Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN GAGAL NAFAS

Oleh Suci Juwita, 1006672030

A. Definisi
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paruparu tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbon dioksida
dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001). Gagal napas merupakan suatu sindrom yang
terjadi akibat ketidakmampuan sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan
metabolisme (eliminasi CO2 dan oksigenasi darah). Peristiwa yang terjadi adalah sistem
pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara
atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal (Grippi, 2008).
Gagal napas akut secara numerik didefinisikan sebagai kegagalan pernapasan bila
tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg tanpa atau dengan
tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan
istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan (Amin dkk,
2006). Apabila terdapat tekanan parsial oksigenasi arteri (PaO2) < 60 mmHg, yang
berarti terdapat gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa
(fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21, maupun saat mendapat bantuan oksigen. Sedangkan
jika terdapat tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) > 50 mmHg berarti terjadi
gagal napas hiperkapnia, kecuali ada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang
asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi
terhadap pH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak
normal, meskipun masih dibawah 50 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini
dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia. Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal
nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang
berbeda.
1. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.

2. Gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti
bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang
batubara).
B. Etiologi
Penyebab gagal napas dibagi menjadi gangguan ekstrinsik paru dan gangguan intrinsik
paru(Amin dkk, 2006). Untuk gangguan ekstrinsik paru terdiri dari : Penekanan pusat
pernapasan (over dosis obat, trauma serebral/infark, poliomielitis bulbar, dan ensefalitis),
gangguan neuromuskular (cedera medulaspinalis, sindroma Guillain-Barre, Miastenia
Gravis, Distrofi muskular), gangguan pada pleura (cedera dada/flail chest, pneumotoraks,
efusi pleura, kifoskoliosis, obesitas/sindroma pickwickan) (Grippi, 2008)..
Sedangkan untuk gangguan intrinsik paru terdiri dari : gangguan obstruktif difus
(emfisema, penyakit paru obstruktif kronik, asma, dan fibrosis kistik), gangguan restriktif
paru (fibrosis interstitial, sarkoidosis, skleroderma, edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik, ateletaksis, peneumonia konsolidasi), gangguan pembuluh darah paru
(emboli paru, emfisema berat) (Grippi, 2008).
Meskipun gangguan diluar paru, atau ekstrinsik merupakan sebab penting gagal napas,
namun gangguan intrinsik paru lebih penting. Obstruksi saluran napas kronik
mengakibatkan kegagalan ventilasi dengan PPOK sebagai penyebab tersering. Faktor
pencetus gagal napas akut pada pasien dengan penyakit paru kronik terdiri dari : infeksi
pada percabangan trakeobronkial, pneumonia, perubahan sekret trakeobronkial,
bronkospasme, gangguan kemampuan membersihkan sekret, sedatif, narkotik, anestesi,
terapi oksigen (FIO2 tinggi), trauma, kelainan kardiovaskular (gagal jantung, emboli
paru) dan pneumotoraks (Alfred P.Fishman et.all, 2008)
C. Tanda dan gejala
1. Tanda
Gagal nafas total
Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga

serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi


Adanya kesulitasn inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan

Gagal nafas parsial

Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan


whizing.
Ada retraksi dada

2.

Gejala
Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun)

D. Patofisiologi
Patofisiologi gagal nafas dibagi menjadi dua mekanisme, yaitu peristiwa hipoksemia dan
hiperkapnia

Hipoksemia

Istilah hipoksemia menunjukan PO2 yang rendah didalam darah arteri (PaO 2) dan dapat
digunakan untuk menunjukan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut
juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi
oksigen didalam hemoglobin. Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke
jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat
menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O 2
karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik atau keracunan karbon
monoksida, dimana PaO2 arterial dapat meningkat atau normal.
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama yaitu berkurangnya
PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika
darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen
selama perjalanan dipembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan
memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena
sistemik. Kadar PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila
semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai
keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO 2 = PAO2. Maka PO2 alveolar
(PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri dan semua nilai PO2 berada diantara P VO2 dan
PAO2 (Amin dkk, 2006).
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau peningkatan
jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal
(campuran vena) (Amin dkk, 2006).

Penurunan PO2 Alveolar


Tekanan total diruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O, dan PN2. Bila PH2O
dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan
penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan P AO2, yang
menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas diruang
alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan menunjukan hubungan antara PO 2
dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2/R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB adalah tekanan barometrik, dan R
adalah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukan rasio steady-state CO2 memasuki
dan O2 meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO 2 arteri sering digunakan
sebagai nilai perkiraaan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat.
Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2). Persamaan
gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan terjadi jika tekanan
barometrik total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah ( seperti saat
seseorang menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal
ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan
PaO2, perbedaan antara PO2 alveolar arteri adalah normal pada hipoksemia karena
hipoventilasi.
Hipoksemia yang berkaitan dengan hipoventilasi murni umumnya ringan (PaO 2 = 50
sampai 80 mmHg) dan langsung disebabkan oleh peningkatan PCO 2 alveolar (PaCO2).
Kejadian ini dapat dijelaskan dengan mengingat bahwa tekanan parsial alveolar atau gasgas darah pada seluruh arteri harus ditambahkan pada tekanan total (atmosfer). Dengan
demikian bila PaCO2 meningkat, PaO2 harus menurun, dan sebaliknya pada tekanan
atmosfer yang konstan (Loraine & A.Price, 2005).

Pencampuran Vena (Venous Admixture)


Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang mencapai arteri
tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO2 alveolar-arterial

(P(A-a)O2) meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran


darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO 2 alveolar arterial normalnya
sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi
tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena, yang
dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik
tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah
pencampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2 diantara
PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena : kolaps lengkap atau atelektasis
salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan, penyakit jantung
kongenital dengan defek septum, dan ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat,
atelektaksis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.
Pertanda terjadinya pirau kanan ke kiri adalah : hipoksemia berat dalam pernapasan udara
ruangan, sedikitnya peningkatan PaO2 dengan tambahan oksigen, dibutuhkannya FiO2 >
0,6 untuk mencapai PaO2 yang diinginkan, PaO2 < 55 mmHg saat mendapat O2 100%.
Jika PaO2 < 55 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan
ke kiri.

Hiperkapnia

Kegagalan napas hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi saja atau
gabungan

dengan

salah

satu

atau

semua

mekanisme

hipoksemia

seperti

ketidakseimbangan V/Q, pirau, atau mungkin gangguan difusi. Kegagalan pada ventilasi
murni terjadi pada gangguan ekstrapulmonal yang melibatkan kegagalan kendali saraf
atau otot-otot pernapasan. Contoh klasik gagal napas hiperkapnia adalah PPOK dan
melibatkan ketidakseimbangan V/Q dan hipoventilasi.
Hipoventilasi Alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO 2 dari proses metabolik setiap
menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO 2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika
keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas dikedua paru,
sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan dialveolus selama semenit
(ventilasi alveolar), didapatkan rumus :
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VA (L/men) X 1/863

Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO 2 dan VA menggambarkan
hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 dan VA berhubungan terbalik. Jadi hiperkapnia selalu
ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi
alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya
dapat dibuat dengan menggunakan rumus PaCO2 diatas.
Ventilasi Semenit
Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang ( dan PaCO 2 meningkat).
Meskipun VA tidak dapat diukur secara langsung, jumlah total udara yang bergerak
masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan
sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap
bahwa VE merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam
pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead space ventilation, VD).
VE = VA + VD VA = VE VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) X VE (L/men) X (1-VD/VT)/863
VD/VT menunjukan derajat insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal yang
sedang istirahat sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam
pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut pertukaran
udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga. Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar)
terjadi saat : nilai VE dibawah normal, nilai VE normal/tinggi tetapi rasio VD/VT
meningkat, dan nilai VE dibawah normal dan rasio VD/VT meningkat.
Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam
paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran udara
dengan darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis, jalan
napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan
ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru,
sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis.
Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah aliran darah
regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching). Walaupun V/Q mismatching
umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan hiperkapnia, tetapi secara
teori juga akan meningkatkan PaCO2. Kenyataannya dalam hampir semua kasus, kecuali
dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi,

mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak


menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan VE.
E. Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakan otot aksesori pernapasan
c. Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
d. Papiledema
e. Penurunan haluaran urine
4. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klien, dengan penilain GCS, dengan
memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
5. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat, tampak lemah,
adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat secara objektif.
F. Secondary survey
( Menurut pengumpulan data dasar oleh Doengoes, 2000)
1. Sistem kardiovaskuler
Tanda : Takikardia, irama ireguler
S3S4/Irama gallop
Daerah PMI bergeser ke daerah mediastinal
Hammans sign (bunyi udara beriringan dengan denyut jantung menandakan
udara di mediastinum)
TD : hipertensi/hipotensi
2. Sistem pernafasan
Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru ,
keganasan, lapar udara, batuk
Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot asesori,
penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi : hiperesonan di
atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area berisi cairan (hemotorak);
perkusi : pergerakan dada tidak seimbang, reduksi ekskursi thorak.
3. Sistem integumen
cyanosis, pucat, krepitasi sub kutan; mental: cemas, gelisah, bingung, stupor

4. Sistem musculoskeletal
Edema pada ektremitas atas dan bawah, kekuatan otot dari 2- 4.
5. Sistem endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,
6. Sistem gastrointestinal
Adanya mual atau muntah. Kadang disertai konstipasi.
7. Sistem neurologi
Sakit kepala
8. Sistem urologi
Penurunan haluaran urine
9. Sistem reproduksi
Tidak ada masalah pada reproduksi. Tidak ada gangguan pada rahim/serviks.
10. Sistem indera
Penglihatan : penglihatan buram,diplopia, dengan atau tanpa kebutaan

tiba-tiba.
Pendengaran : telinga berdengung
Penciuman : tidak ada masalah dalam penciuman
Pengecap : tidak ada masalah dalam pengecap
Peraba : tidak ada masalah dalam peraba, sensasi terhadap panas/dingin

tajam/tumpul baik.
11. Sistem abdomen
Biasanya kondisi disertai atau tanpa demam.
12.
Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat menjalar ke
leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk
Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis
13.
Keamanan
Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat radiasi/kemoterapi
14. Penyuluhan/pembelajaran - Gejala : riwayat factor resiko keluarga dengan
tuberculosis
G. Diagnosa
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Pola nafas tidak efektif
Gangguan pertukaran gas
Kelebihan volume cairan
Gangguan perfusi jaringan
H. Penanganan KGD
1. Airway management
- Endotrakeal intubasi jika, kondisi hipoksemia dan perubahan status
mental
2. Koreksi hipoksemia
- Pemberian O2 melalui nasal kanul, face mask,intubasi dan mekanikal
-

ventilator
PaO2 >60mmHg

3.
4.

5.
6.

- Arterial saturation >90%


Koreksi hiperkapnia
- Kontrol penyebab
- Kontrol O2 untuk mempertahankan saturasi >90%
Mekanikal ventilasi
Membantu atau mengontrol pernafasan
Indikasi
- Persistence hypoxemia
- despite O2 supply
Penurunan kesadaran
Hypercapnia dengan
- asidosis (pH< 7.2)
- peningkatan PaO2
- penurunan PaCO2
- fatigue pada otot pernafasan
PEEP
Pengobatan penyebab lain
Setelah koreksi hipoksemia dan stabilisasi hemodinamik dapat diberikan
antibiotik, bronkodilator, antikolinergik, diuretik, cairan dan elektrolit serta

dukungan nutrisi.
I. Clinical Pathway

J. Referensi
Alfred P.Fishman et All. 2008. Fishmans PULMONARY DISEASES AND DISORDERS.
4thedition. Philadelpia.. Page 2509-2520.
Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes (2006). Gagal Napas Akut, Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Keempat. Jilid I. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Hal
170-175
Brunner & Suddarth.2001. Buku ajar keperawatan medical bedah 8th ed. Jakarta : EBC.
Grippi Michael. 2008. Respiratory Failure: An Overview. The McGraw-Hill Companies
Loraine M.Wilson, Sylvia A.Price. 2005. PATOFISIOLOGI :Konsep klinis prosesproses penyakit. Volume 2. Edisi 6.Jakarta : EGC. halaman 824-835.

Anda mungkin juga menyukai