Anda di halaman 1dari 6

Kisah Pengusaha Sukses dari Modal Nol

BY REDAKSI MAJALAH INOVASI 8 MARCH 2013

Majalahinovasi.com Pernahkah anda membayangkan seorang tukang sapu


yang bekerja membersihkan jalanan dari sampah dan dedaunan. Atau
pernahkah anda membayangkan seorang tukang kuli bangunan yang harus
bekerja banting tulang menghadapi panasnya terik sinar matahari demi
menafkahi keluarga. Tentu saja anda tidak pernah melirik orang seperti ini.
Tapi pernahkah anda berpikir orang seperti yang tersebut di atas kini menjadi
seorang pengusaha sukses yang memiliki omset hingga ratusan juta rupiah
setiap bulannya. Mungkin anda akan terkagum-kagum atau cuma bisa melohok
melihatnya.

Tri Sumono

Begitulah yang terjadi pada Tri Sumono yang kini lewat perusahaan CV 3 Jaya, ia
mengelola banyak cabang usaha, antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri,
toko sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis lainnya,
penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai perusahaan, serta menjadi
franchise produk Ice Cream Campina.
Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan. Pria
kelahiran Gunung Kidul, 7 Mei 1973, ini mengaku tak pernah berpikir hidupnya bakal
enak seperti sekarang. Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke
Jakarta. Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah
menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.
Ia nekat mengadu nasib ke Ibu Kota dengan hanya membawa tas berisi kaus dan ijazah
SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak memilih-milih pekerjaan. Bahkan,
pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan.

Namun, pekerjaan kasar itu tak lama dijalaninya. Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri
mendapat tawaran menjadi tukang sapu di kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta
Barat.
Tanpa pikir panjang, tawaran itu langsung diambilnya. Pekerjaan sebagai tukang sapu
lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan, jelasnya.Lantaran kinerjanya memuaskan,
kariernya pun naik dari tukang sapu menjadi office boy. Dari situ, kariernya kembali
menanjak menjadi tenaga pemasar dan juga penanggung jawab gudang.
Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan berjualan aksesori di
Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang
anak. Selama empat tahun Tri Sumono berjualan produk-produk aksesori, seperti jepit
rambut, kalung, dan gelang di Jakarta. Berbekal pengalaman dagang itu, tekadnya untuk
terjun ke dunia bisnis semakin kuat. Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung,
dan gelang dengan modal Rp 100.000, jelasnya.
Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung Karno. Dua
tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan banyak. Dari sanalah ia
kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih menjanjikan ketimbang menjadi
karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya, pada tahun 1997, ia memutuskan mundur
dari pekerjaannya dan fokus untuk berjualan.
Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri berhasil membeli
sebuah kios di Mal Graha Cijantung. Setelah pindah ke Cijantung, bisnis aksesori ini
meningkat tajam, ujarnya.
Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan harga mahal.
Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu. Dari hasil penjualan kios
ditambah tabungan selama ia berdagang, ia kemudian membeli sebuah rumah di Pondok
Ungu, Bekasi Utara. Di tempat baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.
Pengalaman berjualan aksesori sangat berbekas bagi Tri Sumono. Ia pun merintis usaha
toko sembako dan kontrakan. Sejak itu, naluri bisnisnya semakin kuat. Saat itu, ia
langsung membidik usaha toko sembako. Ia melihat, peluang bisnis ini lumayan
menjanjikan karena, ke depan, daerah tempatnya bermukim itu bakal berkembang dan
ramai. Tapi tahun 1999, waktu saya buka toko sembako itu masih sepi, ujarnya.

Namun, Tri tak kehabisan akal. Supaya kawasan tempatnya tinggal kian ramai, ia
kemudian membangun sebanyak 10 rumah kontrakan dengan harga miring. Rumah
kontrakan ini diperuntukkan bagi pedagang keliling, seperti penjual bakso, siomai, dan
gorengan. Selain mendapat pemasukan baru dari usaha kontrakan, para pedagang itu juga
menjadi pelanggan tetap toko sembakonya. Cara itu ampuh dan banyak warga di luar
Pondok Ungu mulai mengenal toko kami, ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, naluri bisnisnya semakin kuat. Tahun 2006, Tri melihat
peluang bisnis sari kelapa. Tertarik dengan peluang itu, ia memutuskan untuk mendalami
proses pembuatan sari kelapa. Dari informasi yang didapatnya diketahui bahwa sari
kelapa merupakan hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylium. Untuk
keperluan produksi sari kelapa ini, ia membeli bakteri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Bogor. Tahap awal saya membuat 200 nampan sari kelapa, ujarnya.
Sari kelapa buatannya itu dipasarkan ke sejumlah perusahaan minuman. Beberapa
perusahaan mau menampung sari kelapanya. Tetapi, itu tidak lama. Lantaran kualitas sari
kelapa produksinya menurun, beberapa perusahaan tidak mau lagi membeli. Ia pun
berhenti memproduksi dan memutuskan untuk belajar lagi.
Untuk meningkatkan kualitas sari kelapa, ia mencoba berguru ke seorang dosen Institut
Pertanian Bogor (IPB). Mulanya, dosen itu enggan mengajarinya karena menilai Tri bakal
kesulitan memahami bahasa ilmiah dalam pembuatan sari kelapa. Tanpa sekolah, kamu
sulit menjadi produsen sari kelapa, kata Tri menirukan ucapan dosen kala itu.
Namun, melihat keseriusan Tri, akhirnya sang dosen pun luluh dan mau memberikan les
privat setiap hari Sabtu dan Minggu selama dua bulan. Setelah melalui serangkaian uji
coba dengan hasil yang bagus, Tri pun melanjutkan kembali produksi sari kelapanya. Saat
itu, ia langsung memproduksi 10.000 nampan atau senilai Rp 70 juta. Hasilnya lumayan
memuaskan. Beberapa perusahaan bersedia menyerap produk sari kelapanya. Sejak itu,
perjalanan bisnisnya terus berkembang dan maju.
Demikian kisah motivatif tentang Tri Sumono yang membuktikan bahwa dengan
ketekunan dan kerja keras pasti bisa meraih setiap apa yang di impikan dan cita-citakan.
Semoga kisah di atas bisa menjadi sebuah isnpirasi bagi kita semua

Agus Pramono Ayam Bakar Mas Mono

Agus Pramono atau yang kerap disapa dengan mas Mono adalah seorang pengusaha
kuliner yang kini telah sukses menjadi milyarder berkat usaha makanan dengan menjual
ayam bakar. Perjuangan seorang mas Mono tidaklah gampang, pekerjaan sebagai office
boy (OB) dan penjaja gorengan pernah dilakoninya. Pada suatu hari saat masih menjadi
OB, ayah dari mas Mono meninggal dunia, namun ia tidak bisa pulang ke desa karena
terkendala biaya. Hal ini menjadi tamparan keras baginya untuk lebih maju, maka ia
putuskan untuk berhenti menjadi OB. Keputusannya untuk memulai usaha ayam bakar
yang dimulai dengan modal Rp. 500.000 merupakan awal dari keberhasilannya. Kini
Ayam Bakar Mas Mono tersebar sekitar 20 cabang di dalam maupun luar negeri, dengan
omset mencapai puluhan juta setiap harinya.

Kisah Sukses Hendy, Pengusaha Kebab Beromzet Miliaran

Hendy Setiono (foto : Babarafi.com)

JAKARTA - Industri kuliner memang tidak pernah kehabisan nafasnya. Industri kuliner,
kerap diburu masyarakat karena merupakan bagian dari kebutuhan pokok. Selain itu,
beragamnya masakan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmatnya, baik
masakan dalam negeri maupun luar negeri.
Salah satu makanan yang tengah naik daun adalah kebab Turki, khas Timur Tengah.
Adalah Hendy Setiono yang membawa kebab Turki untuk diperkenalkan di Indonesia
melalui usaha kulinernya yang berlabel Kebab Turki Baba Rafi.
Nama Hendy pun disebut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Gerakan
Kewirausahaan Nasional (GKN) 2015 di JCC. Jokowi membanggakan Hendy karena
omzet usahanya mencapai ratusan miliar Rupiah.
"Saya diberikan informasi, dia omzetnya sudah lebih dari Rp100 miliar," sebut Jokowi.
Penelusuran Okezone, pengusaha muda yang lahir di Surabaya, 30 Maret 1983 ini
memang masih muda untuk memulai usaha di bidang makanan. Tapi kenyataannya, kini
dia sukses menjabat Presiden Direktur Baba Rafi Enterprise, yang memayungi sejumlah
produk kuliner-kulinernya, antara lain Kebab Turki Baba Rafi, Piramizza, dan

tak ketinggalan pula Ayam Bakar Mas Mono.


Awal dirinya berbisnis kebab terinsirasi dari perjalanannya ke
Qatar, yakni sewaktu dia berlibur mengunjungi kedua orang
tuanya yang bekerja dan tinggal di negara tersebut.
Saat itulah dia melihat peluang kebab yang belum dijumpai di
Indonesia. Pada September 2003, dia mulai jualan. Gerobak
jualan kebabnya beroperasi di Nginden Semolo, tak jauh dari
kampus dan rumahnya. Dengan modal Rp4 juta yang merupakan
pinjaman dari adik perempuannya, ia berjualan kebab dengan
seorang karyawan.
Ingin lebih penuh dalam menjalankan bisnis, ia harus berhenti
kuliah pada semester empat. Padahal, kedua orang tuanya tidak
setuju jika anak sulungnya keluar dari bangku kuliah untuk
melakukan bisnis dan menganggap proyeknya hanya sebatas
iseng.
Tapi, dia berhasil membuktikan kegigihannya dengan Kesuksesan
Kebab Turki Baba Rafi telah banyak menerima banyak
penghargaan di dalam maupun di luar negeri.
Tahun 2015 ini tercatat lebih dari 1.200 outlet tersebar di seluruh
Indonesia, termasuk 23 outlet di Malaysia dan tujuh outlet di

Filipina. Tak ketinggalan pula di Eropa, outlet pertama mereka


dibuka di Belanda, Jerman, Belgia, dan Inggri

Anda mungkin juga menyukai