Anda di halaman 1dari 12

7.

Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien agitasi didasarkan pada empat prinsip utama yaitu tindakan
keselamatan, intervensi verbal, pengekangan fisik dan farmakologis.
A. Tindakan keselamatan
Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan pasien, staf, keluarga, orang sekitar.
Tindakan yang dilakukan saat dokter untuk melakukan pendekaan terhadap
pasien, yaitu :
a. Pastikan kehadiran penjaga keamanan (di rumah, kamar atau rumah sakit saat
konsultasi). Pasien harus diberitahu tentang situasi tersebut. Kehadiran
penjaga keamanan akan mencegah pasien melakukan tindakan agresif.
b. Jika pasien berada di dalam ruang konsultasi atau ruang kerja, jalan keluar
harus direncanakan dalam kasus perilaku kekerasan. Ruangan sebaiknya harus
lebar, dengan dua pintu keluar dan pintu tersebut tidak bisa dikunci dari
dalam. Jika memungkinkan, bel alarm harus tersedia dekat dengan dokter.
Pasien tidak boleh ditempatkan pada sudut atau tempat yang jauh. Diperlukan
tindakan pencegahan dengan menjauhkan benda-benda yang dapat digunakan
sebagai senjata, termasuk pensil dan asbak.
c. Hindari kontak dekat dengan pasien. Pasien tidak ditempatkan diantara dokter
dan pintu keluar.
d. Hindari tindakan membelakangi pasien.
e. Buat suasana setenang mungkin, menghindari rangsangan eksternal, seperti
musik, berteriak, lampu terang
f. Waspadai tanda-tanda tindakan yang tiba-tiba
B. Intervensi verbal
Intervensi pertama yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan dialog dengan
pasien. Dalam fase ini, seorang anggota keluarga atau pendamping dapat
dilibatkan. Tindakan ini efektif dalam kasus-kasus ringan sampai sedang, dan
terutama dengan pasien gangguan jiwa. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu :
a. Memperkenalkan diri sebagai dokter
b. Hormati ruang pribadi pasien dengan klinisi
Minimum jarak 2 lengan
Bila pasien memiliki gejala paranoid, jarak lebih diperlebar
c. Memberikan informasi. Pasien harus diinformasikan mengenai tindakan yang
diambil. Hindari ancaman dan pemberian harapan.
d. Bersikap meyakinkan tetapi tegas (tampak tenang dan mengendalikan situasi).
Gunakan suara yang monoton
Wajah dan sikap tubuh tenang ( tidak menyilangkan kaki atau tangan)

e. Gunakan percakapan yang tenang, pertanyaan pendek dan diulang hingga


dapat dimengerti oleh pasien, aktif mendengarkan pasien, menghindari
konfrontasi atau perlawanan terhadap ide atau sikap pasien.
f. Menghindari kontak mata berkepanjangan.
g. Mencoba untuk menawarkan sesuatu (makan atau minum) yang dapat
mendukung dialog
h. Waspadai tanda-tanda perilaku kekerasan seperti peningkatan volume suara,
penggunaan bahasa yang kasar, ketegangan otot (mencengkeram kursi),
gugup, hiperaktif (menggosok tangan, berjalan mondar-mandir). Tanda yang
paling penting dari perilaku kekerasan adalah aktivitas motorik pasien.
i. Kehadiran anggota keluarga harus dipertimbangkan. Keluarga dapat
memberikan informasi mengenai pasien seperti riwayat pasien , riwayat
penyalahgunaan zat, keadaan keluarga pasien, kehidupan sosial pasien dan
keadaan pasien sekarang.
C. Pengekangan Fisik
Pengekangan fisik digunakan sebagai pilihan terakhir ketika tindakan lain gagal.
Namun, pengekangan fisik menjadi tindakan pertama dalam kasus agitasi ekstrim
dengan risiko agresi atau percobaan bunuh diri. Pengekangan fisik juga
diindikasikan pada pasien yang perilakunya gelisah dan menghambat tindakan
terapeutik. Sebelum menerapkan pengekangan fisik, pasien harus diberitahu
tentang alasan dan pilihan terapi yang diambil, memberikan pilihan terapi
farmakologi.
Metode pengekangan mekanis fisik
a. Prinsip dasar adalah tindakan pengekangan fisik merupaka indakan
professional, dokter sebagai pengarah tindakan (pemimpin) dan bertanggung
jawab terhadap pasien.
b. Menentukan rencana, satu orang berada di belakang kepala pasien dan staf
lain akan memegang anggota tubuh pasien. Semua staf harus memakai
sarung tangan.
c. Pasien diturunkan ke lantai, menghadap ke atas. Dokter memberikan
instruksi, memegang dan melindungi kepala pasien. Staf lain menahan
anggota badan pasien (Gambar 2) dan memastikan imobilitas bahu, siku dan
lutut (Gambar 3 dan 4) serta pada saat yang sama mengurangi risiko cedera,
terutama patah tulang. Jika pasien gelisah, pasien diangkat melalui lutut dan
siku dan didukung di bawah bahu, kemudian ditempatkan di tempat tidur.
Pergelangan tangan dan pergelangan kaki diikat.Beberapa penulis

merekomendasikan posisi decubitus lebih baik daripada posisi terlentang


karena menghindari trauma kepala terhadap permukaan keras dari tempat.

D. Terapi farmakologis
Tidak ada jenis obat yang dianggap terbaik untuk semua kasus agitasi, tetapi
tiga kelas umum obat paling sering diteliti dan digunakan untuk agitasi yaitu
antipsikotik generasi pertama, generasi kedua antipsikotik, dan benzodiazepin.

Antipsikotik Generasi Pertama

Antipsikotik generasi pertama atau tipikal (FGA) memiliki sejarah


panjang penggunaan untuk pengobatan agitasi. Mekanisme FGAs untuk
menurunkan gejala tidak diketahui pasti tetapi diperkirakan FGAs
menghambat transmisi dopamin pada otak manusia yang dapat mengurangi
gejala psikotik yang mendasari penyebab agitasi. Selain itu, beberapa FGAs
secara struktur memiliki kemiripan dengan neurotransmitter inhibisi asam
gammaaminobutira (GABA) dan berinteraksi dengan GABA reseptor pada
manusia dalam dosis tinggi.
Fenotiazin merupakan kelas obat antipsikotik dengan potensi rendah
seperti klorpromazin (Thorazine). Fenotiazin merupakan FGA pertama yang
disetujui dan dipasarkan oleh US Food and Drug Administration (FDA) dan
memiliki kecenderungan untuk menyebabkan hipotensi, antikolinergik, dan
menurunkan ambang kejang dibandingkan dengan FGAs seperti haloperidol.
Dengan demikian, fenotiazin tidak dipilih untuk pengobatan agitasi akut.
Haloperidol merupakan FGA dengan potensi tinggi. Haloperidol
merupakan turunan butirophenone yang bekerja sebagai antagonis selektif
pada reseptor dopamin-2 (D2). Haloperidol disetujui FDA untuk penggunaan
oral atau intramuskular pada skizofrenia, efektif dan aman untuk pengobatan
agitasi akut. Haloperidol merupakan FGA yang paling umum digunakan saa
ini untuk mangatasi agitasi akut. Droperidol, turunan butirophenone lain yang
bekerja menghambat reseptor D2 belum disetujui untuk digunakan dalam
pengobatan psikiatri tetapi disetujui sebagai pengobatan pra-anastesi untuk
mengurangi mual dan muntah yang berhubungan dengan anestesi. Droperidol
juga telah digunakan secara luas untuk mengobati agitasi.
Haloperidol dan droperidol memiliki efek minimal aktivitas
antikolinergik dan memiliki interaksi minimal dengan obat nonpsikiatri lain.
Namun, kedua obat memiliki efek samping yang penting. Droperidol dan
haloperidol berpotensi menganggu kerja jantung yaitu dengan memperpanjang
interval QTc. Penggunaan haloperidol dan droperidol harus dipantau terutama
bagi pasien yang meminum obat lain yang dapat memperpanjang interval
QTc, pasien yang sudah memilik kelainan jantung sebelumnya, atau pasien
yang memiliki predisposisi perpanjangan interval QTc seperti
ketidakseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia dan hipomagnesemia),
atau hipotiroidisme. Penggunaan haloperidol yang diberikan secara intravena,

harus dilakukan pembatasan dosis menjadi 5 sampai 10 mg / hari dan


diberikan dalam pemantauan EKG
Selain efek samping pada jantung, haloperidol dan droperidol
memiliki risiko efek samping sindrom ekstrapiramidal (EPS) seperti distonia
atau sindrom neuroleptik maligna. Dosis obat yang tinggi juga dapat
menyebabkan reaksi katatonik karena blokade dopamin sentral yang
berlebihan. Gejala EPS terjadi pada 20% pasien agiasi yang diobati dengan
haloperidol dan 6% pasien agitasi diobati dengan kombinasi haloperidol dan
lorazepam. Pengobatan kombinasi lebih cepat menurunkan gejala agitasi.
Haloperidol sering diberikan dalam kombinasi dengan obat lain seperti
lorazepam, prometazin, atau difenhidramin. Haloperidol menjadi obat pilihan
pada agitasi dengan keracunan alkohol. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengatasi agitasi pada psikotik yaitu 2-5 mg intramuscular untuk haloperidol
yang diberikan setiap 1-4 jam. Pemberian haloperidol diberikan bersamaan
dengan lorazepam 2 mg inramuskular atau clorpromazin 25-50 mg
intramuscular setiap 1-4 jam.

Tabel 7.

Perbedaan

efek

samping

antipsikotik tipikal potensi tinggi dengan antipsikotik tipikal potensi rendah


Antipsikotik Generasi Kedua
Antipsikotik atipikal atau disebut juga dengan antipsikotik generasi
kedua (SGA). Generasi ini mulai dikembangkan pada tahun 1990 dan
digunakan dalam onset akut. Olanzapin (Zyprexa), ziprasidon (Geodon), dan
aripiprazol (Abilify) digunakan dalam bentuk injeksi intramuscular dan oral.
Risperidon (Risperdal) dan quetiapin (Seroquel) tersedia dalam bentuk oral.
Obat-obat ini bekerja sebagai antagonis pada reseptor D2 dan bekerja
sebagai antagonis pada reseptor serotonin 2A (5-HT2A). Selain itu,

antipsikotik atipikal bekerja pada reseptor jenis lain, seperti histamin,


norepinefrin reseptor. Ziprasidon memiliki afinitas tinggi untuk reseptor
serotonin dibandingkan dengan reseptor D2. Olanzapin dan quetiapin
memiliki afinitas yang relatif lebih tinggi untuk reseptor histamin. Secara
umum, SGAs memiliki risiko efek samping distonia atau akatisia yang rendah
(1%).
Sejumlah studi yang membandingkan kombinasi antipsikotik oral.
Kombinasi risperidone dan lorazepam memiliki efek yang sama dengan
haloperidol dan lorazepam yang diberikan secara injkesi intramuscular.
Risperidone oral meiliki efek yang sama dengan haloperidol intramuskular.

Benzodiazepin
Benzodiazepin seperti diazepam , lorazepam dan clonazepam bekerja
sebagai inhibisi reseptor neurotransmitter GABA utama pada otak manusia .
Obat-obat ini memiliki keberhasilan untuk mengatasi agitasi dan dipilih pada
pasien agitasi dengan intoksikasi atau ketika etiologi agitasi belum ditentukan.
Namun pada agitasi dengan psikosis , benzodiazepin hanya bekerja sementara
dan tidak mengobati penyakit yang mendasari agitasi . Selain itu, obat-obat ini
memiliki dampak sedasi yang tinggi dan memiliki potensi depresi pernapasan
atau hipotensi bila digunakan secara parenteral pada pasien dengan gangguan
pernapasan dan diberikan dengan kombinasi obat-obat yang memiliki efek
depresi SSP.

Pedoman Khusus untuk Penatalaksanaan Agitasi


Rekomendasi Umum
I. Penggunaan obat-obatan yang digunakan sebagai pengendalian (membatasi
gerakan). Dokter harus menentukan diagnosa penyebab dari agitasi dan
menentukan obat sesuai penyebab agitasi.
II. Pendekatan nonfarmakologis seperti intervensi verbal dan mengurangi stimulasi
lingkungan ( ruangan yang tenang, pencahayaan yang rendah) harus dilakukan
sebelum memulai terapi farmakologi.
III. Obat harus digunakan untuk menenangkan pasien, tidak untuk membuat pasien
tidur.
IV. Pasien harus dilibatkan dalam proses pemilihan obat (misalnya oral atau
intramuskular).
V. Disarankan penggunaan obat oral jika pasien kooperatif

Agitasi Karena Intoksikasi


1. Obat
Untuk intoksikasi terkait obat-obatan digunakan benzodiazepin sebagai
pengobatan lini pertama. Pengobatan lini kedua pada pasien ini menggunakan
antipsikotik atipikal.
2. Alkohol
Obat untuk mengobati agitasi terkait dengan intoksikasi alkohol harus digunakan
sesuia indikasi. Penggunaan benzodiazepin harus dihindari karena potensi untuk
depresi pernapasan. Pengguaan antipsikotik dipilih untuk kasus ini. Haloperidol
memiliki keamanan dan memiliki efektifitas yang baik sertia dan memiliki efek
samping minimal terhadap pernapasan. Antipsikotik generasi kedua, seperti
olanzapine dan risperidone belum diteliti dengan baik untuk intoksikasi alkohol.

Agitasi pada Gangguan Psikiatri


1. Pada agitasi dengan gangguan psikiatri (misalnya, skizofrenia,gangguan
skizoafektif, gangguan bipolar) digunakan antipsikotik daripada benzodiazepin
untuk mengobati gengguan psikiatri yang mendasari.
2. Antipsikotik generasi kedua lebih dipilih untuk mengaasi agitasi akut daripada
haloperidol. Risperidone oral memiliki keamanan dan memiliki efektifitas untuk
mengatasi agitasi akut. Pada pasien yang tidak kooperatif untuk menerima obat
oral, dipilih ziprasidone intramuskular atau olanzapine intramuskular untuk
mengatasi agitasi akut.

3. Jika dosis awal antipsikotik tidak cukup untuk mengontrol agitasi, penambahan
benzodiazepin seperti lorazepam lebih dipilih untuk dosis tambahan dari
antipsikotik yang sama atau antipsikotik kedua.

Agitasi Terkait dengan Delirium


1. Delirium adalah sindrom klinis yang berbeda yang sering dikaitkan dengan
psikosis dan agitasi. Delirium merupakan gangguan medis yang mempengaruhi
perubahan fungsi otak secara cepat. Hal ini dapat terjadi akibat dari penghentian
suatu zat secara tiba-tiba (alkohol atau obat-obatan ) atau konsumsi awal dari obat
atau obat, seperti antikolinergik pada pasien lanjut usia.
2. Pada delirium terjadi penurunan tingkat kesadaran dan gangguan dalam perhatian
dan kognisi (memori) dalam onset akut (jam sampai hari) . Pada delirium terjadi
halusinasi visual atau gangguan persepsi visual
3. Jika penghentian alkohol atau benzodiazepine adalah penyebab delirium , maka
benzodiazepin merupakan obat pilihan.Clonidin juga dapat membantu dalam
mengurangi dampak penghentian alkohol atau benzodiazepin, sehingga dapat
mengurangi delirium dan agitation.
4. Jika penghentian zat lain diduga sebagai penyebab delirium, maka dipilih zat lain
yang memiliki sifat farmakologis serupa dengan zat sebelumnya ( nikotin pada
penghentian nikotin).
5. Jika konsumsi zat baru merupakan penyebab delirium, maka gejala delirium akan
mengilang dengan sendirinya. Namun, memerlukan terapi farmakologis untuk
mengaasi agitasi.
6. Bila kelainan medis yang mendasari (hipoglikemia ,ketidakseimbangan elektrolit ,
hipoksia ) maka dilakukan pengobatan pada penyakit yang mendasari untuk
mengatasi delirium dan agitasi
7. Penggunaan terapi farmakologis secara langsung diperlukan pada pasien agitasi
dengan delirium bukan karena alkohol , penghentian benzodiazepine atau
kekurangan tidur. Dipilih penggunaan antipsikotik generasi kedua. Haloperidol
juga dapa digunakan dengan dosis rendah. Benzodiazepin harus dihindari karena
dapat memperburuk delirium.

Agitasi dengan Penyebab yang Tidak Diketahui atau Lebih dari Satu Penyebab
Pada pasien tidak menampilkan gejala psikosis (halusinasi, delusi berpikir, paranoid),
direkomendasikan benzodiazepin sebagai pengobatan lini pertama. Antipsikotik
dianjurkan pada pasien yang yang menampilkan gejala psikotik.

HLD:
haloperidol
LRZ: lorazepam
OLZ: olanzapine
ZIP: Ziprasidone

Should initial treatment fail to produce an


adequate response after 2-4 hours (see table
opposite side for dosing frequency), options
include:
Give another dose of same medication if partially
effective, or a different medication if first
medication ineffective
Give a dose of lorazepam if first medication was
an antipsychotic
Give a combination of the same antipsychotic and
lorazepam (except olanzapine)

8.

Edukasi
Memulai peran serta masyarakat

Terapi dg peran serta masyarakat


Rehabilitasi misalnya pelatihan cara bersosialiasi, terapi kognitif dan perilaku
Pasien membentuk kelompok bagaimana cara untuk membantu diri sendiri secara
mandiri, perkumpulan bagaimana cara memperlakukan diri dan perkumpulan para
kerabat (dibentuk oleh orang tua pasien)

Terapi individual

9.

Dukungan dan orientasi tilikan


Pendekatan individual berdasarkan kondisi klinik, mencetak kemampuan dan
preference Peran serta keluarga
Mengikutsertakan keluarga dalam rencana terapi, mencapai tujuan dan pelayanan
Menyediakan bimbingan, dukungan, petunjuk dan pelatihan untuk membina
keluarga memenuhi peran mereka sebagai caregivers
Dukungan
kelompok
untuk
keluarga
seharusnya
dianjurkan
Terapi kelompok
psikoterapi dan dukungan kelompok membantu kelangsungan penyelesaian masalah,
rencana tujuan, interaksi sosial dan efek samping pengobatan

Prognosis
Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi lama perjalanan
penyakit sukar diramalkan hanya dengan melihat dari satu episode akut saja. Agitasi
yang membahayakan pasien, keluarga atau masyarakat, memerlukan hospitalisasi atau
pengawasan ketat di suatu tempat yang aman. Jika pasien menolak pengobatan, mungkin
diperlukan tindakan dengan bantuan perawat kesehatan jiwa masyarakat dan perangkat
desa serta keamanan setempat

DAFTAR PUSTAKA
Baker, Stephanie N. 2012. Management of Acute Agitation in the Emergency Department.
Wolter Kluwer Health. Vol. 34, No. 4, pp. 306318
Sadock, Benjamin And Sadock, Virginia. Buku Ajar Psikatri Klinis. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Ed 2

Anda mungkin juga menyukai