Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%
penduduk didunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia
biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Awitan pada laki laki
biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosisnya
biasanya lebih buruk pada laki laki bila dibandingkan wanita. Awitan setelah umur
40 tahun jarang terjadi. 1,2,4
Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak
tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (1856-1926)
menyebutkan gangguan dengan istilah demensia prekok yaitu suatu istilah yang
menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa awal. Istilah
skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-1939), untuk
menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emosi dan perilaku pada
pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler mengindentifikasi simptom dasar dari
skizofrenia yang dikenal dengan 4A antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan
Ambivalensi. 1,2,4,5,6
Berdasarkan PPDGJ-III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu
bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung
pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. 3
Diagnosis skizofrenia lebih banyak ditemukan dikalangan sosial ekonomi
rendah. Beberapa pola interaksi keluarga dan faktor genetik diduga merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya skizofrenia. 75% penderita skizofrenia mulai
mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang
beresiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor. Kondisi penderita sering
terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari
tahap penyesuaian diri. 1,2,4,5,6
Salah satu pembagian skizofrenia adalah skizofrenia paranoid. DSM-IV
menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada`salah
satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering, dan tidak ada perilaku
spesifik lain yang mengarah pada tipe terdisorganisasi atau katatonik. 2,4
1

Gangguan jiwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat dan gawat
yang dapat dialami manusia sejak muda dan dapat berlanjut menjadi kronis dan
lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut perubahan
pada segi fisik, psikologis dan sosial-budaya. Skizofrenia pada lansia angka
prevalensinya sekitar 1% dari kelompok lanjut usia (lansia) (Dep.Kes.1992).

1.2 Tujuan
Makalah ini ditulis sebagai salah satu prasyarat untuk mengikuti aktivitas
koasisten di Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran. Makalah ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai skizofrenia paranoid sehingga
pembaca dapat lebih mengenal tentang gangguan ini dan lebih akurat dalam
mendiagnosisnya.
Pemahaman tentang diagnosis skizofrenia paranoid yang baik diharapkan
dapat memberikan potensi untuk prognosis yang lebih baik dengan diagnosis dini,
mencegah terjadinya kesalahan diagnosis, mencegah terjadinya kesalahan
pengobatan, dan memungkinkan untuk mencegah penyakit berlarut-larut.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi
Berdasarkan PPDGJ-III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu
bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung
pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. 3
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan
karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriated) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian. 3
Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan
mereka berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama
(bertahun tahun) dalam residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran penyakit
yang ringan. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri atau mengisolasi
diri, dan aneh. Gejala gejala penyakit biasanya terlihat jelas oleh orang lain. 1,2,4
Salah satu pembagian skizofrenia adalah skizofrenia paranoid. Tipe ini
paling stabil dan paling sering. Awitan subtipe ini biasanya terjadi lebih belakangan
bila dibandingkan dengan bentuk bentuk skizofrenia lain. Gejala terlihat sangat
konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak sesuai dengan
wahamnya. Pasien sering tidak kooperatif dan sulit untuk mengadakan kerjasama,
dan mungkin agresif, marah, atau ketakutan, tetapi pasien jarang sekali
memperlihatkan perilaku inkoheren atau disorganisasi. Waham dan halusinasi
menonjol sedangkan afek dan pembicaraan hampir tidak terpengaruh. 1
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati hati,
dan tak ramah. Mereka juga dapat bersikap bermusuhan atau agresif. Pasien
skizofrenik paranoid kadang kadang dapat menempatkan diri mereka sendiri secara
adekuat didalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh
kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak. 2,4

2.2 Etiologi 2,4,7


Etiologi skizofrenia paranoid pada umumnya sama seperti etiologi
skizofrenia lainnya. Dibawah ini beberapa etiologi yang sering ditemukan:
1. Model Diatesis-Stres
Suatu model untuk mengintegrasikan faktor biologis dan faktor psikososial
dan lingkungan adalah model diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang
mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu
pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan
gejala skizofrenia. Dasar biologis untuk suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh
pengaruh epigenergik, seperti penyalahgunaan zat, stress psikologis, dan trauma
2. Faktor biologis
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu
semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologi untuk daerah
tertentu di otak, termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis.
- Hipotesis dopamin
Menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya
aktivitas dopaminergik. Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama
kecuali untuk clozapin, khasiat dan potensi antipsikotik berhubungan dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2.
Kedua, obat obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang paling
-

jelas adalah amfetamin, yang merupakan salah satu psikotomimetik.


Neurotransmitter lainnya
Serotonin
Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian
skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai
aktivitas berhubungan dengan serotonin yang kuat (misalnya clozapine,
risperidone, ritanserin). Secara spesifik, antagonism pada reseptor serotonin
(5-hydroxytryptamine) tipe 2 telah disadari penting untuk menurunkan gejala
psikotik dan dalam menurunkan perkembangan gangguan pergerakan
berhubungan dengan antagonism D2.
Asam amino
Neurotransmitter asam amino inhibitor gamma-aminobutyric acid
(GABA) juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang
tersedia adalah konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa pasien dengan
skizofrenia

mengalami

kehilangan

neuron

GABA-ergik

didalam

hipokampus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara teoritis dapat


menyebabkan hiperaktif neuron dopaminergik dan noradrenergik.
4

Neuropatologi
Sistem limbik
Karena peranannya dalam mengendalikan emosi, telah dihipotesiskan
terlibat dalam dasar patofisiologis untuk skizofrenia.
Ganglia basalis
Ganglia basalis merupakan perhatian teoritis dalam skizofrenia karena
sekurangnya dua alasan. Pertama, banyak pasien skizofrenia mempunyai
pergerakan aneh, bahkan tanpa adanya gangguan pergerakan akibat
medikasi. Gerakan yang aneh dapat termasuk gaya berjalan yang kaku,
menyeringaikan wajah, dan stereotipik. Karena ganglia basalis terlibat dalam
mengendalikan pergerakan, dengan demikian patologi pada ganglia basalis
dilibatkan pada patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan
neurologis yang dapat memiliki psikosis sebagai suatu gejala penyerta,
gangguan pergerakan yang mengenai ganglia basalis (misalnya penyakit
Huntington) adalah salah satu yang paling sering berhubungan dengan

psikosis pada pasien yang terkena.


3. Genetika
4. Faktor psikososial
2.3 Klasifikasi skizofrenia 1
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi criteria
DSM-IV atau ICD X. berdasarkan DSM-IV:
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut
4. Tidak ditemui gejala gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan
mood mayor, autisme, atau gangguan organik
Ada beberapa subtipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variable
klinik:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

skizofrenia paranoid
skizofrenia hebefrenik
skizofrenia katatonik
skizofrenia tak terinci
depresi pasca skizofrenia
skizofrenia residual
skizofrenia simpleks
skizofrenia lainnya
5

9. skizofrenia yang tak tergolongkan


2.4 Diagnosis 3
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman diagnostik skizofrenia adalah:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walau isinya sama,
-

namun kualitasnya berbeda; atau


Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk
ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan


Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain

atau umum mengetahuinya


b. Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
-

kekuatan tertentu dari luar; atau


Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh kekuatan

tertentu dari luar; atau


Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuatan dari luar;


Delusional perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c. Halusinasi audiotorik:
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
-

perilaku pasien, atau


mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara

berbagai suara yang berbicara), atau


jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat


dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
- Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
6

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan


yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
-

atau berbulan-bulan terus menerus.


Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat

inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.


Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu,

atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.


Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar. Biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih.

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam
diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.
Pedoman diagnosis skizofrenia paranoid berdasarkan PPDGJ-III
Memenuhi criteria umum diagnosis skizofrenia
Sebagai tambahan:
- Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a. Suara suara halusinasi yang mengancam pasien atau member
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi
tawa (laughing)
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain lain perasaan tubuh; halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol
c. Waham dapat berupa hamper semua jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau passivity (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar kejar yang beraneka ragam adalah yang
paling khas.

Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala


katatonik secara relative tidak nyata/tidak menonjol.

2.5 Penatalaksanaan 1,2,4,5,6,7


Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat
perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam
regimen terapi obat dan harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien
skizofrenia

mendapatkan

manfaat

dari

pemakaian

kombinasi

pengobatan

antipsikotik dan antipsikososial.


a. Terapi somatik
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir
yang terjadi pada Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal
saat ini, yaitu : antipsikotik tipikal, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril
(Clozapine).
a. Antipsikotik Tipikal
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik
konvensional.

Walaupun

sangat

efektif,

antipsikotik

konvensional

sering

menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional


antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Haldol (haloperidol)
Mellaril (thioridazine)
Navane (thiothixene)
Prolixin (fluphenazine)
Stelazine ( trifluoperazine)
Thorazine ( chlorpromazine)
Trilafon (perphenazine)

Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik


konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical
antipsycotic.
Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional), yaitu:

Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan)


yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping

yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan


pemakaian antipskotik konvensional.
Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler.

Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long
acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations).
Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam
tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini
tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic.
b. Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip
kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan
dengan antipsikotik konvensional.
Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :
-

Risperdal (risperidone)
Seroquel (quetiapine)
Zyprexa (olanzopine)

Para ahli banyak merekomendasikan obat-obat ini untuk menangani pasien


pasien dengan Skizofrenia.
c. Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal
yang pertama. Clozaril dapat membantu 25-50% pasien yang tidak merespon
(berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril memiliki
efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang
(1%), Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk
melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan
kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli merekomendaskan penggunaan
Clozaril bila paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil.
Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama
Newer atypical antiphsycotic merupakan terapi pilihan untuk penderita
Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan
resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah. Biasanya obat antipsikotik
membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan

pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli biasanya
akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril).
Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)
Biasanya timbul bila penderita berhenti minum obat, untuk itu, sangat
penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat.
Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan
oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah
obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek
sampingnya lebih rendah.
Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai
anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat
obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer
atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik
atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi
dengan obat-obatan diatas gagal.
Pengobatan Selama fase Penyembuhan
Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun
setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang berhenti
minum obat setelah episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli
merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat
antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien
yang menderita Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada
episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa
penghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin
beratnya penyakit.
Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama,
sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang timbul.
Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan
antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut
juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih
10

lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap
waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat
timbul adalah tremor pada tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat
memberikan obat antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan dengan obat
antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana
terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial
grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan
menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter
biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi
seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obatobatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis
efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek
sampingnya lebih sedikit.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang
memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik
atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant
syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat
menimbulkan komplikasi berupa demam, penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini
membutuhkan penanganan yang segera.
Penggolongan obat anti psikosis:
1. Tipikal
A. Phenotiazine
i. Rantai alifatik
a. Chlorpromazine (largactile)
Dosis anjuran: 150 600 mg/hari
b. Levomepromazine (nozinan)
Dosis anjuran: 25 50 mg/hari
ii. Rantai piperazine
a. Perphenazine (trifalon)
Dosis anjuran: 12 24 mg/hari
b. Trifluoperazin (stelazine)
Dosis anjuran: 10 15 mg/hari
c. Fluphenazine (anatensol)
11

Dosis anjuran: 10 15 mg/hari


iii. Rantai piperadine
a. Thioridazine
Dosis anjuran: 150 600 mh/hari
b. Butyrophenone
Dosis anjuran: 150 600 mh/hari
c. Diphenyl-butyl-piperidine
Dosis anjuran: 2 4 mg/hari
2. Atipikal
a. Benzamide
Sulpride (dogmatil forte)
Dosis anjuran: 300 600 mg/hari
b. Dibenzodiazepine
i. Clozapine (novartis)
Dosis anjuran: 25 100 mg/hari
ii. Olazapine (zyprexa)
Dosis anjuran: 10 20 mg/hari
iii. Quitipine (serequel)
Dosis anjuran: 50 400 mg/hari
c. Benzisoxazole
Risperidone (risperdal)
Dosis anjuran: 2 6 mg/hari
2. Terapi Psikososial
a. Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan
sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri,
latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong
dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti
hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku
maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di
masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat diturunkan.
b. Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan
dalam keadaan remisi parsial, dimana pasien skizofrenia kembali seringkali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari).
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali,
anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang
terkena skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang
terlalu optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan
12

dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya.-Ahli terapi harus membantu


keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati.
Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam
menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan angka relaps adalah
dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 %
dengan terapi keluarga.
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana,
masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi
secara perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan,
dan meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin
dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling
membantu bagi pasien skizofrenia.
d. Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi akan membantu dan
menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi
pasien skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami
pasien. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak
emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan
didalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit
dilakukan, pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban
dan kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi
jika seseorang mendekati.

Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)


Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi
13

kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan
adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi
dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumah sakit harus direncanakan.
Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien tentang
skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu
mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit
tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke
arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan
sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan
fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan
keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
2.6 Prognosis 2,4,7
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis skizofrenia, yaitu:
1. Keluarga
Pasien membutuhkan perhatian dari masyarakat, terutama dari
keluarganya. Jangan membeda-bedakan antara orang yang mengalami
Skizofrenia dengan orang yang normal, karena orang yang mengalami
gangguan Skizofrenia mudah tersinggung.
2. Inteligensi
Pada umumnya pasien Skizofrenia yang mempunyai Inteligensi yang
tinggi akan lebih mudah sembuh dibandingkan dengan orang yang
inteligensinya rendah.
3. Pengobatan
Obat memiliki dua kekurangan utama. Pertama hanya sebagian kecil
pasien (kemungkinan 25%) cukup tertolong untuk mendapatkan kembali
jumlah fungsi mental yang cukup normal. Kedua antagonis reseptor
dopamine disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius.
Namun pasien skizofrenia perlu di beri obat Risperidone serta Clozapine.
4. Reaksi Pengobatan
Dalam proses penyembuhan skizofrenia, orang yang bereaksi terhadap
obat lebih bagus perkembangan kesembuhan daripada orang yang tidak
bereaksi terhadap pemberian obat
5. Stressor Psikososial
14

Apabila stressor dari skizofrenia ini berasal dari luar, maka akan
mempunyai dampak yang positif, karena tekanan dari luar diri individu dapat
diminimalisir atau dihilangkan. Begitu pula sebaliknya apabila stressor
datangnya dari luar individu dan bertubi-tubi atau tidak dapat diminimalisir
maka prosgnosisnya adalah negatif atau akan bertambah parah.
6. Kekambuhan
Penderita skizofrenia yang sering kambuh prognosisnya lebih buruk
7. Gangguan Kepribadian
Prognosis untuk orang yang mempunyai gangguan kepribadian akan
sulit disembuhkan. Besar kecilnya pengalaman akan memiliki peran yang
sangat besar terhadap kesembuhan
8. Onset
Jenis onset yang mengarah ke prognosis yang baik berupa onset yang
lambat dan akut, sedangkan onset yang tidak jelas memiliki prognosis yang
lebih baik
9. Proporsi
Orang

yang

mempunyai

bentuk

tubuh

normal

(proporsional)

mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada penderita yang bentuk
tubuhnya tidak proporsional
10. Perjalanan penyakit
Pada penderita skizofrenia yang masih dalam fase prodromal
prognosisnya lebih baik dari pada orang yang sudah pada fase aktif dan fase
residual
11. Kesadaran
Kesadaran orang yang mengalami gangguan skizofrenia adalah jernih.
Hal inilah yang menunjukkan prognosisnya baik nantinya.
Table 1: gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia
Prognosis Baik
Onset lambat
Faktor pencetus yang jelas
Onset akut
Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan

Prognosis buruk
Onset muda
Tidak ada faktor pencetus
Onset tidak jelas
Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan

pramorbid yang baik


pramorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri. Autistik
gangguan depresif)
Menikah
Riwayat keluarga gangguan mood
Sistem pendukung yang baik
Gejala positif

Tidak menikah, bercerai, janda/duda


Riwayat keluarga skizofrenia
Sistem pendukung yang buruk
Gejala negative
Tanda dan gejala neurologis
15

Riwayat trauma perinatal


Tidak ada remisi dalam waktu 3 tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan

BAB III
KESIMPULAN
Salah satu pembagian skizofrenia adalah skizofrenia paranoid. DSM-IV
menyebutkan bahwa tipe paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada`salah
satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering, dan tidak ada perilaku
spesifik lain yang mengarah pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Diduga adanya keterlibatan genetik,
faktor biologis (berupa hipotesis dopamine, neurotransmitter lainnya, dan
neuropatologi), dan faktor psikososial dalam terjadinya skizofrenia. Salah satu teori
yang banyak mendapat perhatian adalah keterlibatan neurotransmitter.
Diagnosis skizofrenia lebih banyak ditemukan dikalangan sosial ekonomi
rendah. Beberapa pola interaksi keluarga dan faktor genetik diduga merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya skizofrenia. 75% penderita skizofrenia mulai
mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang
beresiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor. Kondisi penderita sering
terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari
tahap penyesuaian diri.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat
perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam
16

regimen terapi obat dan harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien
skizofrenia

mendapatkan

manfaat

dari

pemakaian

kombinasi

pengobatan

antipsikotik dan antipsikososial.


Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir
yang terjadi pada skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu : antipsikotik tipikal, newer atypical antipsycotics, dan Clozaril
(Clozapine).

DAFTAR PUSTAKA
1. Elvira, SD, Hadisukanto, G,. 2010. Skizofrenia. Dalam: Elvira, SD,
Hadisukanto, G,. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta: 170-195.
2. Kaplan, HI, Sadock BJ, Greb JA,. 1997. Skizofrenia. Dalam: Kaplan, HI,
Sadock BJ, Greb JA,. Sinopsis Psikiatri Edisi 7 Volume 1. Binarupa aksara,
Jakarta: 699-743.
3. Maslim, Rusdi dr.. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkasan dari PPDGJ III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atmajaya. Jakarta: 46-50.

4.

Kaplan, HI, Sadock BJ,. 2010. Skizofrenia. Dalam: Kaplan, HI, Sadock BJ,.
Psikiatri Klinis Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 147-168.

5.

Maramis W.F., 2005. Psikosa fungsional. Dalam: Catatan Ilmu Kedokteran


Jiwa. Penerbit Airlangga University Press, Surabaya: 213-247.

6.

Tomb D.A., 2002. Gangguan Psikotik. Dalam: Buku Saku Psikiatri. Edisi 6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 23-46

7.

Katona C., Cooper C., Robertson M., Skizofrenia: fenomena dan etiologi,
penanganan dan prognosis. Dalam At a Glance Psikiatri. Edisi 4. Penerbit
Erlangga, Jakarta: 18-20

17

18

Anda mungkin juga menyukai