Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.
Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan yang serius di masyarakat
karena merupakan pemicu kecatatan dan kematian diseluruh dunia.4,5 Sekitar 1-1,5 juta jiwa di
Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya. 5 Selama 20 tahun terakhir
penatalaksanaan pasien cedera kepala telah meningkat secara bermakna dan pedoman
penatalaksanaan cedera kepala traumatik berbasis bukti telah dikembangkan, namun
walaupun ada metode diagnostik dan penatalaksanaan yang mutakhir prognosis masih jauh
dari harapan.6
Pengendalian tekanan intrakranial dan evakuasi perdarahan dalam empat jam pertama
pascatrauma dilaporkan memiliki peran penting dalam penurunan angka kesakitan dan
kematian pada pasien cedera kepala dengan perdarahan intrakranial termasuk perdarahan
subdural akut. Namun oleh karena banyak hal terutama persetujuan dari keluarga pasien,
evakuasi perdarahan sering mengalami penundaan sehingga bahaya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) yang berujung pada herniasi otak menjadi salah satu penyebab kegagalan
penatalaksanaan perdarahan subdural akut.7

BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: An PM
Jenis Kelamin
: Laki - laki

Usia
Berat Badan
Tinggi Badan
Agama
Alamat
No. RM
Diagnosis

: 16 tahun
: 60 kg
: 155 cm
: Kristen
: Ratatotok
: 467880
: EDH Frontal Dekstra + ICH Frontal Dekstra

B. ANAMNESIS
a. Keluhan utama
: Penurunan Kesadaran akibat KLL
b. Riwayat penyakit sekarang
:
Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami penurunan kesadaran akibat
KLL yang dialami 5 jam SMRS. Awalnya penderita sedang mengendarai sepeda
motor. Kemudian karena kurang hati-hati motor penderita tergelincir dan
penderita terjatuh dengan kepala membentur aspal. Riwayat pingsan (+), muntah
3x, alkohol (-), helm (-). Penderita lalu dibawa ke RS Noongan dan dirujuk ke
RSUP Prof. R. D. Kandou malalayang.
c. Riwayat penyakit dahulu
:d. Riwayat penyakit keluarga
:C. PEMERIKSAAN FISIK
GCS

: E4V1M5 = 10

Vital Sign

: Tekanan darah

a.

: 120/80 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Suhu

: 36,8C

Pernafasan

: 18 x/menit

Status Generalis
Kulit
: Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.

b.

Kepala

: Terdapat lebam di kedua mata.

c.

Mata

: Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

d.

Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Tampak iktus kordis 2cm dibawah papila mamae sinistra
b) Palpasi : Iktus kordis teraba kuat angkat
c) Perkusi :
2

i.
ii.
iii.
iv.
d)

Batas atas kiri


Batas atas kanan
Batas bawah kiri
Batas bawah kanan

:ICS II linea parasternalis sinistra


:ICS II linea parasternalis dextra
:ICS V linea midklavikularis sinistra
:ICS IV linea parasternalis dextra

Auskultasi : Bj1 - Bj2 normal reguler, tidak ditemukan gallop dan


murmur.

2) Paru
a) Inspeksi
b) Palpasi

Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta

tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.


: Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan

tidak terdapat ketertinggalan gerak.


c) Perkusi
: Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi : Tidak terdengar suara ronkhi pada kedua pulmo. Tidak
terdengar suara wheezing.
e. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi
:
b) Auskultasi :
c) Perkusi
:
d) Palpasi
:
f.

Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa


Terdengar suara bising usus
Timpani
Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak

teraba.
Pemeriksaan Ekstremitas :
Turgor kulit cukup, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

E. KESAN ANESTESI
Laki - laki 16 tahun menderita EDH frontal dextra + ICH frontal dextra.
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
b. Trepanasi
c. Informed Consent Operasi
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Conset Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA 4 E

Tabel Hemodinamik
HARI 0
RR & HCU(7

HARI 1
HCU(8 Maret)

HARI 2
HCU(9 Maret)

HARI 3
HCU(10 Maret)

Maret)
JA

OB

SE

RV

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

0/

AS
I
TD

O
O

RR

3
1

8
1

K
1

5
1

0
2

0
2

0
2

5
1

8
1

7
1

0
2

0
2

0
2

0
2

5
1

8
1

2
1

8
1

8
2

SP

6
9

8
9

6
9

7
9

0
9

2
9

0
9

9
9

8
9

9
9

2
9

1
9

0
9

0
9

9
9

8
9

8
9

9
9

0
9

%
2

%
O

%
-

%
-

%
-

%
-

%
-

%
-

%
-

%
-

%
3

%
3

%
3

%
3

%
3

%
3

%
2

k
O

k
O

O2

Le
u

Eri
Hb
Ht

Tr

0
5,

4,

5
1

9
1

5,

2,

5
4

8
3

6,

8,

%
1

M
CH
M
CH
C
M
CV
SG
OT
SG

9
2

4
2

9,

9,

5
3

2
3

3,

3,

8,

8,

8
-

2
3
4

PT
Ur

Ck

2
0,

0
0,

GD

7
1

7
1

0
1

2
1

4
5,

0
4,

S
Chl
or
Kal
iu
m
Nat
riu

G. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
ICH Frontal Dekstra + EDH Frontal Dekstra
2. Diagnosis Pasca Bedah
Post Craniotomy
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan
: Craniotomy
b. Jenis Anestesi
: General Anestesi
c. Teknik Anestesi
: Inhalasi Semi Closed dengan intubasi Endotraceal
d.
e.
f.

Mulai Anestesi
Mulai Operasi
Premedikasi

g.

Induksi

h.
.i.
j.
k.
l.

Medikasi tambahan
Maintanance
Relaksasi
Respirasi
Posisi

Tube
: Pukul 21.30 WITA
: Pukul 21.40 WITA
: Sulfas Atropin 0,25 mg
Fentanyl 50 mg
: Atracurium 10 mg
Propofol 80 mg
: Ketorolac 30 mg
: O2, N2O,sevoflurane
:: Spontan
: Supine

m. Cairan Durante Operasi : RL 250 ml


6

n . Selesai operasi

: 00.30 WITA

Pasien, An. PM, 16 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
dengan diagnosis EDH frontal dextra + ICH frontal dextra. Pemeriksaan fisik dari tanda vital
didapatkan tekanan darah 110/60 mmHg; nadi 55x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC.
Dari pemeriksaan laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 7 Maret 2016 dengan
hasil: Hb 15,5 g/dl; Leukosit 20.400; ureum 22 mg/dl; kreatinin 0,7 mg/dl; SGOT 34 U/L;
SGPT 25 U/L; GDS 104 mg/dL. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA 4E.
Pasien dikirim dari ruang resusitasi ke ruang HCU. Pasien masuk ke ruang OK pada
pukul 21.30 dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 115/60 mmHg; Nadi
110x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan injeksi propofol 30 mg dan fentanyl 50 mcg.
Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesik dan bisa bersifat
induksi. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman
pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan
rasa khawatir. Selanjutnya pasien ini diberikan atracurium bromide 10 mg untuk
merelaksasikan otot-otot pernapasan.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi
yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 2vol% dengan oksigen dari mesin ke
jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan
pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah
dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena
sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas
lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil
dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka dialirkan
sevofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan
dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi
diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan
pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir
selesai.
Setelah operasi selesai lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya pasien dapat
melakukan nafas spontan. Gas sevo dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan
7

adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari


penurunan saturasi lebih lanjut.
Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 2500 cc. Pada pra anesthesia, 500
cc cairan Nacl 0,9% dan 500 cc cairan NaCl 0,9% + sohobion. Serta pada pada Intra
anesthesia 1000 cc cairan Asering dan 500 cc NaCl 0,9%. Perdarahan pada operasi ini kurang
lebih 25 cc.
Pada pukul 21.30 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD
121/70mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 3 jam dengan
perdarahan 25 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama
di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu
100/70 mmHg.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A.

Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot .2
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis.1,2
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
8

relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan.8,9
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
1.

yang luas.8
Macam-macam Teknik Anestesi 9
Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
Semi open drop method:

Hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang


dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari
minimal volume udara semenit.
Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga
kadar zat anestetik dapat ditentukan.

Udara napas yang dikeluarkan akan

dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan


memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari
dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.
Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara
yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lainlain.
2.

Persiapan Pra Anestesi


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus

dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
9

harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:1,7
a.

Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

b.

Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.

c.

Menentukan

status

fisik

dengan

klasifikasi

ASA

(American

Society

Anesthesiology):
ASA I

: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,


biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II

: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang


sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V

: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir


tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
a.
I.

Pemeriksaan praoperasi anestesi 7,8


Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
10

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II.

Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i.

Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior


oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal

ii.

Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula

iii.

Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv.

Mallampati IV: palatum durum saja

6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung


7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.

11

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
III.

Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG

Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :


1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.

b.

Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :1,2
a.

memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b.

menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

c.

membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d.

memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

e.

mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron

f.

memperlancar induksi, misal : pethidin

g.

mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h.

menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.

i.

mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang

ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan


obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang

12

berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,


dan rencana anestesi yang akan digunakan2.
c.

Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi 1,2,3 :
a. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil,
suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk
meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya
kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka
dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun
intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif3.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan
yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya
digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam
bentuk kombinasi tetap dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu
butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida
memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia1,2.

d. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
13

Pada kasus ini digunakan obat induksi :


a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat
setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah
postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan
adanya skuele neurologik2,3.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis
atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain1,3.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan
karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obatobat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
14

darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik1.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.
e. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang
kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini
tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat
relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak
oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan
pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.
Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50% 2.3.
f. Obat Pelumpuh Otot
Obat

golongan

ini

menghambat

transmisi

neuromuscular

sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
15

misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali1,2.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu
antara lain adalah :
a.

Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.

b.

Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.

c.

Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.


Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada

umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja
obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase.

Nampaknya

atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan
penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu
dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis relaksasi otot : 0,5 0,6 mg/kgBB/iv
Dosis pemeliharaan : 0,1 0,2 mg/kgBB/ iv
g. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :1
a.

Mempermudah pemberian anestesi.


16

b.

Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

c.

Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

d.

Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

e.

Pemakaian ventilasi yang lama.

f.

Mengatasi obstruksi laring akut.

h. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk1.
a.

Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.

b.

Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :


a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml/kgBB/jam
Berat

= 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10


% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
i. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
17

observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya 2.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage1,6.

Tabel 1. Aldrete Scoring System


No.
1

Aktivitas

motorik

Kriteria
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas

Skor
2

perintah atau secara sadar.

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah

atau secara sadar.

Respirasi

Sirkulasi

Kesadaran

Warna kulit

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.


Nafas adekuat dan dapat batuk

Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi

Apneu/tidak bernafas
Tekanan darah berbeda 20% dari semula

Tekanan darah berbeda 20-50% dari semula

Tekanan darah berbeda >50% dari semula


Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

Tidak ada respon atau belum sadar


Kemerahan atau seperti semula

Pucat

Sianosis

Aldrete score 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.


18

Tabel 2. Steward Scoring System


No.
1

Kesadaran

Jalan napas

Gerakan

Kriteria
Bangun
Respon terhadap stimuli
Tak ada respon
Batuk atas perintah atau menangis
Mempertahankan jalan nafas dengan baik
Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas

Menggerakkan anggota badan dengan tujuan


Gerakan tanpa maksud
Tidak bergerak

Skor
2
1
0
2
1
0
2
1
0

Steward score 5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 3. Robertson Scoring System


No.
1

Kesadaran

Jalan napas

Aktifitas

Kriteria
Sadar penuh, membuka mata, berbicara

Skor
4

Tidur ringan

Membuka mata atas perintah

Tidak ada respon


Batuk atas perintah

Jalan nafas bebas tanpa bantuan

Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi kepala

Tanpa bantuan obstruksi


Mengangkat tangan atas perintah

Gerakan tanpa maksud

Tidak bergerak

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anak


Tanda
Kriteria
Tanda vital
Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng
Mampu menela, batuk, dan muntah
Gerakan
Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
Muntah
Pernafasan
Kesadaran

perkembangan
Muntah, mual pusing minimal
Tidak ada sesak nafas, stridor, dan mendengkur
Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang
19

Tabel 5. Bromage Scoring System


Kriteria
Skor
Gerakan penuh dari tungkai
0
Tak mampu ekstensi tungkai
1
Tak mampu fleksi lutut
2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki
3
Bromage score < 2 boleh pindah ke ruang perawatan.

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Penatalaksanaan pasien CKB di UGD.
Penatalaksanaan

anestesi

pada

pasien

cedera

kepala

traumatik

bertujuan

mengendalikan tekanan intra kranial dan memelihara tekanan perfusi serebral, melindungi
jaringan saraf dari iskemi dan cedera (Brain Proteksi Otak), menyediakan kondisi
pembedahan yang adekuat (slack brain). Hal ini dikenal dengan prinsip ABCDE neuro
anestesi yaitu: A) Airway, jalan nafas yang selalu bebas sepanjang waktu, B) Breathing,
ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat dan normokapnea, C) Circulation,
menghindari peningkatan atau penurunan tekanan darah yang berlebihan, menghindari faktor
mekanis

yang

meningkatkan

tekanan

venaserebral,

menjaga

kondisi

normotensi,

normoglikemi, isoosmolar selama anestesi, D) Drugs, menghindari obat dan tehnik anestesi
yang dapat meningkatkan TIK, dan beri obat-obatan yang mempunyai efek proteksi otak, E)
Environment, kontrol temperatur dengan target suhu inti 35C di kamar operasi. Pasien
dibawa ke ruang operasi sudah dalam kendali ventilasi karena diintubasi di unit gawat darurat,
dan selama dilakukan tindakan diagnostik tetap dilakukan kendali ventilasi dengan relaksan.
Tindakan induksi intubasi mempertimbangkan keadaan klinis dan stabilitas
kemodinamik. Induksi dilakukan dengan dosis titrasi propofol intra vena total 2mg/KgBB,
obat pelumpuh otot non depol dipergunakan fentanyl 1/KgBB diberikan untuk mengurangi
respon hemodinamik sewaktu laringoskopi dan intubasi, lidokain 1,5 mg/Kg diberikan 90
detik sebelum laringoskopi intuk mencegah peningkatan TIK lidokain diberikan setelah laju
nadi bisa dinaikkan dengan tindakan hiperventilasi sebelumnya. Obat anestesi dan tehnik
20

anestesi yang dipergunakan untuk rumatan anestesi dipilih yang mempunyai kemampuan
menurunkan TIK, mempertahankan tekanan perfusi serebral (CPP), menjaga stabilitas
kardiovaskular dan memiliki efek proteksi otak terhadap bahaya iskemia.
Anestesi inhalasi merupakan metabolisme otak dan menyebabkan vasodilatasi serebral
yang akan meningkatkan aliran darah otak (CBF), dan TIK pada konsentrasi lebih dari 1
MAC. Dengan menggunakan obat tersebut pada konsentrasi yang rendah efek vasodilatasi
serebral dapat diminimalisir. Obat anestesi inhalasi nitrous oxide meningkatkan metabolisme
otak dan menyebabkan vasodilatasi serebral yang mengakibatkan TIK meningkat,
pemakaiannya pada cedera kepala traumatik sebaiknya dihindari. Obat anestesi intravena
thiopental dan propofol mempunyai sifat kerja menurunkan CMRO dan CBF sehingga
menurunkan TIK. Selain itu obat ini memiliki efek minimal pada autoregulasi dan reaktivitas
terhadap CO sehingga menguntungkan untuk anestesi pada cedera kepala.
Pada pasien ini dipergunakan kombinasi obat anestesi sevofluran dan propofol
kontinyu dengan tujuan mendapat level anestesi yang cukup tanpa gejolak susunan saraf pusat
dengan mengambil keuntungan dari sifat obat tersebut seperti sifat neuro protektif, sambil
meminimalkan efek vasodilatasi sovofluran dengan cara mengatur konsentrasi propofol
kemudian mempertahankan level anestesi intra operasi pengaturan sistem respirasi cedera
kepala traumatik yang berat yaitu dengan menyesuaikan ventilasi mekanik sehingga
didapatkan kondisi normokapnea dengan PaCO sekitar 35mmHg dan mengatur fraksi
oksigen sampai didapat PaO 100-200 nnHg. Pada operasi ini dipasang monitor ETCO yang
hasilnya berkisar 30-35. PEEP yang terlalu besar harus dihindari karena dapat meningkatkan
tekanan intra torakal yang mengganggu drainase vena serebral dan meningkatkan TIK. Sistem
sirkulasi intraoperatif diatur untuk mendapatkan kondisi normovolemi, normotensi,
isoosmoler juga normoglikemi.15
B. Persiapan operasi pada pasien CKB.16
1. Pemasangan pipa endotrakeal memastikan jalan napas tetap bebas dan mencegah
aspirasi paru.
2. Oksigenasi dan kontrol ventilasi untuk mencegah hipoksia dan hiperkapnea.
3. Menjaga status hemodinamik tetap stabil dengan menghindari hipertensi berlebih dan
mencegah terjadinya hipotensi membahayakan. Cairan infus rumatan digunakan yang
bersifat isoosmoler (ringerfundin).
4. Posisi kepala netral dan head up untuk memastikan aliran darah balik serebral tidak
mengalami gangguan (tetap mengawasi akibat posisi tersebut pada status
hemodinamik pasien).
5. Phenytoin sebagai anti kejang diberikan intravena.
21

6. Propofol dan atracurium kontinyu serta dexketoprofen intravena diberikan sebagai


sedatif, analgesik serta memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik pada pasien.
7. Pemberian manitol dosis 0,5 g/kgBB diberikan sebagai usaha mengendalikan TIK.
C. Tatalaksana pasien CKB di neuro intensive care.
Pasien dirawat di ruang perawatan intensif, posisi kepala sedikit head up, terpasang
pipa endotrakeal, ventilasi mekanik dengan moda kontrol volume sama seperti sebelum
operasi. Diberikan sedasi dengan propofol 60mg/jam, analgesik fentanyl 50 mcg/jam,
dexketoprofen 50mg tiap 8 jam, serta pelumpuh otot atracurium 25mg/jam selama 8 jam
pascaoperasi. Infus ringerfundin 2000 mL/24 jam, sonde dextrose 50mL tiap 4 jam diberikan
mulai 6 jam pascaoperasi. Antibiotika ceftiaxone 1g tiap 12 jam, manitol 100mL tiap 4 jam.16

BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,

FKUI. Jakarta: CV Infomedia.


2. Curry P, Viemes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain injury. Int J
Crit Illn Inj Sci 2011.
3. Leitgeb JL, Mauritz W, Brazinova A, Janciak I, Madjan M, Wilbacher I, et.al. Outcome
after severe brain trauma due to acute subdural hematoma. J Neurosurg 2012;117:324-33.
4. Moppet IK. Traumatic brain injury: assesment, resuscitation and early management. Br J
Anaesth 2007; 99 : 18-31.
5. Karasu A, Civelek E, Aras Y, Sabanci PA, Cansever T, Yanar H et.al. Analysis of clinical
prognostic factors in operated traumatic acute subdural hematoms. Turkish Journal of
Trauma Emergency Surgery 2010; 16(3):233-36.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi

ke- 4. Jakarta: Gaya baru.


7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI
8. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk

Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.


9. Lab/SMF

Anestesiologi

& reanimasi.

2010. Panduan Kepaniteraan

Klinik

Anestesiologi.
10. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi

ke- 4. Jakarta: Gaya baru.


11. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI
12. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran

FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius

23

13. Basuki W S, Suryono B, Saleh S C. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala

Traumatik Berat dengan Tanda Cushing. JNI 2015;4(1):34-42


14. Chistanto S, Rahardjo S, Suryono B, Saleh S C. Penatalaksanaan Pasien CKB dengan

Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda. JNI 2015;4(3):177-86

24

Anda mungkin juga menyukai