Anda di halaman 1dari 20

Persiapan Operasi Herniotomi dan

Hernioraphy pada Pasien dengan


Hernia Inguinalis Dextra Reponible
Muhammad Shafiee bin Baharudin
D7/10.2010.391
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Telephone : (021) 5694-2061 (hunting),
Fax : (021) 563-1731
Email : shafiee.baharudin@gmail.com

Pendahuluan
Hernia adalah protrusi organ viseral keluar dari rongga yang menampungnya ke
rongga yang lain. Hernia inguinalis terjadi bila organ viseral seperti usus halus dari
peritoneum mengisi kanalis inguinalis atau rongga sekitarnya akibat ruptur dari dinding
fascia atau ligament yang menampungnya. Hernia inguinalis sering terjadi pada golongan
anak dan dewasa muda akibat trauma intraabdomen maupun kelainan kongenital pada daerah
inguinal. Tatalaksana definitf bagi hernia inguinalis hanyalah tindakan bedah. 1 Pembedahan
dilakukan dengan pengangkatan kandung hernia tersebut (herniotomi), penggantian jaringan
penyangga (hernioplasti) dan penjahitan semula ruptur fascia (hernioraphy). Pembedahan
dapat dilakukan secara laparoskopi mahupun laparotomi. Ia dikategorikan sebagai bedah
elektif non-emergensi risiko rendah. Dengan perencanaan operasi yang baik, persiapan preoperatif, intra-operatif dan post-operatif yang baik mempercepat pemulihan pasien dalam
waktu yang relatif singkat.

Gambaran Klinis Hernia Inguinalis


Hernia dapat terjadi di berbagai bagian tubuh dengan fascia tetapi kejadian hernia
paling sering terjadi di daerah abdomen terutama di bagian inguinal. Hernia inguinalis sering
mengenai terutama golongan anak dan dewasa muda lelaki. Di Amerika saja, hampir 600.000
operasi reparasi hernia dilakukan dalam setahun, menjadikan ia salah satu operasi yang
paling sering dilakukan di kamar operasi. Insidensi hernia inguinalis lebih sering daripada
hernia yang lain (75%) dan kejadian pada laki-laki jauh lebih tinggi (kurang lebih 86%)
daripada wanita dengan perbandingan 10:1.2
Hernia inguinalis yang terjadi akibat rupture dari titik lemah dari fascia atau ligament
di daerah inguinal hingga mengakibatkan jaringan atau organ viseral di daerah abdomen yang
seharusnya tertampung di atasnya turun memasuki kanalis inguinal. Hernia ini disebut hernia
inguinalis direct. Hernia inguinalis yang diakibatkan oleh penutupan tidak sempurna dari
prosesus vaginalis pada anak yang menetap juga dapat menyebabkan organ viseral dapat
memasuki kanalis ingunalis yang disebut hernia inguinalis indirect. Jika herniasi terjadi lebih
dalam sampai bermuara di skrotum ia disebut hernia inguinalis indirect complete.
Selain hernia inguinalis direct dan indirect, hernia inguinalis dibagikan kepada hernia
yang reducible atau reponible dan hernia yang irreducible atau inkarserasi. Hernia reponible
adalah hernia yang benjolan massa dapat dikembalikan ke posisi asal dengan maneuver
tertentu manakala jika ia tidak dapat dikembalikan, ia digolongkan sebagai hernia inkarserasi.
Biasanya hernia inguinalis tidak menimbulkan komplikasi yang berat selain rasa nyeri dan
tidak selesa akibat tersebut, namun dalam kasus tertentu hernia dapat menyebabkan obstruksi
pembuluh darah misalnya arteri epigastrikus inferior sehingga menyebabkan suplai oksigen
terganggu. Ini dapat menimbulkan komplikasi nekrosis jaringan hingga terjadi gangrene.
Hernia seperti ini disebut hernia dengan strangulasi dan ini memerlukan tindakan operasi
darurat.3

Gambar 1. Anatomi kanalis inguinalis2


Pasien yang datang dengan hernia inguinalis biasanya datang dengan keluhan
benjolan pada daerah abdomen bagian bawah (inguinal) dan rasa tidak nyaman yang sifatnya
unilateral mahupun bilateral. Benjolan dapat berukuran kecil sampai besar tergantung
seberapa besar protrusi dari organ viseral tersebut. Kadang tidak ditemukan benjolan namun
rasa tidak nyaman di daerah lipat peha masih persisten. Keluhan nyeri dapat ada dan kadangkadang tidak ditemukan karena ia juga tergantung seberapa berat tekanan terhadap organ
tersebut. Benjolan dan asa nyeri biasanya jelas kelihatan bila terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen misalnya ketika batuk, menangis, BAK atau BAB.1
Pemeriksaan fisik pada bagian inguinal dilakukan untuk memastikan konsistensi
benjolan tersebut. Palpasi inguinal dilakukan mulai dari skrotum naik ke atas sampai
memasuki cincin inguinalis eksternal di bagian superolateral tuberkulum pubis. Jari telunjuk
dimasukkan sampai ke kanalis inguinalis. Dengan ini, kita dapat memeriksa massa yang
menyebabkan benjolan sama ada ia adalah organ viseral seperti usus halus atau massa lain
seperti lipoma, kista sebaseous, hematoma, hidrokokel, limfoma, jaringan neoplastik atau
testis ektopik. Organ viseral dengan massa yang lain dengan merasakan adanya pulsasi pada
3

dinding yang bersentuhan dengan jari. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi supine
dan berdiri dengan disertai induksi batuk untuk memastikan bagian yang bersentuhan tersebut
benar-benar organ viseral. Namun pemeriksaan ini dipersulit bila jari tidak bisa masuk ke
dalam kanalis inguinal bila bukaan cincin eksternal kecil atau pada pasien yang obese. Jika
gejala klinis jelas, kita menggunakan modalitas lain seperti USG dan CT-scan. Dengan
sensitivitas tinggi, hernia direct dan indirect yang occult dapat terdeteksi. Rontgen hanya
digunakan bila dicurigai terdapat hernia dengan strangulasi. Dalam kasus tertentu,
laparoskopi digunakan untuk diagnostik dan terapeutik pada hernia yang atipikal.

Gambar 2. Palpasi inguinal2


Penatalaksanaan
Terapi definitive bagi hernia inguinalis adalah operasi, namun tidak semua hernia
perlu dioperasi. Hernia inguinalis reponible asimptomatik atau dengan symptom ringan
biasanya tidak perlu dioperasi terutama pada pasien dengan usia lanjut, cukup dengan
observasi. Pasien hernia dengan risiko inkarserasi, obstruksi dan strangulasi akan dioperasi
secepatnya untuk mencegah komplikasi yang lebih berat misalnya gangrene, peritonitis dan
4

perforasi usus. Untuk pasien hernia inguinalis reponible dengan gejala sedang dan tanpa
komplikasi, bedah elektif dipertimbangkan jika gejala sangat mengganggu pekerjaan
terutama nyeri abdomen. Untuk operasi hernia inguinalis terdapat 3 tindakan operasi yaitu
herniotomi (pengangkatan kandung hernia), hernioraphy (penjahitan/ligasi pada fascia yang
ruptur) dan hernioplasti (penggantian jaringan penyangga dengan bahan sintetik). Semua ini
dilakukan dalam pembedahan hernia inguinalis disatukan menjadi reparasi hernia.
Terdapat beberapa prinsip yang perlu dipatuhi ketika melakukan operasi reparasi
hernia. Operasi yang berhasil perlu kepada penanganan faktor-faktor lain yang memperberat
hernia dilakukan terlebih dahulu misalnya pengobatan batuk kronik, asites, obstruksi prostat
dan tumor kolon sebelum hernianya ditangani. Rekonstruksi jaringan yang rusak hanya dapat
dilakukan tanpa penekanan. Kandung hernia pada hernia indirect seharusnya diisolasi dan
dipotong dari peritoneum, kemudian diligasi. Pada orang dewasa dengan hernia inguinal
direct, dinding inguinal yang ruptur perlu direkonstruksi. Orificium cincin inguinal internal
dikecilkan supaya organ viseral tidak masuk lagi ke dalam kanalis inguinalis. Setiap hernia
inguinalis direct perlu juga diperiksa untuk hernia inguinalis yang indirect dengan membuka
kanalis inguinalis. Reparasi yang tidak dilakukan dengan baik menyebabkan hernia rekuren.
Biasanya ia disebabkan kerusakan progresif dari fascia akibat dari defek sintesis kolagen.
Akibatnya reparasi terpaksa diulang. 3
Persiapan Pre-operasi
Sebelum melakukan sebarang operasi, persiapan yang rapih harus dilakukan. Banyak
perkara yang perlu dipertimbangkan seperti penentuan tindakan operasi, persiapan alat dan
kelengkapan kamar bedah, kondisi pasien, pemilihan tehnik anestesi dan obat yang sesuai
serta persiapan dokter bedah untuk memastikan operasi berjalan lancar. Berbagai komplikasi
perlu dipikirkan yang bisa saja terjadi nanti ketika operasi dan persiapan untuk menghadapi
kejadian yang tidak diduga juga perlu dipertimbangkan.
Anamnesis merupakan perkara terpenting yang perlu dilakukan oleh dokter sebelum
mengajukan pasien untuk dibedah atau tidak. Anamnesis yang detil dan rinci penting untuk
memastikan kondisi pasien cukup bersedia dan sesuai untuk dioperasi. Namun, dalam kasus
darurat, anamnesis yang lengkap sulit dikerjakan tetapi minimal data-data penting tetap harus
ditanyakan.

Identitas pasien (nama lengkap, umur, alamat, tanggal lahir, pekerjaan dan lain-lain).
5

Nomor telpon anggota keluarga terdekat.


Nomor telpon dokter pribadi/keluarga.
Nomor telpon dokter spesialis jantung (jika pasien sedang menerima rawatan).
Riwayat operasi yang pernah dilakukan (kapan, penyebab, komplikasi yang terjadi).
Riwayat alergi (obat, lateks, makanan dan lain-lain).
Pemeriksaan lab yang telah dilakukan sebelum ini (bawa sekali hasil pemeriksaan).
Riwayat penyakit yang sedang dideritai dan penyakit manahun (serta pengobatan).
Riwayat kesehatan keluarga.
Riwayat konsumsi obat dalam tempoh satu bulan (semua jenis obat berserta dosis).
Riwayat pribadi dan sosial (kebiasaan merokok, alkohol, narkoba, obat steroid).
Kemampuan aktivitas fisik (naik tangga tanpa berhenti).
Riwayat gangguan jantung (misalnya nyeri dada, berdebar, denyut jantung irregular).
Riwayat darah tinggi (terkontrol atau tidak).
Riwayat DM.
Riwayat gangguan pada pernafasan (sesak nafas, asma, bronchitis dan lain-lain).
Riwayat keluhan prodromal (demam, flu-like sindrom, malaise) atau batuk (produktif

atau tidak).
Riwayat anggota keluarga dengan gangguan pendarahan.
Riwayat gangguan pendarahan (anemia, koagulopati, limfoma, leukemia, transfusi

darah).
Riwayat gangguan organ lain (misalnya hepar, ginjal, gastrointestinal, kelenjar tiroid,

SSP).
Riwayat kejang atau epilepsi.
Riwayat stroke, parestesia atau keluhan neurologis lain.
Fungsi pendengaran, penglihatan dan memori.
Riwayat kemoterapi atau radioterapi.
Riwayat kehamilan (hari pertama haid terakhir).
Riwayat komplikasi anestesi.
Riwayat kesehatan oral (gigi, mulut, lidah).
Kebiasaan olahraga.
Gangguan tidur (dengkur, insomnia, sleep apnea).
Perkara lain yang harus diketahui yang tidak ditanyakan.
Pertanyaan dari pasien kepada dokter spesialis anestesi/bedah.4

Karena begitu banyak sekali pertanyaan yang perlu dilakukan, biasanya pasien diminta
mengisi rekam medis dengan bimbingan dokter ketika anamnesis. Semua pertanyaan ini perlu
dijawab sedetil dan akurat mungkin karena semua ini akan menjadi pertimbangan oleh dokter
anestesi untuk menentukan pemilihan anestesi dan obat yang terbaik untuk pasien ini dengan
mengambil kira kondisi semasa pasien. Dokter juga dapat memikirkan tindakan operasi yang
akan dilakukan invasive atau non-invasif, risiko tinggi, sedang atau rendah. Pasien juga dapat

dievaluasi sama ada berisiko tinggi atau rendah untuk dilakukan operasi sesuai dengan
criteria ASA.

Tabel 1. Klasifikasi ASA untuk kondisi pasien4


Selain anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang rutin harus dilakukan sebelum pasien
dibenarkan untuk dilakukan operasi. Biasanya pemeriksaan fisik dilakukan adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital, jalan nafas, paru dan kardiovaskular. Pemeriksaan penunjang
rutin dilakukan sesuai dengan pemeriksaan fisik tadi seperti pemeriksaan darah rutin,
urinalisis, rontgen thorax, EKG, spirometri, fungsi hati, fungsi ginjal, analisis gas darah dan
pembekuan darah (PT, aPTT). Pemeriksaan lain dilakukan sekiranya menemukan gejala
klinis yang perlu diberi perhatian.

Gambar 2. Pemeriksaan fisik dan penunjang untuk gejala dispnea4

Tabel 2. Pemeriksaan penunjang rutin pre-anestesi4


Pasien juga diminta mematuhi instruksi dari dokter sebelum menjelang hari operasi.
Banyak hal yang perlu diberitahukan dan diperingatkan secara tegas tentang perkara yang
perlu dipatuhi sebelum tiba hari yang dijadwalkan operasi. Misalnya pasien diminta berpuasa
untuk tujuan pengosongan lambung supaya tidak terjadi regurgitasi dan aspirasi. Pasien
diterangkan apa yang boleh dimakan dan apa yang sebaiknya dihindari, kapan harus berhenti
makan atau minum. Selain makan, hal yang sangat penting adalah penggunaan obat. Pasien
perlu diberitahu supaya menghentikan penggunaan obat atau meneruskan penggunaan obat
tertentu sesuai dengan indikasi yang jelas baik dari aspek manfaat atau efek lain terhadap
anestesi atau bedah. Banyak obat yang sering digunakan pasien yang kadang memerlukan
indikasi yang jelas dari dokter sama ada perlu dihentikan atau dilanjutkan penggunaannya
sesuai dengan pertimbangan manfaat-risiko pada pasien, misalnya penggunaan aspirin dan
klopidogrel pada pasien dengan gangguan jantung, obat antikonvulsan pada pasien epilepsi,
obat antihipertensi, antipsikotik, insulin pada DM dan banyak lagi.

Tabel 3. Pedoman puasa pre-operatif4

10

Gambar 3. Rekam medis pasien untuk pre-operatif4


Namun, dari kesemua prosedur di atas yang jauh lebih penting adalah kesediaan pasien
untuk mengikuti semua prosedur yang diatur untuk pasien tersebut. Informed consent sangat
penting dari aspek etikolegal dan medikolegal supaya hak pasien untuk mendapatkan
informasi tentang semua tindakan yang akan dilakukan ke atasnya adalah sesuai dengan
11

prosedur standard operasi (SOP) dan yang jelas atas keizinan dari pasien sendiri misalnya
persetujuan dilakukan resusitasi. Ia bertujuan untuk menghindari sebarang unsur malpraktek
dan masalah hukum terutama dari pihak tenaga medis. Pasien harus dijelaskan setiap
prosedur yang akan dilakukan ke atasnya berserta alasan yang rasional sebelum meminta izin
untuk dilakukan. Jika pasien bersetuju, maka ia akan dilakukan sesuai dengan SOP. Jika
pasien menolak sebarang prosedur, pasien tidak boleh dipaksakan untuk tetap menerima
walaupun ia akan berdampak negatif kepadanya karena adalah haknya untuk mendapat
informasi dan memilih sama untuk menerima atau menolak setiap tindakan ke atas dirinya.

Gambar 4. Informed consent resusitasi4


Persiapan Intra-operasi
Dengan informasi yang telah digali dari anamnesis dan pemeriksaan rutin, dokter anestesi
dapat memikirkan cara pemberian anestesi dan obat anestesi yang tepat untuk pasien.
Anastesi dapat diberikan sebagai anestesi umum atau regional. Anestesi umum dapat
diberikan dalam bentuk inhalasi atau intravena. Manakala anestesi regional dalam hal ini
12

antaranya pemberian anestesi spinal atau epidural. Masing-masing punya keuntungan dan
kerugian.
Anestesi umum lebih mudah dikerja dengan komplikasi lebih ringan. Anestesi rumatan
dengan menggunakan anestesi umum juga lebih mudah dilakukan sekiranya pasien
menunjukkan tanda penurunan efek anestesi. Namun dengan anestesi umum, semua proses
fisiologis tubuh ditekan untuk bekerja sangat minimal hingga risiko terjadinya aspirasi dan
depresi nafas apa lagi kalau menggunakan obat yang menekan SSP seperti obat golongan
opiod. Penggunaan anestesi regional seperti epidural atau spinal dikatakan lebih aman karena
penekanan sistem saraf tidak dilakukan menyeluruh, hanya mengenai bagian yang ingin
dioperasi. Namun, ia berisiko tinggi, harus dilakukan sesuai indikasi dan dokter yang
melakukannya haruslah berketrampilan. Bila efek anestesi habis, anestesi rumatan lebih sulit
dilakukan. Oleh itu, balik lagi kepada pertimbangan-pertimbangan yang harus dilakukan
dalam pemilihan anestesi dan yang paling ia dilakukan atas permintaan pasien sesuai
informed consent. Kalau pasien menolak tindakan anestesi tersebut, ia tidak boleh dilakukan.
Di bawah ini adalah kriteria yang dipakai dalam pemilihan pemberian anestesi:

Kemahuan pasien.
Kecenderungan dokter.
Kondisi pasien (penyakit manahun yang bukan dioperasi misalnya asma).
Lokasi bedah.
Posisi bedah.
Kedaruratan bedah.
Masalah pengosongan lambung ketika pemberian anestesi.
Kesulitan manajemen jalan nafas dan intubasi.
Lama operasi.
Umur pasien.
Waktu pulih.
Kriteria discharge post-anestesi care unit.4

Pemberian anestesi
Anestesi umum
Anestesi regional
Lebih sering dilakukan.
Lebih jarang dilakukan.
Digunakan pada kasus bedah emergency dan Hanya dilakukan pada kasus bedah elektif
13

non-emergency tanpa komplikasi jalan nafas non-emergency terutama dengan komplikasi


dan kardiovaskular yg berat.
jalan nafas dan kardiovaskuler.
Relatif lebih mudah dilakukan.
Agak sulit dilakukan.
Efek obat menekan semua sistem dalam Efek obat hanya pada daerah yang dioperasi.
tubuh.
Cara pemberian: intravena, inhalasi
Contoh obat:
IV:

opioid,

barbiturate,

benzodiazepine, epinefrin/ bupivakain 0,25% + epinefrin/ atau

propofol, etomidate, dexmetomidine.


Inhalasi:

N2O,

Cara pemberian: spinal, epidural


Contoh obat: lidokain 0,5% 100 ml +

desflurane,

kombinasi keduanya dengan atau tanpa

sevoflurane, natrium bikarbonat.

halothane, isoflurane.
Tabel 4. Pemilihan anestesi dan contoh obat
Sebelum pemberian anestesi, semua gejala yang mempengaruhi efek anestesi harus
diterapi. Gejala yang sering ditangani ketika pre-medikasi anestesi antaranya rasa gelisah,
mual muntah, takikardi, hipersalivasi dan lain-lain. Pemberian obat seperti anti-emetik
(droperidol), obat hipnotif-sedatif (benzodiazepine), dan anti-muskarinik sering diberikan
terlebih dahulu untuk menstabilkan kondisi pasien sebelum dilakukan anestesi.

Tabel 5. Pre-medikasi sebelum anestesi4


Setelah pemberian pre-medikasi dan anestesi umum, biasanya disuntik juga pelemas
otot seperti suksinilkolin bila anestesi tersebut tidak kuat efek pelemas ototnya.Yang paling

14

penting dalam pemberian anestesi umum adalah jalan nafas yang lancar dan nafas teratur.
Obstruksi jalan nafas harus diatasi dengan menghilangkan penyebab obstruksi tersebut seperti
lidah, gigi, muntah atau spasme larynx. Jadi, pasien setiap pasien dipastikan tanda-tanda
obstruksi jalan nafas yaitu stridor, retraksi otot dada, nafas paradoksal, pengembangan balon
pada mesin anestesi lemah, beban nafas meningkat dan sianosis. Tindakan yang dilakukan
adalah membetulkan posisi pasien ke posisi sniffing position di mana bidang jalan nafas
menjadi sejajar dengan melakukan maneuver head tilt-chin lift dan mengganjal kepala atau
punggung dengan bantal. Pada pasien dengan obstruksi jalan nafas akibat releks larynx hilang
atau obstruksi lidah, pemasangan pipa orofaring atau nasofaring dilakukan sesuai indikasi
masing-masing.5

Gambar 5. Klasifikasi obstruksi jalan nafas Mallampati4


Bila jalan nafas sudah baik, berikan oksigen untuk membantu pasien bernafas.
Terdapat beberapa cara pemberian oksigen antaranya suplemen oksigen dengan nasal canula,
simple mask, non-rebreathing mask dan venturi mask sesuai dengan kekuatan aliran oksigen,
kebutuhan oksigen dan kemampuan bernafas. Jika risiko terjadi inspirasi tinggi atau nafas
tidak adekuat, intubasi dilakukan dengan pemasangan pipa endotrakeal perlu dilakukan untuk
membantu pasien bernafas. Untuk kasus ringan di mana bisa bernafas sendiri dengan baik,
nasal cannula sudah memadai.
Setelah jalan nafas diperbaiki, fungsi jantung dan fungsi paru harus sentiasa dimonitor
agar sebarang gangguan pada sirkulasi maupun respirasi dapat dideteksi dan ditangani segera.
Oleh itu, pada pasien yang sedang dioperasi, kesemua parameter tersebut dimonitor dengan
alat monitor yang khusus. Monitor penting untuk memastikan hemodinamik, ventilasi dan

15

fungsi tubuh lain dalam batas normal dan dapat diintervensi segera sekiranya ada masalah
ketika operasi berjalan. Parameter yang dipantau antaranya:

EKG (deteksi gangguan irama jantung, keseimbangan elektrolit)


Frekuensi nadi (cardiac output)
Tekanan darah (hemodinamik)
Pulse oxymetry (saturasi O2)
Capnography (frekuensi nafas)
Suhu tubuh (metabolism)
EEG (bispectral index, kesadaran, kedalaman anestesi)
Train of four (ukur kerja dari pelumpuh otot dengan aliran listrik)

Selain dari parameter di atas, ada satu hal sangat penting untuk dipahami yaitu
resusitasi cairan. Fungsi hemodinamik yang baik salah satu indaktor yang penting adalah
urine output. Produksi urin rendah atau nol berarti pasien ini mengalami gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh dan ini perlu dikoreksi dengan mengontrol
pemberian cairan dan memperbaiki tekanan darah supaya perfusi jaringan normal dan tubuh
menjadi lebih stabil.
Secara gambaran kasar, 50-60% dari berat badan manusia dewasa terdiri dari air.Dari
jumlah tersebut, 2/3 adalah cairan intrasel manakala sisanya adalah cairan ekstrasel. Dari
cairan ekstrasel, hanya 1/4 adalah darah manakala selebihnya adalah cairan interstitial. Dari
darah pula, 55% komponennya adalah plasma yang konstituen paling banyak adalah air, 45%
selebihnya adalah komponen seluler (eritrosit, leukosit, trombosit). Jadi, tubuh memang
sangat tinggi kandungan air dan volume cairan ini harus dipertahankan agar hemodinamik
cukup stabil untuk perfusi jaringan supaya proses difusi gas dan nutrisi tidak terganggu.4
Pada pasien yang sedang dioperasi, kehilangan cairan dapat disebabkan intake yang
kurang akibat puasa, kehilangan cairan interstitial ke kompartmen ketiga (third space loss)
dan kehilangan darah. Kebutuhan cairan harus dihitung dan kecepatan pemberian juga harus
diatur dengan baik. Terdapat beberapa pilihan cairan; kristaloid dan koloid.
Penting untuk kita menghitung kebutuhan cairan basal, deficit cairan dan estimasi
volume darah untuk menilai seberapa banyak cairan yang nanti perlu diberikan pada pasien
ini. Kita lakukan hitungan sederhana dengan menganggap BB pasien adalah 70 kg,
dipuasakan pre-operatif selama 6 jam. Operasi berlangsung selama 1 jam.
a. Kebutuhan cairan basal = (4 x 10)ml/jam + (2 x 10)ml/jam + (1 x 50)ml/jam
16

= 40 ml/jam + 20 ml/jam + 50 ml/jam


= 110 ml/jam
b. Defisit cairan pre-operatif = 110 ml/jam x 6 jam
= 660 ml

Estimasi volume darah = 65 ml/kgBB x 70kg


= 4550 ml (untuk pasien laki-laki)

Maximal allowable blood loss tidak lebih dari 30% atau 25-30 ml/kgBB
Volume cairan kristaloid yang menggantikan kehilangan darah tersebut harus 3x

volume darah tersebut. Anggap saja kehilangan darah sebanyak 250 ml.
c. Cairan kristaloid pengganti darah = 250 ml x 3
= 750 ml
d. Sequester atau third space loss = 5 ml/kgBB/jam x 70 kg x 1 jam operasi
= 350 ml
e. Compensatory intravascular volume expansion = volume darah dibutuhkan untuk
mengisi pembuluh darah supaya
tetap utuh ketika anestesi bekerja
= 5 ml/kg x 70 kg
= 350 ml

Total fluid resuscitation = a + b + c +d +e


= 110 ml + 660 ml + 750 ml + 350 ml + 350 ml
= 2220 ml

Artinya, resusitasi cairan intra-operatif dalam hal ini adalah sebanyak 2220 ml diberi
dalam 1 jam. Mungkin volume cairan yang diberikan terlalu banyak dapat menyebabkan
edema. Oleh itu, dalam beberapa keadaan third space loss tidak diperhitungkan jika operasi
tidak invasive. Cairan juga dikombinasi kristaloid dan koloid untuk mengurangi penggunaan
cairan kristaloid yang terlalu banyak.
17

Persiapan Post-operasi
Setelah operasi selesai dan pasien mulai menunjukkan kesadaran dari anestesi,
penanganan nyeri dan maintenance cairan dilakukan sebagai tindakan post-operatif. Pasti
tindakan bedah meninggalkan rasa nyeri, baik ia bersifat somatic superficial akibat insisi
pada kulit maupun nyeri viseral akibat luka yang dijahit di bagian viseral pada operasi
herniotomi dan hernioraphy. Terapi analgesia dengan kombinasi golongan NSAID seperti
ibuprofen dan asam mefenamat dengan analgesia opioid dosis sedang seperti tramadol dapat
membantu proses penyembuhan dan pemulihan pasien untuk kembali beraktivitas normal. 6
Efek samping dari anestesi misalnya mual muntah diatasi dengan pemberian anti-emetik
seperti metoclopramide 0,15 mg/kgBB IV. Pasien tanpa komplikasi boleh dibenar rawat jalan
bila kondisi stabil, pasien mampu melakukan aktivitas seperti berdiri dan berjalan sendiri ke
kamar mandi tanpa bantuan setelah 2 jam di post-anesthesia care unit. Penilaian dilakukan
dengan criteria Aldrete.

Tabel 6. Kriteria discharge Aldrete4


Resusitasi cairan diteruskan intravena bila pasien tidak dapat minum per oral. Ini
dapat diakibatkan dari efek anestesi tadi. Oleh itu, pasien ini diberikan terapi cairan sampai
18

dia pulih dari efek tersebut dan mampu minum seperti biasa. Walaupun sudah dibenarkan
pulang, pasien tetap harus diperingatkan supaya menjaga kesehatan karena dia belum pulih
sepenuhnya. Pasien diajarkan cara membersihkan diri di rumah agar luka operasi tidak basah
supaya tidak mengganggu penyembuhan. Pasien juga dinasihatkan supaya membatasi
aktivitas fisik yang berat agar tidak terjadi trauma pada luka operasi. Dan jangan lupa konsul
ke dokter lagi segera bila terjadi kejadian seperti infeksi post-operasi, nyeri post-operasi yang
persisten dan gejala lain untuk dievaluasi ulang.

Tabel 7. Kriteria rawat jalan post-operasi4

Kesimpulan
Pasien usia 25 tahun ini harus menjalani persiapan pre-operatif, intra-operatif dan
post-operatif untuk operasi hernia inguinalis dextra reponible yang dialaminya.

19

Daftar Pustaka
1

Fitzgibbons RJ, Ahluwalia HS. Inguinal hernias. In Schwartzs manual of surgery.


Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. 8th ed.

The United States: McGraw-Hill; 2008. p 940-54.


Doherty GM. Current diagnosis and treatment surgery. 13th ed. The United States:

McGraw-Hill; 2010. p 643-52.


Malangoni MA, Rosen MJ. Hernias. In Sabiston textbook of surgery. Townsend CM,
Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. 19th ed. Canada: Saunders Elsevier Inc; 2012.

p 1014-25.
Sweitzer BJ. Preoperative evaluation and medication. In Basics of Anasthesia. Miller

RD, Pardo MC. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2011. p 165-371, 644-6.
Burkitt HG, Quick CRG, Reed JB. Essential surgery problems, diagnosis and

management. 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2010. p 60-72.


Field RC, Matthews BD. Inguinal hernias. In The Washington manual of surgery.
Kligensmith ME, Chen Le, Glasgow SC, Goers TA, Melby SJ. 8th ed. LippincottWilliams & Wilkins; 2008. p 243-50.

20

Anda mungkin juga menyukai