Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tax Planning
DISUSUN OLEH:
(15/391330/EE/07070)
Ridho Verian
(15/391386/EE/07126)
Naufal Aditya
(15/391372/EE/07112)
(15/391411/EE/07151)
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa usaha dan
transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam
bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai
perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga
dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya.
Perencanaan Pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak itu
sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah
pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas
yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax
implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini,
dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya adalah agar
dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya, penekanan
perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisasi kewajiban pajak.
Manfaat perencanaan pajak dapat dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Penghematan kas keluar.
Perencanaan pajak dapat menghemat pajak yang merupakan biaya bagi perusahaan.
2. Mengatur aliran kas (cash flow).
Perencanaan pajak dapat mengestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan
saat pembayaran sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih
akurat.
transaksi.
2)
Secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik
penghindaran pajak (Arnold, 2008). Yang pertama dengan pendekatan tanpa menggunakan
ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance doctrine (judicial
doctrine) yang dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan, yang kedua melalui statutory
general anti avoidance rule (GAAR) yaitu ketentuan khusus dalam peraturan yang memberikan
kewenangan kepada otoritas pajak untuk membatalkan manfaat dari transaksi yang memenuhi
kriteria sebagai penghindaran pajak.
Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal
dua pendekatan yang berlawanan; pertama pendekatan literal, di mana peraturan ditafsirkan
berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam naskah peraturan. Kedua, berseberangan
dengan pendekatan pertama adalah pendekatan purposive, di mana dalam menafsirkan peraturan
juga dipertimbangkan tujuan dan latar belakang dari dibuatnya peraturan tersebut.
Judicial doctrine dalam melawan penghindaran pajak dikembangkan terutama oleh
negara-negara yang peradilannya berani menggunakan pendekatanpurposive dalam menafsirkan
peraturan, karena sifat dari penghindaran pajak sebagaimana telah dijelaskan secara literal tidak
bertentangan dengan teks yang tercantum dalam peraturan perpajakan, sehingga diperlukan
penafsiran alternatif yang menyimpang dari teks peraturan.
Di negara-negara yang peradilannya masih cenderung menggunakan penafsiran literal,
dapat dikatakan bahwa penggunaan judicial doctrine untuk melawan penghindaran pajak tidak
banyak berkembang. Hal ini sering kali mendorong negara-negara untuk mencantumkan dalam
peraturan perpajakannya ketentuan khusus dalam bentuk statutory general anti avoidance rule.
Mekanisme
kerja anti-avoidance
rules (peraturan-peraturan
yang
dibuat
untuk
yang melakukan penghindaran pajak tersebut. Dengan kata lain, pengaturannya tidak bersifat
sebagai pasal-pasal pengaman (safeguard articles) dalam mengantisipasi abuse of law saja.
Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak di Undang-undang perpajakan
sudah dikenal peraturan specific anti avoidance rule dalam Pasal 18 Undang-undang Pajak
Penghasilan, akan tetapi seiring semakin kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang
digunakan, ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis
transaksi penghindaran pajak. Oleh karena itu, untuk mencegah dan melawan praktik
penghindaran pajak, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan untuk menyusun dan
memperkenalkan suatu statutory general anti avoidance rule di Undang-undang perpajakan di
Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari negara lain yang telah menerapkan ketentuan
tersebut dalam peraturan mereka.
Referensi
http://www.pajak.go.id/content/article/mengenal-penghindaran-pajak-tax-avoidance
https://tanyapajak1.wordpress.com/2012/10/31/tax-planning-perencanaan-pajak/
google.co.id