PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di negara
maju dan diperkirakan akan terjadi di negara berkembang pada tahun 2020
(Tunstall dkk,1994). Diantaranya, penyakit jantung koroner (PJK) merupakan
manifestasi terbesar dan dikaitkan dengan penyebab utama angka kematian serta
morbiditas yang tinggi. Gambaran klinis PJK termasuk iskemia tanpa gejala,
angina pektoris stabil, angina tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan
kematian mendadak. Pasien dengan keluhan nyeri dada mewakili jumlah pasien
terbanyak dari seluruh perawatan medis akut di Eropa (PERKI,2012). Nyeri dada
angina merupakan manifestasi klinis dari aterosklerosis koroner. Data di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 6 juta pasien setiap tahunnya datang ke
unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada. Sekitar 335.000 orang meninggal
dalam setahun oleh karena PJK di unit gawat darurat atau sebelum tiba di rumah
sakit. Banyak pasien yang meminta pertolongan dari dokter keluarga untuk
memberikan terapi namun seringkali terlambat (Katz dkk, 2006).
Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah bagian dari PJK dan merupakan
sindroma klinis yang terdiri dari infark miokard akut (IMA) dengan segmen ST
elevasi (IMA STE) atau IMA tanpa segmen ST elevasi (IMA non STE) serta
angina pektoris tidak stabil (APTS) (Tunstall dkk,1994; Antman dkk,2008;
PERKI,2012). Perkiraan pasti menunjukkan bahwa 1,7 juta pasien dengan SKA
datang ke rumah sakit di Amerika Serikat. Dari data ini, hanya 1/4 yang masuk
dengan IMA STE pada gambaran elektrokardiografi (EKG), dan 3/4 lainnya atau
kira-kira 1.4 juta pasien masuk dengan APTS atau IMA non STE. IMA STE
disebabkan oleh karena oklusi trombosis total secara akut pada arteri koroner dan
reperfusi segera merupakan terapi utama, sedangkan IMA non STE/APTS
biasanya berhubungan dengan obstruksi koroner yang berat namun tidak terjadi
oklusi total pada arteri koroner yang terlibat (Libby,1995). Diantara pasien dengan
APTS/ IMA non STE, sebanyak 40% memiliki angka kejadian infark miokard
disertai dengan peningkatan kadar enzim jantung yaitu troponin (Christoper &
Braunwald,2005; Findlay dkk,2005).
Hasil dari Euro Heart Survey of ACS (Carlo dkk,2011) dan data registrasi
internasional yang besar seperti Global Registry of Acute Coronary Events
(GRACE), menekankan prognosis yang tidak di duga pada pasien dengan SKA,
yang melibatkan lebih dari 22.000 pasien SKA ternyata menunjukkan peningkatan
prognosis rata-rata kejadian sebanding dengan derajat tingkat keparahan penyakit
yang menyertainya. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 30% pasien dengan
IMA non STE dan 20% pasien dengan APTS mengalami komplikasi mayor
(kematian atau sindroma koroner non-fatal) selama tahun pertama setelah
perawatan di rumah sakit (van der Welf dkk,2003).
Sebanyak 66% dari komplikasi mayor setelah serangan IMA muncul
dalam 30 hari. Untuk angka hidup pasien yang dirawat inap dipengaruhi secara
bermakna oleh usia lanjut dan disfungsi ventrikuler, serta serangan ulangan infark
miokard dan aritmia. Hasil jangka panjang dari penelitian GRACE juga
menunjukkan hasil akhir yang buruk pada pasien dengan SKA, yaitu satu dari
lima pasien kembali masuk ke rumah sakit untuk kejadian PJK dalam 6 bulan
pengamatan dan kira-kira 15% telah dilakukan revaskularisasi. Uji coba klinis
yang terbaru, mengindikasikan bahwa strategi klinis dengan stratifikasi risiko
yang sangat berhati-hati dikombinasikan dengan pemberian terapi medis yang
optimal dan revaskularisasi pada pasien-pasien yang terseleksi, ternyata dapat
meningkatkan hasil akhir klinis yang baik dalam jangka waktu singkat maupun
jangka waktu panjang (Levine dkk,2011). Hal ini terbukti dari angka kejadian
rerata kematian dan angka prevalensi yang menurun sangat cepat pada pasien
dengan IMA STE di beberapa negara. Ini juga disebabkan oleh karena adanya
perbaikan pada perawatan di ruang rawat jantung dan prevensi sekunder dengan
mengontrol faktor risiko PJK yang lebih baik pada (Koon-Hou & Topol, 2000).