Anda di halaman 1dari 4

Willem & Irene

Beratus tahun yang lalu di sebuah desa bernama Volendam yang terlatak di
pesisir pantai utara Belanda, hiduplah keluarga Jansen dan keluarga Hendrik yang
masing-masing memiliki anak berumur 9 tahun.
Seperti sebagian besar penduduk di desa tersebut, dua keluarga tersebut
mencari nafkah dengan menangkap ikan. Keluarga Jansen mempunyai anak
perempuan bernama Irene dan keluarga Hendrik mempunyai anak laki-laki bernama
Willem. Willem dan Irene adalah anak-anak yang rajin. Willem selalu membantu
ayahnya memperbaiki jalan yang rusak. Irene selalu membantu ibunya yang berjualan
makanan di pinggir pantai.
Suatu hari seperti biasa Willem dan Irene menunggu kepulangan ayah mereka di
pinggir dermaga. Satu persatu nelayan-nelayan yang pulang melaut merapat ke pantai
dan disambut keluarga mereka. Pagi sudah beranjak siang namun belum terlihat tandatanda kepulangan ayah mereka.
Pak, apakah bapak melihat ayah kami? tanya Irene pada salah satu nelayan.
Oh, kami memang melihat ayah kalian di tengah laut. Tapi sepertinya mereka menuju
ke utara, katanya mau menangkap ikan tuna lebih banyak lagi, jawab si nelayan.
Irene menatap langit di utara, tampak awan mendung bertumpuk, sepertinya akan turun
hujan lebat dan badai. Irene sangat khawatir sampai lututnya tak mampu menyangga
tubuhnya
Jangan

hingga
khawatir

ia
Irene,

jatuh
hibur

terduduk.

Oh

ayah,

Willem.

Mereka

pasti

isak
baik-baik

Irene.
saja.

Tapi mendung begitu tebal, tangis Irene. Bagaimana kalau mereka terjebak badai?
Kapalnya bisa terbalik dan tenggelam. Oh seandainya aku bisa menolong mereka.
Tentu saja kita bisa menolong ayah kita, kata Willem.
Benarkah?
Bagaimana
caranya?

tanya

Irene.

Dengan berdoa, jawab Willem dengan mantap.


Irene memandang Willem. Apakah Tuhan akan mendengar doa kita? tanyanya.
Ya, aku yakin. Karena Tuhan yang mengendalikan alam. Kita harus berdoa semoga
Tuhan mau menghentikan hujan dan membuat laut menjadi tenang, kata Willem.
Mereka lalu berlutut dan berdoa dengan khusyuk. Ajaib tiba-tiba langit menjadi terang
dan angin yang tadinya kencang tiba-tiba bertiup lembut. Tidak berapa lama dari tengah
laut nampak sebuah perahu yang makin lama makin dekat. Semoga itu ayah kita, seru
Irene.

Ternyata itu memang perahu ayah mereka. Kedua anak itu berseru mengucap
syukur, mereka pun segera berlari menyongsong ayah mereka. Wah, ternyata ayah
mereka selain membawa tangkapan yang banyak, juga berhasil menangkap seekor
ikan tuna yang sangaaaaat besar. Belum pernah ada nelayan lain yang pernah
menangkap tuna sebesar itu. Pak Hendrik dan Pak Jansen bersyukur bias pulang
dengan selamat. Mereka tadinya berpikir akan terjebak badai, syukurlah tiba-tiba saja
langit menjadi cerah seperti terkena sihir. Willem dan Irene saling berpandangan dan
tersenyum.
Ayah mereka membawa hasil tangkapan mereka ke tempat pelelangan ikan.
Pembeli berebut ingin membeli ikan tuna yang besar itu. Akhirnya seorang pemuda
yang

menawar

dengan

harga

tinggi

berhak

atas

ikan

tersebut.

Aku ingin membuat pesta disini, kata si pemuda. Bagaimana kalau aku undang kalian
untuk makan ikan ini bersama-sama. Semua menyambut gembira ajakan si pemuda.
Baiklah

saya

yang

akan

memasak

ikannya,

kata

ibu

Irene.

Willem dan Irene membawa ikan itu ke dapur untuk dibersihkan. Saat mengeluarkan isi
perut ikan, tiba-tiba sebuah benda berkilauan terjatuh. Irene memungut benda tersebut.
Ternyata sebuah cincin berlian. Waaaah, indah sekali cincin ini! seru Irene. Harganya
pasti mahal sekali.
Oh, aku ingin sekali memilikinya. Jangan Irene, cegah Willem. Karena cincin
itu berada di perut ikan tuna yang telah dibeli pemuda tadi, maka cincin itu adalah
miliknya. Ayo kita serahkan kepadanya Willem dan Irene menyerahkan cincin itu
kepada si pemuda.
Pemuda
itu

kagum

akan

kejujuran

kedua

anak

tersebut.

Seandainya mereka tidak menyerahkan cincin itu padaku, akupun tidak akan tahu
kalau ada cincin berlian di dalam perut ikan yang kau beli, batin si pemuda. Tapi
mereka tetap menyerahkannya padaku. Benar-benar anak yang luar biasa.
Pemuda itu tersenyum pada Willem dan Irene. Dia lalu membuka jubah yang menutup
tubuhnya. Ternyata dibaliknya adalah baju kebesaran kerajaan.
Ternyata pula pemuda itu adalah pangeran yang

sedang menyamar.

Kalian anak yang jujur, katanya. Aku sangat menghargainya. Untuk itu mulai besok
aku akan membawa Willem ke istana. Kau kuangkat sebagai pengawal pribadiku. Dan
Irene ibuku pasti akan sangat senang bertemu denganmu. Dia sangat ingin punya anak

perempuan.

Bagaimana

kalau

kau

kuangkat

sebagai

adikku?

Sejak saat itu Willem dan Irene menjadi anggota kehormatan kerajaan. Berkat sebuah
kejujuran, mereka bisa hidup mulia.

Manusia Satu Kata


Hari yang cerah. Raja Mahendra pergi ke hutan untuk menguji kemampuannya
berburu. Ia melarang para pengawal mengikutinya masuk ke hutan. Di tengah hutan,
tampak seekor kijang asyik makan rumput. Raja Mahendra langsung membidik anak
panahnya.
Ah, kijang itu berhasil melarikan diri. Raja Mahendra mengejarnya. Namun ia
terperosok masuk ke lubang yang cukup dalam. Ia berteriak sekeras-kerasnya
memanggil para pengawal. Namun suaranya lenyap ditelan lebatnya hutan. Selagi Raja
Mahendra merenungi nasibnya, ia terkejut melihat seseorang berdiri di tepi lubang.
Hei! Siapa kau? tanya Raja. Orang itu tak menjawab. Aku Raja Mahendra! Tolong
naikkan aku! pintanya dengan nada keras. Tidak! jawab orang itu. Raja menjadi
geram. Ia ingin memanah orang itu. Namun sebelum anak panah melesat, orang itu
lenyap. Tak lama kemudian, jatuhlah seutas tali. Raja mengira itu pengawalnya.
Namun, ternyata orang tadi yang melempar tali. Jadi kau mau menolongku?
Tidak! jawabnya lagi. Raja menjadi bingung. Katanya tidak, mengapa memberi tali?
Apa boleh buat, yang penting orang itu mau menolongnya. Raja Mahendra berhasil
naik. Ia mengucapkan rasa terima kasih. Maukah kau kubawa ke kerajaan? tawar
Raja.Tidak! jawab si penolong. Kalau tidak mau, terimalah beberapa keping emas.
Tidak! jawabnya lagi, tetapi tangannya siap menerima.
Akhirnya Raja Mahendra sadar, bahwa orang itu hanya bisa bicara satu kata.
Yaitu tidak. Walau berkata tidak, orang itu dibawa juga ke kerajaan. Sampai di kerajaan
Raja Mahendra memanggil Patih. Paman Patih, tolong berikan pekerjaan pada
manusia
satu
kata
ini.
Ia
hanya
bisa
berkata,
tidak.
Mengapa
paduka
membawa
orang
yang
amat
bodoh
ini?
Walau bodoh, ia telah menolongku ketika terperosok lubang. Patih berpikir keras.
Pekerjaan apa yang sesuai dengan orang ini.
Setelah merenung beberapa saat, Patih tersenyum dan berkata, Paduka kan
bermaksud mengadakan sayembara untuk mencari calon suami bagi sang putri. Tetapi
sampai
kini
Paduka
belum
menemukan
jenis
sayembaranya.
Benar Paman Patih, aku ingin mempunyai menantu yang sakti dan pandai. Tetapi apa
hubungannya hal ini dengan sayembara? Peserta yang telah lolos ujian kesaktian,
harus mengikuti babak kedua. Yaitu harus bisa memasuki keputren dengan cara
membujuk penjaganya. Lalu, siapa yang akan dijadikan penjaga keputren? Manusia
satu kata itu, Paduka. Lho, ia amat bodoh. Nanti acara kita berantakan! Percayalah

pada hamba, Paduka. Pada hari yang ditentukan, peserta sayembara berkumpul di
alun-alun. Mereka adalah raja muda dan pangeran dari kerajaan tetangga. Di babak
pertama, kesaktian para peserta diuji. Dan, hanya tiga peserta yang berhasil.
Ketiganya lalu dibawa ke depan pintu gerbang keputren. Patih memberi
penjelasan pada mereka. Nampaknya mudah. Mereka hanya disuruh membujuk
penjaga keputren sehingga dapat masuk keputren.
Peserta
hanya
boleh
mengucapkan
tiga
pertanyaan.
Penjaga yang baik. Bolehkah aku masuk keputren? tanya peserta pertama.
Tidak!
jawab
si
manusia
satu
kata.
Maukah kuberi emas sebanyak kau mau, asal aku diperbolehkan masuk?
Tidak! Pertanyaan tinggal satu. Kau akan kujadikan Senopati di kerajaanku, asal aku
boleh
masuk.
Tidak!
ujar
si
manusia
satu
kata.
Peserta pertama gugur. Ia mundur dengan lemah lunglai.
Peserta kedua maju. Ia telah menyusun pertanyaan yang dianggapnya akan
berhasil, Penjaga, kalau aku boleh masuk keputren, kau akan kunikahkan dengan
adikku
yang
cantik.
Setuju?
pertayaan
pertama
peserta
kedua.
Tidak!
Separoh
kerajaan
kuberikan
padamu,
setuju?
Tidak!
Katakan
apa
yang
kau
inginkan,
asal
aku
boleh
masuk.
Tidak!
Peserta kedua pun mundur dengan kecewa. Mendengar percakapan dua
peserta yang tak mampu masuk keputren, Raja Mahendra tersenyum puas. Pandai
benar patihku, katanya dalam hati. Peserta terakhir maju.
Semua penonton termasuk Raja Mahendra memperhatikan dengan seksama. Raja
muda itu tampak percaya diri. Langkahnya tegap penuh keyakinan.
Wahai penjaga keputren, jawablah pertanyaanku baik-baik. Tidak dilarangkah aku
masuk keputren? tanyanya dengan suara mantap. Raja Mahendra, Patih, dan
penonton terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan mantap pula penjaga menjawab.
Tidak! Seketika itu sorak-sorai penonton bergemuruh, mengiringi kebehasilan peserta
terakhir. Si raja muda yang gagah lagi tampan. Raja Mahendra sangat senang dengan
keberhasilan itu. Calon menantunya sakti dan pandai.
Sayembara usai. Manusia satu kata berjasa lagi pada Raja Mahendra. Ia dapat
menyeleksi calon menantu yang pandai. Walau dianggap
bodoh, Raja Mahendra tetap mempekerjakannya sebagai penjaga keputren.

Anda mungkin juga menyukai