Disusunoleh :
Eka Putri Maulani
11.2013.104
11.2013.202
11.2013.110
Yosephina Mastiur
11.2013.022
Pendahuluan
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi yang baru lahir. Lebih dari 85 % bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam
minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. 2Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi
terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna
ikterus pada sklera dan kulit. Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi beberapa bayi, terjadi
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotenai menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan
menimbulkan sekuele nerologis.3Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus
dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta
dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia
yang berat.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami
ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75%
bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, didapatkan data ikterus
neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan
di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS
Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di
atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada
hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang
bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun
2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan
24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis
dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian
Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8%. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun
2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan
oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan
kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik
pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
Etiologi1
Bayi baru lahir beresiko untuk terkena hiperbilirubin adalah karena:
i)
Perlepasan fisiologis yang signifikan dari pemecahan sel darah merah dikarenakan
ii)
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d) Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar
biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.
Faktor resiko
Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena
transisional yang normal, tetapi beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan
sehingga bilirubin berpotenai menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi
tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang
nerologis.3Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah
mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah sebagai berikut:
Faktor
Factor maternal
Komplikasi
kehamilan
(DM,
Factor perinatal
Faktor neonates
ASI
Prematuritas
Factor genetic
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
berlebihan
Ras Asia timur
Faktor risiko minor
Sebelum pulang, kadar serum bilirubin total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
yang signifikan, besarnya resiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin ke bawah resiko
makin rendah )
Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko rendah
Umur kehamilan 41 minggu
Bayi mendapat susu formula penuh
Kulit hitam
Bayi dipulangkan setelah 72 jam
Gambar 1 : mekanisme terjadinya hemolitik pada bayi baru lahir; positif dengan ibu rhesus
berbeda; negatif.3
Patofisiologi
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon
menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai
feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,
tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa
bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya
>7mg/dl.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena
rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada
semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.
Manifestasi Klinis
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan
menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk)
memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat
ditemukan pada ikterus yang berat.
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada neonatus cukup
bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur turun. Pada bayi
prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar
puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, mencapai 2 minggu.
Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih
dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan mencapai <2
mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun prematur. Hiperbilirubinemia
fisiologis dapat disebabkan beberapa mekanisme:
Diagnosis
Anamnesis
1. Awitan timbulnya kuning
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal) anak sebelumnya pernah mengalami kuning saat bayi,
3.
4.
5.
6.
7.
dehidrogenase (G6PD)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia,
deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom
Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
9. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
10. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma
11. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin
dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi
G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
12. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --hemolisis.
Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali
pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
13. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
--berkepanjangan.
Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa
hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih
jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada
neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan
lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Tampilan ikterus dapat ditentukan
dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, dan menekan kulit
dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi
tidak terperhatikan pada kadar bilirubin kurang dari 4 mg/dL.3
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab icterus
patologis.Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, ektravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi.3
Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang
telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Zona
68-135
85-204
136-272
187-306
>306
Pemeriksaan penunjang
a) Tipe-tipe bilirubin yang diukur;
1) Bilirubin transkutaneus (TcB)
Dilakukan untuk bayi usia gestasi > 35 minggu dan > 24 jam.
Dapat digunakan apabila total bilirubin serum tidak dapat dilakukan dalam waktu 6 jam
Dilakukan untuk bayi usia gestasi < 35 minggu dan < 24 jam
Analisis secepatnya
b) Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit
dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung retikulosit.
c) Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs test segera setelah lahir.
d) Kadar enzim G6PD pada eritrosit
e) Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk
mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital,
sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.
Komplikasi
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan selsel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat
menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius)
sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf. Kerusakan jaringan otak yang terjadi
seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan
jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap
jaringan.
Bilirubin Ensefalopati dan Kernikterus
Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukan kepada manifestasi klinis yang timbul
akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu bangsal ganglia dan pada berbagai
nuklei batang otak.5Keadaan ini tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir dan dipakai
istilah aku bilirubin ensefalopati.sedangkan istilah Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi
yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah diotak terutama ganglia
basalis, pons dan serebelum. Kern ikterus digunakan untuk keadaan klinis yang kronik dengan
sekuele yang permanen karena toksik bilirubin.5
Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati: pada fase awal, bayi dengan ikterus berat
akan tampak letargis, hipotonik, dan reflek isap buruk. sedangkan pada fase intermediate
ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas dan hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan demam,
high-pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni. Manifestasi hipertonia dapat
berupa retrocollis dan opistotonus.5
Manifestasi klinis kern ikterus : pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang
bertahan hidup, akan berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan
pendengaran, displasia dental-enamel, paralisis upward gaze.5
penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut
yang memadai.
Rekomendasi 2.2 tentang penilaian klinis : Harus memastikan bahwa semua
bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol
terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memriksa tanda vital bayi, tetapi
tidak kurang dari setiap 8-12 jam.
o Rekomendasi 2.2.1 : Protokol untuk penilaian ikterus yang melibatkan
seluruh staf perawatan yang dituntut untuk dapat memeriksa tingkat
serum
total
terletak
(Gambar
3),
umur
bayi
dan
evolusi
hiperbilirubinemia.
Rekomendasi 3.1 : Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum
total harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan . Jika derajat ikterus
meragukan, pemeriksaan bilirubin transkutaneus dan bilirubin serum harus
dilakukan, terutama pada kulit hitam, oleh karena pemeriksaan derajat ikterus
72 jam
96 jam
120 jam
risiko
timbulnya
hiperbilirubinemia
berat,
mungkin
Penggunaan farmakoterapi
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan
merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi
penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga
reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain :
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan
menurunkan tindakan transfusi ganti.
b. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas,
dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat
ikatan bilirubin. Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial
dan secara umum tidak direkomendasikan. Diperlukan waktu beberapa hari
sebelum terlihat perubahan bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi
nampak jauh lebih mudah. Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada
inkompatibilitas Rh untuk mengurangi jumlah tindakan transfusi ganti.
Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk mengurangi pemakaian fototerapi
atau transfusi ganti pada bayi dengan defisiensi G6PD ternyata tidak
membuahkan hasil.
c. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan mengguanakan metalloprotoporphyrin
juga telah diteliti. Zat ini adalah analog sintetis heme. Protoporphyrin telah
terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, enzim ini
yang
meningkat
walaupun
telah
mendapat
fototerapi
intensif,
Lakukan fototerapi intensif dan atau transfusi tukar sesuai indikasi (lihat Gambar
3 dan Gambar 4)
Lakukan pemeriksaan laboratorium
Bilirubin total dan direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi direk (Coombs test)
Serum albumin
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi
Jumlah retikulosit
ETCO (bila tersedia)
G6PD (bila terdapat kecurigaan (berdasarkan etnis dan geografi) atau
respon terhadap fototerapi kurang)
Urinalisis
Bila anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan kemungkinan
sepsis lakukan pemeriksaan kultur darah, urin dan liquor untuk
protein, glukosa, hitung sel dan kultur
Tindakan
Bila bilirubin total 25 mg atau 20 mg pada bayi sakit atau bayi < 38
minggu, lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada
pasien yang akan direncanaka transfusi ganti.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin
total meningkat walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 23 mg/dL kadar transfusi ganti, berikan imunoglobulin intravena 0,5-1
g/kg selama 2 jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian.
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau
secara klinis atau bukti secara biokimia menunjukkan tanda dehidrasi,
dianjurkan pemberian susu formula atau ASI tambahan. Bila
pemberian per oral sulit dapat diberikan intravena.
Pada bayi mendapat fototerapi intensif
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
Bila bilirubin total 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam
2-3 jam
Bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 34 jam, bila < 20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total
terus turun periksa ulang dalam 8-12 jam
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar
kepada
penyebab
hiperbilirubinemia,
pemeriksaan
sampai
lanjut
dari
akut
bilirubin
ensefalopati
Fototerapi
37 6/7 minggu.
Diperbolehkan melakukan fototerapi baik di rumah sakit atau di rumah pada
kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang ditunjukkan, namun pada
bayi-bayi yang memiliki faktor risiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan di
rumah.
Perubahan spesifik
Implikasi klinis
Perubahan suhu
dan metabolik
dan tubuh
- Peningkatan konsumsi oksigen
- Peningkatan laju respirasi
- Peningkatan aliran darah ke
lainnya
kulit
Perubahan
kardiovaskular
ventrikel kiri
Status cairan
cerna
dan elektrolit
riboflavin
Perubahan
Letagis, gelisah
aktivitas
Perubahan berat
badan
Efek okuler
stimulasi sensoris.
Perubahan kulit
Tanning
hitungan bulan
Perubahan
endokrin
Perubahan
hematologi
Menyebabkan hemolisis,
Cedera pada sel darah merah
Isolasi
perilaku patologis
Transfusi tukar
Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena
terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap foto terapi
Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar
Tabel 10. Rasio bilirubin total/albumin sebagai penunjang untuk memutuskan untuk transfusi
tukar6
Rasio B/A saat transfusi tukar
Kategori risiko
Harus dipertimbangkan
Bilirubin total (mg/dL) /
Albumin, g/dL
Albumin, mol/L
8,0
0,94
7,2
0,84
6,8
0,80
risiko
tinggi
atau
Tabel 11. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan berdasarkan
American Academy of Pediatrics5
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL [mol/L])
Transfusi
Usia (jam)
Pertimbangkan
fototerapi
Fototerapi
tukar jika
fototerapi
intensif gagal
Transfusi tukar
dan fototerapi
intensif
25-48
12 (170)
15 (260)
20 (340)
25 (430)
49-72
15 (260)
18 (310)
25 (430)
30 (510)
>72
17 (290)
20 (340)
25 (430)
30 (510)
Tabel 12: Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan dan bayi baru
lahir yang relatif sehat7
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL)
Sehat
Berat badan
Kurang bulan
Sakit
Fototerapi
Transfusi tukar
Fototerapi
Transfusi tukar
5-7
Bervariasi
4-6
Bervariasi
7-10
Bervariasi
6-8
10-12
Bervariasi
8-10
12-15
Bervariasi
10-12
15-18
20-25
12-15
< 1000gram
1001-1500 gram
1501-2000 gram
2001-2500 gram
Cukup bulan
> 2500gram
Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
18-20
Tabel 13: Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubin berdasarkan nilai bilirubin indirect menurut
WHO5
Terapi sinar
Hari
NCB
Transfuse tukar
NKB
H1
NCB
NKB
15 mg/dl
13 mg/dl
H2
15 mg/dl
13 mg/dl
25 mg/dl
15 mg/dl
H3
18 mg/dl
16 mg/dl
30 mg/dl
20 mg/dl
H4
20 mg/dl
17mg/dl
30 mg/dl
20 mg/dl
f. Arrest
6. Pendarahan
a. Trombositopenia
b. Defisiensi faktor pembekuan
7. Infeksi
8. Hemolisis
9. Graft-versus host disease
10. Lain-lain : hiponatremia, hipertermia, dan kemungkinan terjadinya enterokolitis
nekrotikans
Daftar pustaka:
1. Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of paediatrics. 3rd Ed. USA : Mosby Elsevier ;
2007
2. Pudjiadi AH, Hegar A et al. Hiperbilirubinemia dalam : Pedoman pelayanan medis.
Ikatan dokter anak Indonesia. Jilid II. Edisi II. Badan Penerbit IDAI ; 2011: Jakarta
3. Mccane KL, Huether SE. Pathophysiology : The biologic basic for disease in adults and
children. 4th edition. Mosby. Inc : USA ; 2002.
4. Cloherty, J.P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal hyperbilirubinemia in
Manual of Neonatal Care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins,
2004.h. 185-221.
5. Neonatal jaundice in : Queensland maternity and neonatal clinical guideline. Queensland
Health ; 2010 : Queensland Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the newborn.
Am Fam Phy 2002; Diunduh dari : URL : http:www.aaffp.org/afp.html.
6. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Clinical Practice
Guidelines. Pediatrics 2004; 114: 297-316.
7. Martin DR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam : Cloherty JP, Eichenwaald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-5. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins. 2004; h.185-221.