Jurnal 2014kecil
Jurnal 2014kecil
3
12
19
29
42
57
68
Pengantar Redaksi
Puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga apa yang kita rencanakan dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
Penerbitan jurnal tahunan Widya Prabha ke-3 ini telah dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan
rencana. Jurnal ini diterbitkan sebagai salah satu publikasi berbagai aspek tentang pelestarian cagar budaya. Upaya publikasi itu merupakan bagian dari implementasi program internalisasi cagar
budaya kepada masyarakat.
Terimakasih kepada para kontributor tulisan yang telah meluangkan waktu dan memanfaatkan kesempatan untuk menulis artikel dalam jurnal ini. Kepada semua Tim Redaksi yang telah
dapat mewujudkan jurnal ini, kami tidak lupa memberikan penghargaan yang tinggi. Semoga jurnal
ini dapat menjadi sumbang saran di dalam kajian tentang pelestarian dan dapat menjadi bahan
kepustakaan. Diakui bahwa berbagai kontribusi penulisan tersebut masih terbatas dan belum maksimal, oleh karena itu berbagai kritik dan saran diperlukan untuk perbaikan penerbitan di masa
mendatang. Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan dan meridhoi setiap upaya kita dalam mengimplementasikan internalisasi tentang pentingnya cagar budaya bagi penguatan karakter
bangsa.
Redaksi
Catatan Redaksi :
Perspektif Budaya dan Lingkungan dalam Pelestarian
Peran budaya di dalam berbagai bidang kehidupan, disadari maupun tidak, pada dasarnya memiliki
posisi sentral dan menentukan. Di dalalam era pembangunan yang mengejar pertumbuhan diyakini bahwa
pertumbuhan ekonomi akan dapat memperbaiki standard kehidupan dan kesejahteraan. Secara logis
sumber daya alam menjadi tumpuan untuk dapat dieksploatasi bagi kepentingan manusia. Pada akhirnya
ekplorasi yang dilakukan tidak mempertimbangkan aspek keseimbangan ekologis. Tidak mengherankan
apabila kemudian muncul kritik dan mendesak ditinggalkannya praktek-praktek seperti tersebut diatas.
Paradigma yang kemudian muncul adalah pendekatan yang pembangunan berkelanjutan yang holistik
dengan mengimplementasikan asas keseimbangan dengan aspek-aspek sosial - budaya dan lingkungan hidup.
Artinya, bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi sosial, pelestarian
budaya, dan lingkungan hidup.
Pada dasarnya budaya dapat diartikan sebagai corak hidup di dalam suatu lingkungan masyarakat
yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepakati bersama. Dapat
pula dipersepsikan sebagai sistem makna dan pemahaman arti dalam suatu sistem kepercayaan serta
pola perilaku kehidupan yang dilakukan masyarakat pendukung. Proses itu untuk menghayati kehidupan
di dalam memperjuangkan kehidupan (survival) bagi kehidupan yang bermartabat. Apa yang menjadi tata
nilai budaya dan kearifan di dalam masyarakat dapat menjadi kunci di dalam melakukan peendekatan bagi
terwujudnya upaya membangun kelestarian budaya dan alam sekelilingnya. Kita semua dituntut untuk
menjaga keseimbangan dan harmoni hubungan di antara manusia, alam, dan lingkungannya.
Satu contoh bahwa di dalam menjaga eksistensi geo heritage dan ekosistem Merapi harus memahami
bagaimana persepsi masyarakat tentang lingkungannya serta pola perilaku untuk memperjuangkan
kehidupan yang berkeseimbangan. Tentunya aspek pencegahan atau preventif menjadi pilihan yang
utama untuk dilakukan. Hal itu baik yang dilakukan dalam konteks lingkungan maupun budaya. Tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana menjaga kelestarian budaya dalam arti melakukan proses konservasi material
dan bangunan cagar budaya seperti halnya yang dilakukan di Benteng Cepuri Kotagede. Apabila pendekatan
preventif tidak dapat membuahkan hasil konkrit maka tentu harus menjalankan aspek kuratif atau represif.
Aspek represif inilah yang telah dilakukan di dalam menjaga eksistensi bangunan cagar budaya SMA 17 1
Yogyakarta. Menjaga eksistensi bangunan, sebagai salah satu properti budaya, juga akan dapat menjaga nilai
atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang tersurat inilah yang perlu terus dibudidayakan di
dalam masyarakat. Kedepannya, tugas menjaga keberlanjutan di dalam konteks keseimbangan merupakan
tanggungjawab bersama. Pemahaman arti penting dan pembelajaran pentingnya menjaga eksistensi
alam, lingkungan, dan warisan budaya sangat urgen untuk di implementasikan dalam rangka membangun
peradaban bangsa.
Redaksi
(Wirasanti, 2001).
Sejumlah kegiatan budaya (ritual) di
berbagai tempat yang hingga kini masih berlangsung
menggambarkan upaya manusia untuk selalu dekat
dengan alam. Mereka meyakini keberlangsungan
hidup manusia dapat langgeng apabila mampu
berkomunikasi yakni menghormati, menghargai
dengan alam. Sonny Keraf (2002) berpendapat alam
mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena
kehidupan manusia tergantung pada alam. Tetapi
terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia
adalah bagian integral dari alam, manusia adalah
anggota komunitas ekologis.
Rangkaian upacara yang dipilih sebagai pusat
kegiatan biasanya memiliki arti khusus bagi masyarakat
pendukungnya. Masyarakat di Dusun Gunungbang,
Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul memusatkan
kegiatan di sumber air. Selain itu tempat berupa laut
juga merupakan pusat kegiatan upacara ritual yang
disebut dengan labuhan atau petik laut, contohnya di
sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Berkaitan dengan
hal tersebut ada salah satu tradisi yang populer di Jawa
yang dilakukan saat menjelang pergantian tahun, yaitu
bulan Suro (atau bertepatan dengan 1 Muharam).
Masyarakat Jawa percaya bulan tersebut memiliki arti
khusus, yang terlihat dari berbagai upacara ritual yang
dilakukan. Tradisi turun-temurun menganjurkan bahwa
bulan tersebut saat yang tepat untuk menjalankan laku
prihatin. Tujuannya di masa-masa mendatang selalu
dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Tradisi yang masih dilakukan di lingkungan
kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran
dalam menyambut tahun baru Jawa atau disebut
tanggap warso tidak dengan berpesta pora, melainkan
dengan berbagai laku yang bernilai keprihatinan.
Malam menjelang pergantian tahun (yang bertepatan
dengan 1 Muharam) masyarakat berbondong-bondong
melakukan prosesi mengelilingi benteng kraton dengan
membisu. Mereka merasakan saat pergantian waktu
(tahun) tersebut dengan berjalan keliling dan membisu
memberikan suggesti untuk bersikap prihatin dan
mawas diri dalam menyongsong awal tahun.
Ada upacara menyambut pergantian tahun baru
Jawa (Sura) atau Muharam dalam kalender Islam, ada
pula upacara ritual menyambut tahun baru Syaka bagi
umat Hindu. Upacara ritual menyambut tahun baru
Syaka yang dikenal dengan Tawur Agung dilakukan
di Dusun Ringintelu, Desa Ngadirenggo, Kecamatan
Wlingi, Kabupaten Blitar.
Tawur Agung yang berarti pengorbanan besar
adalah upacara sakral yang berfungsi sebagai ruwatan
bagi alam bumi beserta makhluknya. Upacara ini
ditujukan untuk menjalin hubungan timbal balik antara
manusia dengan alam lingkungan atas kesejahteraan
hidup yang telah dipetik oleh manusia dari alam bumi
dan sebaliknya bumi sendiri agar tidak atau jangan
sampai membiaskan dampak negatip bagi manusia
yang dapat menyeret ke penderitaan dan kehancuran.
Upacara ini lebih cenderung difungsikan sebagai
ruwatan agung. Secara tradisi upacara dilaksanakan
menjelang pergantian tahun baru Syaka sehari
sebelum hari raya Nyepi. Sebelum upacara Tawur
Agung telah dilakukan rangkaian kegiatan beberapa
hari sebelumnya.
Pergantian tahun ini didasarkan pada
pengalihan purnama (Bulan penuh) dan tilem (bulan
mati). Artinya perayaan Nyepi dimulai setiap awal bulan
kesepuluh atau sehari setelah hari tilem yaitu bulam
kesembilan. Menurut perhitungan yang didasarkan
pada peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi
serta pergantian musim diperkirakan hari raya Nyepi
jatuh pada bulan Maret. Tepatnya tahun 2010 Masehi
ini hari raya Nyepi jatuh pada hari selasa, 16 Maret
2010.
Beberapa hari sebelum acara Tawur Agung
telah dimulai upacara Melasthi (sesaji untuk air/
lautan) di pantai Balekambang dengan membersihkan
semua peralatan upacara. Puncak acara Tawur Agung
ditandai dengan pemusnahan Bhutakala (ogoh-ogoh).
Arti simbolisnya yaitu figur Bhutakala identik dengan
penyebab kehancuran moral manusia, selanjutnya
tokoh tersebut dibakar dengan api suci hingga menjadi
abu, yang pada akhirnya abu diambil segenggam untuk
ditabur di masing-masing pekarangan rumah penduduk
10
IV. Penutup
Keberadaan masyarakat adat beserta seluruh
kekayaan dan nilai-nilai budayanya perlu diakui,
dijamin, dan dilindungi kebebasannya untuk
menunjukkan identitas atau menjadi diri sendiri.
Hal ini wajar mengingat kearifan masyarakat lokal
penuh pesan moral dan falsafah hidup yang concern
terhadap alam dan lingkungan. Kearifan tersebut
didasarkan pandangan yang holistik yaitu keinginan
untuk terus menjalin harmoni antara manusia,
alam, dan lingkungan. Citra lingkungan yang penuh
dengan makna kearifan ekologis ini amat penting
untuk membangun kesadaran religiusitas manusia
yang berdimensi spiritual dalam upaya menjaga
kelestarian daya dukung lingkungan. Dengan
kata lain watak dan keutamaan yang baik dalam
kehidupan manusia akan mempengaruhi tingkah
laku seseorang dalam menghadapi dan mengolah
lingkungan hidup di sekelilingnya.
11
12
Indonesia mempunyai deretan gunungapi
aktif sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik (Ring
of Fire on Pasific Rims), Gunungapi Merapi yang
terletak di dua wilayah (Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta) merupakan salah satu
dari gunungapi aktif dan dampak erupsinya sering
mengakibatkan banyak korban baik harta benda
maupun jiwa. Gunungapi Merapi memiliki potensi
ancaman bencana yang rata-rata setiap 3-5 tahun
sekali menunjukkan aktivitas dengan produknya
berupa aliran lava, awan panas (wedhus gembel),
hujan abu, dan bahaya sekunder berupa gerakan
massa tanah dan banjir lahar. Produk tersebut
jelas merupakan ancaman bagi jiwa manusia, dan
disisi lain gunungapi Merapi menyimpan potensi
semberdaya alam yang sangat dibutuhkan untuk
bahan pembangunan (bahan galian tambang),
pertanian-peternakan, dan sumber air untuk
masyarakat setempat dan sekitarnya bahkan
untuk wilayah lainnya. Oleh karena itu walaupun
penduduk dibayang-bayangi oleh bencana letusan
Gunungapi Merapi, tetapi tetap menjadi pilihan
untuk bertempat tinggal pada di lereng kawasan
Gunungapi Merapi.
Dalam sejarah kebudayaan menunjukkan
kawasan Gunungapi Merapi telah menjadi hunian
masyarakat dibuktikan dengan data arkeologis
berupa candi yang diasumsikan bangunan tersebut
milik komunitas pendukungnya untuk beribadah.
Bahkan pesanggrahan-pesanggrahan masa Mataram
Islam yaitu milik Kraton Surakarta dan Yogyakarta.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
Gunungapi Merapi dalam dimensi ruang dan waktu
konservasi.
13
Banyak ahli berpendapat Gunungapi Merapi
itu eksotis sekaligus memiliki karakterisik unik
dibandingkan dengan gunungapi lainnya yaitu ketika
aktivitasnya meningkat berupa asap yang selalu
mengepul, wedhus gembelnya yang membahana,
hingga lava pijarnya yang menyala. Fenomena tersebut
sesungguhnya sangat indah dipandang, tetapi juga
menakutkan. Karakteristik tersebut dipersepsikan
masyarakat Gunungapi Merapi memiliki nilai
kharismatik sehingga banyak cerita-cerita mistik, atau
folklor yang kini tetap hidup dan hadir dalam kehidupan
sehari-hari masyarakatnya. Berbagai fenomena
terkait dengan aktivitas Gunungapi Merapi sering
dipersepsikan dengan hal-hal yang sifatnya irasional.
Namun dibalik ungkapan-ungkapan yang terkesan tidak
logis tersimpan makna bentuk kesadaran masyarakat
dalam menghayati kekuatan-kekuatan adikodrati.
Sikap dan persepsi masyarakat yang
menganggap Gunungapi Merapi adalah gunungapi
yang berkharisma telah berlangsung lama, dibuktikan
adanya peninggalan Mataram Kuna (Hindu-Buddha)
dan Mataram baru (Islam) yang tersebar di lereng
tengah, dan lereng bawah Gunungapi Merapi. Gunung
dalam banyak kebudayaan dihayati sebagai tempat
yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia
atas, tempat yang tinggi disimbolkan dengan segala
yang mulia dan yang menguasai sekitarnya. Para
leluhur (dewata) selalu dibayangkan hidup dalam
wilayah puncak-puncak gunung. Dari sumber tertulis
dikisahkan para kawi mempersonifikasikan gunung
untuk menggambarkan karyanya dan merasakan
bahwa alam pada dasarnya bersatu dengannya
(Mangunwijaya, 1995, Wirasanti, 2009).
Bukti-bukti arkeologis berupa candi, prasasti,
dan data toponim menunjukkan adanya sejumlah
peninggalan purbakala abad VIII dan abad XVII
awal abad XVIII tersebar di lereng tengah hingga
bawah Gunungapi Merapi (Sumadio, 1984; Wirasanti,
2000, 2009). Dalam sejarahnya kawasan yang pernah
menjadi wilayah kerajaan Mataram Kuna itu mengalami
kehancuran akibat aktivitas vulkanik Gunungapi
Merapi. Semua candi di temukan rusak dan sebagian
14
15
16
IV. Penutup
Gunungapi Merapi sebagai geoheritage
memiliki ekosistem yang menyatu dengan
sosiokultur masyarakatnya yang spesifik. Dalam
dimensi ruang dan waktu ekosistem Gunungapi
Merapi tetap menarik perhatian masyarakat
untuk menjadi tempat hunian, meskipun kawasan
tersebut dekat dengan ancaman aktivitas
gunungapi. Catatan sejarah menujukkan sejak masa
kerajaan Mataram Hindu pada abad VIII Masehi
dan Kerajaan Mataram Islam (XVI Masehi) memilih
ekosistem Gunungapi Merapi menjadi pilihan untuk
membangun bangunan permukiman dan bangunan
ritual (misalnya candi, keraton dan pesanggrahan).
Hubungan antara komunitas dengan sumberdaya
alam dan lingkungan yang berlangsung di
Gunungapi Merapi apabila kurang memperhatikan
karakteristiknya akan mengakibatkan penurunan
kualitas sumberdaya dan lingkungannya.
Kultur masyarakat dalam berinteraksi
dengan Gunungapi Merapi terus berlangsung
dan memunculkan pandangan yang sifatnya
supranatural, diwujudkan dengan sejumlah cerita
mistis, cerita-cerita rakyat, dan tata upacara adat dan
tradisi. Gunungapi Merapi akhirnya menjadi mitos
yang menurut persepsi masyarakat tetap aman dan
nyaman sebagai hunian, bahkan bersahabat dengan
bencana letusan Gunungapi Merapi. Pengetahuan
yang menyeluruh tentang Gunungapi Merapi baik
yang ilmiah (Vulkanologi) dan pengetahuan lokal
yang dikonstruksi oleh komunitasnya menjadikan
Gunungapi Merapi sebagai sebuah geoheritage
yang terus berkharisma. Sudah seharusnya menjaga
kelestarian fungsi lingkungan Gunungapi Merapi,
bercermin pada perilaku arif komunitas yang hidup
dan berlangsung di kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Andreastudi, SD, Stratigraphy and Geochemestry of
Gunungapi Merapi Volkano, Central Java:
Implikation for Assesssment of Volkanic
Hazards. Ph. D University of Aukland Zealand.
Anonim, 2001, Rancangan Pengembangan Taman
Nasional Gunung Gunungapi Merapi Propinsi
DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop
DIY, tidak dipublikasikan.
Anonim, 2002, Sekitar Pengertian dan Persepsi Taman
Nasional Gunung Gunungapi Merapi, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, tidak
dipublikasikan.
Bahagiarti K, 2002, Gunungapi Merapi Sebagai
Sumberdaya Hidrogeologi, harian Kedaulatan
Rakyat, 28 September.
Bronto S, Gunungapi Merapi Sebagai Laboratorium
Alam Lingkungan Hidup, Harian Kedaulatan
Rakyat, 30 September 2002
Ghozali I., 2008, Pasag Gunungapi Merapi, : Kebijakan
Lokal Pengelolaan Bencana; Pola Penanganan
Darurat Letusan Gunungapi Merapi, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Rais J., 2004, Menata Ruang Laut Terpadu, Jakarta;
Pradnya Paramita
Setyawati K, Wiryomartono K, Willem van der Molen,
2002, Katalog Naskah Gunungapi MerapiMerbabu, Yogyakarta : Penerbit Universitas
Sanata Darma
Sumadio B, ed al, 1984, Sejarah Nasinal Jilid II, Jakarta
: Penerbit Jambatan.
Sumarwoto O., 1989, Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, Jakarta : Penerbit Djambatan.
Manunwijaya, 1995, Wastu Citra, Jakarta: Gramedia
Mulyana D., 2009; Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,
Bandung ; Remaja Rosdakarya
Noordyn, 1982, Bujangga manik Journeys Through Java
: Topographical Data From An Old Sundanese
Source, BKI S-Gravenhage Martinus Nijhoff,
Deel 138, h. 413-442
17
18
ABSTRACT
Physically
the
Borobudur
and
Prambanan
temple area and surround are
included in the Temple Tourism Park (TTP).
This TTP managed by PT. Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan one of State-Owned
Enterprises (Badan Usaha Milik Negara/BUMN),
the Ministry of Tourism and Creative-Economy.
However, there are some academic problems
which need to be re-examined for the benefit
of future professional management. Several
archaeological problems that are required to
re-assesment are the datas that related to
stupika and tablet, remains Bodhisatwa statue,
fragments of pottery and ceramics in southwest
of Borobudur temple. In the Temple Tourism
Park of Prambanan area, there is a concept of
Mandala at Sewu temple complex. The question
is, whether borders of Prambanan Temples
Tourism Park is correct? Hopefully the study
and reinterpretation as mentioned above will
provide a healthier contribution to the revitalize
the Borobudur and Prambanan Temples Tourism
Park area.
I. PENDAHULUAN
Kawasan percandian Borobudur dan
Prambanan serta candi candi yang ada diantara
kedua kompleks percandian tersebut sejak tahun
1991 oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai
situs cagar budaya dunia (World Heritage Site)
dengan nomor : 592 th. 1991 (Candi Borobudur)
dan 642 th. 1991 (Candi Prambanan). Bagi
bangsa Indonesia pengakuan dunia tersebut
merupakan salah satu kebanggaan yang patut
disyukuri. Sebagai salah satu obyek wisata
budaya berskala internasional, Taman Wisata
Purbakala Candi Prambanan Sewu ini menjadi
Daerah Tujuan Wisata yang potensial bagi
pemerintah maupun masyarakat.
Mengingat potensi situs cagar budaya,
serta agar situs tersebut dapat dipertahankan akan
pengakuan dunia internasional sebagai world
heritage site, maka perlu diberikan dukungan
yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai
situs cagar budaya dunia. Salah satu dukungan
yang dapat diberikan adalah dukungan akademis
yang terkait dengan kondisi fisik kawasan situs
cagar budaya dunia kompleks percandian
Prambanan Sewu. Adapun dukungan akademis
yang dimaksud ialah mencari batas batas situs
Candi Sewu berdasarkan konsep mandala yang
diperkirakan belum dijadikan pertimbangan
dalam menentukan kawasan cagar budaya
dunia tersebut.
19
Sumber : http://townsofusa.com
20
Candi
Borobudur
atau kemlesakan yang cukup siknifikan. Hingga
saat ini oleh para peneliti dan pemerhati Candi
Borobudur lantai tersebut dikenal sebagai lantai
Van Erp. Sejak saat itu pula Candi Borobudur
dikenal masyarakat secara luas bahkan hingga
mancanegara dan bahkan dikenal sebagai salah
satu dari 9 keajaiban dunia.
Perlu disadari oleh kita semua bahwa
keberadaan Candi Borobudur yang terletak di
wilayah Kabupaten Magelang ini tidak dapat
dipisahkan dengan candi-candi dan bangunan
kuna lain yang ada di sekitarnya. Demikianpula
dengan masyarakat dan lingkungannya. Sebagai
candi terbesar di Indonesia yang berlatar
belakang agama Budha, diperkirakan candi
Borobudur merupakan pusat pengembangan
agama Budha di Indonesia. Oleh karena itu
keberadaan candi ini tentu saja didukung oleh
berbagai aktivitas termasuk didalamnya adalah
berbagai fasilitas pendukungnya. Tinggalan lain
seperti Candi Mendut dan Candi Pawon serta
21
Candi
Prambanan
Kata mandala adalah bahasa Sanskerta
yang dalam kamus Jawa Kuna Inggris dapat
diartikan sebagai: anything round, disk, circle,
orb, ring, circumference, district, teritory,
province, country, multitude, collection, whole
body (Zoetmulder, P.J. 1982: Hal. 1099).
Secara sederhana Dr. Riboet Darmosoetopo
mengartikan mandala adalah kawasan atau
lingkup
keagamaan
yang
diekspresikan
secara fisik berupa bangunan bangunan
keagamaan dan dapat pula melambangkan
sebuah kekuasaan (wawancara langsung
dengan Dr. Riboet Darmosoetopo, 12 Mei
2010). Berdasarkan pengertian di atas, maka
keberadaan Candi Gana di sebelah Timur, Candi
Bubrah di Selatan, Candi Kulon (?) di Barat, dan
Candi Lor di sebelah Utara diperkirakan sebagai
bagian dari mandala candi Sewu. Namun
demikian, dalam pengelolaan dan penataan
kawasan situs cagar budaya dunia Candi
Prambanan Sewu ataupun Taman Wisata
Candi Prambanan Sewu tersebut, Candi
Gana, Candi Kulon, dan Candi Lor ketiganya
22
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
899.463
915.383
908.276
888.686
451.987
549.997
856.029
923.540
91.975
95.287
86.613
48.357
77.417
75.638
44.073
74.590
114.951
130.372
900.076
963.740
985.693
964.324
452.060
624.587
970.980
JUMLAH
8.460.460
839.273 9.299.733
Sumber : PT. TWC Borobudur-Prambanan.
23
24
V. PEMBAHASAN
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu
dikaji untuk mendukung Kawasan Taman Wisata
Candi Prambanan Sewu baik sebagai situs
cagar budaya dunia ataupun sebagai Kawasan
Strategi Nasional, pertama adalah pertimbangan
akademis yaitu terkait antara batas-batas situs
dan areal atau kawasan taman wisata. Mengacu
pada konsep mandala yang ada di kompleks
Candi Sewu, ada asumsi bahwa candi tersebut
dahulu di kelilingi oleh 4 buah sandi yang berada
di 4 penjuru mata angin. Ke empat candi tersebut
adalah Candi Bubrah di sisi Selatan, Candi Gana
di Timur, Candi Lor (Candirejo) di Utara, dan
Candi Kulon yang terletak di sisi Barat Candi
Sewu. Di antara keempat candi tersebut hanya
Candi Bubrah dan Candi Gana yang masih
dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan Candi
Lor sisa-sisa batu candi sebagian digunakan
oleh penduduk setempat untuk pagar dan
pondasi rumah masih dapat ditelusuri. Adapun
untuk memastikan keberadaan Candi Kulon
perlu dilakukan penelitian lapangan, guna
membuktikan asumsi di atas.
Kata mandala adalah bahasa Sanskerta
berasal dari akar kata manda yang berarti inti atau
pokok dan tambahan kata la yang berarti sesuatu
yang ditambahkan. Konsep tata ruang dalam
mandala bervariasi yaitu dapat diwujudkan dalam
satu area (one square) yang disebut Pitha atau
Upapitha, empat area (Ugrapitha), dan sembilan
area atau Sthandila ( http://en.wikipediar.org /
VI. PENUTUP
Mengacu pada Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010 2014, mengenai
bidang sosial budaya dan kehidupan beragama,
utamanya dalam kerjasama yang sinergis antar
pihak terkait dalam upaya pengembangan nilai
budaya, pengelolaan keragaman budaya serta
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
warisan budaya. Peraturan Presiden yang
kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya
Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata tahun 2010 2014 antara lain
menetapkan arah kebijakan dan strategi tentang
peningkatan kesadaran dan pemahaman
jati diri dan karakter bangsa. Dalam rangka
melaksanakan arah kebijakan Peningkatan
Kesadaran dan Pemahaman Jati Diri dan
Karakter Bangsa, maka strategi diarahkan
dengan :
25
26
Daftar Pustaka
Boechari, 1978. Bahan Kajian Arkeologi Untuk
Pengajaran Sejarah, Majalah Arkeologi,
Th. II. No. 1. Sept. 1978, hal. 3 26.
Fakultas Sastra, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi
Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gibbon, Guy, 1984. Anthropological Archaeology,
Columbia University Press, New York.
Gunadi, 1996. Pengertian Situs dan Batas
Batas Situs, Pertemuan Ilmiah Arkeologi
ke VII, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
(IAAI), Cipanas, Jawa Barat.
Kasnowihardjo, Gunadi. 2001. Manajemen
Sumberdaya Arkeologi, pengantar Prof.
Dr. Edi Sedyawati, Penerbit LEPHAS,
Universitas Hasanuddin, Makassar. ISBN
979-530-035-0.
Kasnowihardjo, Gunadi. 2004. Manajemen
Sumberdaya Arkeologi-2, Pengantar Prof.
Dr. Sumijati Atmosudiro, diterbitkan oleh
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komda
Kalimantan, ISBN 979-98450-1-7.
Liebert, Gosta. 1976. Iconographic Dictionary Of
The Indian Religions, E.J. Brill, Leiden.
Peraturan
Presiden
Republik
Indonesia
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010 2014,
BAPPENAS.
Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata Tahun 2010 2014, http://
www.budpar.go.id
Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian
Kualitatif, Dasar teori dan terapannya
dalam penelitian, Sebelas Maret University
Press, Surakarta.
27
28
I. Pengantar
Komunikasi antara orang-orang Eropa
dan khususnya kumpeni dagang dengan
Kerajaan Mataram terutama sejak era Kartasura
semakin intensif. Kondisi itu terus berlanjut dan
semakin meningkat seiring dengan dinamika
sosial politik kerajaan. Artinya, bahwa setiap
momentum politik tertentu di kerajaan ada
koherensi hubungan dengan
kumpeni.
Demikian juga pada pasca Perjanjian Giyanti
1755 M, komunitas orang-orang Eropa di
Kasultanan Yogyakarta juga sudah ada sejak
masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Hal ini dapat dibuktikan dengan
eksisnya berbagai fasilitas kantor
residen
atau pun lembaga-lembaga (sipil dan militer),
prasarana umum, dan berbagai tempat usaha
swasta. Berbagai fasilitas yang berkembang itu
menunjukkan bahwa hubungan antara pribumi
dengan Eropa sudah terjalin lama.
Keberadaan berbagai fasilitas publik
pemerintahan dan swasta antara lain: Kantor
Residen atau Gedung Gubernuran (sekarang
Gedung Agung) 1824 M, Benteng Vredeburg
(benteng
perdamaian)
dahulu
bernama
Rustenberg (1778 M), Loji Kecil, dan Societeit
De Vereneging (1822 M), Societeit Militer,
Javasche Bank, Kantor Pos, serta tempattempat usaha swasta baik di perkotaan maupun
di pedesaan. Hal itu menunjukkan adanya
intensitas
tingggi adanya penetrasi orangorang Eropa. Komunitas orang-orang Eropa
tersebut mengalami perkembangan pesat pada
masa Kasultanan Yogyakarta berada di bawah
29
30
III.
31
32
Konklusi:
Kawasan
Upaya
Pengendalian
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
Gambar 6. Chroococcus sp
2. Lumut/Moss
Lumut yang diperoleh dari sampel batuan, kemudian diidentifikasi dengan menggunakan kunci
identifikasi dan selanjutnya diperoleh hasil, bahwa lumut yang tumbuh di batuan putih candi adalah
lumut dengan nama takson tingkat jenis Bryum clavatum (Schimp.) C. Mull.
Keterangan Gambar 7. :
A. Batu putih candi
B. Populasi lumut di atas batu
45
Gambar 8.
Beberapa
potongan batu
putih yang
ditumbuhi
lumut
Gambar 10.
SEM dengan
perbesaran
1.500 x pada
batu putih di
bawah
tumbuhan
lumut
46
Gambar 9.
SEM dengan
perbesaran 30x
pada batu putih
yang ditumbuhi
lumut
Gambar 11.
SEM dengan
perbesaran 1500 x
pada batu putih
yang tidak
ditumbuhi
lumut
47
48
Gambar 13.
Morfologi L.
nivalis dan
Pertusaria sp.
Gambar 14.
Mikrokristal
pada
pengujian
L. nivalis
dengan
reagen
G.A.An. (a,b)
dan G.A.o-T
(c,d).
49
dalam kemampuan lichen melapukan substrat dibanding simbion fotosintetiknya. Hal tersebut disebabkan
karena posisi hifa fungi yang kontak langsung dengan permukaan batu sedangkan simbion fotosintetiknya
terletak diantara lapisan korteks atas dan medula.
Pada gambar 16. sebagian hifa juga dapat dijumpai terdapat hingga ke bagian dalam substrat batu.
Terdapat kemungkinan bahwa lichen tersebut merupakan euendolithic form, yaitu jenis/bentuk yang aktif
melubangi batuan (Chen et al, 2000). Hifa pada lapisan medula melakukan penetrasi aktif masuk ke dalam
pori-pori batu.
Ketebalan talus lichen diperkirakan sekitar 250 m. Lapisan medula lebih tebal daripada lapisan
korteks atas. Berdasarkan foto Scanning Electron Microscope (SEM), penetrasi hifa dapat mencapai 3 mm
masuk dalam pori-pori batu.
Gambar 16.
Penampang bujur batu candi yang ditumbuhi lichen
menunjukkan ketebalan crustose lichens (L); helaian hifa fungi
penyusun lichen (H); lapisan korteks atas lichen (K); dan bagian
substrat batu candi (B) (bar = 400 m)
Gambar 17.
Helaian hifa yang terdapat pada bagian
dalam batu candi
Pada gambar 17. dapat dilihat helaian hifa yang menyerupai benang dijumpai terletak di bagian
dalam batu. Hifa-hifa tersebut terletak dalam rongga yang besar diantara struktur bagian dalam batu yang
tidak padat dan tampak rapuh. Beberapa helaian hifa tampak melilit fragmen batu yang telah hancur dan
terlepas dari batu induknya.
Permukaan batu tepat di bawah talus lichen beresiko mengalami retakan, disagregasi dan fragmentasi
(Adamo & Violante, 2000). Pada gambar 18c. dapat dilihat retakan vertikal di bawah lapisan medula tebal
yang tersusun atas kumpulan hifa fungi. Struktur batu tepat di bawah talus lichen hingga kedalaman 3 mm
dimungkinkan hanya berupa kumpulan fragmen batu (gambar 18 b). Kestabilan bagian tersebut dipengaruhi
oleh hifa yang saling mengikatkan antar fragmen batu dan talus lichen yang menyelubungi permukaan batu.
Menurut Tiano (2009), fragmen-fragmen batu bahkan juga dapat dijumpai tersebar dalam talus lichen.
Batu yang menjadi substrat pertumbuhan lichen akan cenderung mengalami kerusakan baik
secara fisik (pelapukan biogeofisik) maupun kimia (pelapukan biogeokimia) jika dibandingkan batu yang
tidak ditumbuhi organisme. Kerusakan secara fisik diakibatkan karena proses biomekanik, yaitu aktivitas
50
Gambar 18.
Substrat batu candi menunjukkan sampel batu yang dianalisis
SEM (a) dengan bagian batu yang berrongga (lingkaran) dan
bagian batu yang padat dan masif (persegi); fragmen-fragmen
batu (b); dan bagian batu yang berrongga vertikal (X) dan
retakan vertikal (Y) (c). Keterangan: bar = 1 mm (a);
300 m (b); 100 m (c).
51
Gambar 19.
Struktur bagian dalam
batu candi menunjukkan
struktur yang berrongga
akibat penetrasi hifa
lichen dan terdapat
fragmen-fragmen batu
(a); serta struktur yang
relatif padat tanpa
penetrasi hifa lichen (b)
52
Gambar 20.
Proses kerusakan yang disebabkan lichen pada substrat batuan (Chen et al, 2000)
53
54
V.
Penutup
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian diketahui bahwa berdasarkan
uji fisik dan kimia batuan, batu putih yang
merupakan batu penyusun isian talud barat
pendopo komplek Kraton Ratu Boko diketahui
bahwa:
1. Unsur-unsur penyusun dari batu putih banyak
yang sudah larut, sehingga kekompakan
atau kekuatan ikatan antar unsur penyusun
batu berkurang, ini dibuktikan dari kenaikan
porositas dan uji kekerasannya.
2. Berdasar hasil penelitian porositas sampel
sudah naik 8,36%, sehingga ruang antar
unsur menjadi lebih luas, kekompakan,
kekuatan dan kekerasan berkurang,.
3. Dari hasil uji kekerasan batu putih sudah
berubah dari skala 2 menjadi skala 3 ini
berarti bahwa batu putih sudah berubah
dari kekerasan mineral gypsum menjadi
kekerasan mineral calcite (batu putih sudah
lebih lunak jika dibandingkan dengan batu
putih yang masih segar)
4. Dari hasil identifikasi di laboratorium Biologi
dapat diketahui mikroorganisme yang berada
pada batuan yaitu :
Algae/ microalgae yang ditemukan
dalam sampel ada 2, yaitu :
a. Euglena sp
b. Chrococcus sp
Lumut yang ditemukan dalam sampel
yaitu ada satu jenis Bryum clavatum
(Schimp.) C. Mull
Lichens yang ditemukan dalam batuan
ada 2 jenis yaitu :
a. Lepraria crassissima
b. Pertusaria sp.
5.. Berdasarkan hasil analisa sampel penurunan
kualitas baik fisik dan unsurnya salah
satu yang mempengaruhi adalah adanya
pertumbuhan mikroorganisme oleh lumut,
ganggang, dan jamur kerak.
B. Rekomendasi/saran
Untuk meminimalisir pertumbuhan
mikroorganisme perlu pembersihan
mekanis
secara
rutin
dan
berkesinambungan.
melakukan treatment pada kondisi
tertentu, sehingga tidak merusak
permukaan batu.
Perlu dicari dan dikembangkan solusi
untuk menghilangkan mikroorganisme
dengan bahan yang ramah lingkungan.
55
Daftar Pustaka
Adamo, P. and P. Violante. 2000. Weathering of rock
and neogenesis of minerals associated with
lichen activity. Applied Clay Science No.16.
Elsevier Science. pp: 229-256
Budel, B. and C. Scheidegger. 2008.
Tallus
Morphology and Anatomy. Lichen Biology.
2nd ed. Edited by T.H. Nash Cambridge
University Press. New York. pp: 40-68
Chen, J., H.P. Blume and L. Beyer. 2000. Weathering
of rocks included by lichen colonization a
review. Catena No.39. Elsevier Science. pp:
121-146
Desikachary T.V. 1959. Cyanophyta: Indian Council
ofAgricultural Research, New Delhi,686 pp
Dobson, F.F. 1992. Lichen: an Illustrated to the
British and Irish Species. The Richmond
Publishing Co. Ltd. England
Easton, R.M. 1995. Lichens and Rocks: A Review.
Geoscience Canada. Vol. 21 No. 2.
Hale, M.E. 1983. The Biology of Lichens. 3rd ed.
Edward Arnold. London
Huneck, S. and I. Yoshimura. 1996. Identification of
Lichen Substances. Springer. Berlin
Ibarrondo I., I. Martnez-Arkarazo, Juan-Manuel
Madariaga. 2012. Biominerals Resulting
from Biodeterioration Promoted by Different
Saxicolous Lichens. Macla No. 16. revista de
la sociedad espaola de mineraloga
Lisci, M., M. Monte and E. Pacini. 2002. Lichens
and higher plants on stone: a review. Elsevier
Science Ltd.
Mahendraperumal, T.M. and N. Anand, 2008.
Manual of fresh water algae of Tamilnadu.
Bishen Singh Mahendrapal Singh, 23-A,
Dehra Dun. 1-124 pp
Paracer, S and V. Ahmadjian. 2000. Symbiosis : An
Introduction to Biological Assiciations. 2 ed.
Oxford University Press, Inc. New York.
Radha, S. K., Jena, M. and Adhikary, S. P. 2006.
Euglenophytes of Orissa state, East Cost of
56
57
58
Alumina
59
60
Dalam tabel 1-2. dapat dilihat
hubungan aktivitas dan kandungan mineral
tanah lempung. Dari Tabel tersebut dijelaskan
bahwa untuk aktivitas yang lebih besar dari
1.25 digolongkan aktif dan sifatnya ekspansif,
aktivitas antara 0.75 1.25 digolongkan
normal, sedangkan yang kurang dari 0.75
digolongkan tidak aktif.
Sedangkan untuk penutupan natnat pada susunan batu putih, digunakan
lempung yang dicampur dengan air
kemudian disaring dengan saringan halus
untuk mendapatkan air lempung (yiyit).
Setelah didapat air lempung yang bebas
kerikil kemudian ditambahkan dengan semen
dan kapur yang juga telah disaring halus.
Campuran air lempung, semen, dan kapur
yang memiliki butiran yang sama tersebut
sehingga mudah diaplikasikan ke nat batu
yang cukup rapat hingga terisi penuh.
61
2. Pengujian Laboratorium
a. Pelaksanaan kegiatan dengan melakukan
beberapa pengujian di laboratorium
teknik sipil. Pengujian-pengujian yang
dilakukan adalah :
Pemeriksaan Kadar Air (Water Content)
Percobaan ini dimaksudkan untuk
menentukan kadar air tanah.
Pemeriksaan Berat Jenis (Specific
Gravity) Pemeriksaan ini bertujuan
untuk menentukan berat jenis butiran
tanah (Gs).
Pemeriksaan
Analisa
Saringan
(Sieve Analysis) Pemeriksaan ini
bertujuan, Untuk mengetahui gradasi
pembagian butiran dari suatu contoh
tanah berbutiran kasar. Untuk
mengklasifikasikan tanah.
Pemeriksaan Analisa Hidrometer
(Hydrometer Analysis) Bertujuan
untuk menentukan macam butiran
tanah yang lolos saringan nomor 200
dan lengkung gradasinya.
Pemeriksaan Batas Cair (Liquid Limit)
Pemeriksaan batas cair ini bertujuan
untuk menentukan kadar air suatu
sampel tanah pada batas cair.
Pemeriksaan Batas Plastis (Plastic
Limit) Percobaan ini bertujuan untuk
menentukan kadar air suatu tanah
dalam keadaan batas plastis.
Pemeriksaan Potensial Mengembang
ASTM D4546-90 menyajikan tiga cara
pengukuran tekanan mengembang.
Dalam penelitian ini yang digunakan
hanya metoda A (free Swell Pressure
Test). Dari metoda A ini bisa
diperoleh:
a) Nilai mengembang bebas (free
swell)
b) Nilai Persentase mengembang
(percent swell)
62
Sampel batu
dengan
aplikasi lempung
Sampel batu
dengan
aplikasi
semen:kapur
Sampel batu
dengan
aplikasi
semen : pasir
Penelitian aging
test
di laboratorium
Tabel 3.
Hasil pengujian karakter sampel tanah Kotagede dan Bayat
diaplikasikan di Kotagede.
A. Uji Klasifikasi Teknik (Sistem Klasifikasi
AASHTO dan Unifed)
1. Ukuran butiran
ASTM D-653 memberikan batasan bahwa
secara fisik ukuran lempung adalah partikel
yang berukuran antara 0,002 mm sampai
0,005 mm. Namun untuk menunjukkan
hal itu perlu saringan yang lebih kecil dari
No.200 sehingga hal ini tidak bisa dilakukan
di laboratorium. Akan tetapi literatur lain
menjelaskan bahwa cukup dengan saringan
terkecil No 200 sudah dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan ukuran butir tanah.
Ukuran partikel sampel yang dia[plikasikan
di Kotagede adalah sebagai berikut:
Kerikil: fraksi yang lolos saringan
ukuran 75 mm (3 in) dan tertahan
pada saringan No. 10 sebesar 0%
Pasir: fraksi yang lolos saringan No. 10
(2 mm) dan tertahan pada saringan
No.200 (0,075 mm) sebesar 30%
Lanau dan lempung: fraksi yang lolos
saringan No. 200 sebesar 69,89%
Sehingga memperoleh grafik ukuran
butiran seperti grafik di bawah ini:
63
3. Plastisitas (Atterberg)
Kandungan air sangat berpengaruh
terhadap perilaku tanah berbutir halus,
sehingga tingkatan plastis tanah dapat
ditentukan apabila batas plastis dan batas
64
IP
Ac (Aktivitas) =
fine 200
24,43 %
= 69,89 % = 0,3495
Sehingga dengan nilai aktivitas 0,3495 tanah
yang diaplikasikan di Kotagede merupakan
mineral Kaolinite seperti juga dijelaskan sesuai
parameter lainnya (tabel 9).
Gambar 7.
a) Diagram skematik struktur kaolinit (lambe,1953)
b) Struktur atom Kaolinit (Grin, 1959)
Struktur
Kaolinite
berbentuk
lembaran-lembaran atau plat yang bertumpuktumpuk (gambar 7). Kaolinite merupakan
mineral dari kelompok kaolin, terdiri dari
65
Proses kembang-susut ini sebagian
besar adalah akibat peristiwa kapiler atau
perubahan kadar air pada tanah tersebut.
Pengurangan kadar air yang diikuti oleh
kenaikan tegangan efektif menyebabkan
volume tanah menyusut dan sebaliknya
penambahan kadar air menyebabkan
pengembangan. Hal ini yang terjadi saat
lempung diaplikasikan sebagai spesi, akan
terjadi kembang susut dan juga hal ini
dipengaruhi oleh sifat plastisitasnya. Jika
kembang susutnya besar maka kestabilan
struktur bangunan akan terganggu.
V. Kesimpulan dan Sararn
A. Kesimpulan
1. Tanah lempung yang diaplikasikan di
Benteng Cepuri Kotagede berdasarkan
beberapa pengujian adalah sebagai berikut:
a. Jenis tanah berbutir halus (lanau/
lempung/ fine-grained soils) karena
lebih dari 50% lolos saringan nomor
200 yaitu sebanyak 69,89%, Sand/pasir
sebesar 30.11% dan Gravel/kerikil 0%.
b. Berdasarkan
beberapa
pengujian
aktivitas dan parameter lainnya
menunjukkan sampel lempung adalah
jenis Kaolinite. Mineral Kaolinite,
mempunyai ukuran partikel yang
lebih besar dan mempunyai sifat
pengembangan yang lebih kecil.
Berdasarkan
susunan
partikelnya,
kaolinite jika memiliki lebih dari
seratus tumpukan (layer) maka akan
sukar dipisahkan. Karena mineral ini
66
Material
Monmorril-
Batas cair
Batas plas-
Batas
(%)
tik(%)
susut(%)
100-900
50-100
8,5 - 15
30-100
25-40
25 - 29
lonite
2
Kaolinite
Daftar Pustaka:
Das, Braja M, 1990, Principles of foundation
Engineering, Second Edition, PWS
KENT Publishing Company, 1990.
Das, Braja M, (translated by Mochtar.N.E and
Mochtar I.B.), 1995, Mekanika Tanah
(Prinsip prinsip Rekayasa Geoteknis)
Jilid I, Erlangga, Jakarta.
Annual
67
Pendahuluan
Perilaku dan aksi manusia pada dasarnya
merupakan aktivitas subjek yang sulit diprediksi, hal
ini karena mempunyai kompleksitas permasalahan
tinggi, bersifat dinamis, berproses, dan terus
berubah (Skinner, BF., 2013 : 22). Apalagi perilaku
subjek itu tidak hanya secara individual saja, tetapi
dapat dilakukan secara bersama-sama dan menyatu
dalam suatu keinginan bersama.Hal itu tentu
membutuhkan pendekatan, pemahaman,serta
penanganan secara komprehensif dan seksama.
Peraturan perundangansebagai perangkat
pengendali pada dasarnya dibuat untuk individu
dan masyarakat dengan tujuan untuk membangun
ketertiban, ketaatan, dan disiplin yang bersifat
mengikat. Sebuah pertanyaan muncul, apakah di
dalam konteks masyarakat itu adakah hukum yang
dapat mengikat warganya secara menyeluruh?
Pada dasarnya tidak ada hukum yang dapat
mengikat dan mengendalikan warganya kecuali
atas dasar kesadaran hukum semua warga untuk
menaati peraturan yang ada (Salman, 2004: 49).
Peraturan dan hukum dibuat dengan tujuan
untuk mengendalikan perilaku dan menumbuhkembangkan norma-norma untuk individu dan
masyarakat.
Sistem hukum yang ada dalam perspektif
rasionalitas formal, yaitu sistematisasi normanorma umum dan pola keteraturan prosedural,
pada dasarnya tidak ada yang sempurna dan
dapat mengikat serta secara tuntas menyelesaikan
permasalahan yang timbul. Menurut
Max
Weber bahwa hukum merupakan suatu tertib yang
memaksa yang mempunyai dukungan potensial
68
69
70
B. Upaya Preventif
Langkah pencegahan merupakan bagian
dari antisipasi terhadap munculnya perilaku
tindak pidana. Pencegahan sebagai langkah
pengendalian realita konkrit menerapkan atau
implementasi program kebijakan dalam dimensi
fisik artefaktual (benda, bangunan, struktur) dan
ruang spasial (situs dan kawasan). Sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan
cagar budaya yang ada (UURI No. 11 tahun 2010)
merupakan bagian pengaturan pelindungan
cagar budaya. Bentuk tindakan-tindakan
pelindungan cagar budaya, antara lain kegiatan
penyelamatan, pengamanan, zonasi atau
penetapan batas-batas situs, pemeliharaan, dan
pemugaran.
Pertama,
upaya penyelamatan cagar
budaya yang dimiliki pada dasarnya berhak
dilakukan oleh setiap orang, baik dalam
keadaan darurat atau memaksa. Penyelamatan
dilakukan untuk mencegah
kerusakan
karena faktor manusia dan / atau alam yang
mengakibatkan berubahnya keaslian dan
berbagai nilai yang dikandungnya. Di samping
itu, juga untuk mencegah pemindahan dan
beralihnya kepemilikan dan / atau penguasaan
cagar budaya yang bertentangan dengan
peraturan yang berlaku (pasal 57 58).
Kedua, pengamanan dilakukan untuk
menjaga dan mencegah cagar budaya agar
tidak hilang, hancur, atau musnah. Hal itu
wajib dilakukan oleh pemilik ataupun yang
menguasainya, baik individu, lembaga, maupun
pemerintah. Pelaksana pengamanan dilakukan
oleh juru pelihara dan / atau polisi khusus. Di
samping itu, masyarakat juga dapat berpartisipasi
dalam pelaksanaan pengamanan cagar budaya.
Implementasi pengamanan ini dapat dilakukan
dengan memberi pelindung, melakukan
penyimpanan, dan menempatkan ke lokasi yang
terhindar dari gangguan ancaman alam dan
manusia (pasal 65). Ketentuan pengamanan
III.
Cagar
budaya
perlu
terus
dijaga
keberadaannya
terutama
melalui
upaya
pelindungan terhadap gangguan dan ancaman
yang berakibat kerusakan, hilang maupun musnah.
Gangguan itu dapat diakibatkan oleh berbagai
ancaman, baik peperangan, infiltrasi budaya asing,
bencana, penggunaan cagar budaya sebagai objek
perdagangan gelap, dan aktivitas para kolektor
yang tidak bertanggung jawab yang mendapatkan
koleksinya secara gelap (Hardjasoemantri, 2005).
Cagar budaya sebagai objek perdagangan gelap
semata dan aktivitas orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dapat memicu
berbagai
ancaman pencurian dan perusakan. Adanya
ancaman perlu adanya tindakan penegakan hukum
yang mencakup pelaksanaan dan penerapan
hukum, serta melakukan tindakan hukum terhadap
setiap pelanggaran ataupun penyimpangan yang
dilakukan oleh subjek hukum. Hal itu dilakukan
untuk mengatur dan mengikat subjek hukum
dalam semua aspek kehidupan.
Dalam arti
sempit penegakan hukum merupakan bagian
upaya represif yang meliputi kegiatan penindakan
terhadap setiap pelanggaran, penyimpangan,
dan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
peraturan perundangan.
71
A. Upaya Represif
Upaya represif ini bukan dalam arti
penerapan hukum represif, yaitu memandang
hukum sebagai alat kekuasaaan pemerintah
semata dengan kekuasaan tanpa batas (Salman,
2004: 94). Akan tetapi, merupakan wujud
implementasi atau upaya penegakan hukum
yang dilakukan apabila ada perilaku individu
maupun kelompok yang melakukan tindak
pidana dan melanggar ketentuan-ketentuan
dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Di dalam UURI No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya secara jelas diatur adanya laranganlarangan yang mengandung konsekuensi
yuridis dengan penerapan sanksi-sanksi hukum.
Mengingat bahwa hukum merupakan suatu
tata tertib yang mempunyai kekuatan memaksa
dan secara substantif mempunyai suatu
kaidah-kaidah yang bersanksi serta mempunyai
dukungan dari negara. Penegakan hukum pada
akhirnya mempunyai tujuan untuk mendidik
orang yang telah melakukan kejahatan agar
jangan mengulangi kejahatan kembali. Di
samping itu, juga untuk memperbaiki orang
agar tabiatnya menjadi lebih
baik dan
bermanfaat bagi masyarakat (Prodjodikoro,
1986: 18). Diharapkan penegakan hukum dapat
berdampak positif dan menjadi sarana refleksi
diri untuk arah perbaikan kualitas diri.
Pengaturan yang mengandung sanksi hukum
atau ketentuan pidana di dalam perundangan
cagar budaya terutama diatur dalam pasal 101
sampai dengan pasal 112, sedangkan pasal 113
114 merupakan pengaturan hukuman bagi
tindakan yang dilakukan oleh badan usaha dan
orang yang memberi perintah akan ditambah 1/3
dari hukuman sebagaimana diatur dalam pasal
101 sampai dengan pasal 112. Khusus untuk
pasal 115 merupakan hukuman tambahan yaitu
kewajiban mengembalikan keaslian bangunan
yang dirusak dan perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindakan pidana. Implementasi
72
73
74
kasus.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
di dalam perencanaan penyidikan yaitu
melakukan inventarisasi fakta dan data
untuk menyusun matrik penyidikan. Langkah
berikutnya adalah menentukan beberapa
hal sebagai berikut : (1) penyidik atau PPNS;
(2) saksi, dan pelaku yang akan diperiksa; (3)
saksi ahli yang akan diundang; (4) barang
bukti; (5) tersangka tindak pidana dan pasal
yang disangkakan; (6) penyiapan SPDP (Surat
Pemebitahuan Dimulainya Penyidikan; (7)
Koordinasi dengan pihak terkait khususnya
KORWAS PPNS (POLRI). Di samping itu, dalam
proses penyidikan juga dilaksanakan gelar
perkara, baik awal (sebelum penyidikan),
pertengahan (proses penyidikan), dan
akhir. Hal itu dilakukan untuk memperoleh
masukan, baik dari pihak internal dan
eksternal yang dapat menyempurnakan
berkas pemeriksaan. Setelah itu berkas
pemeriksaan yang lengkap siap dikirim ke
JPU melalui penyidik POLRI.
Setelah
dilakukan
perencanaan
maka ditindaklanjuti dengan melakukan
pengorganisasian
penyidikan
baik
pengorganisasi sumberdaya, menentukan
kriteria sumberdaya manusia PPNS, dan
penggolongan pengorganisasian sumberdaya
PPNS, baik dalam perkara mudah ( ditangani
oleh 2 PPNS), sedang (3 PPNS), sulit (4
PPNS), dan sangat sulit (5 PPNS atau lebih).
Diketahuinya tindak pidana dalam bidang
kepurbakalaan diawali dengan adanya laporan
kejadian, tertangkap tangan, dan diketahui
langsung oleh PPNS cagar budaya. Setelah
itu dilakukan penyelidikan dan dilanjutkan
dengan mulainya proses penyidikan yang
terdiri dari beberapa tahapan kerja sebagai
berikut:
1. Pengolahan TKP
2. Pemberitahuan dimulainya penyidikan,
75
3. Pemanggilan,
4. Penangkapan (untuk PPNS cagar budaya
dengan meminta bantuan penyidik POLRI).
5. Penahanan (untuk PPNS cagar budaya
dengan meminta bantuan penyidik POLRI).
6. Penggeledahan dan penyitaan
7. Berita Acara Pemerikasaan
8. Penyelesaian berkas dan penyerahan
berkas perkara sebagaimana persyaratan
manajemen atau tata aturan administrasi
penyidikan
9. Pengendalian penyidikan.
Dari beberapa langkah penyidikan tersebut
aspek pengendalian penyidikan merupakan
langkah dukungan atasan merupakan urgensi
yang strategis. Pada dasarnya pengendalian
tersebut dilakukan selama proses perencanaan,
pengorganisasian, dan pelaksanaan. Hal itu
dilakukan sebagai langkah kontrol dan perangkat
evaluasi di dalam proses penyidikan. Pihak-pihak
yang melakukan pengendalian adalah atasan
PPNS dan penyidik POLRI selaku KORWAS. Oleh
karena itu, atasan PPNS harus melaksanakan
koordinasi lintas sektoral untuk memperlancar
tugas-tugas penyidikan. Langkah pengendalian
ini diperlukan agar alur manajemen penyidikan
tetap di dalam bingkai peraturan yang berlaku
dan untuk mewujudkan penegakan hukum
sebagaimana undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya (UURI No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya) secara konsekuen. Makna
konsekuen di dalam penegakan hukum cagar
budaya yaitu untuk mewujudkan asas pelestarian
terutama keadilan, ketertiban, kepastian hukum,
keberlanjutan, transparansi, dan akuntabilitas.
Di samping itu, juga mengingat tujuan pelestarian
dalam hal,melestarikan warisan budaya bangsa
dan warisan umat manusia.
76
77
78
79
80
V.
Kesimpulan
Persoalan dan tantangan di dalam upaya
penegakan hukum cagar budaya tersebut perlu
terus dikelola dan dicarikan jalan atau solusi secara
baik. Upaya pelestarian cagar budaya khususnya
melalui cara penegakan hukum merupakan bagian
kewenangan dan harus menjadi gerakan aksi nasional
bagi institusi UPT Kebudayaan (BPCB, Balai Konservasi
Borobudur, maupun Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran). Kesiapan UPT Kebudayaan di daerah
di seluruh Indonesia tentunya harus didukung secara
maksimal. Terkait dengan permasalahan itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
81
82
Daftar Pustaka
Akhdiat, Hendra dan Marliani, Rosleny. 2011. Psikologi
Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Anonim. Undang-undang RI. No. 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya.
_______. Undang-undang RI. No. 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana.
_______. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2012
Tentang Tatacara Pelaksanaan Koordinasi,
Pengawasan, dan Pembinaan Terhadap
Kepolisian Khusus, PPNS, dan bentuk-bentuk
Pamswakarsa.
_______. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2012 Tentang
Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar
Budaya.
_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No.
26 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan dan Latihan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil.
_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 6
Tahun 2010 Tentang Manajemen Penyidikan
Oleh PPNS.
_______. Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. 20
Tahun 2010 Tentang Koordinasi, Pengawasan,
dan Pembinaan Penyidikan Bagi PPNS.
Arsyad, Azhar. 2002. Pokok-pokok Manajemen.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 2005. Hukum Tata
Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Hujbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta:
Kanisius.
Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-asas Hukum Pidana
di Indonesia. Bandung: Eresco.
Prot, Lyndel dan P.J.O. Keffe. 1984. Law and the Cultural
Heritage. Profesional Book Limited.
Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. 2004. Beberapa
Aspek Sosiologi Hukum. Bandung: Alumni.
Skinner, B.F. 2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Susanto, I.S. 2011. Kriminologi. Yogyakarta: Genta
Publishing.
83
84