Anda di halaman 1dari 25

Sindrom Metabolik pada Dewasa dengan Obesitas

Herni Mariati Rangan


102013363
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061
ranganherni@ymail.com

I. Pendahuluan
Sekarang obesitas telah menjadi masalah yang serius karena memicu timbulnya berbagai komplikasi
penyakit yang menyertainya. Masalah obesitas kini telah menjadi perhatian khusus badan kesehatan
dunia. Perhatian tidak hanya ditujukan kepada jumlah lemak yang ditimbun, tetapi juga kepada
lokasi penumbunan lemak tubuh. Pola penyebaran lemak tubuh pada pria dan wanita cenderung
berbeda. Obesitas merupakan salah satu dari kriteria sindrom metabolik yang akan dibahas. Sindrom
metabolic adalah kumpulan gangguan atau penyakit yang kemdian menjadi factor resiko penyakit
kardiovaskular. Sindrom Metabolik yang juga disebut sindrom resistensi insulin atau sindrom X
merupakan suatu kumpulan faktor-faktor risiko yang bertanggung jawab terhadap peningkatan
morbiditas penyakit kardiovaskular pada obesitas dan DM tipe 2. The National Cholesterol
Education Program-Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) melaporkan bahwa sindrom metabolik
merupakan faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskular, sehingga memerlukan
intervensi modifikasi gaya hidup yang ketat (intensif). 1

II. Pembahasan dan Isi


A. ANAMNESIS2,3
Anamnesis merupakan suatu kegiatan wawancara yang baik yang mengarahkan masalah pasien ke
diagnosis penyakit tertentu. Perpaduan keahlihan mewawancarai dan pengetahuan mendalam
tentang gejala dan tanda dari suatu penyakit dan memberikan hasil yang memuaskan dalam
menentukan diagnosis banding sehingga dapat menentukan pemeriksaan selanjutnya termasuk
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang baik terdiri dari identitas keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat obsertik dan riwayat
ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis berdasarkan sistem organ
dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan dan
lingkungan.
Anamnesis dapat dilakukan secara langsung (auto-anamnesis) maupun secara tidak langsung (alloanamnesis), berdasarkan kasus kali ini di lakukan secara langsung kepada pasien (auto-anamnesis).
Berikut merupakan tahap-tahap anamnesis yaitu :

Identitas. Pada kasus ini mengenai identitas pasien dapat di tanyakan meliputi nama, umur,
tanggal lahir, dan tempat tinggal.

Keluhan Utama merupakan keluhan yang

paling menonjol dirasakan pasien sehingga

membuat pasien datang ke dokter, pada tahap inilah merupakan center yang dapat
menghantarkan kita pada diagnosa yang di tuju, umumnya pada keluhan utama ini. Keluhan

utama yaitu merasa terlalu gemuk dan sulit menurunkan berat badan.
Riwayat Penyakit Sekarang di sesuaikan dengan keluhan utama.

RPS

dapat

mendeskripsikan dengan jelas Working diagnosis dan menghilangkan kemungkinan


Differensial Diagnosa, seperti pada kasus ini, kita dapat menanyakan beberapa pertanyaan
yang bersangkutan.
Adapun pertanyaan yang dapat diajukan diantaranya :
- Menanyakan adakah dirasakan sesak saat bernapas ? biasanya saat istirahat atau saat
-

aktivitas berlangsung ?
Menanyakan adakah kesulitas berjalan yang dapat mengganggu aktivitas ?
Menanyakan adakah rasa haus yang terus menerus ?
Menanyakan apakah suka bolak-balik ke kamar mandi karena merasa ingin berkemih

dalam waktu dekat ?


Menanyakan apakah ada rasa lapar terus-menerus ?
Menanyakan apakah mudah terasa letih saat aktivitas ?
Menanyakan apakah banyak makan, minum, dan banyak kencing ?
Menanyakan apakah ada keluhan seperti buram, katarak, buta, retinopati, glacouma,
kesemutan, sakit maag, impotensi, bengkak pada kaki, urin yang berkurang, lemas, luka
yang sukar sembuh, jaringan parut pada kulit dan luka yang bau, riwayat sakit jantung

(nyeri dada) dan batuk lebih dari 3 minggu ?


Apakah mengkonsumsi obat-obatan

Selain itu juga penting ditanyakan mengenai Riwayat Penyakit Dahulu. Riwayat penyakit
dahulu umumnya ditanyakan seputar kelainan dari lahir ataupun kelaainan yang pernah di dapat
selama hidupnya. Dalam hal ini biasanya merupakan riwayat kelainan/penyakit koagenital. Selain
itu juga dapat di tambahkan riwayat konsumsi obat pada bayi. Dapat ditanyakan seputar riwayat
Hipertensi, Dm, Jantung, dan Penyakit Ginjal, apakah pernah mengalami penurunan kesadaran
karena lupa makan setelah minum obat, menanyakan apakah ada riwayat dengan penurunan
kesadaran karena diare, penurunan kesadaran karena suatu keadaan stress (Infeksi, MCI).
Riwayat Penyakit Keluarga dapat ditanyakan apakah orang tua pasien maupun keluarga dekat
pasien memiliki riwayat kelainan koagenital seperti riwayat penyakit seperti yang disebutkan
pada riwayat penyakit dahulu pasien.
Untuk Riwayat Sosial dan Ekonomi pada pasien dapat di tanyakan mengenai pola makan
pasien, apakah sering mengkonsumsi lemak, apakah terjadi peningkatan frekuensi makan dalam
sehari, apakah ada riwayat konsumsi alkohol dan rokok.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting dalam memperkuat temuan-temuan dalam
anamnesis.

1. Pada tahap pertama dilakukan pemeriksaan sebagai berikut : 2,3


Keadaan Umum. Keadaan umum pasien dapat dibagi menjadi tampak sakit ringan,

sakit sedang atau sakit berat.


Kesadaran. Tingkat kesadaran di bedakan menjadi : Kompos mentis (sadar
sepenuhnya), Apatis, Delirium (penurunan kesadaran), Somnolen (Keadaan
mengantuk yang masih dapat pulih), Sopor (keadaan mengantuk yang dalam), Semikoma (penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon, dan Koma (penurunan

kesadaran yang sangat dalam).


Tanda-Tanda Vital. Meliputi Suhu, Tekanan Darah, Nadi, Frekuensi Pernapasan

Frekuensi napas normal Dewasa 16 20 x/menit.


Takhipnea : Bila pada dewasa pernapasan lebih dari 24 x/menit
Bradipnea : Bila kurang dari 10 x/menit disebut
Apnea : Bila tidak bernapas
Frekuensi denyut nadi manusia bervariasi, tergantung dari banyak faktor yang
mempengaruhinya, pada saat aktifitas normal :
Normal : 60 100 x / menit
Takikardi : > 100 x / menit
Bradikardi : < 60. x / menit
Suhu tubuh - normal 36 - 37o C
Tekanan Darah

Tabel 1. Pengelompokan Tekanan Darah dan Hipertensi Berdasarkan Pedoman JNC74


Kategori
Optimal
Normal
Prehipertensi
Hipertensi tahap 1
Hipertensi tahap 2

Sistolik
115 atau kurang
Kurang dari 120
120-139
140-159
Lebih dari 160

Diastolic
75 atau kurang
Kurang dari 80
80-89
90-99
Lebih dari 100

Antropometri
Antropometri berperan sebagai indikator status gizi dan dapat dilakukan dengan pemeriksaan
beberapa parameter.
Umur
Data ini dapat diperoleh ketika melakukan anamnesis, misalnya dalam kasus pasien berusia 55
tahun
Tinggi Badan(TB)
Merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal dan relative kurang
sensitif pada masalah kekurangan gizi. Alat yang dapat digunakan adalah Microtoise Staturmeter.5
Berat Badan Normal/ Ideal (BBN/ BBI)1

Salah satu parameter untuk mengetahui keseimbangan energi seseorang adalah melalui penentuan
berat badan ideal dan indeks massa tubuh. Rumus Brocca adalah cara untuk mengetahui berat
badan ideal, yaitu sebagai berikut:
Usia < 40 tahun, BBI = tinggi badan (cm) 100 10%
Usia 40 tahun, BBI = tinggi badan (cm) 110
Hasilnya, apabila berat badan kurang dari berat badan ideal maka status gizinya kurang.
Sedangkan jika berat badan lebih dari berat badan ideal maka status gizinya lebih. Pada kasus di
atas, pasien berusia 55 tahun memiliki tinggi badan 169 cm dan berat badan 88 kg, maka berat
badan ideal pasien tersebut seharusnya 69 kg. Sehingga status gizi pasien adalah berlebih, karena
berat badan badan pasien lebih dari berat badan ideal.
Indeks Massa Tubuh (IMT)/ Body Mass Index (BMI)1
IMT dihitung dengan pembagian berat badan (kg) oleh tinggi badan (m) pangkat dua. Kini IMT
banyak digunakan di rumah sakit untuk mengukur status gizi pasien karena IMT dapat
memperkirakan ukuran lemak tubuh yang sekalipun hanya estimasi tetapi lebih akurat daripada
pengukuran berat badan saja. Di samping itu, pengukuran IMT lebih banyak dilakukan saat ini
karena orang yang kelebihan berat badan atau yang gemuk lebih berisiko untuk menderita penyakit
diabetes, penyakit jantung, stroke, hipertensi, osteoarthritis dan beberapa bentuk penyakit kanker.
Namun, The National Institute of Diabetes and Digestive and kidney Diseases mengingkatkan
bahwa orang yang berotot dan bertulang besar dapat memiliki IMT yang tinggi tetapi tetap sehat.
Begitu pula orang berusia lanjut, orang dengan massa otot yang rendah dan pasien malnutrisi bisa
memiliki IMT yang normal tetapi tidak tepat. Berikut ini adalah rumus untuk menghitung IMT:1

Gambar 1. Indeks Massa Tubuh1,5


Tabel 2. Klasifikasi IMT1,5

Setelah memperoleh TB dan BB pasien, langsung dapat dihitung Body Mass Index(BMI) dengan
rumus kg/m2 untuk mempermudah diagnosis. BMI pasien adalah 88kg/(1.69m) 2 = 30.81
Lingkar Lengan Atas1
Memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Alat yang
digunakan adalah pita pengukur.2
Rasio Pinggang : Panggul/ Waist to Hip Ratio (WHR)1
Rasio pi-pa diukur dengan mula-mula mengukur lingkar pinggang (perut) pada lingkaran terkecil
di atas panggul. Kemudian, lingkaran panggul diukur lewat tonjolan gluteus yang paling
maksimal. Hasil kedua pengukuran ini kemudian digambar pada nomogram dan letakkan hasil
pengukuran lingkaran pinggang pada skala di sebelah kiri, sementara hasil pengukuran lingkaran
panggul pada skala di sebelah kanan. Hubungkan kedua hasil pada skala tersebut dengan garis
lurus yang akan memotong garis AGR/ WHR (abdominal-gluteal ratio atau waist to hip ratio)
yang terletak di antara kedua skala. Rasio pi-pa (WHR) yang sebesar 1,0 atau kurang bagi laki-laki
dan 0,8 atau kurang bagi wanita merupakan nilai normal. 1
Pengukuran lingkar perut (waist circumference) kini menjadi metode paling populer kedua
(sesudah IMT) untuk menentukan status gizi. Cara pengukuran lingkaran perut ini dapat dapat
membedakan obesitas menjadi jenis abdominal (obesitas tipe android) dan perifer (obesitas tipe
ginoid). Pasien dengan obesitas abdominal yang merupakan faktor risiko untuk berbagai penyakit
metabolik, vaskuler dan degeneratif memiliki lingkaran perut yang lebih besar dari normal. Untuk
diagnosis obesitas abdominal, lingkaran perut bagi wanita Asia adalah 80 cm dan bagi pria Asia
adalah 90 cm.1,2 Pada pasien didaptkan Lpe 95cm dan Lpa 105cm.
Dari beberapa penelitian, WHR(waist- hip ratio) dapat juga sebagai acuan untuk menentukan
sindrom metabolik. Untuk menghitung WHR harus diketahui Lingkar perut/pinggang dan Lingkar
Panggul. Setelah itu hasil Lpe dibagi dengan Lpa.

Lpe/Lpa = WHR
Tabel 3. Waist to Hip Ratio1

Status Gizi1,5
Hasil pengukuran yang spesifik mengenai ukuran dan perubahan proporsi tubuh merupakan indikator
penting bagi status gizi. Pengukuran ini meliputi berat dan tinggi badan yang digunakan untuk
menghitung indeks massa tubuh pada pada orang dewasa dan sebagai indikator tubuh kurus dan tubuh
pendek pada anak. Lingkar lengan atas (LiLA) dapat menunjukkan gizi kurang pada anak, rasio
pinggang : panggul (waist to hip ratio/ WHR) merupakan indikator adipositas sentral pada orang
dewasa. Ketebalan lipatan kulit merupakan ukuran jaringan adipose subkutan dan jika diukur pada
tempat yang sesuai dapat digunakan untuk menghitung persentase lemak tubuh. 1,3
Hampir semua aspek dalam penelitian gizi berpotensi memiliki kelemahan. Beberapa dapat
dihilangkan dengan perencanaan dan desain studi secara teliti, dan jika memungkinkan pengukuran
dilakukan berulang kali. Dalam usaha mengaitkan pajanan dengan faktor penyebab (atau pencegah),
dan akibat kesehatan (atau penyakit), sifat multifaktorial dari keterkaitan tersebut perlu diperhatikan
untuk mencegah penarikan kesimpulan yang tidak tepat. Dalam menilai asupan makanan individu,
sering terjadi kompromi antara pengukuran yang akurat dan pengukuran yang menggambarkan
asupan makanan yang normal. Asupan nutrien (zat gizi) dihitung menggunakan tabel komposisi
makanan. Perkiraan ukuran porsi dan penyesuaian terhadap jumlah makanan yang terbuang juga perlu
dipertimbangkan.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan gula darah bisa dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa, 2 jam setelah
berbuka puasa, dan gula didalam urine. Pada pemeriksaan lemak darah dapat diperiksa kolesterol
total, HDL, LDL, dan trigliserida. Bila pasien memiliki riwayat penyakit aterosklerosis
pertimbangkan lipoprotein (a), apolipoprotein-B100, dan CRP.
Gula darah puasa6
Ambil darah vena 5 sampai 10ml dan masukkan ke dalam tabung bertutup merah atau abu-abu. Darah
biasanya diambil antara pukul 07.00 sampai 09.00. Pasien harus berpuasa makan dan minum 12 jam
sebelum pemeriksaan.
Gula darah postprandial6
Ambil darah vena 5 sampai 10ml dan masukkan ke dalam tabung bertutup merah atau abu-abu. Darah
diambil 2 jam setelah makan pagi atau makan siang.
Tabel 4. Kriteria Diagnosis Diabetes Menurut WHO7

Kolesterol Total dan HDL


HDL merupakan jenis kolesterol yang berfungsi membawa seluruh kolesterol ke pabrik
pengolahannya yakni hati. HDL juga berfungsi membawa kolesterol yang telah diolah untuk
didistribusikan ke otak, jantung, dan seluruh organ tubuh yang lain. Oleh karena itu, HDL dikatakan
sebagai kolesterol baik. Jika kadar HDL rendah maka akan banyak kolesterol yang menempel pada
pembuluh darah. Kejadan ini adalah cikal bakal terjadinya tekanan darah tinggi karena banyak
penyumbatan pada pembuluh darah.8
Kolesterol LDL
LDL merupakan kolesterol yang dapat menyebabkan terjadinya penimbunan plak di dalam saluran
pembuluh darah. LDL mempunyai tugas yang berlawanan dengan HDL. Jika kadar LDL anda
meninggi maka diperkirakan banyak kolesterol yang berasal dari makanan yang tidak terangkut ke
hati. Hal ini disebabkan ulah LDL yang menahan kolesterol. 8
Kolesterol Trigliserida
Ini adalah kolesterol yang mengikat trigliserida. Kadarnya yang tinggi menunjukkan banyak
kolesterol jenis trigliserida di dalam darah anda. Ketiga kolesterol ini sering dinyatakan sebagai
Kolesterol Total. Anda yang mempunyai penyakit hipertensi dan kencing manis, apabila disertai
peningkatan salah satu atau keseluruhan kolesterol maka akan beresiko untuk terjadinya penyumbatan
di dalam pembuluh darah. Penyakit yang akan timbul jika terjadi sumbatan akibat kenaikan kolesterol
adalah stroke.8
Tabel 5. Kadar Kolesterol Normal Pada Orang Dewasa.9

Adiponektin.

Manfaat:

Melihat

apakah

terjadi

penurunan

konsentrasi

adiponektin

(hipoadiponektinemia), di mana peningkatan jaringan adiposa viseral akan mengakibatkan penurunan


konsentrasi adiponektin dan peningkatan sitokin proinflamasi yang berperan penting dalam efek
kardiovaskular sindrom metabolik.
7

hsCRP. Manfaat : Menilai kondisi inflamasi kronis pada individu sindrom metabolik. penanda untuk
memprediksi penyakit pembuluh darah koroner pada sindrom metabolik, dan baru-baru ini digunakan
prediktor untuk penyakit lemak hati non-alkohol dalam hubungan dengan penanda serum yang
menunjukkan lipid dan metabolisme glukosa.
NT-proBNP. Manfaat : Melihat risiko gagal jantung pada individu obes. Peningkatan indeks massa
tubuh merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, T2DM dan dislipidemia, sehingga meningkatkan
risiko infark miokardial yang mendahului terjadinya gagal jantung. Selain itu, hipertensi dan T2DM
secara independen akan meningkatkan risiko gagal jantung.
Albumin Urin Kuantitatif (Sewaktu). Manfaat : Membantu menentukan pengobatan yang dapat
mencegah atau memperlambat onset penyakit ginjal kronik (PGK) dan penyakit kardiovaskular
(PKV). Albumin Urin Kuantitatif merupakan penanda prognosis untuk risiko PKV pada individu
dengan diabetes maupun tanpa diabetes, sebagai penanda risiko mortalitas pada individu infark
miokardial, dan merupakan prediktor PKV pada individu dengan hipertensi tidak terkontrol.
Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan tidak secara rutin ditunjukkan dalam diagnosis sindrom metabolik. Namun, mereka
mungkin cocok untuk pasien dengan gejala atau tanda-tanda dari banyak komplikasi, termasuk
penyakit jantung. Keluhan nyeri dada, dyspnea, atau klaudikasio dapat dilakukan elektrokardiografi
(EKG), ultrasonografi (echocardiography), single-photon emission computed tomography (SPECT),
cardiac positron emission tomography (PET), atau pemeriksaan yang lainnya. 2
D. DIAGNOSIS KERJA
Epidemiologi10,11
Prevalensi SM bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan populasi yang diteliti.
Berdasarkan data dari The Third National Health and Nutrion Examination Survey ( 1988 sampai
1944), prevalensi SM (dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada lakilaki kulit hitam sampai 37% pada wanita hispanik. Prevalensi SM meningkat dengan bertambahnya
usia dan berat badan. Karena populasi penduduk lebih dari separuh mempunyai berat badan lebih atau
gemuk, diperkirakan SM melebihi merokok sebagai faktor resiko primer dari penyakit kardiovaskular.
SM juga merupakan prediktor kuat untuk terjadiya DM tipe 2. Dari penelitian Framingham Offspring
Study dilaporkan prevalensi pada pria 29,4% dan pada Wanita 23,1%. WHO juga memperkirakan SM
banyak ditemukan pada banyak kelompok etnis tertentu termasuk beberapa etnis di Asia Pasifik,
seperti India, Cina, Aborigin, Polinesia, dan Micronesia.
Prevalensi SM di AS menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari
8.814 orang yang berumur 20-29 dan 60-69 tahun adalah 7% dan 40% (Ford et al, 2002).

Sebaliknyadari Singapore Cardiovascular Cohort Study dengan kriteria IDF dan AHA/NHLBI dari
4.334 orang adalah 17,7% dan 26,2%. Di Asia prevalensi SM bervariasi di tiap negara berturut-turut
adalah China 13,3 %, Taiwan 15,1%, Palestina dan Oman masing masing 17%, Vietnam 18,5%,
Hongkong 22%, India 25,8%, Korea 28%, Iran 30% (IDF, 2006). Di Indonesia, Prevalensi SM terus
meningkat seiring dengan perubahan pola dan taraf hidup. Data dari Himpunan Studi Obesitas
Indonesia (HISOBI) menunjukan prevalensi SM sebesar 13,13%. Penelitian di Makasar yang
melibatkan 30-65 tahun fan menggunakan kriteria NCEP ATP III dengan ukuran lingkar pinggang
yang disesuiakan untuk orang ASIA di temukan prevalensi sebesar 33,9%. Prevalensi lebih tinggi
yaitu 62,0% yang ditemukan pada subjek dengan obesitas sentral.
Etiologi 12,13
Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab
primer dari SM adalah resistensi insulin. Menurut pendapat Tenebaum penyebab sindrom metabolik
adalah: Gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin. Hal
ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler (komplikasi jantung); Kerusakan berat sel
menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini
menimbulkan komplikasi mikrovaskuler (nephropathy diabetica).
Hipoteisis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah resistensi Insulin (RI) yang
berkolerasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan mengukur lingkar pinggang
atau waist to hip ratio. Hubungan antara RI dan PKV diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif
yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan pembentukan
atheroma. Hipotesis lain menyatakan karena perubahanhormonal yang mendasari terjadinya obesitas
sentral. Sebuah studi membuktikan bahwa individu yang mengalami kadar kortisol dalam serum
meningkat(yang disebabkan oleh stress kronik) mengalami obes sentral, RI, dan dislipidemia. Para
peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis akan hipotalamus-hipofisis-adrenal yang
terjadi akibat stress akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan
infark miokard. Peningkatan faktor resiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya akumulasi
jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral. Salah satu karateristik obesitas
abdominal/lemak visceral adalahterjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut
akan mensekresi produk-produk metabolik diantaranya sitokin proinfalamasi, prokoagulan, peptida
inflamasi dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel lemak dan penigkatan asam lemak bebas
dalam plasma bertanggung jawab terhadap penyakit metaboik seperti diabetes, penyakit jantung,
hiperlipidemua, gout dan hipertensi.
Sedangkan, Faktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah halhal dalam kehidupan yang
dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam faktor risiko SM,
antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok, dan aktivitas fisik), sosial
ekonomi dan genetik serta stres.
9

Kriteria2
Tabel 6. Beberapa Kriteria Sindrom Metabolik.2
Kriteria
Klinis
Resistensi
Insulin

WHO 1998

EGIR

ATP III (2001)

AACE (2003)

IDF (2005)

TGT, GDPT, DMT2 atau


sensitivitas
insulin
menurun. Ditambah dua
dari kriteia berikut

Tidak ada, terpai


mempunyai 3 dari
5 kriteria berikut

Pria : rasio pinggang


panggul > 0.90
Wanita : rasio pinggang
panggul > 0.85 dan/atau
IMT > 30kg/m2
TG 150mg/dl dan/ atau
HDL-C < 35 mg/dl pada
pria atau < 39 mg/d pada
wanita

TGT atau GDPT


ditambah salah satu
dari kriteria berikut
berdasarkan penilaian
klinis
IMT 25 kg/m2

Tidak ada

Berat
Badan

Insulin plasma
> presntitil ke
75. Ditambah
dua
kriteria
berikut
LP 94cm pada
pria atau 80
cm pada wanita

TG 150 mg/dl
dan/atau HDLC < 39 mg/dl
pada pria atau
wanita

TG 150 mg/dl
HDL-C < 40mg/dl
pada pria atau <
50mg/dl pada
wanita

TG 150 mg/dl dan


HDL-C < 40 mg/dl
pada pria atau <50
mg/dl pada wanita

140/90
mmHg
atau
dalam
pengobatan
hipertensi
TGT
atau
GDPT (tetapi
bukan diabetes)

130/85 mmHg

130/85 mmHg

110
(termasuk
penderita
diabetes)

TGT atau
(tetepai
diabetes)

TG 150 mg/dl
atau
dalam
pengobatan
TG
HDL C < 40 mg/dl
padapria atau< 50
mg/dl pada wanita
atau
dalam
pengobatn HDL-C
130mmHg sistolik
atau 85 mmHg
diastolik atau dalam
pengobatan
hipertensi

100
mg/dl
(termasuk diabetes)

Lipid

Tekanan
Darah

140/90 mmHg

Glukosa

TGT, GDPT, atau DMT2

Lainnya

Mikroalbuninuria

LP 102 cm pada
pria atau 88 cm
pada wanita

mg/dl

GDPT
bukan

Lp yang meningkat
(spesifik tergantung
populasi) ditambah
dua kriteria berikut

Kriteria
resistensi
insulin lainnya

Patofisiologi2
Pengetahuan mengenai patofisiologi mengenai masing-masing komponen sindrom metabolik
sebaiknya diketahui untuk dapat memprediksikan pengaruh perubahan gaya hidup dan
medikamentosa dalam pelaksanaan sindrom metabolik.
Obesitas Sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam menggambarkan
resiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjado. Studi menunjukan bahwa obesitas sentral
yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif
dengan memprediksi gangguan metabolik dan resiko vaskular. Lingkar perut menggambarkan baik
jaringan adiposa subkutan maupun visceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan
dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular tetapi hal ini masih kontroversial. Peningkatan

10

obesitas beresiko terhadap peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular. Variasi faktor genetik
membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovasular dari suatu obesitas. Seorang
denganobesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulindan dapat ditemukan pada individu
tanoa obesitas. Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari
suatu resistensi insulin maupun obesitas.
Jaringan adiposa merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai faktor pro dan
anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor Nekrosis Factor (TNF-), Interleukin-6 dan
resistin. Konsentrasi adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini
dipercayai memiliki efek antieterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi leptin
meningkatan pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan dengan resiko kejadian
kardiovaskular tidak tergantung dari faktor resiko kardiovaskular, IMT dan CRP. Sejauh ini belum
diketahui apakah pengukuran-pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada
pengukuran secara anatomi dalam memprediksi resiko kejadian kardiovaskular dan kelainan
metabolik terkait.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati
pengukuran yang ideal namun tidak praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakan teknik
yang ideal namun tidak praktik untuk klinik. Pemeriksaan glukosa plasma puasa juga tidak ideal
mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10% sindrom metabolik.
Pengukuran Homeostasis Model Assesment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitive Check Index
(QUICKI) dibuktikan berkolerasi erat dengan pemeriksaan standart sehingga dapat disarankan untuk
mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan
adiposa dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran
glukosa dan insulin (HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya penggunaan rumus
ini secara rutin dan klinis belum dapat disetujui.
Dislipidemia
Dislipedemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan trigliserida dan
penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun mengalami perubahan struktur
menjadi smal dense LDL. Peningkatan konsentrasi trigleserida plasma dipikirkan karena peningkatan
masukan asam lemak bebas kehati sehingga terjadi peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi transfer trigliserida ke
HDL. Namun, pada subjek dengan resistensi insulin dan konsentrasi trigliserida normal dapat
ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme lain yang

11

menebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang


dipikirkan berkaitan dengan gangguan masuknya lipid post pradial pada kondisi insulin sehingga
terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-1 (Apo A-1) oleh hati yang selanjutnya mengakibatkan
penurunan kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pafa
perubahan profil lipid pada subjek yang resistensi insulin. Studi pada hewan menunjukan bahwa
aktivitas sistem imun akan menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan
enzim yang berkaitan sehingga terjadi perubahan lipid protein.
Peran Sistem Imunitas pada Resistensi Insulin
Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker inflamasi berperan
pad progresifitas DM dan komplikasi kardiovakular. C reaktive protein (CRP) dilaporkan menjadi
data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subjek wanita sehiat dengan sindrom
metabolik. Namun belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu menggabungkan
peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan fibrinolisis dalam memprediksi risiko kardiovaskular.
Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada patogenesis hipertensi, insulin merangsang sistem saraf simpatis
meningkatkan rebsorbsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi
sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin dapat menyebabkan hipotensi akibat
vasodilatasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat
ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The Insulin Resistance Atheroslerosis Study
melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi pada subjek normal namun tidak
pada subjek DM tipe 2.
Patogenesis2,14
Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme yang jelas belum diketahui
secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa.
Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi
(redoks) terganggu, sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut
dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan
merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis.
Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit antara lain diabetes tipe 2 dan
aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2, biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif,
terutama akibat hiperglikemia. Stress oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya
disfungsi endotelangiopati diabetic, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia
12

yang menginduksi stress oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol, peningkatan auto
oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat.Pada keadaan diabetes, stres oksidatif
menghambat pengambilan glukosa di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh
sel pankreas. Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan
penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Dari beberapa penelitian
diketahui bahwa akumulasi lemak pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang
disertai dengan peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH)
oksidase dan penurunan ekspresi enzim antioksidan.
Resistensi Insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang menentukan terjadinya disfungsi
endotel. Resistensi Insulin menyebabkan menurunnya produksi Nitric Oxide (NO) yang dihasilkan
oleh selsel endotel, sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi endotel melalui beberapa cara
seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan selsel endotel dalam bentuk radikal bebas,
pengurangan bioavailabilitas NO atau melalui efek proinflamasi pada selsel otot polos vaskuler.
Disfungsi

endotel

ini

berhubungan

dengan

stres

oksidatif

dan

menyebabkan

penyakit

kardiovaskuler.12 Prosesproses seluler yang penting yang berkenaan dengan disfungsi endotel ini
dapat dilihat pada gambar.

Gambar 2. Patogenesis Sindrom Metabolik14


Gejala Klinis
Menurut pedoman dari National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan American Heart
Association (AHA), sindrom metabolik didiagnosis ketika pasien memiliki setidaknya 3 dari 5
kondisi berikut:16
1.
2.
3.
4.

Glukosa puasa 100 mg / dL (atau menerima terapi obat untuk hiperglikemia).


Tekanan darah 130 / 85 mmHg (atau menerima terapi obat untuk hipertensi).
Trigliserida 150 mg / dL (atau menerima terapi obat untuk hipertrigliseridemia).
HDL-C <40 mg / dL pada pria atau <50 mg / dL pada wanita (atau menerima terapi obat

untuk mengurangi HDL-C).


5. Lingkar pinggang 102 cm (40 in) pada pria atau 88 cm (35 in) pada wanita; jika Asian
Amerika, 90 cm (35 in) pada pria atau 80 cm (32 in) pada wanita.

13

Ada beberapa gejala yang mungkin dirasakan pasien ketika mengalami komplikasi. Nyeri dada atau
sesak napas menunjukkan munculnya gejala kardiovaskular. Neuropati perifer, dan retinopati biasa
terjadi pada pasien dengan resistensi insulin dan hiperglikemia atau diabetes melitus. Xanthomas atau
xanthelasma umumnya pada pasien dengan dislipidemia parah. 16
Penatalaksanaan2
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular oada individu yang telah memiliki sindrom metabolik,
diperlukan pemanatauan yang terus menerus dengan modifikasi komponen sindrom metabolik yang
ada. Penatalaksanaan dari masing-masing komponennya pada tabel dibawah ini.
Tabel 7. Penatalaksanaan Sindrom Metabolik2
Target dan Tujuan Terapi
Faktor Resiko Gaya Hidup

Rekomendasi Terapi
Pencegahan jangka panjang penyakit KVR dab pencegahan diabetes melitus tipe 2

Obesitas abdomen
Mengurangi berat badan sebanyak 7%
hingga 10% selama satu tahun pertama
terapi. Sesudah
itu, teruskan
penurunan berat badan sebisa mungkin
dengan tujuan akhir mencapai berat
badan yang diinginkan ( IMT < 25
kg/m2)
Inaktivitas Fisik
Aktivitas fisik intensitas sedang secara
teratur; setidaknya 30 menit secara
kontinue mauoun intermiten (dan lebih
baik 60 menit), 5 hari/minggu, tetapi
lebih baik lagi bila tiap hari

Secara konsisten memberikan semangata agar berat badan terjaga/berkurang melalui


program keseimbangan aktivitas fisik, asupan kalori dan modifikasi perilaku formal
yang sesuai, bila diperlukan, untuk menjaga/mencapai lingkar pinggang < 40 inci
pada pria dan < 35 inci pada wanita. Mula-mula, targetkan pengurangan secara
perlahan dari berat badan awal. Penurunan berat badan yang kecil sekalipun
berkaitan dengan manfaat kesehatan yang signifikan

Diet Aterogenik
Mengurangi asupan lemak
lemak trans dan kolesterol

jenuh,

Faktor Resiko Metabolik


Dislipidemia Anterogenik
Target Primer :
LDL-C meningkat (lihat tabel 3)
Target Sekunder
Non HDL-C meningkat
Pasien resiko tinggi :
< 130 mg/dL (3,4 mol/L {pilihan : <
100mg/dL} [2,6 mmol/L] untuk pasien
yang beresiko sangat tinggi
Pasien beresiko tinggi-sedang : <

Pada pasien yang sudah menderita penyakit KVR, nilailah resiko dengan riwayat
aktivitas fisik yang rinci dan/atau uji latihan fisik, sebagai petunjuk dalam
meresepkan. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas fisik aerobik intensitas sedang
selama 30 sampai 60 menit : berjalan cepat, sebaliknya setiap hari, ditambah dengan
peningkatan aktivitas dalam gaya hidup sehari-hari (yakin menaiki tangga pedometer,
berjalan saat istirahat kerja, berkebun, mengerjakan pekerjaan rumah tangga). Waktu
latihan yang panjang dapat dicapai dengan akumulasi latihan fisik yang dilakukan
sepanjang hari. Dorong latihan tahanan (resistance training) 2 hari/minggu. Sarankan
program yang diawasi secara medis untuk pasien beresiko tinggi (misalnya pasien
dengan sindrom koroner akut atau revaskularisasi, GJK).
Rekomendasi : lemak jenuh < 7% kalori total; kurangi lemak trans; kolesterol dalam
diet< 200mg/dL; lemak total 25% hingga 35% kolori total. Sebagain besar diet lemak
sebaiknya berupa lemak tidak jenuh; gula sederhana harus dibatasi.
Pencegahan jangka pendek terhadap penyakit KVR atau terapi diabetes melitus tipe 2

LDL-C meningkat (lihat tabel untuk rinciannya)


Non HDL-C meningkat
Mengikuti strategi di tabel 8 untuk mencapai target LDL-C
Pilihan pertama untuk mencapai target non-HDL-C: perkuat terapi penurunan LDL
Pilihan kedua untuk mencapai target non HDL-C: tambahkan fibrat [lebih disukai
fenofibrat] atau asam nikotinat bila kadar non-HDL-C tetap relatif tinggi setelah
terapi dengan obat penurunan LDL diberikan.
Beri saran untuk menambah fibrat atau asam nikotinat pada pasien beresiko tinggi

14

160mg/dL (4,1 mmol/L)


Pasien terapi : < 130mg/dL (3,4
mmol/L)
Pasien beresiko sedang : < 160mg/dL
(4,1 mmol/L)
Pasien beresiko rendah : < 190mg/dL
(4,9 mmol/L)
Target Tersier :
HDL-C berkurang
Tidak ada target spesifik : tingkat
HDL-C sebisa mungkin disertai terapi
standar dislipidemia aterogenik
TD meningkat
Turunkan TD serendah mungkin
hingga setidaknya mencapai TD <
140/90 mmHg (atau <130/80 mmHg
bila diabetes). Kurang TD lanjut sebisa
mungkin melalui perubahan gaya hidup
Kadar glukosa meningkat
Turunkan TD serendah mungkn hingga
setidaknya mencapai TD < 140/90
mmHg ( atau <130/80 mmHg bioa
terdapat diabetes). Kurangi TD lebih
lanjut
sebisa
mungkin
melalui
perubahan gaya hidup
Kondisi Protrombotik
Kurangi faktor-faktor resiko trombotik
dan fibrinolitik
Kondisi proinflamasi

Beri saran untuk menghidari pemambahan fibrat atau asam nikotinat pda pasien
beresiko tinggi sedang atau pasien beresiko sedang
Semua pasien : bila TG 500mg/dL, mulai dengan fibrat atau asam nikotinat
{ sebelum terapi penurunan LDL; terapi non HDL-C untuk mencapai tujuan setelah
memberikan terapi menurunkan TG}
HDL-C berkurang
Maksimalkan terapi gaya hidup : penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas
fisik
Pertimbangkan menambah fibrat atau asam nikotinat setelah terapi obat penurun
LDL-C sebagaimana telah disebutkan untuk non HDL-C yang meningkat
Untuk TD 120/80 mmHg : awali atau jaga modifikasi gaya hidup pada semua
pasien dengan sindrom metabolik : pengendali berat badan, meningkatkan aktivitas
fisik, meredam kebiasaan alkohol, pengurangan kadar garam dan menekan banyak
makan sayur dan buah segar, dan produk-produk susu rendah lemak.
Untuk TD 140/90 mmHg ( atau > 130/80mmHg dengan ginjal kronik dan DM);
bila dapat ditoleransi, tambahkan pengobatan tekanan darah sebagimana diperlukan
untuk mencapai TD target
Untuk GDPT, dorong semangat untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan
aktivitas fisik
Untuk diabetes melitus tipe 2, bila perlu, terapi gaya hidup dan farmakoterapi perlu
dipakai agar HbA1c mendekati normal (<7%)
Modifikasi faktor-faktor resiko lainya dan modifikasi perilaku (yakni obesitas
abdominal, inaktivitas fisik, TD meningkat, abnormalitas lipid)
Pasien beresiko tinggi: mulai dan teruskan terapi aspirin dosis rendah; pada pasien
dengan KVRAS, penyimbangkan klopidogrel bila aspirin merupakan kontraindikasi
Pasien resiko tinggi sedang: pertimbangkan profilaksis aspirin dosis rendah
Rekomendasi : tidak terapi spesifik yang melebihi terapi gaya hidup.

Tabel 8. Kolesterol LDL Sebagai Target Terapi Utama pada Subjek dengan Artherosclerosis Coronary
Vascular Disease (ASCVD)2
Tujuan Terapi
Pasien beresiko tinggi : < 100mg/dL (2,6
mmol/L) (untuk pasien beresiko sangat tinggi
dalam kategori ini, target lainnya < 70 mg/dL)

Pasien beresiko tinggi-sedang : < 130mg/dL (3,4


mmol/dL) (untuk pasien beresiko lebih tinggi.
Dalam kategori ini, target lainnya adalah <
100mg/dL (2,6 mmol/L)

Pasien beresiko sedang < 130 mg/dL (3,4


mmol/L)

Rekomendasi Terapi
Pasien beresiko tinggi : terapi gaya hidup ditambah dengan obat penurun
LDL-C untuk mencapai target yang direkomendasikan. Bila kadar LDL-C
dasar 100 mg/dL, mulailah terapi obat penurun LDL
Bila dalam pengobatan kadar LDL-C 100 mg/dL, tingkatkan terapi obat
penurun LDL (mungkin memerlukan kombinasi obat penurun LDL)
Bila kadar LDL-C dasar < 100 mg/dL, mulai terapi obat penurun LDL
berdasarkan penilaian klinis ( yakni penilaian yang menunjukan bahwa
pasien termasuk yang beresiko tinggi)
Pasien beresiko tinggi-sedang : terapi gaya hidup + terapi obat penurun
LDL bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan bila
kadar LDL-C 130 mg/dL (3,4 mmol/L) setelah terpai gaya hidup.
Bila kadar LDL-C adalah 100 hingga 129 mg/dL, terapi penurunan
LDLdapat dimulai saat resiko pasien dinilai berada dikisaran atas dari
kategori resiko tersebut.
Pasien beresiko sedang : terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C bila
dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan ketika kadar

15

Pasien beresiko rendah : < 160 mg/dL (4,9


mmol/L)

LDL-C 160 mg/dl (4,1 mmol/L) setelah terapi gaya hidup diberikan.
Pasien beresiko rendah : terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C bila
dibutuhkan untuk mencapai target yangdirekomendasikan ketika kadar
LDL-C 190mg/dL setelah terapi gaya hidup ( untuk kadar LDL-C 160
hingga 189mg/dL, obat penurun LDL bersifat opsional.

Medika mentosa
Obat untuk obesitas: Derivat amfetamin (dexfenfluramin, fenfluramin) dapat menekan nafsu makan.
Es: valvulopati jantung; Orlistat: menghambat lipase lambung dan pankreas, serta mengurangi
absorpsi lemak.; Sibutramin: mempercepat rasa kenyang dan mengurangi asupan makanan.
Obat untuk menurunkan kadar glukosa :
METFORMIN. Mekanisme utamanya adalah dnegan menurunkan glukoneogenesis pada tingkat
mitokondriadi hepatosit yang berakibat terjadinya penurunan produksi glukosa di hati, dengan
demikian menurunkan kadar gula darah puasa. Metformin juga berkhasiat meningkatkan up take
glukosa perifer. Efek tersebut diduga multiple efek yang meliputi peningkatan afinitas ikatan insulin
dengan reseptor insulin, baik pada sel otot dan sel eritrosit (Hardiman, 2005). Terdapat 7 kelebihan
dari metformin pada sistem cardiovasculair, Menurunkan resistensi insulin; Efek homeostasis dan
fungsi pembuluh darah; Potensial terhadap terapi sindrom metabolik pada DM tipe II;
Antiartherogenik; Menghambat proses glikasi; Proteksi pembuluh darah; Mencegah komplikasi
cardiovasculair disease pada DM tipe II dengan faktor resiko tinggi.
Obat untuk hiperlipidemia :
GEMFIBROZIL. Gemfibrozil termasuk dalam obat golongan fibrat. Obat-obat yang tergolong
kelompok ini dapat dianggap sebagai hipolipidemik berspektrum luas. Selain menurunkan kadar
trigliserida Serum, kelompok fibrat juga cenderung menurunkan kadar kolesterol-LDL dan menaikkan
kolesterol-HDL. Fibrat bekerja sebagai ligan untuk reseptor transisi nukleus, reseptor alfa peroksisom
yang diaktivasi proliferator, dan menstimulasi aktivitas lipoprotein lipase.Indikasi: hiperlipidemia tipe
IIa, IIb, III, IV dan V, serta pencegahan penyakit jantung pada pria usia 40-55 tahun yang merespon
dengan cukup terhadap diet dan tindakan-tindakan lain yang sesuai; Dislipidemia yang berhubungan
dengan diabetes mellitus (DM); Xanthoma yang berhubungan dengan dislipidemia.
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk menurunkan resiko penyakit
kardiovaskular arterosklerosis dan resiko DM tipe 2 pada pasien yang belum diabetes. Penatalaksaan
sindrom metabolik terdiri dari 2 pilar yaitu tatalaksana penyebab (BB lebih/obesitas dan inaktif fisik)
serta tatalaksana resiko lipid dan non lipid.
Obesitas dan Obesitas Sentral
Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolik serta peran otak dalam
pengaturan energi, merupakan titik tolak yang penting dalam pelaksanaan klinik. Mempertahankan
16

berat badan yang lebih rednah dikombinasi dengan pengurangan asupan kalori dan peningkatan
aktivitas fisik merupakan priortas utama penyandang sindrom metabolik. Target penurunan berat
badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebanyak 5001000 kalori per hari yang ditunjang dengan aktivitas fisik yang sesuai. Aktivitas fisik dilakukan
selama 30 menit atau lebih setiap harinya. Untuk subjek dengan komorbid penyakit jantung koroner
dilakuakn evaluasi kebugaran sebelu diberikan anjuran jenis olehraga yang sesuai. Pemakaian obatobatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada beberapa jenis pasien. Dua obat yang daoat
digunakan dalam menurunkan berat badan yaitu sibutramin dan orsilat. Dengan mempertimbangkan
perana otak sebagai regulator berat badan, sibutramin dapat menjadi pertimbangan wlaupun tanpa
mengesampingkan kemungkinan efek samping yang mungkin timbul. Terapi pembedahan dapat
dipertimbangkan pada pasien yang beresiko serius akibat obesitas.
Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskular. Hipertensi juga mengakibatkan
mikroalbuminuria yang dipakai sebagai indikator independen morbiditas kardiovaskular pada pasien
tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah berbeda antara subjek dengan DM dan tanpa DM.
Pada subjek dengan DM dan penyakit ginjal target tekanan darah < 130/80 mmHg, sedangkan pada
yang bukan, targetnya < 140/90 mmHg. Untuk mencapai target tekann darah, penatalaksanaannya
tetap diawali dengan pengaturan diet dan aktivitas fisik. Peningkatan tekanan darah yang ringan dapat
diatasi dulu dengan upaya penurunan berat badan, berolahraga, menghentikan rokok dan konsumsi
alkohol dan banyak mengkonsumsi serat. Namun bila modifikasi hidup tidak mampu mengendalikan
tekanan darah maka diperlukan pendekatan medika mentosa untuk mencegah komplikasi seperti
infark miokard, gagal ginjal kronik, dan stroke.
Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim pengkorversi angiotensin dan
penghambat reseptor angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam meregresi hipertrofi
ventrikel kiri dibandingkan dengan penghambat beta andrenergik, diuretik, dan antagonis kalsium.
Valsartan, suatu penghambat reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuriayang diketahui
sebagai faktor resiko independen kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE
inhibitor sebagai lini pertama penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama DM.
Angiotensin reseptor blocker (ARB) di pakai apabila tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Meski
demikian pemaikain diuretik tidak dianjurkan pada subjek dengan gangguan toleransi glukosa, namun
pemakaina diuretik dosis rendah yang dikombinasi dalam regimen lain dapat lebih bermanfaat
dibandingkan efek sampingnya.
Gangguan Toleransi Glukosa

17

Intoleransi glukosa merupakan salah satu manisfentasisindrom metabolik yang dapat menjadi awal
suatu diabetes melitus. Penelitian-penelitian yang ada menunjukan adanya hubungan yang kuat antara
toleransi glukosa terganggu (TGT) dan resiko kardiovaskular pada sindrom metabolik dan diabetes.
Perubahan gaya hidup dan aktivitas fisik yang teratur terbukti efektif dan dapat menurunkan berat
badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki glukosa 2 jam pasca prandial dan
konsentrasi insulin.
Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam lemak
bebas. Pada diabetes prevention program, penggunaan metformin dapat mengurangi progresi diabetes
sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas.
Dislipidemia
Pilihan terapi untuk dislipedimia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti dengan medikamentosa.
Namun demikian, perubahan diet dan lahitan jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh
karena itu disarankan untuk memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya hidup. Menurut
ATP III, setelah kolesterol LDL sudah mencapai target, sasaran berikutnya adalah dislipidemia
aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida 200 mg/dL maka target terapi adalah non kolesterol HDL
setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapu dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid
tetapi juga secara bermakna dapat menurunkan resiko kardiovaskular. Fenofibrat secara khusus
digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukan
perbaikan lipid yang sangat efektif dan mengurangi resiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat
menurunkan konsentrasi fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi
trigliserida, kolesterol HDL dan LDL.
Target terapi berikutnya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi memunjukan apoB lebih baik
dalam menggambarkan dislipidemia aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan kolesterol non
HDL sehingga menyarankan apoB sebagai terapi. Meskipun demikian, ATP III tetap menyarankan
pemakaian kolesterol non HDL sebagai terapi target mengigat beberapa tempat, sasaran apoBbelum
tersedia.
Apabila konsentrasi TG 500mg/dL, maka target terapi lini pertama adalah penurunan TG untuk
mencegah timbulnya pankreatitis akut. Pada konsetrasi TG < 500mg/dL terapi kombinasi untuk
menurunkan TG dan kolesterol LDL dapat digunakan. Berbeda dengan TG dan kolesterol LDL, untuk
kolesterol HDL tidak ada target terapi tertentu, hanya dinaikan saja. Panduan terpai untuk dislipidemia
dapat dilihat pada tabel 2.
Pengaturan Menu Diet 5,15

18

Perubahan gaya hidup yang terdiri atas pola makan dan olahraga. Untuk mengatur pola makan, kita
harus menghitung kebutuhan kalori perhari dan disesuaikan dengan tabel status gizi. Untuk
mengetahui status gizi kita dapat menghitung IMT terlebih dahulu. Setelah itu kita mencari tahu
aktivitas fisik sehari-hari pasien.
Untuk kategori aktivitas, dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu aktivitas ringan, sedang, berat dan berat
sekali. Dibawah ini beberapa contoh aktivitas/pekerjaan yang dibagi menjadi beberapa bagian:

Ringan: Pekerjaan kantoran, lebih banyak duduk, mengetik, guru, ahli hukum
Sedang: ibu rumah tangga (tanpa pembantu),
Berat: penebang pohon(gergaji menggunakan tangan), buruh bangunan
Berat Sekali: pendaki gunung, penarik becak
Tabel 9. Kebutuhan kalori perhari5,15
Aktivitas
Ringan
Sedang
Berat
Berat Sekali

Kurang
36 kal
40 kal
45 kal
55 kal

STATUS GIZI
Normal
30 kal
35 kal
40 kal
50 kal

Lebih
25 kal
30 kal
36 kal
45 kal

Setelah kita mendapatkan IMT: Lebih(status gizi) dan aktivitas: guru(pekerjaan) pasien, kita dapat
mengetahui kebutuhan pasien adalah 25kal (lihat tabel diatas). Lalu kita kalikan BB dengan
kebutuhan kalori pasien.
BB x kal berdasarkan IMT
Dari hasil diatas, kita mendapatkan kalori normal yang dibutuhkan untuk pasien. Lalu, selanjutnya
kita dapat mengurangkan kalori dengan range 500 -1000 kalori. Diatas pasien memiliki persentase
IMT Obese 2 sehingga kita dapat mengurangi kebutuhan kalori perhari menjadi 1000kalori. Terapi ini
juga disertai dengan keseimbangan Karbohidrat, Protein dan Lemak, yaitu dengan persentase
Karbohidrat (65-70%) Protein (15-20%) dan Lemak (20-30%). Pola makan yang dianjurkan diet
rendah kalori untuk mengatasi obesitas dan pembatasan 5G (gula, garam, gorengan, gurih, dan gajih).
Peningkatan asupan serat pangan dalam bentuk sayuran, buah, kacang-kacangan dan biji-bijian utuh
yang berserat juga perlu dianjurkan.
Lalu kita dapat menganjurkan pasien dengan berolahraga 30-60 menit sehari dan dikerjakan 3-5
dalam seminggu. Olahraga seperti jalan kaki, jogging, lari, bersepeda, renang, aerobik dan banyak
lagi.
Terapi atau penatalaksanaan dikatakan berhasil jika, BB berkurang 10% dari total BB awal, tekanan
darah yang menurun, glukosa darah puasa menurun. Dan terapi ini berlanjut juga dengan tetap
melakukan pengecekan kolesterol sampai kolesterol normal.
Dan, terakhir edukasikan kepada pasien beberapa hal yang dapat membuat diet atau terapi tidak
berhasil seperti sulit mengubah pola makan, niat setengah-setengah dan motivasi yang cepat menurun
19

saat melihat BB yang lambat menurun. Semua hal diatas dapat dikerjakan jika pasien ada niat.
Sebagai dokter kita harus tetap memotivasi dan membantu pasien hingga quality of life nya membaik.
Pengobatan gizi medis (PGM)
Edukasi gizi dan kebiasaan makan yang baik untuk pengendalian berat badan pasien obesitas
merupakan inti strategi penanganan. Intervensi ini dimaksudkan untuk menormalkan kadar lemak,
menstabilkan kadar gula darah, menurunkan tekanan darah, serta mengurangi atau memelihara berat
badan. Pengobatan gizi medis untuk pasien obesitas yang didasarkan pada pengurangan asupan kalori,
setidaknya terbagi ke dalam empat pilihan, yaitu: 5
1. Diet kalori sangat rendah (DKSR)
DKSR (< 800 kkal/hari) ditujukan bagi pasien dengan nilai BMI 30 tanpa faktor komorbid
dan atau faktor risiko lain atau pasien yang mempunyai BMI 27 dengan faktor komorbid
dan/ atau faktor risiko lain. Diet jenis ini diterapkan secara eksklusif selama < 8 minggu yang
kemudian dilanjutkan dengan diet kalori rendah (800-1200 kkal) selama 24 minggu hingga 5
tahun.
2. Diet kalori rendah (DKR)
Diet ini (800-1200 kkal/hari) dianjurkan pada pasien obes denga nilai BMI 27 tanpa faktor
kormobid dan/ atau faktor risiko lain atau pasien yang mempunyai BMI 25 dengan faktor
komorbid dan/ atau faktor risiko lain. Dalam kurun waktu 6-12 bulan.
3. Diet kalori sedang dengan kandungan lemak rendah/ diet rendah lemak (DRL)
Jumlah kalori yang dipatok untuk DRL berkisar antara 1200-2300 kkal/hari. Kontribusi lemak
antara 20-30%.
4. Diet perorangan
Jumlah asupan energi yang dtakar berdasarkan kebutuhan gizi yang khas untuk setiap pasien
obesitas. Dalam hal ini, jumlah asupan energi per hari tentunya diupayakan jangan kurang
dari 1200 kkal. Dari sini, disusun daftar menu yang bergizi, beragam, serta berimbang (B3),
untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam daftar bahan penukar.

Kebutuhan Kalori/ Energi


Kebutuhan kalori total ditentukan oleh basal metabolisme rate (BMR), aktivitas fisik, dan specific
dynamic action (SDA)/ efek termis makanan. Sebelum menentukan jumlah kebutuhan kalori total,
maka harus ditentukan BMR terlebih dahulu. Berikut adalah beberapa cara untuk mengukur BMR,
yaitu:2
1. Rumus Harris Benedict yang dikenal dengan rumus REE (Resting Energy Expenditure)
BMR (laki-laki)
= 66,4 + [13,7 x BB] + [5 x TB] - [6,8 x Umur]
BMR (perempuan)
= 655 + [9,6 x BB] + [1,8 x TB] - [4,7 x Umur]
2. Metode faktorial
BMR (laki-laki)
= BBI (kg) x 1 kKal x 24 jam
BMR (perempuan)
= BBI (kg) x 0,9 kKal x 24 jam

20

Langkah selanjutnya menentukan berat/ ringan jenis aktivitas yang dilakukan sehari-hari oleh pasien.
Berikut ini adalah penggolongan aktivitas:2
1.
2.
3.
4.
5.

Ringan sekali
Ringan
Sedang
Berat
Berat sekali

= 30 %
= 50 %
= 75 %
= 100 %
= 125 %

Contoh aktivitas yang termasuk dalam golongan ringan adalah pegawai kantor, ahli hokum, dokter,
guru. Aktivitas sedang adalah pekerja industri ringan, mahasiswa, pekerjaan rumah tangga. Aktivitas
berat adalah buruh kasar, penari balet, olahragawan. 2
Langkah terakhir yaitu menghitung besarnya efek termis makanan yang diperkirakan besarnya adalah
10% dari jumlah energi basal dan energi aktivitas. Maka rumus untuk menghitung jumlah kebutuhan
kalori total adalah:2
Total energi = energi basal (BMR) + energi aktivitas + SDA
Karbohidrat
Karbohdirat adalah sakarida yang tergabung dalam berbagai tingkat kompleksitas untuk membentuk
gula sederhana, serta unit yang lebih besar seperti oligosakarida dan polisakarida. Fungsi utamanya
adalah sebagai sumber energi dalam bentuk glukosa. Beberapa karbohidrat tidak dapat dicerna
(disebut non-glikemik) dan terdiri atas polisakarida nonpati yang merupakan bagian dari serat
makanan dan berperan dalam fungsi usus. Jika energi yang dibutuhkan sangat tinggi, sedangkan
intake ataupun cadangan karbohidrat berkurang, maka mekanisme tubuh adalah mengubah sumbersumber nonkarbohidrat seperti lemak menjadi glukosa. Kebutuhan tubuh terhadap karbohidrat sekitar
55-65% total kalori/ hari. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori. 2,5
Lemak
Lemak meliputi beraneka ragam zat yang larut dalam lipid, sebagian besar merupakan trigliserida atau
triasilgliserol (TAG). Produk turunannya, seperti fosfolipid dan sterol (yang paling terkenal adalah
kolesterol) juga termasuk dalam kelompok ini. TAG dipecah untuk menghasilkan energi dan
menyusun cadangan energi utama bagi tubuh dalam jaringan adiposa. Asam lemak spesifik yang
terdapat dalam TAG penting bagi struktur dan fungsi membrane sel, dan harus diperoleh dari diet.
Asam lemak ini disebut asam lemak esensial.2,5
Fungsi lemak adalah sebagai sumber cadangan energi, komponen dari membrane sel, insulator suhu
tubuh, pelarut vitamin A, D, E, dan K. kebutuhan lemak oleh tubuh sekitar 20-30% total kalori/ hari.
Satu gram lemak menghasilkan 9 kalori.2
21

Protein
Protein terdiri atas berbagai rantai dari asam amino tunggal yang tergabung membentuk beraneka
ragam protein. Saat dicerna, masing-masing asam amino digunakan untuk sintesis asam amino serta
protein lainnya yang diperlukan oleh tubuh, dengan melibatkan cukup banyak daur ulang dari
komponen-komponen tersebut.2
Ada delapan asam amino esensial (untuk anak, ada lebih dari delapan) yang harus diperoleh dari diet.
Selain itu, beberapa asam amino mungkin menjadi esensial karena keadaan (conditionally essential)
dalam kondisi stres fisiologis tertentu. Jika aasam amino tidak dibutuhkan lebih lanjut, barulah asam
amino tersebut dipecah dan digunakan sebagai energy dan bagian nitrogennya terekskresi sebagai
urea. Konsumsi protein oleh tubuh kita sekitar 15-20% total kalori/ hari. Satu gram protein
menghasilkan 4 kalori.2
Tabel 10. Komposisi zat gizi makro.5
Zat gizi
Karbohidrat
Protein
Lemak total
Asam lemak jenuh (saturated)
Asam lemak monosaturated
Asam lemak polysaturated
Kolesterol
Serat

Komposisi (%)
55-65
15-20
20-30
8-10
15
10
< 300 mg/hari
20-30 g

Pencegahan
The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi diet intensif terhadap pasien-pasien
dewasa yang mempunyai factor-faktor risiko untuk terjadinya penyulit kardiovaskular. Para dokter
keluarga lebih efektif dalam membantu pasien menerapkan kebiasaan hidup sehat. The Diabetes
Prevention Program telah membuktikan bahwa intervensi gaya hidup yang ketat pada pasien
prediabetes dapat menghambat progresivitas terjadinya diabetes lebih dari 50% ( dari 11% menjadi
4,8%).16
Tips untuk pencegahan sindrom metabolik, antara lain: 16
-

Olahraga secara teratur sepanjang hidup kita, supaya tidak bosan cobalah untuk mengikut
sertakan keluarga, tetangga, rekan kerja, jika perlu ikutlah klub olahraga di sekitar rumah
Anda

22

Memberi dukungan kepada putra dan putri Anda untuk memiliki aktivitas fisik tiap harinya,
berikanlah pilihan permainan yang memerlukan aktivitas fisik, seperti outbond, dll. Jangan
lupa untuk selalu memilih makanan sehat.

Mengkonsumsi

makanan

sehat,

seimbang

gizi,

hindari

lemak

jenuh,

perbanyak

mengkonsumsi sayuran dan buah.


-

Hentikan kebiasaan merokok.

Kenali diri Anda, apakah Anda memiliki kecenderungan secara genetic (keturunan) terkena
penyakit diabetes, penyakit jantung, dan sindrom metabolik

Usahakan melakukan medical check-up secara teratur dan terapi secara dini tekanan darah
bila Anda menderita tekanan darah tinggi.

Komplikasi
Komplikasi dari sindrom metabolik yang luas. Banyak terkait komplikasi kardiovaskular, terutama
penyakit jantung koroner, tetapi juga fibrilasi atrium, gagal jantung, stenosis aorta, stroke iskemik,
dan mungkin penyakit venothromboembolic.
Muncul data menunjukkan korelasi penting antara sindrom metabolik dan risiko stroke. Masingmasing komponen sindrom metabolik telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke, dan bukti
menunjukkan hubungan antara sindrom metabolik kolektif dan risiko stroke iskemik. Sindrom
metabolik juga dapat dikaitkan dengan neuropati karena mekanisme hiperglikemia melalui mediator
inflamasi.15
Gangguan metabolik yang menjadi ciri sindrom metabolik telah terlibat dalam perkembangan
penyakit hati berlemak nonalkohol. Memang, hati berlemak diduga memainkan peran penting dalam
pengembangan sindrom metabolik.15
Selain itu, sindrom metabolik telah terlibat dalam patofisiologi beberapa penyakit lain, termasuk
apnea tidur obstruktif. Kanker payudara juga telah dikaitkan dengan sindrom metabolik, mungkin
melalui disregulasi dari siklus plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Tambahan studi telah
dikaitkan dengan sindrom metabolik kanker usus besar, kandung empedu, ginjal, dan, mungkin,
kelenjar prostat.15
Prognosis
Sindroma

metabolik

juga

memiliki

dampak

yang

buruk

terhadap

prognosis

penyakit

kardioserebrovaskuler. Penelitian Klein, (2007) memperlihatkan bahwa 21,7% pasien gangguan


jantung dengan sindroma metabolik akan mengalami kejadian penyakit karioserebrovaskuler (infark
miokard akut, stroke, atau kematian mendadak) ulang dalam waktu pengamatan 6,7 tahun. 17

III.

Kesimpulan

23

Berdasarkan kasus diatas laki-laki berusia 55 tahun tersebut menderita sindrom metabolik. Hal ini
untuk sementara dapat dipastikan dari data anamnesis pasien yaitu pasien terlalu gemuk dan sulit
menurunkan berat badan. Selain itu berdasarkan data anamnesis pekerjaan pasien adalah seorang
karyawan, yang dapat dikategorikan sebagai pekerjaan tingkat ringan. Pasien juga jarang
memeriksakan kesehatannya dan pasien mudah lelah dan mudah haus. Riwayat keluarga pasien juga
menyatakan Ayah pasien pernah menderita Hipertensi dan DM. Hal ini menunjukan beberapa
manisfentasi klinis yang ditimbulkan dari sindrom metabolik. Selain itu di tunjang dengan hasil
pemeriksaan IMT dari berat badan dan tinggi badan didapatkan hasil berlebih dan juga ratio WHR
didapatkan hasil berlebih. Didukung juga dengan hasil pemeriksaan penunjang yaitu peningkatan
kadar kolesterol total, trigliserida yang meningkat, kadar LDL meningkat dan HDL yang menurun.
Maka dari hasil diatas dapat disimpulkan Laki-laki berusia 55 tahun tersebut menderita sindroma
metabolik. Sindroma metabolik merupakan kumpulan dari gejala penyakit obesitas, diabetes mellitus,
dislipidemi, dan hipertensi.
Daftar Pustaka
1. Cotran & Robbins. Sistem endokrin. Dalam: Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Edisi ke-7.
Jakarta: EGC; 2006.h.644.
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo Aw, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jld 1 dan 3. Ed 6. Jakarta :
Interna Publising, 2014.h.125-8; 2535-43.
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, dll. Anamnesis, Pemeriksaan fisis. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Internal Publishing;
2009.h.29-31; 65-68.
4. Kowalski RE. Hipertensi: Pembunuh diam-diam. Dalam: Terapi Hipertensi. Bandung: Qanita;
2010.h.43.
5. Pangkalan ide. Update IQ diet cegah penyakit datang menyerang. Dalam: Diet South Beach.
Jakarta: Elex Media Komputindo; 2007.h.32.
6. Lee JL. Glukosa: Gula darah puasa. Dalam: Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.
Jakarta: EGC; 2002.h.107.
7. Tandra H. Segala hal yang harus anda ketahui mengenai diabetes. Jakarta: Gramedia;
2007.h.23-4.
8. Bastiansyah E. Pemeriksaan kolesterol dalam darah. Dalam: Panduan Lengkap Membaca
Hasil Tes Kesehatan. Depok: Plus; 2008.h.60-1.
9. Marks DB, Marks AD, Smith CM. Metabolisme kolesterol dan lipoprotein. Dalam: Biokimia
Kedokteran Dasar. Jakarta: EGC; 2000.h.515.
10. Shahab

Alwi.

Sindrim

Metabolik.

Available

From

http://dokter-

alwi.com/sindrommetabolik.html. Acessed on 23 November 2015.


11. Adriansjah H, dkk. 2004. Sindrom Metabolik : Pengertian< Epidemiologi dan Kriteria
Diagnosis, Jurnal. Medika Vol XXX No. 11.h.739-41
24

12. Goossens GH. The role of adipose tissue dysfunction in the pathogenesis of obesity-related
insulin resistance. In: Physiol Behav. 2008.p.206-18.
13. Gustafson B, Hammarstedt A, Andersson CX, et al. Inflamed adipose tissue: a culprit
underlying the metabolic syndrome and atherosclerosis. In: Arterioscler Thromb Vasc Biol.
2007.p.2276-83.
14. Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada
Sindroma Metabolik.Jurnal Kedokteran Indonesia. 65(8): 1821.
15. Hartono A. Implementasi nutrisi oral dan diet. Dalam: Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2006.h.195.
16. McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis & Threatment. USA: McGraw-Hill
Companies; 2008.p.1035.
17. Greenspan FS, Baxter JD. Endokrinologi dasar & klinik. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2000. h.430445.

25

Anda mungkin juga menyukai