Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Di seluruh dunia, satu dari dua orang terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberkulosis
(TB). Jumlah penderita TB sekitar 2,5% dari seluruh penyakit, dan merupakan
penyebab kematian tersering pada wanita muda. TB sekarang menduduki peringkat
7 pada penyebab kematian dari penyakit. Meskipun obat yang efektif untuk TB
telah ada selama 50 tahun yang lalu, setiap 15 detik seseorang meninggal karena
TB, dan tiap satu detik seseorang terinfeksi dengan TB. 75 % pasien TB berada
pada usia produktif, antara 15-54 tahun. Sembilan puluh lima persen kasus dan
99% kematian karena TB muncul di negara-negara berkembang, terutama pada
Sub-saharan Africa dan South East Asia, dan sekitar 48% pasien dengan TB tinggal
di Asia; termasuk Indonesia. Di masa-masa yang akan datang perhatian perlu
diberikan pada interaksi antara penyakit kronik dengan TB, diantaranya yaitu
diabetes.1 Tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus (DM) seringkali ditemukan
bersama sama (42,1%), terutama pada seseorang dengan resiko tinggi untuk
menderita TB. DM telah dilaporkan dapat merubah gejala klinis dari TB serta
berhubungan dengan respon yang lambat dari pengobatan TB dan tingginya
mortalitas. TB dapat mengakibatkan pengaruh yang buruk terhadap kadar gula
darah karena intoleransi glukosa yang menyebabkan keadaan hiperglikemia, namun
akan membaik atau menjadi normal dengan pengobatan anti TB. 2 Penyakit-penyakit
penyerta tersebut 61,5% ditemukan sebagai penyakit primer (lebih dulu) dan 38,5%
sebagai penyakit sekunder, yaitu TB Paru yang lebih dulu, penyakit penyertanya
belakangan timbul.3
LAPORAN KASUS
Pada tanggal 11 juni 2008 datang seorang laki-laki berusia 54 tahun dengan
keluhan utama batuk darah. Anamnesa riwayat penyakit sekarang didapatkan
Pasien telah mengalami batuk darah 1 hari sebelum masuk rumah sakit (MRS),
dengan frekuensi <3x/hari, jumlahnya sekitar 1 sendok makan, beserta dahak,
berbusa dan berwarna merah kehitaman bercampur dengan dahak. Pasien juga
mengalami batuk batuk berdahak dengan frekuensi sering setiap harinya sejak dua
minggu sebelum MRS, berwarna hijau kekuning-kuningan, batuk berdahak
diperberat dengan minuman yang manis atau makanan berminyak, dan juga pasien
merasakan perubahan suara menjadi serak semenjak batuk batuk. Pasien juga
mengalami rasa sesak saat bernafas sejak 2 minggu yang lalu, rasa sesak
berkurang jika dahak dibatukkan. Pasien juga merasakan sering demam sejak 2
minggu yang lalu, dan lebih sering terjadi pada malam hari tapi pasien tidak
melakukan pengobatan. pasien juga menyadari adanya penurunan berat badan
yang semula 62 kg menjadi 45 kg pada tahun 2007, dan menjadi 38 kg pada tahun
2008, namun tidak ada penurunan dalam nafsu makan. Pasien juga sering
mengalami kram pada kedua kaki pada tahun 2006 dan cepat merasa letih saat
melakukan aktifitas, tidak ada rasa cepat haus, cepat lapar maupun sering kencing
saat malam hari.
Anamnesa riwayat penyakit dahulu pasien didiagnosa menderita diabetes melitus
pada tahun 2006 saat periksa di puskesmas, setelah obat dari puskesmas habis
pasien tidak pernah kontrol untuk berobat lagi. Dalam hal makan pasien tidak

pernah membatasi makanannya. Pasien juga tidak pernah menderita sakit paruparu sebelumnya. Riwayat penyakit keluarga didapatkan riwayat kerabat terdekat
dengan penyakit kencing manis, namun tidak ada kerabat maupun tetangga
terdekat yang mempunyai riwayat batuk-batuk lama. Riwayat kebiasaan menghisap
tembakau selama 34 tahun dengan 1 bungkus/3 hari. Namun telah berhenti selama
3 bulan terakhir. Olahraga bulutangkis 2 kali seminggu, dahulu dilakukan rutin
namun sekarang tidak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos
mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84 kali/menit, suhu 36,5 0C, pernafasan
20 kali/menit, berat badan 38 kg, tinggi badan 172 cm, status gizi termasuk BB
kurang dengan Body Mass Index 12,84 kg/m2. status lokalis kepala, leher, thorax,
abdomen, dan ekstrimitas dalam batas normal.
PEMBAHASAN
Hemoptoe secara definisi adalah ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah.
Hemoptoe merupakan salah satu gejala yang penting dari penyakit paru, pertama
karena merupakan bahaya potensial adanya perdarahan yang gawat yang
memerlukan tindakan yang segera dan intensif, dimana batuk darah yang tidak
ditangani dengan baik akan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Kedua,
karena hemoptoe hampir selalu disebabkan oleh penyakit bronkopulmonal. 4
Etiologi hemoptoe sangat banyak, namun dari segi insiden yaitu TB paru (25-40%),
bronkiektasis (20%), dan ca bronkogenik (10-15%), sedangkan jika berdasarkan usia
penderita, pada usia >40 tahun kemungkinan etiologinya adalah ca bronkogenik, TB
dan bronkiektasis. 4
Kriteria hemoptoe masif menurut yeoh (1965) adalah perdarahan 200 cc dalam 24
jam, sedangkan menurut sdeo (1976) adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24
jam.4 Pasien TB paru mempunyai indikasi rawat inap jika terdapat keadaan atau
komplikasi: keadaan umum buruk, batuk darah masif, pneumothorax, empiema,
efusi pleura masif/bilateral, dan sesak nafas berat (bukan karena efusi
pleura).8 Pasien ini hemoptoe yang terjadi bukan termasuk hemoptoe masif
sehingga tidak mempunyai indikasi untuk rawat inap.
Tujuan pokok terapi hemoptoe adalah mencegah tersumbatnya saluran pernafasan
oleh bekuan darah, mencegah kemungkinan penyebaran infeksi dan menghentikan
perdarahan. Pada hemoptoe yang tidak masif maka penanganan dapat secara
konservatif, yang dilakukan pada penanganan secara konservatif adalah: 4
1. Menenangkan penderita dan memberitahu agar jangan takut untuk
membatukkan darahnya.
2. Penderita diminta untuk berbaring pada bagian paru yang sakit atau sedikit
tredelenburg, terutama apabila reflek batuknya tidak adekuat.
3. Jaga agar jalan nafas tetap terbuka, bila terdapat tanda tanda sumbatan jalan
nafas maka perlu dilakukan penghisapan atau bila diperlukan dengan
memasang pipa endotrakeal. Pemberian oksigen hanya berguna jika jalan
nafas bebas sumbatan.

4. Pemasangan IVFD untuk penggantian cairan maupun pemberian obat secara


parenteral.
5. Pemberian obat hemostatik tidak jelas manfaatnya pada batuk darah yang
tidak disertai kelainan faal hemostatik.
6. Obat dengan efek sedasi ringan dapat diberikan bila penderita gelisah. Obat
obat penekan reflek batuk hanya diberikan bila terdapat batuk yang
berlebihan dan merangsang timbulnya perdarahan yang lebih banyak.
7. Transfusi diberikan bila hematokrit turun dibawah 25-30% atau hemoglobin
dibawah 10 gr%.
gambar 1. alur diagnosa suspek TB paru

Dugaan diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain. 4 Gejala gejalanya
termasuk gejala respiratorik (batuk 3 minggu, batuk berdahak, batuk darah, nyeri
dada, sesak nafas) dan gejala sistemik (demam, keringat malam, penurunan berat
badan, malaise, nafsu makan menurun). Pada pemeriksaan fisik TB tidak khas,

sehingga tidak dapat membantu membedakan dengan penyakit lainnya, temuan


fisik tergantung lokasi kelainan, serta luasnya kelainan struktur paru. 4
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan dahak untuk menentukan bakteri tahan asam (BTA) merupakan
pemeriksaan yanng harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB
atau suspek, pemeriksaan dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu). Diagnosis TB
paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan
BTA (+). Bila hanya satu spesimen positif maka perlu dilakukan pemeriksaan foto
thorax atau sputum ulangan. Bila foto thorax mendukung TB maka didiagnosis TB
paru BTA (+). Bila foto thorax tidak mendukung maka perlu dilakukan pemeriksaan
sputum ulang. Bila hasil sputum ulangan negatif berarti bukan penderita TB. Bila
foto roentgen mendukung TB namun sputum negatif maka diagnosis adalah TB paru
BTA (-) roentgen positif. 4
Pada pasien ini dari anamnesis didapatkan bahwa pasien ini memiliki episode batuk
berulang dengan dahak yang telah berlangsung selama 2 minggu, kemudian
adanya riwayat demam malam hari dan riwayat penurunan berat badan,
berdasarkan hal ini maka pasien dapat dicurigai menderita TB paru. Pada
pemeriksaan sputum ditemukan adanya bakteri tahan asam positif 2, oleh karena
itu pasien ini dapat langsung didiagnosa sebagai penderita TB paru.
Pada kasus dimana sputum positif maka pemeriksaan roentgen tidak diperlukan
lagi. Namun beberapa kasus perlu dilakukan foto thorax bila: 4,9
1. Sputum BTA negatif
2. Sputum BTA positif
a. curiga adanya komplikasi (contoh efusi pleura, pneumothorax).
b. hemoptisis berulang atau berat.
c. didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+).
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian,
mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya
resistensi terhadap OAT. 4 Saat menegakkan diagnosa TB, dan sebelum memulai
pengobatan, harus ditentukan definisi kasus TB yang ditentukan oleh 4
determinan: 4
1. lokasi penyakit
2. hasil hapusan dahak
3. riwayat pengobatan sebelumnya
4. beratnya penyakit
Tabel 2. Kategori pengobatan TB

katego
ri

Pasien TB

Fase
intensif

lanjutan

TB paru BTA (+) kasus baru


I

TB paru BTA (-) kasus baru dengan


kerusakan parenkim yang luas

4H3R3
2HRZE

TB ekstra pulmoner kasus baru


dengan kerusakan paru berat

II

4HR
6HE

TB paru BTA (+) kasus baru dengan


riwayat pengobatan sebelumnya:

2HRZES

o kambuh

o gagal pengobatan

1HRZE

5H3R3E3
5HRE

o pengobatan tidak selesai

III

IV

TB paru BTA (-) kasus baru diluar


kategori I
kasus baru yang berat dengan TB
ekstrapulmoner
kasus kronis (BTA tetap positif,
setelah pengobatan ulang)

4H3R3
2HRZ

4HR
6HE

Rujuk ke dokter spesialis paru

Pada pasien ini lokasi TB berada pada paru dengan hapusan dahak (+) dan belum
pernah diobati dengan OAT sebelumnya, sehingga definisi kasus pada pasien ini
adalah TB paru BTA (+) kasus baru. 4 Sehingga dimasukkan kedalam kategori I pada
pengobatan TB, dengan fase intensif 2HRZE dan fase lanjutan 4HR.
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping,
namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat berat atau ringan, jika efek samping
yang terjadi ringan, dapat diatasi dengan obat simptomatis dan pemberian OAT
dapat dilanjutkan, namun jika efek samping berat yang terjadi maka OAT
dihentikan. Pemantauan efek samping selama pengobatan secara klinis dilakukan
dengan menjelaskan kepada penderita mengenai tanda-tanda efek samping,
menanyakan kepada penderita adanya gejala efek samping pada saat penderita
mengambil OAT, melakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin), fungsi
ginjal (ureum, kreatinin), gula darah, asam urat (bila menggunakan pirazinamid)
untuk data dasar penyakit penyerta dan efek samping pengobatan, pemeriksaan
visus dan uji buta warna jika ada keluhan / setiap bulan (bila menggunakan
ethambutol).8,9
Tabel 3. Efek samping OAT dan tatalaksana

OAT

Efek samping
Mayor*

Hepatitis

Hepatitis
Syok, purpura,
R

gagal ginjal,
anemia hemolitik
(jarang)

Hepatitis

Minor

kesemutan
kaki rasa
terbakar
anorexia
nyeri
perut
urin
warna
merah
nyeri
sendi

Neuritis optika
E

(buta warna
merah-hijau dan
tajam penglihatan
menurun)

evaluasi

tatalaksana
Vitamin B6

AST/ALT

(piridoksin) 100
mg/hari
(profilaksis
10mg/hari)

AST/ALT
Alkali
phospatas
e

Dimakan sebelum
tidur

bilirubin
AST/ALT
Asam
urat

Beri aspirin /
allopurinol /
probenescid

uji visus
setiap
bulan/jika
ada
keluhan

Ket: * efek samping mayor hentikan


OAT
(dari pustaka 8, 9, 10)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang penting adalah evaluasi klinis adanya efek samping, dan bila
dicurigai adanya efek samping maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping sesuai pedoman. 8,9
Secara definisi menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes
melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin ataupun
keduanya. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes,
kecurigaan akan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM,
seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya, atau keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Pasien didiagnosis DM jika:5

1. gejala klasik DM dan GDS 200 mg/dl


2. gejala klasik DM dan GDP 126 mg/dl
3. G2PP 200 mg/dl
Dari anamnesis pada pasien ini didapatkan bahwa pada tahun 2006 pasien sering
merasakan cepat lelah pada otot saat beraktifitas dan ekstrimitas sering kram,
namun tidak terdapat keluhan poliuri, polidipsi, dan polifagi. Pasien ini tidak
memiliki gejala klasik DM, oleh karena itu diagnosis DM ditegakkan berdasarkan
nilai G2PP 200 mg/dl.
Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai
faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi.
Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit
(makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme
yang terbunuh dalam intraselular. 11
Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi
sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya
dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren,
gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset
limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis
terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang
disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor
yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel sel pasien DM
mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak
terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari
PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity dari enzim lisosom yang
menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas
membunuh dalam 48 jam. 11
Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30% episode
KAD dipresipitasi oleh infeksi dan pada umumnya DM tipe II. Infeksi ringan pada DM
biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar glukosa darah
dan menaikkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe I. Efek metabolik infeksi
pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang
distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones (glukagon,
kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh
sel sel beta pankreas. Katekolamin diproduksi oleh simpatis dan adrenalin dihasilkan
oleh medula adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan
penekanan sekresi insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan
ini juga berperan pada stadium awal. Tahap selanjutnya walaupun sekresi
meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe II akan tetapi akibat adanya
resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat.
Resistensi insulin terutama pada otot skelet dimana insulin tidak mampu
meningkatkan asupan glukosa demikian pula dihati. Mekanisme yang mendasarinya
belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat dalam
sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan.

Selanjutnya interleukin dan TNF alfa yang mengganggu kerja insulin diperifer
dengan menekan tirosin kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar
glukagon terutama pada defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang
terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM. 11
TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan
brittle diabetes. Di Negara-negara Barat insiden TB sudah menurun walaupun
insidensinya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS.
Didaerah dimana TB masih endemik maka insiden TB pada DM masih tinggi.
Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan kronis dibanding DM saja. Hal ini
disebabkan meningkat kepekaan terhadap kuman TB pada pasien DM, reaktifasi
fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur
sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda tanda klinis TB paru toksik tersamar
sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan dan akhirnya pada
keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi tidak efektif. 11
Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas TB
meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penelitian TB paru pada DM
di indonesia masih cukup tinggi yaitu 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar
negeri maka prevalensi indonesia masih tinggi. Telah diketahui sejak dahulu
terdapat hubungan bermakna antara DM dengan TB paru khususnya pada pasien
DM yang tidak terkontrol dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
korelasi antara lamanya DM dengan prevalensi TB paru. Demikian pula tidak
ditemukan adanya korelasi riwayat kontak pada pasien tuberkulosis. Penelitian
menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur.
Sejumlah penelitian menunjukkan prevalensi TB pada DM rata-rata diatas 40 tahun
(mean 55,4 tahun). Faktor umur berperan dalam meningkatkan prevalensi TB paru
pada DM karena umur lebih tua meningkatkan kepekaan terhadap TB. Disamping
itu disfungsi sel beta terganggu berat, biasanya usia lanjut sudah lama menderita
DM serta kontrol DM yang tidak baik. Pasien DM laki-laki mempunyai kemungkinan
2 kali mendapat TB dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes, 15%
obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM
dengan TB mempunyai berat badan normal. 11
Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan
pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan
DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral
maupun insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa
darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal. 11
Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah
sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor kadar
glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah
mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia
persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar GDP
80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL
<100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg.
Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia

dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar glukosa
plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila
perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia
oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin, pertahankan
hidrasi dengan pemberian cairan intravena bila diperlukan. 11
Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama, efek
rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat mempercepat
metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan
meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat mengganggu absorpsi
karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang
INH menyebabkan pankreatitis, menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa
diusus, mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan
sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah
kontraindikasi karena TB dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent.
Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai
keluhan nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi glukosa 11, dan
ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan insulin. 5
Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis lini pertama, yang juga mempunyai
spektrum luas terhadap organisme lain, termasuk beberapa bakteri gram positif dan
gram negatif Legionella spp, M. kansasii, dan M. marinum. Aktifitas bakterisidal dari
rifampisin pada intraselular dan ekstraselular dengan memblok sintesis, dengan
mengikat dan menginhibisi secara spesifik sintesis RNA pada DNA dependent RNA
polimerase. Rifampisin merupkan antibiotik yang bersifat larut lemak dan
terdistribusi dengan baik pada seluruh jaringan tubuh, termasuk meninges yang
terinflamasi. Rifampisin diekskresi terutama melalui saluran empedu dan sirkulasi
enterohepatik, sedangkan 30-40% diekskresikan melalui ginjal. Meskipun secara
umum rifampisin ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang paling sering
adalah masalah gastrointestinal. Pasien dengan penyakit hepar, terutama dengan
alkoholisme dan usia lanjut terlihat beresiko tinggi untuk memiliki efek samping
serius yaitu hepatitis. Rifampisin merupakan inducer enzim mikrosomal hepar yang
poten sehingga dapat menurunkan waktu paruh dari beberapa obat, dimana salah
satunya adalah obat hipoglikemik oral.6
Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM type I, tetapi seringkali diberikan
pada bukan DM type I dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif
pada saat yang tepat. Beberapa indikasi penggunaan insulin adalah pada DM type I,
DM type II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan obat hipoglikemik
oral, DM dan keadaan khusus (kehamilan, nefropati diabetik tipe B3 dan Be,
gangguan faal hati berat, infeksi akut, TB paru berat, ketoasidosis diabetik, operasi,
patah tulang, underweight, dan penyakit graves). 7
Telah dikenal berbagai macam insulin kerja cepat, sedang sampai lama yang
disuntikkan sendiri atau mixed dalam satu semprit. Saat ini tersedia insulin kerja
cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart, kerja sedang tersedia actrapid, humulin
NPH, kerja lama adalah ultra lente dan insulin gargline. Insulin yang dikombinasi
antara kerja pendek dan sedang adalah insulin mixtard, yang terdiri monotard 70%

dan actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang adalah insulin murni atau human
insulin yang dibuat dengan tehnologi rekombinan DNA dan mempunyai kerja lebih
cepat dan masa kerja lebih pendek dibandingkan insulin babi. Di indonesia hanya
beredar insulin dengan dosis 40 IU/ml dan 100 IU/ml. Di luar negeri tersedia pula
insulin dengan dosis 500 IU/ml yang ditujukan pada kasus-kasus resistensi insulin
dimana memerlukan insulin dosis besar. 11
Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid
atau monotard R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap jam sebelum makan dan
dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian
insulin dapat diubah sesuai respon pasien. 11
Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka
insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti
monotard atau humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila
dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari maka cukup pemberian insulin
kerja menengah cukup diberikan sekali perhari dan apabila dosis lebih 30 unit maka
pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan pagi dan
1/3 dosis sebelum makan malam. 11
Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa darah
dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya mengikuti
petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15 menit
sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak
dianjurkan menggabungkan antara lente insulin dengan NPH karena zink pospat
dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek.
Demikian pula insulin gargline tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena
pH rendah akan saling mengencerkan. 11
Dosis insulin pada pasien DM tergantung respons glikemik setiap individu dan
asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumnya pada pemberian awal
diberikan 3 kali pemberian atau lebih suntikan perhari dengan insulin kerja pendek
untuk memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan tergantung dari kadar
glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas fisik dan tipe insulin yang dipakai.
Pada umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit sebelum makan khusus untuk
insulin kerja pendek karena penyuntikan setelah makan atau segera sebelum
makan akan menyebabkan hipoglikemia atau insulin tidak efektif menekan kenaikan
glukosa darah postprandial. 11
Pada saat ini pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti DM dengan
TB paru maka perlu monitor kadar glukosa darah sendiri. Untuk memantau kadar
glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai glukosa meter. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glukosa meter dapat dipercaya sejauh
kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan
standar yang diperlukan. Secara berkala hasil pemantauan dengan meter atau
reagen perlu dibandingkan dengan cara konvensional. Waktu pemeriksaan untuk
pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur untuk menilai resiko
hipoglikemia dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan untuk menilai
ekskursi maksimal glukosa selama sehari.11

RESUME
Telah di anamnesa seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun yang masuk rumah
sakit dengan keluhan hemoptoe. Pada pemeriksaan telah terbukti bahwa pasien
menderita TB paru BTA positif dengan diabetes melitus tipe II. Pasien selama
diruangan telah mendapat pengobatan berupa H 300,R 450, Z 1000, E 750 dan
rapid insulin 12 unit 3 kali sehari. Setelah beberapa hari dirawat kondisinya semakin
membaik, dan pada hari ke 12 pasien dipulangkan dan dirujuk ke poli paru untuk
mendapatkan pengobatan TB dan kontrol ke poli endokrin untuk pengobatan DM.
Daftar Pustaka
1. Palomino JC, Leo SC, Ritacco V. 2007. Tuberculosis 2007: From basic science
to patient care First Edition.TuberculosisTextbook.com
2. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. 2006. Clinical characteristics of pulmonary
tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes
mellitus. Eastern Mediterranean Health Journal, Vol. 12, No. 5,
3. Misnadiarly. 2001. Penelitian Survey Penyakit Penyerta pada Penderita TB
Paru/Mycobacteriosis Paru secara Restrospektif. Research Report from
JKPKBPPK Center for Research and Development of Disease Control, NIHRD.
Badan Litbang Kesehatan.
4. Alsagaff H, Wibisono MJ, Winariani. 2004. buku ajar Ilmu Penyakit Paru.
Bagian Ilmu Penyakit Paru. FK Unair-RSU dr. Soetomo. Surabaya.
5. PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.
6. Kasper DL et al. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition.
The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America.
7. Tjokroprawiro A. 1999. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
9. DEPKES. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 6 th Ed.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
10.Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
penyakit. EGC: Jakarta.
11.Sanusi H. Diabetes melitus tipe II pada TB paru. Naskah lengkap Pertemuan
Ilimiah Khusus (PIK) ke X perhimpunan dokter paru indonesia 2-5 juli 2003,
sahid makassar.

Anda mungkin juga menyukai