besar
dan mempunyai sifat pengembangan yang
lebih kecil.

Tanah lempung yang diaplikasikan
di Kotagede merupakan jenis tanah berbutir
halus (lanau/lempung/ fine-grained soils)
karena lebih dari 50 % lolos saringan nomor
200 yaitu sebanyak 69,89 %. Sand/pasir
sebesar 30.11 % dan Gravel/kerikil 0 %.

cairnya telah diketahui. Tingkat plastisitas tanah


ditentukan berdasarkan Indeks Plastisitas (IP)
(tabel 6 dan 7).

Dari data hasil pengujian Atterberg
limit dihasilkan data batas cair 50,49 %, batas
plastis 26.05 % dan indek plastisitas (IP)
sebesar 24,43 %. Jika data ini diplotkan pada
tabel di atas maka terlihat bahwa sampel
memiliki mineral lempung kaolinite dengan
nilai IP di atas 17 % sehingga bersifat plastisitas
tinggi. Nilai plastisitas ini menunjukkan bahwa
semakin besar nilai numeriknya, semakin besar
terjadinya susut pada waktu proses menjadi
kering, atau peka terhadap pertambahan air.
Selain IP bisa menentukan jenis tanah, IP juga
bisa memprediksikan tingkat pengembangannya
(tabel 8). Sampel tanah yang diujikan dengan
IP 24,43 % memiliki tingkat pengembangan
yang tinggi.

Tabel 4. Specific Gravity tanah (Hardiyatmo, 2006)


Tabel 6. harga-harga batasan atterberg
untuk mineral lempung (Mitchell, 1976)

Tabel 7. Nilai Indexs plastisitas dan macam tanah (Chen, 1975)


Tabel 5. Specific Gravity mineral tanah (Das, 1994)

3. Plastisitas (Atterberg)

Kandungan air sangat berpengaruh
terhadap perilaku tanah berbutir halus,
sehingga tingkatan plastis tanah dapat
ditentukan apabila batas plastis dan batas

64

Tabel 8. Korelasi nilai IP dengan tingkat pengembangan

Jurnal Widya Prabha 2014


4. Aktifitas (Kriteria Skempton (1953))

Hasil pengujian index properties
dapat digunakan untuk mengidentifikasi tanah
ekspansif. Hardiyatmo (2006) merujuk pada
Skempton (1953) mendefinisikan aktivitas
tanah lempung sebagai perbandingan antara
Indeks Plastisitas (IP) dengan prosentase
butiran lolos saringan No.200 dihasilkan :

IP

Ac (Aktivitas) =
fine 200

24,43 %

= 69,89 % = 0,3495
Sehingga dengan nilai aktivitas 0,3495 tanah
yang diaplikasikan di Kotagede merupakan
mineral Kaolinite seperti juga dijelaskan sesuai
parameter lainnya (tabel 9).

Tabel 9. Hubungan mineral lempung dengan aktivitasnya


(Skempton and Mitchel)

susunan satu lembaran silika tetrahedra


dengan lembaran aluminium oktahedra,
dengan satuan susunan setebal 7,2 . Kedua
lembaran terikat bersama-sama, sedemikian
rupa sehingga ujung dari lembaran silika
dan satu dari lapisan lembaran oktahedra
membentuk sebuah lapisan tunggal.

Dalam kombinasi lembaran silika
dan aluminium, keduanya terikat oleh
ikatan hidrogen. Pada keadaan tertentu,
partikel kaolinite mungkin lebih dari seratus
tumpukan yang sukar dipisahkan. Karena itu,
mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di
antara lempengannya untuk menghasilkan
pengembangan atau penyusutan pada sel.
5. Swelling Test

Sifat lempung yang lain yang harus
diketahui adalah proses pengembangan
(swelling) dan penyusutannya (Shrinking)
yaitu dengan menggunakan swelling test.
Dari hasil swelling test sampel lempung
yang diaplikasikan dikotagede menghasilkan
0,38% swell. Berdasarkan tabel 10 di bawah
ini lempung yang diaplikasikan di Kotagede
termasuk pada kategori < 2 sehingga
potensial pengembangannya rendah /low.

Tabel 10. hubungan potensi mengembang dengan tekanan


mengembang menurut Gracia-Iturbe (1980)

Gambar 7.
a) Diagram skematik struktur kaolinit (lambe,1953)
b) Struktur atom Kaolinit (Grin, 1959)


Struktur
Kaolinite
berbentuk
lembaran-lembaran atau plat yang bertumpuktumpuk (gambar 7). Kaolinite merupakan
mineral dari kelompok kaolin, terdiri dari

Gambar 8. Mekanisme kembang susut


pada partikel lempung

65

Gambar 9. Mekanisme kembang susut


pada partikel lempung yang stabil


Proses kembang-susut ini sebagian
besar adalah akibat peristiwa kapiler atau
perubahan kadar air pada tanah tersebut.
Pengurangan kadar air yang diikuti oleh
kenaikan tegangan efektif menyebabkan
volume tanah menyusut dan sebaliknya
penambahan kadar air menyebabkan
pengembangan. Hal ini yang terjadi saat
lempung diaplikasikan sebagai spesi, akan
terjadi kembang susut dan juga hal ini
dipengaruhi oleh sifat plastisitasnya. Jika
kembang susutnya besar maka kestabilan
struktur bangunan akan terganggu.
V. Kesimpulan dan Sararn
A. Kesimpulan
1. Tanah lempung yang diaplikasikan di
Benteng Cepuri Kotagede berdasarkan
beberapa pengujian adalah sebagai berikut:
a. Jenis tanah berbutir halus (lanau/
lempung/ fine-grained soils) karena
lebih dari 50% lolos saringan nomor
200 yaitu sebanyak 69,89%, Sand/pasir
sebesar 30.11% dan Gravel/kerikil 0%.
b. Berdasarkan
beberapa
pengujian
aktivitas dan parameter lainnya
menunjukkan sampel lempung adalah
jenis Kaolinite. Mineral Kaolinite,
mempunyai ukuran partikel yang
lebih besar dan mempunyai sifat
pengembangan yang lebih kecil.
Berdasarkan
susunan
partikelnya,
kaolinite jika memiliki lebih dari
seratus tumpukan (layer) maka akan
sukar dipisahkan. Karena mineral ini

66

akan stabil dan air tidak dapat masuk di


antara lempengannya untuk menghasilkan
pengembangan atau penyusutan pada sel.
Berdasarkan swelling test, sampel lempung
yang diaplikasikan di Kotagede termasuk
pada kategori < 2 sehingga potensial
pengembangannya rendah.
c. Sampel yang diujikan dengan IP (index
plustisitas) 24,43% memiliki tingkat
plastisitas yang tinggi karena berada pada
level >17. Nilai IP (index plastisitas) tinggi
menunjukan lempung tersebut peka
terhadap perubahan kadar air (memiliki
kembang-susut yang besar), sehingga
pengaruhnya terhadap daya dukung atau
kekuatan lempung rendah. Pada saat
lempung sudah melewati batas plastis
maka lempung akan bersifat cair dan daya
lengketnya sudah menurun bahkan habis.
2. Lempung yang diaplikasikan di Benteng Cepuri
memiliki batas cair yang tinggi sehingga
mempunyai sifat teknik yang buruk, yaitu
daya dukungnya rendah / kekuatannya
rendah, pemampatannya tinggi dan sulit
memadatkannya. Oleh karena itu lempung
dalam keadaan aslinya dengan atau tanpa
bahan tambahan perlu diproses. Karena sifat
muai susutnya yang besar, sehingga tidak dapat
langsung digunakan dalam keadaan aslinya.
B. Saran
1. Hasil dari aplikasi lempung di Benteng Cepuri
perlu dilakukan monitoring secara rutin
sehingga dapat diketahui efektifitas bahan
tersebut.
2. Untuk dijadikan bahan perekat antar batuan
maka dibutuhkan lempung yang memiliki
plastisitas tinggi sehingga tidak mudah terurai
menjadi cair dan nilai kohesivitas yang tinggi.
3. Penggunaan lempung yang disarankan sebagai
bahan perekat yaitu lempung jenis bentonit
(monmorrillonite) karena memiliki kohesivitas

Jurnal Widya Prabha 2014


yang tinggi, batas cair yang tinggi. Atau disebut
juga lempung golongan 2:1 karena memiliki
dua lapis golongan oksida silikon yang mengapit
satu lapis oksida aluminium. Mineral lempung
golongan 2:1 memiliki sifat elastis yang kuat
jika dibandingkan dengan Kaolinite (tabel 10).
No
1

Material
Monmorril-

Batas cair

Batas plas-

Batas

(%)

tik(%)

susut(%)

100-900

50-100

8,5 - 15

30-100

25-40

25 - 29

lonite
2

Kaolinite

Tabel 10. Perbandingan Monmorrillonite dengan Kaolinite

Daftar Pustaka:
Das, Braja M, 1990, Principles of foundation
Engineering, Second Edition, PWS
KENT Publishing Company, 1990.
Das, Braja M, (translated by Mochtar.N.E and
Mochtar I.B.), 1995, Mekanika Tanah
(Prinsip prinsip Rekayasa Geoteknis)
Jilid I, Erlangga, Jakarta.
Annual

Books of ASTM Standards, 1989,


American Society for Testing Material,
Philadelphia.

Hardiyatmo, Hary Christady, 1996, Mekanika


Tanah 1, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta

*) Penulis adalah staf di Balai Pelestarian Cagar Budaya


Yogyakarta

67

Penegakan Hukum Cagar Budaya :


Sebuah Tantangan
Oleh :
Drs. Ign. Eka Hadiyanta, MA*
I.

Pendahuluan


Perilaku dan aksi manusia pada dasarnya
merupakan aktivitas subjek yang sulit diprediksi, hal
ini karena mempunyai kompleksitas permasalahan
tinggi, bersifat dinamis, berproses, dan terus
berubah (Skinner, BF., 2013 : 22). Apalagi perilaku
subjek itu tidak hanya secara individual saja, tetapi
dapat dilakukan secara bersama-sama dan menyatu
dalam suatu keinginan bersama.Hal itu tentu
membutuhkan pendekatan, pemahaman,serta
penanganan secara komprehensif dan seksama.

Peraturan perundangansebagai perangkat
pengendali pada dasarnya dibuat untuk individu
dan masyarakat dengan tujuan untuk membangun
ketertiban, ketaatan, dan disiplin yang bersifat
mengikat. Sebuah pertanyaan muncul, apakah di
dalam konteks masyarakat itu adakah hukum yang
dapat mengikat warganya secara menyeluruh?
Pada dasarnya tidak ada hukum yang dapat
mengikat dan mengendalikan warganya kecuali
atas dasar kesadaran hukum semua warga untuk
menaati peraturan yang ada (Salman, 2004: 49).
Peraturan dan hukum dibuat dengan tujuan
untuk mengendalikan perilaku dan menumbuhkembangkan norma-norma untuk individu dan
masyarakat.

Sistem hukum yang ada dalam perspektif
rasionalitas formal, yaitu sistematisasi normanorma umum dan pola keteraturan prosedural,
pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan
dapat mengikat serta secara tuntas menyelesaikan
permasalahan yang timbul. Menurut
Max
Weber bahwa hukum merupakan suatu tertib yang
memaksa yang mempunyai dukungan potensial

68

dari negara. Sejalan dengan hal itu, menurut pendapat


Durkheim sebagaimana dikutip oleh Salman (2004:
45-46), merumuskan bahwa hukum adalah suatu
kaidah-kaidah yang bersanksi (every precept of law
can be defined as a rule of sanctioned conduct). Terkait
dengan hal itu maka untuk menegakkan peraturan
perundangan yang ada diperlukan aparat yang bersih
dan berwibawa dalam mengawal undang-undang,
serta mampu menegakkan aturan yang berlaku
secara konsisten dan kosekuen.
Penegakan hukum (law enforcement) aturan
sesuai perundangan yang berlaku khususnya dalam
bidang pelestarian cagar budaya di Indonesia, diampu
oleh instansi UPT Kebudayaan Pusat yang ada di
daerah (Balai Pelestarian Cagar Budaya atau BPCB,
Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Manusia
Purba Sangiran). Upaya itu dilakukan mengingat
keberadaan cagar budaya, baik benda, bangunan,
struktur, situs, dan kawasan mempunyai urgensi
untuk dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, agama, dan
/ atau pendidikan. Penanganan pelindungan pada
umumnya dan penegakan hukum khususnya harus
dilakukan secara komprehensif.
Khusus untuk Daerah Istimewa Yogyakarta
upaya itu dilakukan oleh BPCB bekerjasama secara
komprehensif dengan pemangku kepentingan terkait,
yaitu Kepolisian RI dan SKPD di bidang kebudayaan,
baik DIY maupun Kabupaten / Kota, serta
berbagai
peran yang dilakukan masyarakat, kalangan akademik,
dan lembaga swadaya. Beberapa institusi tersebut
melakukan tugas fungsi, baik melalui langkah-langkah
kerja yang bersifat imperatif, preventif, dan represif.
Sebagai dasar hukum atau landasan kebijakan
pelestarian yang dilakukan adalah Undang-undang

Jurnal Widya Prabha 2014


RI (UURI) No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Khusus dalam hal implementasi kerja terutama
secara represif maka sebagai pelaksana penyidikan
yaitu PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang
diberi kewenangan khusus menegakkan peraturan
perundangan di bidang cagar budaya. Terkait dengan
hal itu ada pertanyaan, bagaimana tugas kewenangan
PPNS dan manajemen pelaksanaan penyidikan,
implementasi penegakan hukum yang dilakukan,
serta peluang tantangan PPNS dalam melaksanakan
ketugasannya?

II. Hukum dan Fungsinya: Upaya Pengendalian




Secara garis besar hukum mempunyai fungsi
sebagai alat pengendalian, mengubah masyarakat,
membangun ketertiban, pengaturan, mewujudkan
keadilan, penggerak pembangunan, dan pengayoman.
Sebagai kaidah positif maka hukum, menurut Sjahran
Basah, sebagaimana dikutip oleh Akhdiat (2011: 2930) mempunyai fungsi yaitu sebagai berikut: direktif,
integratif, stabilitatif, dan korektif. Artinya, bahwa
hukum mempunyai fungsi yang terkait dengan aspek
pengatur atau pengarah; mempersatukan berbagai
hal agar kondisinya stabil, serta menjadi acuan evaluasi
perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum selalu
terkait erat dengan pengaturan perilaku manusia,
baik secara individu maupun sebagai anggota dalam
kelompok masyarakat. Pengaturan perilaku manusia
di dalam perspektif hukum harus tunduk kepada asas
legalitas, artinya tidak ada suatu perbuatan manusia
dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah
ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1)
KUHP).

Perilaku manusia sebagai subjek di dalam berbagai
konfigurasinya tentunya tidak dapat dibiarkan secara
bebas begitu saja, terutama dalam berinteraksi antara
sesama maupun dengan objek yang dihadapi. Pada
dasarnya perilaku dan proses interaksi yang dilakukan
dapat dikenakan batasan-batasan sebagai frame

pengendali. Kerangka pengendalian itu dapat


dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh adanya
agen-agen lembaga pengendali formal maupun
informal, terutama oleh institusi pemerintahan
dengan berbagai hal
yaitu implementasi
kebijakan, norma-norma, dan praktek-praktek
penegakan hukumnya (Skinner, BF., 2013: 514,
519). Kerangka yang dapat dikatagorikan sebagai
wujud
tahapan pengendalian hukum adalah
upaya imperatif dan preventif. Pada umumnya
BPCB di seluruh Indonesia secara relatif sudah
melakukan implementasi program kegiatan
imperatif dan preventif secara baik. Sedangkan
untuk langkah represif pada umumnya BPCB saat
ini (2014) secara keseluruhan belum melaksanakan
sesuai yang diharapkan di dalam amanat UURI No.
11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
A. Langkah Imperatif: Upaya Persuasif
Di dalam upaya pelestarian cagar budaya
umumnya dan pelindungan khususnya maka
diperlukan langkah-langkah imperatif dan
persuasif. Langkah itu dilakukan sebagai
upaya membangun kesadaran tentang makna
dan nilai-nilai yang dikandung berbagai
wujud cagar budaya baik berupa benda,
bangunan, struktur, situs, dan kawasan.
Berbagai nilai penting cagar budaya, baik
sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan,
agama, dan pendidikan perlu terus dilakukan
internalisasi kepada masyarakat luas
dengan cara sosialisasi dan pembelajaran.
Internalisasi merupakan upaya membangun
kesadaran bersama untuk membentuk rasa
memiliki, rasa bangga, rasa berkewajiban
untuk dapat bertanggungjawab tentang
arti pentingnya melestarikan nilai-nilai dan
keberadaan cagar budaya.
Proses internalisasi tentang berbagai
aspek cagar budaya dapat dilakukan melalui
berbagai cara baik formal, non-formal,
dan informal, upaya itu merupakan proses

69

penanaman nilai-nilai penting cagar budaya.


Beberapa ahli, Peter L. Berger dan Lawang,
Horton dan Hunt menyebutkan bahwa
proses mempelajari nilai, norma, partisipasi,
dan berkontribusi dalam peran, hal itu
merupakan prinsip atau makna sosialisasi
(Akhdiat dan Marliani, 2011: 36). Proses
itu dilakukan
agar dapat membangun
pemahaman tentang eksistensi ruang dan
waktu, menguatkan memori individu, serta
memori kolektif di tengah masyarakat,
agar dapat mempunyai kesadaran bersama
tentang pentingnya meneguhkan wawasan
keberlanjutan. Wawasan keberlanjutan
sangat penting mengingat cagar budaya
mempunyai sifat tidak terbarukan, terbatas,
mudah rusak, dan unik, sehingga prinsipprinsip autentisitas ataupun originalitas
dikedepankan sebagai urgensi pelestarian.
Harapannya dapat melakukan eksternalisasi
dengan wujud tindakan nyata untuk menjadi
pelaku maupun ikut berpartisipasisebagai
pelestari aktif.
Langkah imperatif dan meyakinkan
atau persuasif merupakan tahap awal dalam
membangun kepercayaan masyarakat.
Kepercayaan masyarakat untuk sadar
mengikuti norma-norma, peraturan, dan
memaknai berbagai
nilai harus terus
diintroduksikan
secara terus menerus.
Dengan demikian, kesadaran, ketaatan, dan
ketertiban akan menjadi pola perilaku dan
model sebuah habitus baru bagi masyarakat.
Berbagai langkah imperatif yang dilakukan
adalah dengan berbagai cara, antara lain:
sosialisasi atau publikasi, dokumentasi,
penerbitan buku, jurnal, dan buletin,
audio-visual, dan publikasi media cetak
elektronik.

70

B. Upaya Preventif
Langkah pencegahan merupakan bagian
dari antisipasi terhadap munculnya perilaku
tindak pidana. Pencegahan sebagai langkah
pengendalian realita konkrit menerapkan atau
implementasi program kebijakan dalam dimensi
fisik artefaktual (benda, bangunan, struktur) dan
ruang spasial (situs dan kawasan). Sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan
cagar budaya yang ada (UURI No. 11 tahun 2010)
merupakan bagian pengaturan pelindungan
cagar budaya. Bentuk tindakan-tindakan
pelindungan cagar budaya, antara lain kegiatan
penyelamatan, pengamanan, zonasi atau
penetapan batas-batas situs, pemeliharaan, dan
pemugaran.
Pertama,
upaya penyelamatan cagar
budaya yang dimiliki pada dasarnya berhak
dilakukan oleh setiap orang, baik dalam
keadaan darurat atau memaksa. Penyelamatan
dilakukan untuk mencegah
kerusakan
karena faktor manusia dan / atau alam yang
mengakibatkan berubahnya keaslian dan
berbagai nilai yang dikandungnya. Di samping
itu, juga untuk mencegah pemindahan dan
beralihnya kepemilikan dan / atau penguasaan
cagar budaya yang bertentangan dengan
peraturan yang berlaku (pasal 57 58).
Kedua, pengamanan dilakukan untuk
menjaga dan mencegah cagar budaya agar
tidak hilang, hancur, atau musnah. Hal itu
wajib dilakukan oleh pemilik ataupun yang
menguasainya, baik individu, lembaga, maupun
pemerintah. Pelaksana pengamanan dilakukan
oleh juru pelihara dan / atau polisi khusus. Di
samping itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi
dalam pelaksanaan pengamanan cagar budaya.
Implementasi pengamanan ini dapat dilakukan
dengan memberi pelindung, melakukan
penyimpanan, dan menempatkan ke lokasi yang
terhindar dari gangguan ancaman alam dan
manusia (pasal 65). Ketentuan pengamanan

Jurnal Widya Prabha 2014


yang pokok adalah adanya larangan untuk tidak
boleh merusak dan mencuri, serta ketentuan
persyaratan untuk izin kepada pemerintah dan
pemerintah daerah bagi yang memindahkan
dan memisahkannya.
Ketiga, pengaturan zonasi atau penetapan
batas-batas situs cagar budaya ke dalam
sistem pembagian ruang spasial yaitu : zona
inti, penyangga, pengembangan dan / atau
penunjang. Di masing-masing zona itu sudah
ditentukan peruntukan dan fungsi ruangnya
secara konkrit.
Keempat,
upaya pemeliharaan cagar
budaya wajib dilakukan oleh setiap orang
dengan cara dan persyaratan tertentu. Kegiatan
yang dilakukan yaitu dengan cara merawat
untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan
akibat pengaruh alam dan/atau manusia.
Kelima,
melakukan
pemugaran
bangunan dan struktur cagar budaya, hal
itu untuk memulihkan kondisi fisik dengan
cara memperbaiki, memperkuat, dan / atau
mengawetkan melalui pekerjaan rekonstruksi,
konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi (pasal
77).
Berbagai langkah tersebut di atas,
diharapkan menjadikan perilaku masyarakat
akan mengacu dan menyesuaikan berbagai
ketentuan serta pengaturan detraktif, serta
pembatasan-pembatasan
dalam
rangka
pencegahan
terhadap adanya pelanggaran.
Di sisi lain kepastian hukum keberadaan
cagar budaya dapat terjamin, sehingga upaya
pelindungan cagar budaya dapat dilakukan
secara maksimal. Aspek preventif tersebut
merupakan implementasi amanat perundangan
yang harus diwujudkan oleh lembaga
pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi
yang bertanggungjawab terhadap pelestarian
cagar budaya. Berbagai pemangku kepentingan
ataupun stake holder, yaitu
Pemerintah
(BPCB), Pemerintah Daerah, POLRI, Akademisi,

masyarakat, LSM, dan swasta secara


komprehensif perlu melakukan langkahlangkah konkrit dalam mengkonfigurasikan
perannya. Terutama partisipasi masyarakat
mempunyai urgensi di dalam mensukseskan
upaya-upaya imperatif dan preventif yang
dilakukan pemerintah dan pemerintah
daerah.

III.

PPNS dan Implementasi Penegakan


Hukum Cagar Budaya

Cagar
budaya
perlu
terus
dijaga
keberadaannya
terutama
melalui
upaya
pelindungan terhadap gangguan dan ancaman
yang berakibat kerusakan, hilang maupun musnah.
Gangguan itu dapat diakibatkan oleh berbagai
ancaman, baik peperangan, infiltrasi budaya asing,
bencana, penggunaan cagar budaya sebagai objek
perdagangan gelap, dan aktivitas para kolektor
yang tidak bertanggung jawab yang mendapatkan
koleksinya secara gelap (Hardjasoemantri, 2005).
Cagar budaya sebagai objek perdagangan gelap
semata dan aktivitas orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dapat memicu
berbagai
ancaman pencurian dan perusakan. Adanya
ancaman perlu adanya tindakan penegakan hukum
yang mencakup pelaksanaan dan penerapan
hukum, serta melakukan tindakan hukum terhadap
setiap pelanggaran ataupun penyimpangan yang
dilakukan oleh subjek hukum. Hal itu dilakukan
untuk mengatur dan mengikat subjek hukum
dalam semua aspek kehidupan.
Dalam arti
sempit penegakan hukum merupakan bagian
upaya represif yang meliputi kegiatan penindakan
terhadap setiap pelanggaran, penyimpangan,
dan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
peraturan perundangan.

71

A. Upaya Represif
Upaya represif ini bukan dalam arti
penerapan hukum represif, yaitu memandang
hukum sebagai alat kekuasaaan pemerintah
semata dengan kekuasaan tanpa batas (Salman,
2004: 94). Akan tetapi, merupakan wujud
implementasi atau upaya penegakan hukum
yang dilakukan apabila ada perilaku individu
maupun kelompok yang melakukan tindak
pidana dan melanggar ketentuan-ketentuan
dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Di dalam UURI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya secara jelas diatur adanya laranganlarangan yang mengandung konsekuensi
yuridis dengan penerapan sanksi-sanksi hukum.
Mengingat bahwa hukum merupakan suatu
tata tertib yang mempunyai kekuatan memaksa
dan secara substantif mempunyai suatu
kaidah-kaidah yang bersanksi serta mempunyai
dukungan dari negara. Penegakan hukum pada
akhirnya mempunyai tujuan untuk mendidik
orang yang telah melakukan kejahatan agar
jangan mengulangi kejahatan kembali. Di
samping itu, juga untuk memperbaiki orang
agar tabiatnya menjadi lebih
baik dan
bermanfaat bagi masyarakat (Prodjodikoro,
1986: 18). Diharapkan penegakan hukum dapat
berdampak positif dan menjadi sarana refleksi
diri untuk arah perbaikan kualitas diri.
Pengaturan yang mengandung sanksi hukum
atau ketentuan pidana di dalam perundangan
cagar budaya terutama diatur dalam pasal 101
sampai dengan pasal 112, sedangkan pasal 113
114 merupakan pengaturan hukuman bagi
tindakan yang dilakukan oleh badan usaha dan
orang yang memberi perintah akan ditambah 1/3
dari hukuman sebagaimana diatur dalam pasal
101 sampai dengan pasal 112. Khusus untuk
pasal 115 merupakan hukuman tambahan yaitu
kewajiban mengembalikan keaslian bangunan
yang dirusak dan perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindakan pidana. Implementasi

72

represif pelanggaran peraturan perundangan


bidang cagar budaya tersebut dilakukan oleh
PPNS bekerjasama dengan bagian koordinasi
- pengawasan oleh POLRI (KORWAS PPNS
POLDA atau POLRES setempat), serta institusi
Kejaksaan, dan Badan Peradilan.
Penerapan aturan dalam rangka upaya
represif tentang perundangan cagar budaya
diharapkan dapat mencegah, mengurangi, dan
membawa efek jera terhadap pelanggaran
tindak pidana cagar budaya secara signifikan.
Sejak diundangkannya UURI No. 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya, perundangan ini
belum ditegakan sebagaimana mestinya. Hal
ini didasarkan realita bahwa di dalam setiap
pelanggaran hukum cagar budaya masih sangat
sedikit upaya penegakan hukum yang dilakukan.
Artinya, eksistensi PPNS yang mempunyai
ketberanian dan dapat melakukan penyidikan
atau pemberkasan secara tuntas, bahkan
sampai berhasil maju ke pengadilan perlu
direalisasikan dan menjadi urgensi bersama.
Oleh karena itu, secara nasional hal itu tentu
masih perlu didorong secara sistemik, baik tata
kelola organisatoris maupun implementasinya
dengan terus menerus.
Instansi UPT BPCB di Indonesia sebagai
instansi teknis yang mempunyai tugas
dan kewenangan menegakkan peraturan
perundangan
tersebut
harus
mampu
menegakkan perundangan tersebut sampai
tuntas. Berbagai perangkat perundangan secara
eksplisit mendukung kewenangan penegakan
hukum itu secara tuntas.Keberadaan PPNS
sebagaimana amanat UURI No. 11 sebTahun
2010 tentang Cagar Budaya berperan sangat
penting di dalam upaya penegakan hukum cagar
budaya di Indonesia.

Sesuai amanat pasal 100 (2) kedudukan
yang terkait dalam tugas dan wewenang dalam
bidang penegakan hukum tersebut meliputi
tindakan antara lain: menerima laporan atau

Jurnal Widya Prabha 2014


pengaduan; melakukan tindakan pertama di
TKP; menyuruh berhenti seorang tersangka;
melakukan penggeledahan dan penyitaan;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan barang
bukti; mengambil sidik jari dan memotret
tersangka; memanggil dan memeriksa tersangka
dan / atau saksi; mendatangkan seorang ahli;
membuat dan menandatangani berita acara;
menghentikan penghentian penyidikan apabila
tidak cukup bukti tentang adanya tindak pidana
di bidang cagar budaya.

Proses penyidikan yang dilakukan tersebut
harus memenuhi ketentuan Undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya (UURI No. 11
Tahun 2010, UURI No 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana, serta implementasinya
menerapkan
manajemen
penyidikan
sebagaimana diatur dalam Peraturan KAPOLRI
No. 6 Tahun 2010.
B. Tugas dan Kewenangan PPNS Cagar Budaya
Pada dasarnya dasar hukum keberadaan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) diatur di
dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal 6
(1) huruf a disebutkan bahwa Penyidik adalah
pejabat polisi negara RI; huruf b : Pejabat Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang. Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam pasal itu yaitu wewenang yang
dimiliki adalah sesuai dengan undang-undang
yang menjadi dasar hukum masing-masing dan
dalam pasal 7 (2) KUHAP disebutkan bahwa
pelaksanaan tugas PPNS berada di bawah
koordinasi dan pengawasan (KORWAS) penyidik
Polisi Republik Indonesia(POLRI), yaitu Kasi
KORWAS PPNS di Direktorat Reserse Kriminal
Khusus. Pada dasarnya kondisi ini sesuai
dengan kerangka atau sistem penyidikan tindak
pidana di dalam Criminal Justice Siystem
dipertanggungjawabkan kepada penyidik POLRI.
Dalam pasal 95 UURI No. 11 tahun 2010

tentang Cagar Budaya bahwa salah satu


tugas pemerintah dan / atau Pemerintah
Daerah mempunyai tugas melakukan
pelestarian baik dengan cara pelindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan cagar
budaya. Sedangkan pasal 96 bahwa
pemerintah dan / atau pemerintah daerah
mempunyai beberapa kewenangan, yaitu
1) Mengkoordinasikan pelestarian cagar
budaya melalui lintas sektoral; 2) Melakukan
penyidikan kasus pelanggaran hukum maupun
kejahatan terhadap cagar budaya. Tugas
dan kewenangan tersebut inheren dengan
penyidikan yang dilakukan oleh PPNS. Dalam
pasal 100 (1) disebutkan bahwa penyidik
pegawai negeri sipil merupakan pejabat
pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya di bidang pelestarian,
khususnya penegakan hukum cagar budaya
yang diberi wewenang khusus melakukan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana
serta peraturan perundangan tindak pidana
Cagar Budaya (UURI No. 11 Tahun 2010).
Berdasarkan pengaturan pasal 100 (1)
itu maka dapat dikatakan bahwa PPNS cagar
budaya merupakan penyidik yang bersifat
mandiri atau tunggal. Artinya bahwa PPNS
cagar budaya mempunyai kewenangan
besar dalam bidang penanganan tindak
pidana cagar budaya. Kewenangan yang
dimiliki diatur dalam pasal 100 (2) yaitu
sebagai berikut:
1. Menerima laporan atau pengaduan;
2. Pemeriksaan di TKP (Tempat Kejadian
Perkara);
3. Melakukan penggeledahan dan sita
barang bukti;
4. Pendokumentasian sidik jari dan
pemotretan;
5. Memanggil dan memeriksa tersangka
dan saksi;

73

6. Mendatangkan saksi ahli;


7. Membuat berita acara pemeriksaan;
8. Menghentikan penyidikan jika tidak
cukup bukti tentang adanya tindak
pidana di bidang cagar budaya.
Dalam hal tugas penyidikan tindak
pidana cagar budaya,
penyidik POLRI
mempunyai kewenangan terbatas, yaitu
sebagai KORWAS PPNS (pasal 100 (3)).
Konsekuensi logis dan yuridis aturan itu
bahwa penanganan tindak pidana cagar
budaya sebagaimana diamanatkan UURI No.
11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tidak
akan dapat dilakukan secara tuntas sampai
dengan penuntutan oleh JPU (jaksa penuntut
umum) apabila pemberkasan atau (berita
acara pemeriksaan) tidak dilaksanakan, dan
ditandatangani sendiri oleh PPNS.
Untuk mendukung tugas kewenangannya
yang khusus itu, maka syarat-syarat
pengangkatan SDM (sumberdaya manusia)
PPNS terus ditingkatkan. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983,bahwa PPNS
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda Tingkat I /Golongan II / b, kemudian
berdasarkan Peraturan KAPOLRI No. 26 Tahun
2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
dan Latihan PPNS syarat itu ditingkatkan,
hal itu untuk mendukung tugas dan
kewenangannya itu. Beberapa perubahan
dan peningkatan syarat itu antara lain:
berpangkat paling rendah Penata Muda/
golongan III/a serta berpendidikan paling
rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang
setara. Dalam mengimplementasikan tugas
dan kewenangannya itu maka diperlukan
suatu tata kelola organisasi di UPT BPCB
yang mendukung ketugasan PPNS secara
komprehensif, baik kebijakan, program
kegiatan, pembinaan, dan pendanaan yang
bijak serta memadai.

74

C. Manajemen Penyidikan PPNS


Hakekat penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam rangka mengumpulkan
barang bukti untuk membuat terang suatu
perkara tindak pidana guna menentukan
seseorang sebagai tersangka. Dalam hal ini
penyidik dituntut untuk melakukan pembuktian
dengan mengacu kepada pasal 184 KUHAP (1),
yaitu alat bukti yang sah adalah keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Beberapa alat bukti
itu kemudian dilakukan analisis, baik terkait
dengan kesaksian, barang bukti, dan keberadaan
pelaku. Langkah-langkah pembuktian yang
dilakukan adalah penanganan TKP agar tetap
status quo; pendokumentasian TKP; mencari,
mengumpulkan, dan mengidentifikasikan barang
bukti serta hasil wawancara.
Dengan pendekatan teknik dan taktik
penyidikan maka penanganan yang dilakukan
akan dapat memenuhi asas legalitas untuk
langkah-langkah lebih lanjut ke dalam
penanganan penyelidikan, penindakan, dan
pemeriksaan. Langkah-langkah penanganan
itu harus dilaksanakan secara benar dan sah
menurut peraturan perundangan serta dengan
tata kelola pengorganisasian atau manajemen
penyidikan.

Pada dasarnya manajemen mempunyai
pengertian proses dimana suatu kelompok
secara bekerja sama mengarahkan dan
mengkoordinasikan
tindakannya untuk
mencapai tujuan bersama. Proses tata kelola
pelaksanaan kegiatan tersebut berdasarkan
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
dan pengendalian, pengawasan, serta evaluasi
(Arsyad, 2003: 1, 15).Unsur-unsur utama di
dalam pelaksanaan manajemen itu yaitu ideide, manusia, dan sesuatu yang terkait dengan
proses manajerial. Proses kegiatan akan dapat
dilakukan secara baik, efektif, dan efisien
apabila menerapkan aspek itu. Tidak terkecuali

Jurnal Widya Prabha 2014


di dalam pelaksanaan proses penyidikan suatu
tindak pidana oleh PPNS. Untuk melaksanakan
tata kelola penyidikan secara efektif dan
efisien, maka PPNS mengacu kepada aspek
manajemen penyidikan yang diatur di dalam
Peraturan KAPOLRI No. 6 Tahun 2010 tentang
Manajemen Penyidikan oleh PPNS. Manajemen
penyidikan PPNS adalah pengelolaan penyidikan
tindak pidana yang dilakukan oleh PPNS secara
terencana, terorganisir, terkendali, sehingga
penyidikan dapat berjalan secara efektif dan
efisien.

Manajemen penyidikan secara menyeluruh
di dalam kasus tindak pidana cagar budaya
meliputi proses penanganan yang diawali dengan
adanya Laporan Kejadian, Proses Penyelidikan,
Proses Penyidikan (pemberkasan/BAP), Resume
Berita Acara Pemeriksaan (Saksi, Tersangka,
Saksi Ahli), dan Penyerahan Berkas Perkara ke
Jaksa Penuntut Umum (JPU) melalui Penyidik
POLRIKORWAS PPNS. Alur proses manajemen
tersebut sebagai berikut:
Rangkaian
manajemen
penyidikan
oleh PPNS diawali dengan perencanaan
untuk menentukan, pertama, menentukan
sasaran penyidikan didasarkan: orang yang
diduga melakukan pidana, perbuatan pidana,
unsur pasal yang akan diterapkan, alat bukti
serta barang bukti. Kedua, sumberdaya yang
dilibatkan terdiri dari tim pelaksana yang
mempunyai otoritas, kredibilitas, kompetensi,
dan integritas; sarana prasarana dan anggaran
yang diperlukan. Ketiga, cara bertindak meliputi
bidang teknis dan prosedur kegiatan penyidikan.
Keempat, waktu yang akan digunakan dengan
memperhatikan proses kegiatan penyidikan.
Kelima, pengendalian penyidikan terdiri dari
penyiapan administrasi penyidikan; buku kontrol
yang berisi jadwal kegiatan, materi supervisi dan
asistensi; jadwal evaluasi kegiatan (perencanaan,
pengorganisasian, dan pelaksanaan); laporan
kegiatan penyidikan serta data penyelesaian

kasus.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
di dalam perencanaan penyidikan yaitu
melakukan inventarisasi fakta dan data
untuk menyusun matrik penyidikan. Langkah
berikutnya adalah menentukan beberapa
hal sebagai berikut : (1) penyidik atau PPNS;
(2) saksi, dan pelaku yang akan diperiksa; (3)
saksi ahli yang akan diundang; (4) barang
bukti; (5) tersangka tindak pidana dan pasal
yang disangkakan; (6) penyiapan SPDP (Surat
Pemebitahuan Dimulainya Penyidikan; (7)
Koordinasi dengan pihak terkait khususnya
KORWAS PPNS (POLRI). Di samping itu, dalam
proses penyidikan juga dilaksanakan gelar
perkara, baik awal (sebelum penyidikan),
pertengahan (proses penyidikan), dan
akhir. Hal itu dilakukan untuk memperoleh
masukan, baik dari pihak internal dan
eksternal yang dapat menyempurnakan
berkas pemeriksaan. Setelah itu berkas
pemeriksaan yang lengkap siap dikirim ke
JPU melalui penyidik POLRI.
Setelah
dilakukan
perencanaan
maka ditindaklanjuti dengan melakukan
pengorganisasian
penyidikan
baik
pengorganisasi sumberdaya, menentukan
kriteria sumberdaya manusia PPNS, dan
penggolongan pengorganisasian sumberdaya
PPNS, baik dalam perkara mudah ( ditangani
oleh 2 PPNS), sedang (3 PPNS), sulit (4
PPNS), dan sangat sulit (5 PPNS atau lebih).
Diketahuinya tindak pidana dalam bidang
kepurbakalaan diawali dengan adanya laporan
kejadian, tertangkap tangan, dan diketahui
langsung oleh PPNS cagar budaya. Setelah
itu dilakukan penyelidikan dan dilanjutkan
dengan mulainya proses penyidikan yang
terdiri dari beberapa tahapan kerja sebagai
berikut:
1. Pengolahan TKP
2. Pemberitahuan dimulainya penyidikan,

75

3. Pemanggilan,
4. Penangkapan (untuk PPNS cagar budaya
dengan meminta bantuan penyidik POLRI).
5. Penahanan (untuk PPNS cagar budaya
dengan meminta bantuan penyidik POLRI).
6. Penggeledahan dan penyitaan
7. Berita Acara Pemerikasaan
8. Penyelesaian berkas dan penyerahan
berkas perkara sebagaimana persyaratan
manajemen atau tata aturan administrasi
penyidikan
9. Pengendalian penyidikan.
Dari beberapa langkah penyidikan tersebut
aspek pengendalian penyidikan merupakan
langkah dukungan atasan merupakan urgensi
yang strategis. Pada dasarnya pengendalian
tersebut dilakukan selama proses perencanaan,
pengorganisasian, dan pelaksanaan. Hal itu
dilakukan sebagai langkah kontrol dan perangkat
evaluasi di dalam proses penyidikan. Pihak-pihak
yang melakukan pengendalian adalah atasan
PPNS dan penyidik POLRI selaku KORWAS. Oleh
karena itu, atasan PPNS harus melaksanakan
koordinasi lintas sektoral untuk memperlancar
tugas-tugas penyidikan. Langkah pengendalian
ini diperlukan agar alur manajemen penyidikan
tetap di dalam bingkai peraturan yang berlaku
dan untuk mewujudkan penegakan hukum
sebagaimana undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya (UURI No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya) secara konsekuen. Makna
konsekuen di dalam penegakan hukum cagar
budaya yaitu untuk mewujudkan asas pelestarian
terutama keadilan, ketertiban, kepastian hukum,
keberlanjutan, transparansi, dan akuntabilitas.
Di samping itu, juga mengingat tujuan pelestarian
dalam hal,melestarikan warisan budaya bangsa
dan warisan umat manusia.

76

D. Penegakan Hukum Tindak Pidana Cagar Budaya


di Daerah Istimewa Yogyakarta 2013 2104
Penanganan penyidikan tindak pidana cagar
budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
dilakukan oleh penyidik PPNS BPCB Yogyakarta
bersama POLRI khususnya KORWAS-PPNS
POLDA Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun
2013-2014 yaitu antara lain: 1) Kasus perusakan
bangunan cagar budaya SMA 17 I Yogyakarta; 2)
Pencurian koleksi Museum Negeri Sanabudaya
Yogyakarta. Penanganan pencurian koleksi di
Museum Negeri Sanabudaya Yogyakarta masih
terus diintensifkan penyelidikannya dengan
melakukan pemeriksaan beberapa saksi. Sampai
saat ini belum ditemukan tersangka dan barang
bukti benda koleksinya. Untuk kasus penegakan
hukum perusakan bangunan cagar budaya SMA
17 I Yogyakarta dapat dilakukan secara tuntas,
dari penyidikan sampai berlanjut ke pengadilan.
Terkait dengan keberadaan bangunan cagar
budaya dan upaya penanganan kasus tersebut
yaitu sebagai berikut.
1. Status Bangunan Cagar Budaya SMA 17 I
Yogyakarta

Status kepemilikan lahan saat ini
masih menjadi permasalahan pelik antara
Yayasan SMA 17 I Yogyakarta dengan
seseorang bernama Bedasakti R.H. (BRH),
yaitu salah seorang putera atau ahli waris
Alm. Bonaventura (mantan ketua Yayasan).
Kondisi terkahir permasalahan menjadi
melebar karena oleh BRH aset tersebut di
jual kepada orang lain dan terakhir dijual
kepada seseorang yang berdomisili di
Purwokerto yaitu MZ (Mohammad Zakaria).
Terkait dengan status hukum
bahwa
bangunan SMA 17 I Yogyakarta tersebut
ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya,
No. urut 39, dengan Surat Keputusan
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
No. 210/KEP/2010, tanggal 02 September
2010. Ditetapkan sebagai cagar budaya oleh

Jurnal Widya Prabha 2014


Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta,
karena bangunan tersebut mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, dan pendidikan. Nilai-nilai
penting itu inheren dengan coraknya sebagai
bangunan indis dan dibangun pada masa
Hindia Belanda. Secara historis bangunan
tersebut dahulu difungsikan untuk asrama
atau salah satu markas tentara pelajar di ibu
kota Republik Indonesia di Yogyakarta, mulai
17 Juli 19146 sampai dengan tahun 1948.
Oleh karena itu, status hukum bangunan
tersebut dilindungi dengan peraturan
perundangan cagar budaya yang berlaku
dan setiap tindakan pidana yang dilakukan
terhadap bangunan tersebut ketentuan
hukumnya mengacu kepada UURI No. 11
Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

2. Kronologi Kasus Perusakan Bangunan Cagar
Budaya.

Kronologi ini didasarkan kesaksian
Kepala Sekolah SMA 17 I yaitu SYD (Suyadi)
dan guru-guru yang menjelaskan secara
singkat sebagai berikut.
Ada
kejadian
yang
mendahului
perusakan yaitu pada hari Kamis
tanggal 21 Maret 2013 diawali dengan
adanya pemasangan pagar besi dan
pintu sekolahan digembok atau dikuci.
Akibatnya, kegiatan belajar mengajar di
sekolahan tersebut mengalami gangguan
dan tidak lancar.
YTH (Yogo T.H.) mendapatkan SPK (Surat
Perjanjian Kerja) dari MZ pemilik terakhir
yang beralamat dari Kota Purwokerto.
Akan tetapi, SPK dari MZ tersebut
ditanda tangani oleh BRH, yaitu pemilik
sebelumnya.
Atas dasar SPK tersebut YTH kemudian
menunjuk
tukang
pembongkar
atau menggunakan
jasa pelaksana

pembongkar bangunan yaitu orang


yang bernama HH yang membawa
tukang bongkar sebanyak kira-kira
30 orang.
HH melaksanakan pembongkaran
karena mendapatkan SPK dari YTH.
Pada Hari Sabtu tanggal 11 Mei
2013 pukul 14.45 seseorang suruhan
dari pemilik yang beralamat di
Purwokerto yang
bernama YTH
bersama dengan sekitar 30 orang
datang dengan membawa palu dan
peralatan tukang dan kemudian naik
keatas merusak kerpus, menurunkan
genting melepas dengan paksa kayu
usuk, kayu reng, kayu kerangka
kudakuda dan melepas kusen pintu
dan jendela bangunan Cagar Budaya,
sisi Selatan paling Timur. Bangunan
cagar budaya yang masih tersisa atau
tidak dibongkar yang sisi tengah.
Akibat perbuatan dengan sengaja
tersebut bangunan cagar budaya
SMA 17 I Yogyakarta mengalami
kerusakan parah, baik bagian struktur
atap, kusen pintu, kusen jendela,
maupun sebagian dinding-dinding
bangunannya.
Atas dasar kerusakan itu kemudian
oleh SYD (Suyadi) atau kepala
sekolah SMA 17 I melaporkan kasus
perusakan itu kepada PPNS BPCB
Yogyakarta.
Untuk
selanjutnya
kemudian dibuat Laporan Kejadian
(LK) dan selanjutnya dilakukan proses
penyidikan sebagaimana peraturan
perundangan yang berlaku.

3. Penegakan Hukum Tindak Pidana


Perusakan Bangunan Cagar Budaya SMA
17 I Yogyakarta.

Atas tindakan pelanggaran

77

hukum yang dilakukan, maka oleh Tim


Penyidik dari PPNS BPCB Yogyakarta bekerja
sama dengan KORWAS POLDA Yogyakarta
melakukan proses penyidikan. Berdasarkan
analisis kasus, yaitu atas berbagai alat
bukti yang ada, baik keterangan saksi-saksi,
dan barang bukti, telah diketahui adanya
kerusakan bangunan cagar budaya yang
dilakukan dengan sengaja. Akibatnya terjadi
kerusakan material komponen bangunan
maupun bangunan secara keseluruhan,
serta rusak pula berbagai nilai-nilai penting
yang dikandungnya. Atas dasar itu kemudian
PPNS menetapkan 2 (dua) orang tersangka
perusakan cagar budaya yaitu MZ (tersangka
I) dan YTH penting (tersangka II). Proses
pemberkasan penyidikan diawali pada tahun
2013 sampai dengan 2014. Berdasar analisis
yuridis tindakan tersangka memenuhi
unsur-unsur pasal yang disangkakan yaitu
tindak pidana perusakan cagar budaya
dengan sengaja yang diatur dalam pasal
66 ayat 1 setiap orang dilarang merusak
cagar budaya, baik seluruh maupun bagianbagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan
/ atau dari letak asal. Tindak pidana itu
diancam hukuman dengan pasal 105, yaitu
...dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp.500.000.000,- (lima ratus ribu rupiah)
dan paling banyak RP.5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah). Sebagaimana diketahui
bahwa perusakan cagar budaya tidak hanya
berakibat merusakan material fisiknya
tetapi juga berdampak pada degradasi dan
kehilangan nilai-nilai pentingnya.

Sesuai dengan tata aturan
manajemen penyidikan bahwa setelah
proses pemberkasan selesai, kemudian BAP
diserahkan kepada JPU (jaksa penuntut
umum) di Kejaksaan Tinggi Yogyakarta

78

melalui KORWAS PPNS POLDA DIY. Setelah


adanya arahan perbaikan atau keterangan
P-19 dari JPU, kemudian dilakukan koreksi
dan berbagai macam perbaikan dengan
mengadakan pemeriksaan tambahan,
maka setelah perbaikan BAP dikirimkan
kembali ke JPU, kemudian Kejaksaan
Tinggi mengeluarkan P 21 atau BAP
sudah lengkap. Atas dasar itu PPNS BPCB
Yogyakarta bersama KORWAS PPNS POLDA
harus menyerahkan Tersangka dan Barang
Bukti ke Kejaksaan pada 9 September 2014,
kemudian siap dilimpahkan ke Pengadilan
Negeri untuk dapat disidangkan.

IV. Tantangan PPNS dalam Penegakan Hukum


Cagar Budaya


Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan
PPNS di bidang Cagar Budaya mempunyai kedudukan
sangat penting di dalam upaya penegakan hukum cagar
budaya (pasal 100, UURI No. 11/2010). Kewenangan
PPNS secara formal atau apa yang seharusnya, di
dalam proses penyidikan sangat besar dan kuat, karena
merupakan penyidik mandiri atau independen. Di
dalam proses penanganan tindak pidana cagar budaya,
PPNS harus melakukannya secara mandiri dengan
berkoordinasi dengan KORWAS POLRI. Akan tetapi,
secara realita atau kenyataannya, implementasi tugas
dan kewenangan dalam penegakan hukum cagar
budaya di Indonesia masih menjadi cita-cita bersama
ataupun tantangan yang perlu diwujudkan. Institusi
UPT Kebudayaan yang menjadi induk organisasi atau
pengampu PPNS secara keseluruhan belum dapat
menjalankan tugas proses penyidikan sebagaimana
diatur peraturan perundangan yang berlaku.

Jumlah PPNS cagar budaya di UPT Kebudayaan
Pusat yang ada di daerah kira-kira berjumlah 33 orang.
Katagori pendidikan diklat PPNS tersebut ada 2 (dua)
macam yaitu, pertama, pendidikan diklat PPNS
standard selama 400 jam di PUSDIKLAT RESKRIM
(d/h RESINTELPAM) POLRI di Megamendung, Bogor.

Jurnal Widya Prabha 2014


Katagori pendidikan ini diperuntukan bagi pelaksana
fungsional penyidikan kasus cagar budaya dalam
rangka penegakan hukum perundangan yang menjadi
dasar hukumnya (pasal 5, PERKAP KAPOLRI No.
26/2011). Kedua, pendidikan diklat PPNS melalui
penataran manajerial PPNS selama 200 jam yang
bersifat program cepat. Katagori diklat manajemen
PPNS ini pada dasarnya khusus diperuntukkan untuk
meningkatkan pemahaman bagi pengampu kebijakan
tentang arti penting pelaksanaan tugas fungsi
PPNS. Tujuannya untuk menghasilkan manajer atau
pimpinan atasan PPNS yang mampu merencanakan,
mengorganisasi, melaksanakan, dan mengendalikan
proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS sebagai
pelaksana penyidikan yang berada di bawah tanggung
jawabnya (pasal 6 ayat 2).

Realita konkrit kondisi PPNS di 12 UPT
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini, baik
dalam perencanaan, pelaksanaan tugas fungsi secara
teknis, dan penganggaran secara maksimal belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh institusi
tersebut. Di samping itu, berdasarkan laporan pada
saat pembinaan PPNS bulan November 2013 di Bogor
dapat diketahui, sebagai berikut:
(1) PPNS yang secara konkrit pernah melakukan
pengumpulan bahan keterangan atau penyelidikan
dan pemberkasan atau penyusunan berita acara
pemeriksaan (BAP) dalam rangka penyidikan adalah
BPCP Jawa Timur dan BPCB Yogyakarta atau dengan
prosentase 16, 66 % dari total 12 UPT.
(2) PPNS yang telah dapat melaksanakan penyusunan
atau pemberkasan sampai dengan BAP lengkap (P21)
untuk menegakkan UURI No. 11 tahun 2010 tentang
cagar budaya adalah BPCB Yogyakarta.
(3) Instansi yang telah elakukan perencanaan
pendanaan atau penganggaran untuk penanganan
kasus penegakan hukum cagar budaya prosentasenya
6,33 % dari total 12 UPT.

Sampai dengan tahun 2014 yang
menganggarkan di dalam kegiatan tersebut adalah
BPCB Yogyakarta. Namun demikian kuantitasnya

masih harus ditingkatkan secara signifikan atau


disesuaikan dengan tantangan penanganan kasus
yang dihadapi. Beberapa permasalahan itu dapat
diidentifikasikan, yaitu disebabkan oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal terkait
dengan beberapa tantangan, pertama, kondisi
kualitas dan kuantitas PPNS cagar budaya. Kedua,
manajemen organisasi PPNS cagar budaya di UPT.
Faktor eksternal adalah terkait dengan kondisi
tantangan permasalahan penegakan hukum tindak
pidana cagar budaya yang seringkali menghadapi
kendala administrasi proses pencagarbudayaan,
baik bangunan, benda, struktur, situs, dan
kawasan.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas
menjadi sebuah tantangan bagi keberadaan PPNS
cagar budaya. Berdasarkan peta permasalahan
dapat dikemukakan bahwa ada 6 (enam) persoalan
besar yang menjadi tantangan itu yaitu sebagai
berikut:
1. Persoalan administrasi dan sistem di dalam
proses serta prosedur penetapan cagar
budaya yang membutuhkan waktu yang
panjang, sehingga secara kuantitatif belum
banyak bangunan, benda, struktur, situs,
dan kawasan yang ditetapkan sebagai cagar
budaya. Hal ini diakibatkan kemampuan dan
keberadaan tim ahli cagar budaya di daerah
yang belum siap. Kondisi ini berpengaruh
terhadap kuantitas cagar budaya yang dapat
diproses secara hukum apabila terjadi tindak
pidana.
2. Persoalan
adanya berbagai ancaman
keberadaan cagar budaya yang ada di darat
dan / atau di air, baik berupa pelanggaran
perijinan
(pengalihan,
memindahkan,
memisahkan, membawa cagar budaya ke
luar wilayah, dan mengubah fungsi ruang),
tidak melaporkan temuan yang diduga cagar
budaya, tidak izin melakukan pencarian,
menghalangi atau menggagalkan upaya
pelestarian, sengaja melakukan perusakan,

79

pencurian, dan penadahan hasil pencurian cagar


budaya.
3. Persoalan manajerial dan tata organisasi baik di
tingkat UPT di daerah maupun Direktorat belum
mempunyai struktur induk PPNS secara jelas
dan tersistem. Kegiatan PPNS saat ini menjadi
satu bagian dengan tugas kelompok kerja
pelindungan ataupun pengamanan, sehingga
tugas itu masih dianggap tugas sampiran dan
bukan sebagai tugas pokoknya. Perlu diketahui,
bahwa berdasarkan kewenangan dan tugas
fungsinya bahwa UPT Kebudayaan tersebut pada
dasarnya menjadi sebuah institusi pengemban
penegakan hukum cagar budaya. Oleh karena
itu, di dalam UURI No. 11 tahun 2010 tentang
Cagar Budaya sudah diatur tentang tugas
Penyidikan cagar budaya (pasal 100) dalam
rangka pelestarian cagar budaya.
4. Persoalan teknis pelaksanaan proses penyidikan
akan dapat berjalan secara baik, apabila
mempunyai keberanian, kemampuan, komitmen,
konsistensi, dan integritas di dalam melakukan
penyusunan berkas atau pemberkasan (BAP)
dalam penanganan kasus-kasus hukum cagar
budaya.
5. Persoalan pendanaan atau penganggaran
penanganan untuk kasus secara khusus dapat
memungkinkan penanganan kasus tindak
pidana cagar budaya dapat berjalan baik. Bukan
rahasia lagi bahwa masih adanya persoalan dan
kesulitan pendanaan dalam penegakan hukum
cagar budaya. Minimnya dana atau bahkan tidiak
adanya dana yang dianggarkan juga menjadi
hambatan dalam rangka membangun eksistensi
tugas fungsi secara optimal. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan PPNS belum optimal menjadi
leading sector kegiatan penanganan kasus
penegakan hukum. Terkesan eksistensi PPNS
cagar budaya masih termarjinalkan dan belum
menjadi tugas pokok yang mempunyai urgensi
signifikan bagi upaya pelestarian cagar budaya,
baik secara imperatif, preventif, dan represif.

80

6. Persoalan membangun jejaring atau kemitraan


dengan KORWAS POLRI di POLRES maupun
POLDA di masing-masing daerah. Membangun
jejaring dan pelaksanaan tugas-tugas penyidikan
harus dilakukan secara integral, terlebih di
BPCB yang mempunyai wilayah perairan dan
mempunyai potensi cagar budaya yang sangat
banyak. Di samping mempunyai kerawanan
dan ancaman yang tinggi serta kompleks,
dalam penanganannya juga harus membangun
jejaring dengan jajaran aparat penyidik lainnya.
Kemitraan dan koordinasi penting dilakukan
mengingat
organisasi yang ada seringkali
tumpang tindih dengan tugas fungsi Balai
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).

Gambar 1. Kondisi bangunan SMA 17 1 Yogyakarta


sebelum terjadi perusakan

Jurnal Widya Prabha 2014

Gambar 2. Kondisi bangunan SMA 17 1 Yogyakarta


setelah dilakukan pembongkaran, tampak bagian
genteng, kerangka atap sudah dibongkar, serta kusen,
daun pintu-jendela dan beberapa bagian dinding.

V.

Kesimpulan


Persoalan dan tantangan di dalam upaya
penegakan hukum cagar budaya tersebut perlu
terus dikelola dan dicarikan jalan atau solusi secara
baik. Upaya pelestarian cagar budaya khususnya
melalui cara penegakan hukum merupakan bagian
kewenangan dan harus menjadi gerakan aksi nasional
bagi institusi UPT Kebudayaan (BPCB, Balai Konservasi
Borobudur, maupun Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran). Kesiapan UPT Kebudayaan di daerah
di seluruh Indonesia tentunya harus didukung secara
maksimal. Terkait dengan permasalahan itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :

Pelaksanaan pendampingan bagi upaya


pembenahan administrasi dalam proses
pendaftaran cagar budaya sampai dengan
implementasi penetapan khususnya dan
register nasional di SKPD masing-masing
Pemerintah Daerah pada umumnya;
Pembenahan organisasi dalam rangka
membangun sistem penegakan hukum cagar
budaya, yaitu dengan malakukan pembentukan
organisasi atau kelompok kerja yang secara
substantif bertugas dalam hal proses penyidikan
cagar budaya sebagai bagian esensial dari
suatu jabatan pokok yang harus dilaksanakan;
Peningkatan kuantitas
dan peningkatan
kapasitas kemampuan atau kualitas sumberdaya
manusia PPNS cagar budaya;
Pembinaan sumberdaya manusia khususnya
PPNS Cagar Budaya secara berkelanjutan;
Peningkatan jejaring kerjasama antara PPNS
Cagar Budaya dengan KORWAS PPNS di POLDA
dan POLRES di masing-masing daerah;
Penegakan hukum cagar budaya merupakan
prioritas utama dalam upaya pelindungan cagar
budaya secara menyeluruh;
Perencanaan pendanaan dalam rangka
penegakan hukum harus dilakukan secara
baik dan akuntabel, sehingga mampu untuk
memproses penanganan hukum secara tuntas,
baik untuk kasus yang ada di darat dan / atau
di bawah air. Khusus penegakan hukum cagar
budaya di air tentu proses penanganannya
harus menyesuaikan dengan
tantangan
lingkungan kerja yang ada, baik dari segi
prosedur
pelaksanaan proses penyidikan
maupun pembeayaannya.

Ke depan harapannya akan tercipta
pemahaman substansi hukum bidang cagar budaya
oleh masyarakat; tercipta struktur hukum cagar
budaya yang dilakukan BPCB / UPT Kebudayaan
secara sistemik; tercipta budaya hukum cagar
budaya yang baik, dan pelestarian cagar budaya

81

secara berkelanjutan. Akhirnya, upaya imperatif,


langkah preventif, dan tindakan represif diharapkan
dapat menumbuhkan kesadaran, serta suatu dampak
hukum yang positif yaitu adanya ketaatan hukum
oleh masyarakat. Di samping itu, secara kelembagaan
akan ada komitmen dan kompetensi penanganan
penegakan hukum cagar budaya oleh institusi BPCB /
UPT Kebudayaan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangan yang berlaku secara berintegritas dan
konsisten.

Pengalaman penegakan hukum dalam kasus
perusakan bangunan cagar budaya SMA 17 I Yogyakarta
dapat menjadi refleksi bersama bahwa UU RI No. 11
Tahun 2010 tentang cagar budaya dapat ditegakkan /
diimplementasikan oleh PPNS BPCB.

* Penulis adalah Kapokja Dokumentasi, Publikasi, dan


Informasi, Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.

82

Daftar Pustaka
Akhdiat, Hendra dan Marliani, Rosleny. 2011. Psikologi
Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Anonim. Undang-undang RI. No. 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya.
_______. Undang-undang RI. No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana.
_______. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012
Tentang Tatacara Pelaksanaan Koordinasi,
Pengawasan, dan Pembinaan Terhadap
Kepolisian Khusus, PPNS, dan bentuk-bentuk
Pamswakarsa.
_______. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2012 Tentang
Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar
Budaya.
_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No.
26 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan dan Latihan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil.
_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 6
Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan
Oleh PPNS.
_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 20
Tahun 2010 Tentang Koordinasi, Pengawasan,
dan Pembinaan Penyidikan Bagi PPNS.
Arsyad, Azhar. 2002. Pokok-pokok Manajemen.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 2005. Hukum Tata
Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hujbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta:
Kanisius.
Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Pidana
di Indonesia. Bandung: Eresco.
Prot, Lyndel dan P.J.O. Keffe. 1984. Law and the Cultural
Heritage. Profesional Book Limited.
Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. 2004. Beberapa
Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: Alumni.
Skinner, B.F. 2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susanto, I.S. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta
Publishing.

Jurnal Widya Prabha 2014

83

84

Anda mungkin juga menyukai