Anda di halaman 1dari 15

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunianya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini merupakan tugas yang diberikan
oleh dosen pengampu mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar dan wajib dikerjakan oleh
mahasiswa.
Penulisan makalah ini berjudul Manusia, Keragaman dan Kesetaraan. Alasan
penulisan makalah ini adalah sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
yang harus dipresentasikan sebagai materi untuk dipelajari oleh mahasiswa.
Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan didalam penulisan makalah ini.
Karenanya penulis sangat menghargai kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga makalah yang jauh dari sempurna ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Penulis,

Kelompok V

DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A.

Latar Belakang............................................................................................ 1

B.

Rumusan Masalah....................................................................................... 1

C.

Tujuan.......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
A. Keragaman.................................................................................................. 3
B.

Kesetaraan.................................................................................................. 3
1. Konsep dan Isu Gender..........................................................................6
2. Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).................................................8
3. Pengarusutamaan Gender (PUG)...........................................................9
4. Gender Dalam Kurikulum dan Proses Pendidikan.................................10

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 12


A.

Kesimpulan................................................................................................ 12

B.

Saran......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan
dan keragaman.Konsep kesetaraan (equity) bisa dikaji dengan pendekatan formal dan
pendekatan substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji kesetaraan berdasarkan
peraturan-peraturan yang berlaku, baik berupa undang-undang, maupuin norma,
sedangkan pendekatan substantif mengkaji konsep kesetaraan berdasarkan keluaran /
output, maupun proses terjadinya kesetaraan.
Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender, status, hirarki sosial, dan
berbagai hal lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta persamaanpersamaan.Sedangkan konsep keragaman merupakan hal yang wajar terjadi pada
kehidupan dan kebudayaan umat manusia.Kalau kita perhatikan lebih cermat,
kebudayaan Barat dan Timur mempunyai landasan dasar yang bertolak belakang.Kalau
di Barat budayanya bersifat antroposentris (berpusat pada manusia) sedangkan Timur
menunjukkan ciri teosentris (berpusat pada Tuhan).
Dengan demikian konsep-konsep yang lahir dari Barat seperti demokrasi,
mengandung elemen dasar serba manusia, manusia-lah yang menjadi pusat perhatiannya.
Sedangkan Timur mendasarkan segala aturan hidup, seperti juga konsep kesetaraan dan
keberagaman, berdasarkan apa yang diatur oleh Tuhan melalui ajaran-ajaran-Nya
Penilaian atas realisasi kesetaraan dan keragaman pada umat manusia, khususnya
pada suatu masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur universal kebudayaan pada
berbagai periodisasi kehidupan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan keragaman dan kesetaraan?
2. Bagaimanakah konsep dan isu gender?
3. Bagaimana kesetaraan dan keadilan gender?
4. Bagaimana Gender dalam kurikulum dan proses pendidikan?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui arti keragaman dan kesetaraan
2. Mahasiswa dapat memahami konsep dan isu gender
3. Mahasiswa dapat mengetahui kesetaraan dan keadilan gender
4. Mahasiswa dapat memahami Gender dalam kurikulum dan proses pendidikan
1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Keragaman
Keragaman manusia bukan berarti manusia itu bermacam-macam atau berjenis-jenis
seperti halnya binatang dan tumbuhan. Manusia sebagai mahluk Tuhan tetaplah berjenis
satu. Keragaman manusia dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan.
Perbedaan itu ada karena manusia adalah mahluk individu yang setiap individu memiliki
ciri-ciri khas tersendiri. Perbedaan itu terutama di tinjau dari sifat-sifat pribadi, misalnya
sikap, watak, kelakuan, temperamen, dan hasrat. Contoh, sebagai mahasiswa baru kita
akan menjumpai teman-teman mahasiswa lain dengan sifat dan watak yang beragam.
Dalam kehidupan sehari-hari kita akan menemukan keragaman akan sifat dan ciri-ciri
khas dari setiap orang yang kita jumpai. Jadi manusia sebagai pribadi adalah unik dan
beragam. Selain mahluk individu, manusia juga mahluk social yang membentuk
kelompok persekutuan hidup. Tiap kelompok persekutuan hidup manusia juga beragam.
Masyarakat sebagai persekutuan itu berbeda dan beragam karena ada perbedaan,
misalnya dalam hal ras, suku, agama, budaya, ekonomi, status sosial, jenis kelamin,
daerah tempat tinggal, dan lain-lain. Hal-hal demikian kita katakan sebagai unsur-unsur
yang membentuk keragaman dalam masyarakat. Keragaman manusia baik dalam tingkat
individu di tingkat masyarakat merupakan tingkat realitas atau kenyataan yang meski
kita hadapi dan alami. Keragaman individual maupun social adalah implikasi dari
kedudukan manusia, baik sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Kita sebagai
individu akan berbeda dengan seseorang sebagai individu yang lain. Demikian pula kita
sebagai bagian dari satu masyarakat memiliki perbedaan dengan masyarakat lainnya.

B. Kesetaraan
Kata kesetaraan berasal dari kata benda tara yang mengandung arti sejajar
(sama tingginya), sama tingkatnya (kedudukannya, dsb), sepadan dan seimbang. (KBBI,
2007:1143). Jadi kata kesetaraan mengandung arti kesejajaran, kesamaan tingkat atau
kedudukan, kesepadanan, dan keseimbangan.
Dihubungkan dengan pembicaraan tentang kemanusiaan, kata kesetaraan
mengandung arti kesamaan hak, terutama yang menyangkut kriteria hak-hak azasi
manusia.
Pada 10 desember 1948, PBB antara lain mengumumkan pernyaataan tentang hak
azasi manusia daklam deklarasi yang dikenal dengan sebutan Universal Declaration of
3

Human Rights. Dalam pernyataan (declaration) tersebut dinyatakan bahwa setiap orang
mempunyai hak : (1) Hidup, (2) diakui kepribadiannya, (3) hak atas kemerdekaan dan
keamanan badan, (4) hak memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut
hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana seperti dperiksa di muka
umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah.
Selanjutnya dicantumkan juga hak-hak (5) masuk keluar wilayah 1 negara, (6)
mendapatkan asylum, (7) mendapatkan suatu kebangsaan, mendapatkan hak milik atas
benda (9) bebas mengutarakan pikiran dan perasaan (10) bebas memeluk agama (11) hak
mengeluarkan pendapat (12) berapat dan berkumpul (13) mendapat jaminan sosial (14)
mendapatkan pekerjaan (15) berdagang (16) mendapatkan pendidikan (17) turut serta
dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat dan (18) menikmati kesenian dan turut
serta dalam kemajuan keilmuan. (Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas, 10
januari 2014).
Di Indonesia, UUD RI 1945, juga mencantumkan pasal-pasal mengenai
kesederajatan atau kesamaan. Pada 27 ayat 1 UUD 1945 dicantumkan bahwa : segala
warga negara bersamaan kedudukan didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Disini wacana
kesetaraan menyangkut pada bidang hukum.
Pasal-pasal lainnya juga menyinggung kesamaan hak baik dibidang pendidikan,
memperoleh pekrjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (Ps.27:2), ikut
serta dalam bela negara (Ps 27:3), berserikat dan berkumpul (Ps 28), mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan, membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan sah, memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Ps
28:3), memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Ps 28E:1), dan hak-hak
lainnya yang tercantum pada beberapa pasal (29-34) pada UUD 1945 tersebut.
Dari pernyataan dan teks UUD1945 yang dikutip diatas tampaklah bahwa masalah
kesamaan hak atau kesederajatan antara manusia sudah banyak dibicarakan bahkan
diundangkan diberbagai negara. Jika diamati lebih jauh, wacana kesamaan (equlity)/
kesederajatan/kesetaraan meliputi banyak aspek yang diiktiarkan umat manusia. Setelah
ditelaah lebih lanjut pengertian kesederajatan/kesamaan/kesetaraan dikaitkan juga
dengan wacana keadilan sosial dan ketidaksamaan penafsirannya.
Professor Mc Sherry, Direktur Yayasan Melbourne Equity Social Institute, 2014,
antara lain menulis, Keadilan Sosial (Civil Equity) terdengar seperti sebuah konsep
penting dan berharga, tetapi dapat berarti hal yang sangat berbeda bagi orang yang

berbeda. Memperlakukan orang persis sama dapat menyebabkan hasil yang tidak
sama.
Menurut Mc Sherry Memperlakukan orang dengan cara yang adil harus
memperhitungkan kebutuhan masing-masing. Bagian dari masalah dalam memcoba
untuk mendefinisikan konsep keadilan social adalah bahwa hal tersebut mencerminkan
gagasan Keadilan dan Kebenaran yang memiliki komponen normatif bahwa mereka
mendasarkan pendapatnya pada nilai-nilai atau pertimbangan moral. Apa yang dipikir
adil oleh seseorang, mungkin sangat berbeda dari apa dipikir adil oleh orang lain.
Selanjutnya di tegaskan bahwa, mereka yang bekerja di berbagai disiplin ilmu juga
mungkin memiliki konsepsi yang berbeda dari istilah. (Mc Sherry, 2014)
Cakupan pembicaraan tentang keadilan / kesetaraan / atau kesederajatan social
mencakup berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan sosial adalah suatu keadaan dimana
semua orang dalam masyarakat tertentu atau kelompok terisolasi memiliki status yang
sama dalam hal-hal tertentu. Paling tidak, kesetaraan sosial meliputi hak-hak yang sama
dibawah hukum, seperti kesamaan hak suara, kebebasaan berbicara dan berkumpul, hak
milik dan akses yang sama terhadap barang dan jasa sosial. Namun, itu juga mencakup
konsep kesetaraan kesehatan, kesetaraan ekonomi, dan jaminan social lainnya. Ini juga
termasuk peluang dan kewajiban yang sama, dan melibatkan seluruh masyarakat.
Kesetaraan sosial memerlukan adanya konsep penegakan hukum kelas sosial atau
warga pinggiran (Caste Boundaries) dan tidak adanya diskriminasi yang termotivasi oleh
bagian tak terpisahkan dari identitas seseorang. Misalnya, jenis kelamin, ras, usia,
orientasi seksual, asal, kasta atau kelas, penghasilan atau property, bahasa, agama,
keyakinan, pendapatan, kesehatan atau cacat, yang seharusnya tidak mengakibatkan
perlakuan tidak adil berdasarkan hukum dan tidak harus mengurangi peluang untuk
dibenarkan.
Kesetaraan sosial mengacu pada ranah sosial, bukan ekonomi, atau kesetaraan
pendapat. Kesempatan yang sama ditafsirkan sebagai dihakimi oleh kemampuan, yang
kompetibel dengan ekonomi pasar bebas. (Ibid)
Dari anekaragamnya lingkup bidang kehidupan yang dibicarakan dalam wacana
keragaman dan kesetaraan, pokok bahasan pada tema ini akan lebih dipokuskan pada
masalah : kesetaraan dan keadilan gender (KKG) serta pengarusutamaan gender (PUG)
dalam pendidikan.

1.

Konsep dan Isu Gender


Gender adalah perbedaan peran,sifat, tugas,

fungsi dan tanggungjawab

antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Kata Gender seringkali dimaknai
salah dengan pengertian jenis kelamin seperti halnya seks, arti itu kurang tepat.
Secara terminologi, Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
mengindefikasikan perbedaaan laki-laki dan perempuan.
(Sumber:http://www.scribd.com/doc/29426547/Kumpulan-Makalah-Gender)
Berbagai literatur yang membahas mengenai gender antara lain dikemukakan
oleh Megawangi (1999), Darahim (2000), dan literatur lainnya, seperti Kumpulan
Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender (PUG) (2000), Pusat
Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan (2001), dan lain-lain,
menyimpulkan bahwa seks dan gender merupakan konsep yang berbeda.
Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki
yang telah ditentukan Tuhan. Oleh karena itu tiak dapat diubah dan sudah berlaku
lahir dan berlaku selamanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender
berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
berperan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya ditempat mereka berada.
(Sumber:http://www.scribd.com/doc/29426548/Kumpulan-Makalah-Gender)
Istilah gender diketengahkan oleh ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan
antara perempuan dan laki-laki mana yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan
dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan
disosialisasikan. Dengan mengenali perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak
tetap memudahkan kita untuk menggambarkan realita relasi perempuan dan lakilaki yang dinamis yang lebih tepat dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Isu gender diartikan sebagai masalah yang menyangkut ketidakadilan
yang berdampak negatif bagi perempuan dan laki-laki, terutama terhadap
perempuan sendiri. Dalam pembangunan, isu gender mencuat karena terjadi
kesenjangan antar pelaku pembangunan maupun penikmat/pemanfaat hasil
pembangunan. Sebagai akibatnya perempuan mendapat dampak negatif yang lebih
besar. Hal ini disebabkan oleh diabaikannya kenyataan perbedaan peran dan
hubungan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki.
Ketidakadilan dan diskriminasi gender yang dapat ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari adalah :
Marginalisasi (peminggiran/pemiskinan)
6

Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi


dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong
halaman, eksploitasi. Namun kemiskinan atas perempuan maupun laki-laki
yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang
disebabkan

gender.

Sebagai

contoh,

perkembangan

teknologi

telah

menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan


diambil alih oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
(http://www.scribd.com/doc/29426547/Kumpulan-Makalah-Gender)

Subordinasi (Penomorduaan)
Subordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap
lebih penting dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada
pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah
dari laki-laki. Sebagai contoh, apabila seorang istri yang hendak bepergian ke
luar negeri harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi
tidak perlu izin dari istri.
(http://www.scribd.com/doc/29426547/Kumpulan-Makalah-Gender)

Pandangan Stereotype
Stereotype adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak
sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Stereotype berdasarkan pengertian
gender yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, hal ini mengakibatkan
terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Sebagai
contoh, apabila seorang laki-laki marah, ia diaanggap tegas, tetapi bila
perempuan yang marah dianggap emosional dan tiak dapat menahan diri.
(http://www.scribd.com/doc/29426547/Kumpulan-Makalah-Gender)

Kekerasan
Kekerasan yang terjadi berupa serangan fisik, seksual dan psikis.
Perempuan adalah yang paling rentan mengalami kekerasan, contohnya
perkosaan,pelecehan seksual,pemukulan istri/pacar, atau pembatasan hak.

Beban Ganda
Beban ganda yaitu tugas dan tanggung jawab perempuan yang berat dan
terus menerus. Misalnya seorang ibu selain harus melakukan peran biologisnya
seperti hamil, melahirkan, dan menyusui, juga harus melayani suami, anak
7

bahkan keluarga lainnya, tercakup didalamnya peran merawat dan mengurus


rumah tangga.

2.

Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG)


Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial
budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nosional (hamkamnas), serta
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sedangkan Keadilan
gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
(Sumber:http://www.scribd.com/doc/29426548/Kumpulan-Makalah-Gender)
Keadilan dan kesetaraan gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai kesempatan yang sama terhadap pelayanan serta memiliki
status sosial dan ekonomi yang seimbang.
Dalam Pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warganegara, baik
perempuan maupun laki-laki mendapatkan kesempatan setara untuk mengecap
pendidikan. Sejalan dengan itu, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu system pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003. Undang-Undang tersebut memberikan dasar hukum untuk membangun
pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi,
keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dalam rangka menindaklanjuti Gender Mainstreaming (GMS), pemerintah
mengeluarkan INPRES nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender di
semua sector, tidak terkecuali sektor pendidikan. Sektor pendidikan merupakan
sektor yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender,
karena dalam jangka panjang diharapkan melalui pendidikan dapat terbentuk
manusia Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
Untuk itu diperlukan upaya yang terus-menerus dan berkesinambungan agar
penanaman nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender dapat mengakar dalam tata
kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya pada anak-anak didik sebagai penerus
bangsa.
8

Guru-guru sekolah merupakan sumber belajar yang mempunyai peranan


penting dalam menghindari terjadinya ketimpangan gender atau steriotipe gender
yang akan berdampak negative dalam upaya pencapaian keadilan. Guru juga dapat
menjadi agen yang dianggap sangat strategis dan instrumental dalam pembentukan
kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa yang mendorong tercapainya nilai-nilai
keadilan dan kesetaraan gender. Melalui guru yang mempunyai wawasan gender
akan sangat mempengaruhi nilai, pandangan, dan sikap serta perbuatan seseorang,
termasuk terhadap lawan jenis.
3.

Pengarusutamaan Gender (PUG)


Istilah Gender Mainstreaming atau lebih dikenal sebagai Pengarusutamaan
Gender (PUG) di Indonesia, tercantum dalam Beijing Platform of Action yang
merupakan hasil dari konferensi wanita sedunia ke-empat yang diselenggarakan di
Beijing 1995.
Dalam Upaya menindaklanjuti Gender Mainstreaming tersebut, pemerintah
Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender
merupakan kebijakan Nasional yang harus diemban oleh Lembaga yang mampu
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Gender Mainsteraming (GMS) atau Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah
strategi yang tepat agar dapat menjangkau keseluruhan instansi pemerintah, swasta,
masyarakat dan lain sebagainya. Pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan
INPRES yang dikenal Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional. Dengan PUG ini, pemerintah dapat bekerja
lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan respon yang adil
dan responsive gender kepada perempuan dan laki-laki. PUG sebagai strategi yang
berupaya untuk menegakkan hak-hak perempuan yang sama dan laki-laki atas
kesempatan yang sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di
masyarakat.

4.

Gender Dalam Kurikulum dan Proses Pendidikan


Data dan informasi yang dikumpulkan melalui profil gender (2004),
mengidentifikasi adanya kesenjangan/bias gender dalam proses pengelolaan
pendidikan dan pembelajaran disekolah. Gejala-gejala yang menarik teridentifikasi
menyangkut kesenjangan gender ini adalah:
1. Gender dalam proses pengelolaan pendidikan dan
9

2. Isi kurikulum sekolah dan buku pelajaran .


Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan
kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang
pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan
kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki. Sementara gambar guru yang sedang
mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas
mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya
lebih banyak berjenis kelamin perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya lakilaki.
Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan
bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur" dan bukan
sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering
ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang
disampaikan guru di dalam kelas.
Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik
bagi perempuan serta sifat maskulin dan kerja publik bagi laki-laki.
Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di
dalam atau diluar kelas. Misalnya ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya
menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh
cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja
misalnya, ia akan mengatakan "anak perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal
ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh
menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.
Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa
bendera adalah siswa perempuan. Siswa perempuan itu dikawal oleh dua siswa
laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di
tingkat nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana
negara, selalu menempatkan dua perempuan sebagai pembawa bendera pusaka
dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa
bendera pusaka itu.
Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya
bahwa tugas pelayanan seperti membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki
atau pemukul gong dalam upacara resmi sudah selayaknya menjadi tugas
perempuan.

10

Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak
layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh
perempuan.
Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya
berdampak negatif bagi siswa atau anak perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki.
Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani.
Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan
sangat berpengaruh pada peran sosial mereka di masa datang.
Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat
terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan tidak dapat memenuhinya ia
akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat
memenuhinya ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.
(Sumber : http://www.scribd.com/doc/29426548/Kumpulan-Makalah-Gender)
Apabila ini dibiarkan terus menerus akan berdampak yang tidak baik bagi
upaya-upaya peningkatan keadilan dan kesetaraan gender. Perlunya pemahaman dan
peran guru dalam mengimplementasikan keadilan dan kesetaraan gender akan
menentukan upaya-upaya pencapaian keadilan dan kesetaraan gender dalam proses
pembelajaran. Oleh karena itu, selain bahan ajar, guru diharapkan sebagai ujung
tombak terjadinya perubahan untuk mengintegrasikan gender dalam setiap materi
ajar dan dalam proses pembelajaran

11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keragaman manusia dimaksudkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan.
Perbedaan itu ada karena manusia adalah mahluk individu yang setiap individu
memiliki ciri-ciri khas tersendiri.
Kesetaraan mengandung arti kesamaan hak, terutama yang menyangkut kriteria
hak-hak azasi manusia.
2. Gender adalah perbedaan peran,sifat, tugas, fungsi dan tanggungjawab antara lakilaki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah
sesuai dengan perkembangan jaman. Gender adalah suatu konsep yang digunakan
untuk mengindefikasikan perbedaaan laki-laki dan perempuan.
3. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, Keadilan gender
adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
4. ada

kesenjangan/bias

gender

dalam

proses

pengelolaan

pendidikan

dan

pembelajaran disekolah adalah:


Gender dalam proses pengeloaan pendidikan dan
Isi kurikulum sekolah dan buku pelajaran .

B. Saran
Semoga dengan selesainya makalah ini pembaca bisa mengetahui hakikat
keragaman dan kesetaraan dalam sosial budaya dan memberikan manfaat yang lebih,
bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. Perbedaan itu ada karena manusia adalah
makhluk individu yang setiap individu memiliki ciri-ciri khas sendiri tapi dari perbedan
tersebut kita harus bisa saling menghargai satu sama lain agar terjalin hubungan yang
baik.

12

DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen ISBD Unimed, 2015, ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR,
Medan:Unimed Press
http://www.scribd.com/doc/29426547/Kumpulan-Makalah-Gender
http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/19/kesetaraan-genderditerapkan-dalam-pendidikan-464068.html

13

Anda mungkin juga menyukai