Anda di halaman 1dari 34

Hiperbilirubinemia Neonatus

Disusunoleh :
Eka Putri Maulani

11.2013.104

Maria Bernarda Aga Bata

11.2013.202

Maria Monika Muda

11.2013.110

Yosephina Mastiur

11.2013.022

Ahmad Zul Fahmi Bin Ahmad Ros 11.2013.329


Nor Ain Syafiqah Binti Sholehudin 11.2013.173
Pembimbing :
dr. DwiHaryadi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG
PERIODE 13 OKTOBER 20 DESEMBER 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Pendahuluan
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan
pada bayi yang baru lahir. Lebih dari 85 % bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam
minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. 2Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi
terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna
ikterus pada sklera dan kulit. Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi beberapa bayi, terjadi
peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotenai menjadi toksik dan dapat
menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan
menimbulkan sekuele nerologis.3Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus
dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta
dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia
yang berat.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami
ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75%
bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, didapatkan data ikterus
neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan
di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS
Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di
atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada
hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang
bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun
2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan
24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis
dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian

terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.

Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8%. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun
2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan
oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan
kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik
pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

Etiologi1
Bayi baru lahir beresiko untuk terkena hiperbilirubin adalah karena:
i)

Perlepasan fisiologis yang signifikan dari pemecahan sel darah merah dikarenakan

ii)

oleh konsentrasi Hb yang tinggi saat lahir.


Waktu hidup sel darah merah neonatus yang singkat yaitu 70 hari sedangkan pada

dewasa adalah 120 hari


iii)
Metabolism bilirubin di hepar yang kurang efisien pada hari-hari pertama kelahiran
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:
a) Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein
Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c) Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin

menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d) Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar
biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Faktor resiko
Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena
transisional yang normal, tetapi beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan
sehingga bilirubin berpotenai menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi
tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang

akan menimbulkan sekuele

nerologis.3Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah
mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah sebagai berikut:
Faktor
Factor maternal

Ras atau kelompok entik tertentu (Asia,


Native American, Yunani)

Komplikasi

kehamilan

(DM,

inkompatibilitas ABO dan Rh)

Penggunaan oksitosin dalam larutan


hipotonik

Factor perinatal

Faktor neonates

ASI

Trauma lahir ; sefalhematom, ekimosis

Infeksi ; bakteri, virus, protozoa

Prematuritas

Factor genetic

Obat ; streptomisin, kloramfenikol,


benzylalkohol, sulfisoxazi

Rendahnya asupan ASI

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

Tabel 5. Faktor risiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan 35 mg2


Faktor risiko major

Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

daerah risiko tinggi.


Icterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan.
Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit

hemolitik lainnya ( defisiensi G6PD, peningkatan ETCO)


Umur kehamilan 35-36 minggu
Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
Sefalohematom atau memar yang bermakna
ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan yang

berlebihan
Ras Asia timur
Faktor risiko minor

Sebelum pulang, kadar serum bilirubin total atau bilirubin transkutaneus terletak pada

daerah risiko sedang


Umur kehamilan 37-38 minggu
Sebelum pulang bayi tampak kuning
Bayi makrosomia dari ibu DM
Umur ibu 25 tahun
Laki-laki
Faktor risiko kurang (faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya resiko ikterus

yang signifikan, besarnya resiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin ke bawah resiko

makin rendah )

Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko rendah
Umur kehamilan 41 minggu
Bayi mendapat susu formula penuh
Kulit hitam
Bayi dipulangkan setelah 72 jam

Gambar 1 : mekanisme terjadinya hemolitik pada bayi baru lahir; positif dengan ibu rhesus
berbeda; negatif.3

Patofisiologi

Gambar 2 : pemecahan hemoglobin menjadi bilirubin indirek dan direk.2


Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel

retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem
empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon
menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai
feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal,
tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada dewasa
bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila kadarnya
>7mg/dl.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena
rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada
semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian
menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.

Gambar 3 : mekanisme terjadinya hiperbilirubinemia.3

Manifestasi Klinis
Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan
menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk)
memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat
ditemukan pada ikterus yang berat.
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada neonatus cukup
bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu berangsur turun. Pada bayi
prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar
puncak lebih tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, mencapai 2 minggu.
Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih
dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan mencapai <2
mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun prematur. Hiperbilirubinemia
fisiologis dapat disebabkan beberapa mekanisme:

a. Peningkatan produksi bilirubin, yang disebabkan oleh:


i) Masa hidup eritrosit yang lebih singkat
ii) Peningkatan eritropoiesis inefektif
b. Peningkatan sirkulasi enterohepatik
c. Defek uptake bilirubin oleh hati
d. Defek konjugasi karena aktivitas uridin difosfat glukuronil transferase (UDPG-T) yang
rendah
e. Penurunan ekskresi hepatik
Gambaran klinik ikterus patologis:
a) Awitan ikterus sebelum usia 24 jam
b) Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi
c) Peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam
d) Kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL
e) Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum, penurunan berat
badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)
f) Ikterus yang menetap >2 minggu

Diagnosis
Anamnesis
1. Awitan timbulnya kuning
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal) anak sebelumnya pernah mengalami kuning saat bayi,
3.
4.
5.
6.
7.

gejala-gejala kern icterus, kematian bayi, dan defisiensi G6PD


Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi ; Usia gestasi
Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
Riwayat inkompatibilitas darah dan kelompok darah ibu
Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-fosfat

dehidrogenase (G6PD)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia,
deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom
Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
9. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
10. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau
toksoplasma

11. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin
dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi
G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
12. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --hemolisis.
Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali
pusat dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
13. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
--berkepanjangan.

Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa
hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih
jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada
neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan
lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Tampilan ikterus dapat ditentukan
dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, dan menekan kulit
dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi
tidak terperhatikan pada kadar bilirubin kurang dari 4 mg/dL.3
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab icterus
patologis.Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, ektravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi.3
Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang
telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Zona

Bagian tubuh yang kuning

Bilirubin serum (umol/L)

Kepala dan leher

68-135

Pusat dan dada

85-204

Bawah pusat dan paha

136-272

Lengan dan tungkai bawah

187-306

Tangan dan kaki

>306

NB: i) 1mg/dL = 17.1 umol


ii) Sulit dilihat pada bayi yang lebih gelap
iii) Tidak dapat mengandalkan pada warna kulit untuk mengukur estimasi total bilirubin

Pemeriksaan penunjang
a) Tipe-tipe bilirubin yang diukur;
1) Bilirubin transkutaneus (TcB)

Dilakukan untuk bayi usia gestasi > 35 minggu dan > 24 jam.

Dapat digunakan apabila total bilirubin serum tidak dapat dilakukan dalam waktu 6 jam

Jika TcB > 250 umol/L ; cek bilirubin serum

Digunakan mengikut informasi pengedar

Ukuran TcB dapat meminimalkan uji darah invasif

2) Total bilirubin serum

Jika TcB tidak diindikasikan atau tidak tersedia

Dilakukan untuk bayi usia gestasi < 35 minggu dan < 24 jam

Dihindari dari cahaya

Dihindari dari haba berlebihan; dibawa dalam kotak dingin

Analisis secepatnya

b) Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit
dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung retikulosit.
c) Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs test segera setelah lahir.
d) Kadar enzim G6PD pada eritrosit
e) Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk
mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital,
sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.

Breast-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.


a. Breastfeeding jaundice
Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak. Untuk
neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat
mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu
terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat
kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice,
karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia fisiologis.
b. Breast-milk jaundice
Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens pada
bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4,
tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI
diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi
sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan
tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan

berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui,


tetapi diduga timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl
transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol
yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

Komplikasi
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan selsel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat
menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius)
sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf. Kerusakan jaringan otak yang terjadi
seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan
jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap
jaringan.
Bilirubin Ensefalopati dan Kernikterus
Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukan kepada manifestasi klinis yang timbul
akibat efek toksis bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu bangsal ganglia dan pada berbagai
nuklei batang otak.5Keadaan ini tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir dan dipakai
istilah aku bilirubin ensefalopati.sedangkan istilah Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi
yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah diotak terutama ganglia
basalis, pons dan serebelum. Kern ikterus digunakan untuk keadaan klinis yang kronik dengan
sekuele yang permanen karena toksik bilirubin.5
Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati: pada fase awal, bayi dengan ikterus berat
akan tampak letargis, hipotonik, dan reflek isap buruk. sedangkan pada fase intermediate
ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas dan hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan demam,
high-pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni. Manifestasi hipertonia dapat
berupa retrocollis dan opistotonus.5
Manifestasi klinis kern ikterus : pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang
bertahan hidup, akan berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan
pendengaran, displasia dental-enamel, paralisis upward gaze.5

Manajemen ikterus pada neonatus


Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia
indirek. Strategi tersebut termasuk : pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan
transfusi tukar. 2
Strategi Pencegahan
American Academy of Pediatrics tahun 2004 mengeluarkan strategi praktis dalam
pencegahan dan penganan hiperbilirubinemia bayi baru lahir (<35 minggu atau lebih) dengan
tujuan untuk menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan ensefalopati
bilirubin serta meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti kecemasan ibu,
berkurangnya breastfeeding atau terapi yang tidak diperlukan. Pencegahan dititik beratkan pada
pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik,
menunjang kestabilan bakteri flora noemal, dan merangsang aktifitas usus halus.6

Strategi pencegahan hiperbilirubinemia


1. Pencegahan primer
Rekomendasi 1.0 : Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali
per hari untuk beberapa hari pertama.
Rekomendasi 1.1 : Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.6
2. Pencegahan sekunder
Rekomendasi 2.0
Harus melakukan penilaian sistematis terhadap risiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat, selama periode neonatal.6
Rekomendasi 2.1 tentang golongan darah : Semua wanita hamil harus diperiksa
golongan darah ABO dan rhesus serta penyarinagn serum untuk antibodi isoimun
yang tidak biasa.
o Rekomendasi 2.1.1 : Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh
negatif, dilakukan pemeriksaan antibodi direk (Coomb test), golongan
darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi.
o Rekomendasi 2.1.2 : Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat
pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs pada darah
tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan ,

penilaian terhadap risiko sebelum keluar rumah sakit dan tindak lanjut

yang memadai.
Rekomendasi 2.2 tentang penilaian klinis : Harus memastikan bahwa semua
bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol
terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memriksa tanda vital bayi, tetapi
tidak kurang dari setiap 8-12 jam.
o Rekomendasi 2.2.1 : Protokol untuk penilaian ikterus yang melibatkan
seluruh staf perawatan yang dituntut untuk dapat memeriksa tingkat

bilirubin secara transkutaneus atau memeriksakan bilirubin serum total.


3. Evaluasi laboratorium6
Rekomendasi 3.0 : Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum
total harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam
pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin
transkutaneus atau bilirubin serum total tergantung pada daerah dimana kadar
bilirubin

serum

total

terletak

(Gambar

3),

umur

bayi

dan

evolusi

hiperbilirubinemia.
Rekomendasi 3.1 : Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum
total harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan . Jika derajat ikterus
meragukan, pemeriksaan bilirubin transkutaneus dan bilirubin serum harus
dilakukan, terutama pada kulit hitam, oleh karena pemeriksaan derajat ikterus

secara visual seringkali salah.


Rekomendasi 3.2 : Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan

umur bayi dalam jam.


4. Penyebab kuning
Rekomendasi 4.1 : Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang
menerima fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.6
o Rekomendasi 4.1.1 : Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk
atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan
laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila
terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
o Rekomendasi 4.1.2 : Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3
minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau

biliribin konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Juga


dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.
o Rekomendasi 4.1.3 : Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi
meningkat, dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab
kolestasis.
o Rekomendasi 4.1.4 : Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospgatase
dehydrogenase (G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang
mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis
yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan
respon terhadap fototerapi yang buruk.
5. Penilaian risiko sebelum bayi dipulangkan
Rekomendasi 5.1 : Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai
terhadap risiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan
harus menetapkan protokol untuk menilai risiko ini. Penilaian ini sangat penting
pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam.6
o Rekomendasi 5.1.1 : Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu :
Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin
serum total sebelum keluar rumah sakit, secara individual atau
kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap risiko :
Penilaian faktor risiko klinis
6. Kebijakan prosedur rumah sakit
Rekomendasi 6.1 : Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang
tua saat keluar dari rumah sakit, termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya
monitoring terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan.2
o Rekomendasi 6.1.1 : Tindak lanjut : Semua bayi harus diperiksa oleh
petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa hari setelah
keluar rumah sakit untuk menilai keadaan bayi dan ada tidaknya kuning.
Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan berdasarkan
lamanya perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko hiperbilirubinemia dan
risiko masalah neonatal lainnya.
o Rekomendasi 6.1.2 : Saat tindak lanjut : berdasarkan tabel di bawah:
Tabel 6. Saat tindak lanjut6
Bayi keluar rumah sakit

Harus dilihat saat umur

Sebelum umur 24 jam

72 jam

Antara umur 24 dan 47,9 jam


Antara umur 48 dan 72 jam

96 jam
120 jam

Untuk beberapa bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam, diperlukan 2


kunjungan tindak lanjut yaitu kunjungan pertama antara 24-72 jam dan
kedua antara 72-120 jam. Penilaian klinik harus digunakan dalam
menentukan tindak lanjut. Pada bayi yang mempunyai faktor risiko
terhadap hiperbilirubinemia, harus dilakukan tindak lanjut yang lebih awal
atau lebih sering. Sedangkan bayi yang risiko kecil atau tidak berisiko,
waktu pemeriksaan kembali dapat lebih lama.
o Rekomendasi 6.1.3 : Menunda pulang dari rumah sakit :
Bila tindak lanjut yang memadai tidak dapat dilakukan terhadap adanya
peningkatan

risiko

timbulnya

hiperbilirubinemia

berat,

mungkin

diperlukan penundaan kepulangan dari rumah sakit sampai tindak lanjut


yang memadai dapat dipastikan atau periode risiko terbesar telah terlewati
(72-96 jam)
o Rekomendasi 6.1.4 : penilaian tindak lanjut
Penilaian tindak lanjut harus termasuk berat badan bayi dan perubahan
presentase berat lahir, asupan yang adekuat, pola buang air besar dan
buang air kecil, serta ada tidaknya kuning. Penilaian klinis harus
digunakan untuk menentukan perlunya dilakukan pemeriksaan bilirubin.
Jika penilaian visual meragukan, kadar bilirubin transkutaneus dan
bilirubin total serum harus diperiksa. Perkiraan kadar bilirubin secara
visual dapat keliru, terutama pada bayi dengan kulit hitam.
7. Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI
Berikut ini adalah elemen-elemen kunci yang perlu diperhatikan pada pengelolaan
early jaundice pada bayi yang mendapat ASI (Tabel 7).
Tabel 7. Pengelolaan ikterus dini (early jaundice) pada bayi yang mendapat ASI6
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang
pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24 jam.
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering
dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui
yang lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang

diberikan adalah sama.


3. Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa atau formula pengganti.
4. Observasi berat badan, BAB dab BAK yang berhubungan dengan pola
menyusui.
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum,
rangsang pengeluaran/produksi ASI dengan cara memompa, dan
menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP.
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan
abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya
hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat
di atas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena
kuning.

Penggunaan farmakoterapi
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan
merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi
penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga
reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain :
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan
menurunkan tindakan transfusi ganti.
b. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas,
dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat
ikatan bilirubin. Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih kontroversial
dan secara umum tidak direkomendasikan. Diperlukan waktu beberapa hari
sebelum terlihat perubahan bermakna, hal ini membuat penggunaan fototerapi
nampak jauh lebih mudah. Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada
inkompatibilitas Rh untuk mengurangi jumlah tindakan transfusi ganti.
Penggunaan fenobarbital profilaksis untuk mengurangi pemakaian fototerapi
atau transfusi ganti pada bayi dengan defisiensi G6PD ternyata tidak
membuahkan hasil.
c. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan mengguanakan metalloprotoporphyrin
juga telah diteliti. Zat ini adalah analog sintetis heme. Protoporphyrin telah
terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, enzim ini

diperlukan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat-zat ini


heme dicegah dari katabolisme dan diekskresikan secara utuh di dalam
empedu.6
d. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan atau tanpa
penyakit hemolitik, tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (SnMP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi setelah
pemberian Sn-PP berhungan dengan timbulnya eritema foto toksik. Sn-MP
kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan
fototerapi. Pada penelitian terbaru dengan penggunaan Sn-MP, maka
fototerapi pada bayi cukup bulan tidak diperlukan lagi, sedangkan pada bayi
kurang bulan penggunaannya telah banyak berkurang. Pemakaian obat ini
masih dalam percobaan dan keluaran jangka panjang belum diketahui,
sehingga pemakaian obat ini sebaiknya hanya digunakan untuk bayi yang
mempunyai

risiko tinggi terhadap kejadian hiperbilirubinemia

yang

berkembang menjadi disfungsi neurologi dan juga sebagai clinical trial.6


e. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor -glukuronidase pada
bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-aspartik dan
kasein hoidrolisat dalam jumlah kecil (5 ml/dosis, 6 kali/hari) dapat
meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang
dibandingkan dengan bayi kontrol. Kelompok bayi yang mendapat campuran
whey/kasein (bukan inhibitor -glukuronidase) kuningnya juga tampak
menurun dibandingkan dengan kelompok kontrol, hal ini mungkin disebabkan
oleh peningkatan ikatan bilirubin konjugasi yang berakibat pada penurunan
jalur enterohepatik.6

Fototerapi dan transfusi tukar


o Rekomendasi 7.1 : Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau
terus

meningkat

walaupun

telah

mendapat

fototerapi

intensif,

kemungkinan telah terjadi hemolisis dan direkomendasikan untuk


menghentikan fototerapi.
Tabel 8. Penatalaksanaan bayi dengan hiperbilirubinemia6
Terapi

Lakukan fototerapi intensif dan atau transfusi tukar sesuai indikasi (lihat Gambar
3 dan Gambar 4)
Lakukan pemeriksaan laboratorium
Bilirubin total dan direk
Golongan darah (ABO, Rh)
Tes antibodi direk (Coombs test)
Serum albumin
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi
Jumlah retikulosit
ETCO (bila tersedia)
G6PD (bila terdapat kecurigaan (berdasarkan etnis dan geografi) atau
respon terhadap fototerapi kurang)
Urinalisis
Bila anamnesis dan atau tampilan klinis menunjukkan kemungkinan
sepsis lakukan pemeriksaan kultur darah, urin dan liquor untuk
protein, glukosa, hitung sel dan kultur
Tindakan
Bila bilirubin total 25 mg atau 20 mg pada bayi sakit atau bayi < 38
minggu, lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada
pasien yang akan direncanaka transfusi ganti.
Pada bayi dengan penyakit autoimun hemolitik dan kadar bilirubin
total meningkat walau telah dilakukan fototerapi intensif atau dalam 23 mg/dL kadar transfusi ganti, berikan imunoglobulin intravena 0,5-1
g/kg selama 2 jam dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian.
Pada bayi yang mengalami penurunan berat badan lebih dari 12% atau
secara klinis atau bukti secara biokimia menunjukkan tanda dehidrasi,
dianjurkan pemberian susu formula atau ASI tambahan. Bila
pemberian per oral sulit dapat diberikan intravena.
Pada bayi mendapat fototerapi intensif
Pemberian minum dilakukan setiap 2-3 jam
Bila bilirubin total 25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam
2-3 jam
Bilirubin total 20-25 mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 34 jam, bila < 20 mg/dL diulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total
terus turun periksa ulang dalam 8-12 jam
Bila kadar bilirubin total tidak turun atau malah mendekati kadar

transfusi tukar atau perbandingan bilirubin total dengan albumin


(TSB/albumin) meningkat mendekati angka untuk transfusi tukar
maka lakukan transfusi ganti.
Bila kadar bilirubin total kurang dari 13-14 mg/dL fototerapi
dihentikan
Tergantung

kepada

penyebab

hiperbilirubinemia,

pemeriksaan

bilirubin ulangan boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang


untuk melihat kemungkinan terjadinya rebound.

Rekomendasi 7.1.1 : Dalam penggunaan petunjuk fototerapi dan


transfusi ganti , kadar bilirubin direk atau konjugasi tidak harus
dikurangkan dari bilirubin total. Dalam kondisi dimana kadar
bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total, tidak tersedia
data yang baik untuk petunjuk terapi dan direkomendasikan untuk

berkonsultasi kepada ahlinya.


Rekomendasi 7.1.2 : Jika kadar bilirubin total serum berada pada
angka untuk rekomendasi dilakukan transfusi ganti (Gambar 4)
atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dL atau lebih tinggi
pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi
harus segera masuk dan mendapatkan perawatan fototerapi
intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui bagian

emergensi karena hal ini dapat menunda terapi.


Rekomendasi 7.1.3 : Transfusi ganti harus dilakukan hanya oleh
personel yang terlatih di ruangan NICU dengan observasi ketat dan

mampu melakukan resusutasi.


Rekomendasi 7.1.4 : Penyakit isoimun hemolitik, pemberian globulin (0.5-1 g/kgBB selama 2 jam) direkomendasikan jika
kadar bilirubin total serum berkisar 2-3 mg/dL dari kadar transfusi
ganti. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.

Rasio albumin serum dan rasio bilirubin/albumin

Rekomendasi 7.1.5 : Merupakan suatu pilihan untuk mengukur


kadar serum albumin dan mempertimbangkan kadar albumin

kurang dari 3 g/dL sebagai suatu faktor risiko untuk menurunkan

ambang batas penggunaan fototerapi. (Gambar 3)


Rekomendasi 7.1.6 : Jika dipertimbangkan transfusi ganti, kadar
albumin serum harus diukur dan digunakan rasio bilirubin/albumin
yang berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-faktor
lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi ganti.

Bilirubin ensefalopati akut

Rekomendasi 7.1.7 : Direkomendasikan untuk segera melakukan


transfusi ganti pada setiap bayi ikterus dan tampak manifestasi fase
menengah

sampai

lanjut

dari

akut

bilirubin

ensefalopati

(hipertonia, arching, retrocollis, opistotonus, demam, menangis


melengking) meskipun kadar bilirubin total serum telah turun.
o Rekomendasi 7.2 : Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus
memiliki peralatan untuk fototerapi intensif.

Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan


o Rekomendasi 7.3 : Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi,
Aao merekomendasikan bahwa, jika memungkinkan, menyusui harus
diteruskan . Juga terdapat pilihan memilih untuk menghentikan menyusui
sementara dan menggantinya dengan formula. Hal ini dapat mengurangi
kadar bilirubin dan atau meningkatkan efektivitas fototerapi. Pada bayi
menyusui yang mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI
yang dipompa atau formula adalah cukup jika asupan bayi tidak adekuat,
berat badan turun berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.

Fototerapi

Gambar 4. Panduan foto terapi pada bayi usia kehamilan 35 minggu6

Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total


Faktor risiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis,
suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis,

atau kadar albumin < 3 g/dL


Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu diperbolehkan untuk
melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line.
Merupakan pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum
yang lebih rendah untuk bayi-bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan
kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati

37 6/7 minggu.
Diperbolehkan melakukan fototerapi baik di rumah sakit atau di rumah pada
kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang ditunjukkan, namun pada
bayi-bayi yang memiliki faktor risiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan di
rumah.

Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum


(panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm 2 (diperiksa dengan
radiometer, atau diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung di bawah sumber sinar dan
kulit bayi yang terpajan lebih luas).
Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang
mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.6

Tabel 9. Efek samping fototerapi6


Efek samping

Perubahan spesifik

Implikasi klinis

Perubahan suhu

- Peningkatan suhu lingkungan

Dipengaruhi oleh kematangan,

dan metabolik

dan tubuh
- Peningkatan konsumsi oksigen
- Peningkatan laju respirasi
- Peningkatan aliran darah ke

asupan kalori (energi untuk

lainnya

kulit

merespon perubahan suhu), adekuat


atau tidaknya penyesuaian terhadap
suhu pada unit fototerapi, jarak dari
unit ke bayi dan inkubator
(berkaitan dengan aliran udara dan
kehilangan udara pada radiant
warmer), penggunaan servocontrol

Perubahan

Perubahan sementara curah

Terbukanya kembali duktus

kardiovaskular

jantung dan penurunan curah

arteriosus, kemungkinan karena

ventrikel kiri

fotorelaksasi, biasanya tidak


signifikan terhadap hemodinamik.
Perubahan hemodinamik terlihat
pada 12 jam pertama fototerapi,
setelah itu kembali ke awal atau
meningkat

Status cairan

- Peningkatan aliran darah


perifer

- Meningkatkan kehilangan cairan


Dapat mengubah keperluan
pemakaian medikasi intramuskular
- Disebabkan oleh kehilangan cairan

- Peningkatan insensible water


loss

melalui evaporasi, metabolik dan


respirasi
Dipengaruhi oleh lingkungan
(aliran udara, kelembaban,
temperatur), karakteristik unit
fototerapi, perubahan suhu,
perubahan suhu kulit dan suhu inti
bayi, denyut jantung, laju

respirasi, laju metabolik, asupan


kalori, bentuk tempat tidur
(meningkat dengan penggunaan
radiant warmer dan inkubator)
Fungsi saluran

Peningkatan jumlah dan

Berkaitan dengan peningkatan aliran

cerna

frekuensi buang air besar

empedu yang dapat menstimulasi


aktivitas saluran cerna.

Feses cair, berwarna hijau


kecoklatan

Penurunan waktu transir usus

Meningkatkan kehilangan cairan


melalui feses

Meningkatkan kehilangan cairan


melalui feses dan risiko dehidrasi

Perubahan mendadak pada cairan


Penurunan absorpsi, retensi

dan elektrolit

nitrogen, air dan elektrolit


Intoleransi sementara laktosa
Perubahan aktivitas laktosa,

dengan penuruna laktase pada silia

riboflavin

epitel dan peningkatan frekuensi


BAB dan konsistensi air pada feses

Perubahan

Letagis, gelisah

aktivitas
Perubahan berat
badan

Dapat mempengaruhi hubungan


orang tua-bayi

Penurunan nafsu makan

Menyebabkan perubahan asupan

cairan dan kalori

Penurunan pada awalnya namun

Disebabkan oleh pemberian asupan

terkejar dalam 2-4 minggu

makanan yang buruk dan


peningkatan kehilangan melalui
saluran cerna

Efek okuler

Tidak ada penelitian pada

Menurunnya input sensoris dan

manusia, namun perlu perhatian

stimulasi sensoris.

antara efek cahaya dibandingkan


dengan efek penutup mata

Penutup mata meningkatkan risiko


infeksi, aberasi kornea, peningkatan
tekanan intrakranial (jika terlalu
kencang)

Perubahan kulit

Tanning

Deisebabkan oleh induksi sintesa


melanin atau disperse oleh sinar
ultraviolet

Disebabkan oleh cedera pada sel


Rashes

mast kulit dengan pelepasan


hisamin, eritema dari sinar
ultraviolet

Disebabkan oleh pemaparan yang


berlebihan dari emisi gelombang
Burns

pendek sinar fluorescent

Disebabkan oleh interaksi fototerapi

dan ikterus kolestasis, menghasilkan


pigmen coklat (bilifuscin) yang
mewarnai kulit, dapat pulih dalam
Bronze baby syndrome

hitungan bulan

Perubahan

Perubahan kadar gonadotropin

Belum diketahui secara pasti

endokrin

serum (peningkatan LH dan


FSH)

Perubahan

Peningkatan turnover trombosit

hematologi

Merupakan masalah bagi bayi


dengan trombosit yang rendah dan
yang dalam keadaan sepsis

Menyebabkan hemolisis,
Cedera pada sel darah merah

meningkatkan kebutuhan energi

dalam sirkulasi dengan


penurunan kalium dan
peningkatan aktivitas ATP
Perhatian terhadap

Isolasi

perilaku patologis

Efek diatasi oleh perawatan yang


baik

Perubahan status organisasi dan


manajemen perilaku

Dapat diatasi dengan interaksi orang


tua-bayi
Dapat mempengaruhi ritme kardiak

Transfusi tukar

Gambar 5. Panduan transfusi tukar6

Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan tanpa patokan pasti karena

terdapat pertimbangan klinis yang luas dan tergantung respon terhadap foto terapi
Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan gejala ensefalopati akut
(hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar

bilirubin total 5 mg/dL diatas garis patokan


Faktor risiko : penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu

tidak stabil, sepsis, asidosis


Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin
Sebagai patokan adalah bilirubin total
Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu (risiko sedang) transfusi tukat dapat
dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai usianya

Tabel 10. Rasio bilirubin total/albumin sebagai penunjang untuk memutuskan untuk transfusi
tukar6
Rasio B/A saat transfusi tukar
Kategori risiko

Harus dipertimbangkan
Bilirubin total (mg/dL) /

Bilirubin total (mol/L) /

Albumin, g/dL

Albumin, mol/L

Bayi 38 0/7 minggu

8,0

0,94

Bayi 35 0/7 minggu 36 6/7

7,2

0,84

6,8

0,80

minggu dan sehat atau 38


0/7 minggu jika risiko tinggi
atau isoimmune hemolytic
disease atau defisiensi G6PD

Bayi 35 0/7 37 6/7 minggu


jika

risiko

tinggi

atau

isoimmune hemolytic disease


atau defisiensi G6PD

Tabel 11. Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi sehat cukup bulan berdasarkan
American Academy of Pediatrics5
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL [mol/L])
Transfusi
Usia (jam)

Pertimbangkan
fototerapi

Fototerapi

tukar jika
fototerapi
intensif gagal

Transfusi tukar
dan fototerapi
intensif

25-48

12 (170)

15 (260)

20 (340)

25 (430)

49-72

15 (260)

18 (310)

25 (430)

30 (510)

>72

17 (290)

20 (340)

25 (430)

30 (510)

Tabel 12: Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berdasarkan berat badan dan bayi baru
lahir yang relatif sehat7
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL)

Sehat
Berat badan
Kurang bulan

Sakit

Fototerapi

Transfusi tukar

Fototerapi

Transfusi tukar

5-7

Bervariasi

4-6

Bervariasi

7-10

Bervariasi

6-8

10-12

Bervariasi

8-10

12-15

Bervariasi

10-12

15-18

20-25

12-15

< 1000gram
1001-1500 gram
1501-2000 gram
2001-2500 gram
Cukup bulan
> 2500gram

Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
18-20

Tabel 13: Petunjuk penatalaksanaan hiperbilirubin berdasarkan nilai bilirubin indirect menurut
WHO5
Terapi sinar
Hari

NCB

Transfuse tukar
NKB

H1

NCB

NKB

15 mg/dl

13 mg/dl

H2

15 mg/dl

13 mg/dl

25 mg/dl

15 mg/dl

H3

18 mg/dl

16 mg/dl

30 mg/dl

20 mg/dl

H4

20 mg/dl

17mg/dl

30 mg/dl

20 mg/dl

Komplikasi transfusi tukar :5


1.
2.
3.
4.
5.

Hipokalsemia dan hipomagnesia


Hipoglikemia
Gangguan keseimbangan asam basa
Hiperkalemia
Gangguan kardiovaskular
a. Perforasi pembuluh darah
b. Emboli
c. Infark
d. Aritmia
e. Volume overload

f. Arrest
6. Pendarahan
a. Trombositopenia
b. Defisiensi faktor pembekuan
7. Infeksi
8. Hemolisis
9. Graft-versus host disease
10. Lain-lain : hiponatremia, hipertermia, dan kemungkinan terjadinya enterokolitis
nekrotikans

Daftar pustaka:
1. Lissauer T, Clayden G. Illustrated textbook of paediatrics. 3rd Ed. USA : Mosby Elsevier ;
2007
2. Pudjiadi AH, Hegar A et al. Hiperbilirubinemia dalam : Pedoman pelayanan medis.
Ikatan dokter anak Indonesia. Jilid II. Edisi II. Badan Penerbit IDAI ; 2011: Jakarta
3. Mccane KL, Huether SE. Pathophysiology : The biologic basic for disease in adults and
children. 4th edition. Mosby. Inc : USA ; 2002.
4. Cloherty, J.P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal hyperbilirubinemia in
Manual of Neonatal Care. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins,
2004.h. 185-221.
5. Neonatal jaundice in : Queensland maternity and neonatal clinical guideline. Queensland
Health ; 2010 : Queensland Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the newborn.
Am Fam Phy 2002; Diunduh dari : URL : http:www.aaffp.org/afp.html.
6. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Clinical Practice
Guidelines. Pediatrics 2004; 114: 297-316.
7. Martin DR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam : Cloherty JP, Eichenwaald
EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-5. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins. 2004; h.185-221.

Anda mungkin juga menyukai