Anda di halaman 1dari 7

Eka Lestari dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169, April 2013

KORELASI ANTARA BOBOT TELUR DENGAN BOBOT TETAS DAN


PERBEDAAN SUSUT BOBOT PADA TELUR ENTOK (Cairrina moschata) DAN
ITIK (Anas plathyrhinchos)
(CORRELATION BETWEEN EGG WEIGHT WITH HATCHING WEIGHT AND EGGS WEIGHT LOSS
DIFFERENCES BETWEEN MUSCOVY DUCK (CAIRRINA MOSCHATA) AND MALLARD DUCKS (ANAS
PLATYRHYNCOS))
Eka Lestari, Ismoyowati, dan Sukardi
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Banyumas
eka_carelesta@ymail.com
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara bobot telur dan bobot tetas,
mengetahui perbedaan bobot telur dan bobot tetas, mengetahui perbedaan susut bobot pada
telur entok dan itik. Materi yang digunakan adalah 192 butir yang dihasilkan dari induk entok dan
itik umur 38 minggu. Metode penelitian adalah experimental menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Perlakuan yang di teliti adalah T1 = Telur Entok, T2 = Telur itik Mojosari, T3 = Telur
itik Magelang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot telur yang paling tinggi adalah telur itik
Magelang dengan rataan 67,91,16 g per butir,dan untuk bobot tetas yang paling tinggi juga
diperoleh dari telur itik Magelang dengan rataan 41,73,09 g. Hasil analisis variansi untuk susut
bobot menunjukan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P<0,05), entok memiliki susut
bobot paling rendah dibandingkan dengan itik, yaitu sebesar 7,38%. Korelasi antara bobot telur
dengan bobot tetas menunjukan bahwa terdapat hubungan antara bobot telur dan bobot tetas,
yang ditunjukan dengan persamaan Y=1,189+0,585X dengan nilai r=0,529 dan R 2=27,98% yang
berarti jika bobot telur (X) bertambah 1 g maka bobot tetas (Y) akan meningkat 0,585 g dan
sumbangan bobot telur terhadap bobot tetas adalah sebesar 27,98%. Berdasarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa itik Magelang memiliki bobot telur dan bobot tetas yang paling tinggi
dibandingkan entok dan itik Mojosari. Entok memiliki susut bobot yang paling rendah
dibandingkan itik. Terdapat korelasi antara bobot telur dan bobot tetas yang dihasilkan pada telur
entok dan telur itik, semakin besar bobot telur akan menghasilkan bobot tetas yang besar pula.
Kata Kunci : Cairina moschata, Anas platyrhynchos, Bobot Telur, Bobot Tetas, Susut Bobot
ABSTRACT
The purpose of this research was to know the relationship between egg weight to hatching
weight, and the weight loss between muscovy duck and mallard duck. The materials used were
192 eggs consisted of 64 muscovy duck eggs,64 mojosari duck eggs and 64 Magelang duck eggs
from the parent muscovy duck and mallard duck age of 38 weeks. This research was done
experimentally using Completaly Rendomized Design (CRD). T 1 = muscovy duck eggs, T2 = mojosari
duck eggs, T3 = magelang duck egg. Based on the results, the highest egg weight was magelang
duck egg averaging 67.9 2.80 g per egg and for hatching weight, the highest weight was also
obtained from magelang duck eggs with the average of 41.7 3.09 g. The results of analysis of
variance for the shrinkage weights showed that the treatment had no significant effect (P<0.05),
muscovy duck had the lowest weight losses compared to the mallard duck, which amounted to
7.38%. The correlation between the weight of egg to hatching weight showed that the relationship
between egg weight and hatching weight, was indicated by an equation : Y = 1.189 +0.585 X with r
= 0.529 and R2 = 27.98%, which meant if the weight of the egg (X) increased by 1 g the hatching
weight (Y) increased 0.585 g and the contribution to the hatching weight was equal to 27.98%. The

163

Eka Lestari dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169, April 2013

conclusion is that the magelang ducks has the highest egg weight and hatching weight relative to
mojosari duck and Muscovy duck. The Muscovy duck has the lowest egg weight loses compared to
the other two types of duck. There is a relationship between egg weight to hatching weight for the
eggs of Muscovy (Cairrina moschata) and mallard (Anas platyrhyncos) duck. The greates the
weight of eggs, the higer the hatching weights.
Keywords: Cairina moschata, Anas plathyrhynchos, Egg Weight, Hatching Weight, Weight Losses.
PENDAHULUAN
Entok (Cairrina moschata) merupakan unggas air yang banyak melakukan aktifitasnya di
darat dan memiliki ciri yang berbeda dengan itik, perbedaan tersebut adalah entok hanya
mendesis dan pada pejantan tidak memiliki bulu seks yaitu bulu khas itik jantan yang mencuat
dan melengkung ke atas (Srigandono, 1997), Ternak itik (Anas plathyrhynchos) memiliki peran
strategis dalam mensuplai kebutuhan protein hewani baik dari produksi telur maupun dari
produksi daging terutama di wilayah pedesaan (Prasetyo dkk, 2004) Entok (Cairina Moschata) dan
itik (Anas plathyrhynchos) merupakan dua komoditas unggas air yang mempunyai potensi untuk
dimanfaatkan baik sebagai penghasil daging dan telur maupun untuk kepentingan persilangan dan
pembibitan (Little et al, 1992).
Salah satu aspek yang penting dalam usaha penyediaan bibit adalah penetasan. Penetasan
telur merupakan suatu proses biologis yang kompleks dari siklus hidup untuk menghasilkan anak.
Keberhasilan penetasan salah satunya ditentukan oleh kualitas telur. Bobot telur merupakan
kriteria yang harus diperhatikan dalam penetasan. Bobot telur akan berpengaruh pada boobt tetas
karena selama penetasan telur mengalami pengurangan bobot yang disebut susut bobot.
Nobel (1995), menyatakan bahwa bobot telur dipengaruhi oleh bobot tubuh pada saat
dewasa kelamin. Bobot tubuh yang ringan pada saat dewasa kelamin akan menghasilkan bobot
telur yang kecil. Prasetyo dan Susanti (2004), menyatakan bahwa bobot badan awal bertelur itik
Mojosari lebih kecil dibandingkan itik Tegal. Bobot badan awal bertelur ini berpengaruh terhadap
bobot telur awal yang dihasilkan. Srigandono (1997), menyatakan bahwa bobot telur itik yang
ditetaskan sebaiknya berkisar antara 65-75 g. Bobot tetas dipengaruhi oleh bobot telur, suhu dan
kelembaban mesin tetas. Ukuran telur yang digunakan untuk penetasan sangat penting karena
mempunyai korelasi yang tinggi antara ukuran telur yang ditetaskan dengan ukuran day old duck
(dod) yang dihasilkan (Leeson, 2000). Bobot telur dapat digunakan sebagai indikator bobot tetas.
Bobot telur yang lebih tinggi akan menghasilkan bobot tetas yang lebih besar. Penyusutan bobot
telur merupakan perubahan yang nyata di dalam telur, selain itu air adalah bagian terbesar dan
unsur biologis di dalam telur yang sangat menentukan proses perkembangan embrio di dalam
telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Shanawary (1987), selama perkembangan embrio
di dalam telur, penyusutan telur hingga menetas menyusut sebesar 22,5 26,5 %. Penyusutan
bobot telur selama masa pengeraman terjadi menunjukan adanya perkembangan dan
metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbon dioksida serta
penguapan air melalui kerabang telur (Prasetyo dan Susanti, 1997).

164

Eka Lestari dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169, April 2013

METODE
Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu: Telur Entok 64 butir, Telur itik Mojosari 64
butir,telur itik Magelang 64 butir yang dihasilkan dari perkawinan entok lokal 4 ekor dan entok
betina 20 ekor,serta itik Mojosari dan Magelang masing masing jantan 8 ekor dan itik betina 40
ekor dengan umur 38 minggu. Peralatan yang digunakan selama penelitian meliputi kandang
terkurung sebanyak 3 petak berukuran 3x4 m untuk setiap petak, alat kebersihan, timbangan
digital, mesin tetas 3 buah, alat candling dan pensil. Penelitian dilakukan dengan metode
eksperimental, Peubah yang diamati adalah bobot telur, bobot tetas dan susut bobot. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, setiap
perlakuan diulang 8 kali dan setiap ulangan terdiri dari 8 butir telur entok,8 butir telur itik
Mojosari, dan 8 butir telur itik Magelang. Perlakuan terdiri dari :T1 bobot telur, T2 = bobot tetas, T3
= susut bobot. Data di analisis dengan menggunakan analisis variansi. Uji lanjut menggunakan uji
kontras orthogonal. Uji korelasi regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara bobot telur
dengan bobot tetas pada telur entok dan itik, dengan persamaan regresi Y= a + b X.
Pengukuran bobot telur dilakukan dengan cara menimbang telur yang akan digunakan untuk
penetasan. Bobot tetas bobot yang diperoleh dari hasil penimbangan anak unggas yang menetas
setelah 24 jam atau bulu anak unggas tersebut kering. Susut bobot diukur selama penetasan
berlangsung yang diukur pada hari ke -32 untuk telur entok dan pada hari ke-25 untuk telur itik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil rataan penelitian yang diteliti pada penelitian ini meliputi bobot telur, bobot tetas dan
susut bobot yang diperoleh dari tiap jenis itik dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rataan Bobot Telur, Bobot Tetas, dan Perbedaan Susut Bobot pada Entok, Itik Mojosari
dan Magelang
Peubah
Entok
Mojosari
Magelang
Signifikansi
ab
b
a
Bobot Telur (g)
63,802,10
61,542,80
67,941,16
Signifikan
ab
b
a
Bobot Tetas (g)
38,994,04
36,001,27
41,703,09
Signifikan
Susut Bobot(%)
7,384,29
9,422,94
10,862,19
Tidak Signifikan
Keterangan : Huruf pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P < 0,01).
Bobot Telur
Rataan bobot telur hasil penelitian tertinggi terdapat pada perlakuan Itik Magelang (T3) yaitu
sebesar 67,9 g per butir (Tabel 1) dan rataan bobot telur terendah dihasilkan pada perlakuan Itik
Mojosari (T2) yaitu sebesar 61,54 g per butir (Tabel 1). Bobot telur yang diperoleh pada penelitian
ini berkisar antara 57,45-70,50 g per butir. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Prasetyo dan
Susanti (2004) yang menyatakan bahwa bobot telur itik Mojosari lebih kecil dibandingkan itik Tegal
dan Itik Magelangi Rataan hasil penelitian Prasetyo dan Susanti (2004) menyatakan bahwa bobot
telur itik Mojosari yaitu sebesar 53,69 g.
Rodenberg et al. (2006) bahwa bobot telur yang kecil disebabkan karena bobot telur
dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, pakan, komposisi telur, periode bertelur, umur unggas dan
bobot badan induk. Hasil penelitian Jull (1951), menyatakan bahwa bobot telur diwariskan dari
tetua ke keturunanya, ini dibuktikan dengan adanya beberapa gen yang mempengaruhi ukuran

165

Eka Lestari dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169, April 2013

telur, induk jantan dan betina memberikan jumlah gen yang seimbang. Stromberg (1975),
menyatakan bahwa ukuran telur mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi, peningkatan mutu
genetik dalam bobot badan dapat meningkatkan bobot telur yang dihasilkan.
Bobot Tetas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01)
terhadap bobot tetas. Rataan bobot tetas tertinggi terdapat pada perlakuan Itik Magelang (T3)
yaitu sebesar 41,70 g (Tabel 1) dan rataan bobot tetas terendah dihasilkan pada perlakuan Itik
Mojosari (T2) yaitu sebesar 36,00 g (Tabel 1). Bobot tetas yang diperoleh pada penelitian ini
berkisar antara 33,70 47.7 g/ekor.
Hal tersebut dapat terjadi karena bobot telur itik Magelang yang akan ditetaskan lebih besar
dibandingkan telur entok dan telur itik Mojosari. Diperkuat dengan hasil penelitian Wineland
(2000) yang menyebutkan bahwa bobot telur dapat digunakan sebagai indikator bobot tetas.
Bobot telur yang lebih tinggi akan menghasilkan bobot tetas yang lebih besar. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian Hermawan (2000), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata
(P< 0,01) antara bobot telur dan bobot tetas, semakin tinggi bobot telur yang ditetaskan akan
menghasilkan bobot tetas yang lebih besar.
Stromberg (1975), menyatakan bahwa anak yang ditetaskan dari telur yang kecil, bobotnya
akan lebih kecil dibandingkan dengan anakan yang berasal dari telur yang besar. Hal yang sama
diungkapkan oleh North dan Bell (1990), yang menyatakan bahwa telur yang bobotnya kecil akan
menghasilkan bobot day old duck (dod) yang kecil juga. Hal ini disebabkan karena bobot tetas
dipengaruhi oleh penyimpanan telur, faktor genetik, umur induk, kebersihan telur, dan ukuran
telur (North dan Bell,1990).
Susut Bobot
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh sangat nyata (P > 0,01)
terhadap susut bobot. Rataan susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan Itik Magelang (T3)
yaitu sebesar 10,86 % (Tabel 1) dan rataan susut bobot terendah dihasilkan pada perlakuan entok
(T1) yaitu sebesar 7,38% (Tabel 1). Susut bobot yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara
2,97% - 33,69%.
Hasil analisis variansi menginformasikan bahwa hasil pengukuran susut bobot pada ketiga
jenis itik tidak mengalami perbedaan yang sangat nyata. Hal tersebut memungkinkan bahwa susut
bobot yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang lain. Beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya susut tetas antara lain : suhu, kelembaban, perkembangan embrio, tebal
kerabang, jumlah pori-pori kerabang, dan lama penyimpanan telur sebelum dimasukan ke dalam
mesin tetas (Tullet dan Burton,1982). Sedangkan pada penelitian ini hanya beberapa faktor
penyebab susut bobot yang tercatat antara lain: suhu, kelembaban,dan lama penyimpanan telur
sebelum dimasukan kedalam mesin tetas.
Penguapan air dan gas menyebabkan bobot telur tetas menyusut, dan penyusutan ini akan
mempengaruhi bobot tetas yang dihasilkan. Hal ini diidukung dengan pernyataan Tullet dan
Burton (1982), menyatakan penyusutan telur selam masa pengeraman diakibatkan pengaruh suhu
dan kelembaban yang dapat mempengaruhi daya tetas,bobot tetas dan kualitas anak unggas yang
dihasilkan.

166

Eka Lestari dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169, April 2013

Hubungan Antara Bobot Telur dan Bobot Tetas


Berdasarkan analisis regresi, diperoleh hubungan yang sangat erat (P < 0,01) antara bobot
telur dan bobot tetas. Bobot telur dapat digunakan sebagai indikator untuk menghasilkan bobot
tetas. Hal ini didiukung oleh penelitian Hermawan (2000), yang menyatakan bahwa ada hubungan
yang sangat nyata (P<0,01) antara bobot telur dengan bobot tetas yang dihasilkan. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Lesson (2000) bahwa bobot tetas dipengaruhi oleh bobot telur, suhu dan
kelembaban mesin tetas. Ukuran telur yang digunakan untuk penetasan sangat penting karena
mempunyai korelasi yang tinggi antara ukuran telur yang ditetaskan dengan ukuran day old duck
(dod) yang dihasilkan (Leeson, 2000). Hal yang sama di ungkapkan oleh North dan Bell (1990),
yang menyatakan bahwa telur yang bobotnya kecil akan menghasilkan bobot tetas yang kecil juga.
60

Bobot Te t a s (g)

50
40
30

Y = 1,189 + 0.585X
R = 27,98%
r = 0,529

20
10
0
50

60

70

80

Bobot Telur (g)


Gambar 1. Grafik Hubungan Antara Bobot Tetas dengan Bobot Telur
Hubungan antara bobot telur dan bobot tetas pada penelitian ini mengikuti persamaan Y=
1,189+0,585X (Gambar. 1). Hal ini menunjukan bahwa setiap peningkatan satu gram bobot telur
maka akan meningkatkan 0,585 g bobot tetas, dengan koefisien determinasi (R 2) sebesar 27,98%
dan koefisien korelasi (r) sebesar 0,529 (Gambar.1) yang berarti sumbangan bobot telur terhadap
bobot tetas sebesar 27,98% dan sisanya sebesar 72,02 % dipengaruhi oleh faktor lain misalnya
seperti bobot induk yang berbeda pada jenis itik yang digunakan untuk penelitian, tebal kerabang
yang berbeda dari tiap telur pada ketiga bangsa itik yang digunakan peneliti. Hal ini didukung
dengan penelitian Hamdy et al (1991), bahwa peningkatan satu gram bobot telur akan
meningkatkan bobor tetas sebesar 0,5 - 0,7 g. Hal ini terjadi karena telur mengandung nutrisi,
seperti vitamin, mineral dan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan selama pengeraman. Nutrisi
ini juga berfungsi sebagai cadangan makanan untuk beberapa waktu setelah menetas
(Pattison,1993). Faktor lain yang mempengaruhi bobot tetas diantaranya suhu dan kelembaban
mesin tetas. Menurut Stromberg (1975), suhu diatas optimum selama pengeraman akan
menghasilkan anak unggas yang lebih kecil karena dehidrasi. Sedangkan menuurut North dan Bell
167

Eka Lestari dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169, April 2013

(1990), menyatakan bahwa kelembaban mesin tetas yang terlalu tinggi akan menghasilkan day old
duck (dod) yang lebih berat dan lembek pada daerah abdomen.
Funk dan Irwin (1995), menyatakan bahwa ukuran telur ada hubunganya dengan daya tetas.
Telur yang terlalu besar atau kecil tidak baik untuk ditetaskan karena daya tetasnya rendah
(Sainsbury,1984). Telur yang terlalu kecil mempunyai luas permukaan telur per unit yang lebih
besar dibandingkan dengan telur yang besar. Hal ini diperkuat dengan pernyataan North dan Bell
(1990), yang menginformasikan bahwa bobot telur yang tidak menetas memiliki bobot yang lebih
rendah dibandingkan dengan bobot telur yang menetas, karena telur yang kecil mempunyai luas
permukaan telur per unit yang lebih besar dibandingkan dengan telur yang lebih besar, akibatnya
penguapan air dari dalam telur akan lebih cepat sehingga telur akan cepat kering.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi atau hubungan yang
sangat nyata antara bobot telur yang digunakan dengan bobot tetas yang dihasilkan yang
dinyatakan dalam persamaan Y= 1,189 + 0,585X, yang berati setiap peningkatan 1 g bobot telur
akan menigkatkan 0,585 g bobot tetas. Itik Magelang memiliki bobot telur dan bobot tetas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan entook dan itik Mojosari. Entok memiliki susut bobot yang lebih
rendah dibandingkan dengan itik Magelang dan Mojosari selama periode penetasan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima ksaih kepada Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (LPPM) Unsoed atas dana yang diberikan untuk Riset Percepatan Guru Besar
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto atas nama Dr. Ir. Ismoyowati, SPt. MP, yang telah
mengikutsertakan penulis dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, I. K. dan Sumiati. 1992. Kemungkinan Penerapan Cara Pemberian Makanan Bebas Pilih
Bagi Beberapa Jenis Itik Petelur Lokal. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor.
Funk, M.E. and M.R. Irwin. 1995. Hatchery Operation and Management. Jhon Wiley and Sons, Inc.
New York
Hamdy, A.M.M.,A.M. Henken, W.V.D. Hel, A.G and A.K.I. Abd. Elmoty.1991. Effect of Incubation
Humidity and Hatching Time on Tolerance of Neonatal Chicks: Growth Performance after
heat Exposure. Poultry Science 70:1507-1515
Hermawan, A. 2000. Pengaruh Bobot dan Indeks Telur terhadap Jenis Kelamin Anak Ayam
Kampung pada Saat Menetas. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Leeson, S. 2000. Egg Number and Egg Size Both Influence Broiler Yields. Arbor Acres, Service
Billetin No. 13, Jully 1.
Little, D.C., Khalil and P. Takaekaew. 1992. Development of duck-fish integrated system in
Northeast Thailand. Proc.Of the sixth AAAP Anim l Sci.Congress.Vol II.
Nobel. 1995 . Yield and cutting of pekin and muscovy ducks. In: 6th Eur. Symp. Poultry Meat
Quality, Ploufragan, 352360.
North, M.O and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual Fourth Edition. An Avi
Book Published by Van Nostrand Reinhold, New York.
168

Eka Lestari dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):163-169, April 2013

Pattison, M. 1993. The Health of Poultry. Longman Scientific and Technical.


Prasetyo, L. H, T. Susanti, P. P. Kataren, E. Juwarini dan M. Purba. 2004. Pembentukan itik lokal
petelur MA G3 dan pedaging seleksi dalam galur pada bibit induk alabio dan itik mojosari
generasi F3. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tahun Anggaran 2004. Balai PenelitianTernak
Ciawi, Bogor. Hal. 70-82.
Romanoff, A.L. and A.J. Romanoff. 1963. The Avian Egg. 2nd Ed. John Wiley and Sons, Inc. New
York.
Roderberg, T.B., MBM. Bracke, J. Berk, J.Cooper. J.M. Fare. D. Guemene, G. guy, A. Harlander, T
Jones, U. Knierim, K, Kuhnt, H. Pirngel, K. Reiter. J. serviere and M.A.W. Ruis. 2006. Welfare
of Duck in Europen Duck Husbandry System. Poultry Science. Vol 61(4) : 633-647.
Sainsbury, D. 1984. Poultry Health and Management. Second Edition. Granada. Publising.
Shanaway, M.M. 1987. Hatching Weight in Relation to Egg Weight in Domestic Bird. Worlds
Poultry Sci. Journal. 43 (2) : 107-114
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Stromberg, J. and L. Stromberg. 1975. A Guide to Better Hatching. Stromberg Publishing Company,
Pine River, Minnesota.
Suparyanto, A. 2005. Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung Melalui Pembentukan
Galur Induk. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tullet, S.G. and F.G. Burton. 1982. Factor Affecting the Weight and Water Status of Chick and
Hatch. British Poult. Sci. 23:361-369.
Wineland, M. 2000. Moisture Loss in Hatching Eggs. Abor Acres, Service Bulletin. No 14, July 15.

169

Anda mungkin juga menyukai