Anda di halaman 1dari 20

Sosiologi Pedesaan, Pertanian, dan Agraria

Rabu, 20 November 2013


PERTANIAN JUGA MENJADI KORBAN DARI UUPA
PERTANIAN JUGA MENJADI KORBAN DARI UUPA:
TANGGAPAN TERHADAP UUPA (DAN AMANDEMEN UUPA
YANG DIAJUKAN BPN)
Oleh: Syahyuti @ 2005
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yang
berbeda, yaitu aspek penguasaan dan pemilikan dan aspek
penggunaan dan pemanfaatan. Hal ini misalnya terlihat secara tegas
dalam batasan tentang reforma agraria yang terdapat dalam Tap MPR
No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: Pembaruan
agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan sumber daya agraria.
Aspek penguasaan/pemilikan
jelas berbeda dengan aspek penggunaan/pemanfaatan, karena yang
pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan
tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan
sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.
UUPA No. 5 tahun 1960 (maupun amandemennya dari BPN),
menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek
penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II)
dan mendominasi seluruh isi UUPA, yaitu dari pasal 16 sampai dengan
pasal 51. Padahal batang tubuh UUPA hanya berisi 58 pasal.
Selain jumlah yang lebih dominan, juga terbaca dengan mudah
bahwa aspek penggunaan tanah diatur setelah hak penguasaan dimiliki
(seseorang, pemerintah, ataupun badan swasta). Hal ini dapat dilihat
pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14
ayat 1, dan pasal 16 ayat 1A (amandemen). Artinya (mungkin), bahwa
aspek kedua berada dalam aspek pertama, atau aspek kedua hanyalah

bagian dari aspek pertama. Hal ini dapat dimengerti karena UUPA lahir
di saat permasalahan penguasaan tanah menjadi sangat penting, yaitu
bagaimana merebut tanah-tanah yang dikuasi pengusaha asing dan
pemerintahan kolonial.
Dengan pola pikir UUPA (dan amandemennya) yang seperti ini
dapat dikatakan bahwa peraturan ini tidak melindungi kegiatan
pertanian. Karena, terbaca dengan jelas, bahwa seseorang bebas untuk
mengolah, menggunakan, dan memanfaatkan tanahnya; setelah relasi
hukumnya dengan tanah tersebut jelas.
Beberapa akibat (dan implikasi) yang terlihat selama ini dari
paradigma berpikir UUPA tersebut adalah:
(1) Pemerintah tidak dapat mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke
non pertanian. Itulah kenapa Inpres dan berbagai Perda tidak bergigi.
Bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa, Inpres dan Perda tersebut tidak
konsisten dengan UUPA.
(2) Implikasinya, kebijakan pencadangan lahan abadi pertanian yang
dicetuskan dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan), yaitu 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan
kering, sesungguhnya tidak akan dapat direalisasikan. Peraturan yang
ada tidak cukup menjamin kebijakan tersebut.
(3) Lemahnya pengaturan dalam aspek penggunaan tersebut, secara
tidak langsung juga berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata
ruang dan kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan
yang sesungguhnya harus berupa hutan, dapat saja diolah menjadi lahan
pertanian intensif, karena hak si penguasa tersebut dijamin dalam
UUPA.
Khusus untuk Departemen Pertanian, wewenangnya terbatas
hanya pada aspek kedua, yaitu bagaimana sepetak tanah sebaiknya
diolah, ditanami, dipupuk, dan dipelihara tanamannya; sehingga
menghasilkan produksi pertanian. Itulah dalam organisasi Deptan
terlihat ada bagian yang mengurusi teknologi pertanian, menyediakan
modal, menyediakan prasarana, memikirkan pemasarannya, dan lain-

lain. Itulah kenapa banyak pihak sering meledek bahwa Deptan hanyalah
Departemen bercocok tanam.
Artinya, dengan wewenang Deptan yang hanya terbatas pada
aspek kedua (penggunaan dan pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini
tidak dijamin cukup kuat secara hukum, terutama peraturan dasarnya
(yaitu UUPA); maka dapat dikatakan bahwa memang kegiatan pertanian
tidak cukup dijamin dan dihargai di negeri ini. Menyerahkan kegiatan
pertanian, produksi pertanian, dan ketahanan pangan, hanya kepada
mekanisme pasar terbukti telah menyebabkan pertanian sebagai
sektor yang kalah. Nilai ekonomi lahan (dan juga air) yang digunakan
untuk kegiatan pertanian seringkali kalah jika lahan (dan air) tersebut
digunakan untuk kepentingan lain misalnya untuk rumah, industri,
pariwisata, dan lain-lain.
Penulis tidak mengerti hukum, namun penulis berharap
bagaimana istilah-istilah misalnya produksi pertanian, ketahanan
pangan, dan skala usaha ekonomis-minimal dapat masuk ke dalam
amandemen UUPA. Intinya adalah bagaimana aspek penggunaan
dibuat lebih sejajar dengan aspek penguasaan, karena jika kita bicara
reforma agraria keduanya harus dijalankan secara bersamaan. Revolusi
hijau yang hanya memperhatikan aspek penggunaan tanah terbukti
tidak berhasil optimal. Di sisi lain, betapa banyak petani yang
melepaskan tanahnya ke pihak lain, karena mereka tidak cukup
menguasai modal untuk mengolah tanahnya sendiri secara baik. Tanah
yang sudah dikuasainya (aspek pertama) tidak bermakna ketika ia tidak
mampu mengolahnya sendiri (aspek kedua).
(Syahyuti, peneliti bidang sosiologi pada PSE-KP Bogor).
******
Tidak ada komentar:
Minggu, 13 Mei 2012
Memadukan Penelitian Ekonomi dan Sosiologi

Kasus pada Penelitian Tata Niaga Hasil Pertanian


(disusun oleh: SYAHYUTI, MSi, Ir. )
Kekurangjelasan peran dan tanggungjawab antara peneliti berlatar
belakang ilmu ekonomi (pertanian) dengan sosiologi di PSE, telah
menyebabkan hasil penelitian kurang optimal. Untuk itu, perlu
ditumbuhkan sikap seluruh peneliti untuk menyadari dan menerima
perbedaan antara kedua bidang tersebut. Tulisan berikut ingin
memberikan pembenaran kenapa antara ekonomi dan sosiologi perlu
dipadukan, dan bagaimana pula memadukannya.
Bahwa faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya amat sulit dipilah,
digambarkan dengan baik oleh pengalaman teori dan praktek. Sajogyo,
pensiunan Gurubesar sosiologi perdesaan IPB, pada rekfleksi kariernya
bulan Desember 2003, menuturkan kembali pertukaran pikirannya
dengan David Penny (alm), ekonom pertanian dari Australia, sebagai
berikut:
Jika Anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah
kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan
dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami (Sajogyo, 2003:1).
Dari pernyataan ini tidak diragukan bahwa pengajaran ilmu ekonomi
sebagai monodisiplin tidak mampu menjadikan siswa memahami apalagi
memecahkan masalah-masalah kongkrit yang dihadapi masyarakatbangsa Indonesia. Dengan perkataan lain ilmu ekonomi hanya akan
efektif sebagai pisau analisis jika digunakan bersama ilmu-ilmu sosial
lain termasuk dan terutama ilmu politik, ilmu budaya, dan etika.
Dulu Ekonomi dan Sosiologi Menyatu
Sesungguhnya ilmu ekonomi dan sosiologi dulu menyatu dan juga
berkembang secara bersamaan, karena ilmu ekonomi adalah bagian dari
dunia sosial (Granvetter dan Swedberg, 1992). Berbagai tokoh, seperti
Max Weber dan Karl Max misalnya, diaku sekaligus sebagai ekonom
dan juga sosiolog.

Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation, mengatakan


bahwa tak ada bentuk yang berbeda antara topik ekonomi dan sosial.
Sementara itu Max Weber yang dikenal sebagai tokoh sosiologi adalah
juga pendiri ilmu economic sociology, selain August Comte dan
Durkheim. Weber menjadikan ekonomi sebagai interest utamanya,
sebagaimana ia lakukan dalam analisis misalnya kajian hubungan
industrial. Tulisan Weber yang penting dalam hal ini terlihat dalam buku
Economic and Society dan General Economic History.
Sosiologi memiliki minat lebih luas dari sekedar ekonomi
(bagaimana manusia memenuhi kebutuhan hidupnya secara materi).
Namun, di PSE, yang dibutuhkan secara lebih banyak adalah penelitian
sosiologi tentang ekonomi. Yaitu, bagaimana manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya dilihat dari konteks sebagai makhluk sosial yang
multi dimensi. Artinya, sosiologi melihat manusia sekaligus dalam
dimensi sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Ilmu ekonomi dan sosiologi sepakat, bahwa perilaku ekonomi adalah
suatu tipe perilaku dengan memilih alat yang terbatas dengan berbagai
alternatif penggunaan. Menurut Damsar (1996), sosiologi ekonomi
memperhatikan tindakan ekonomi sejauh ia mempunyai dimensi sosial
dan selalu melibatkan makna serta berhubungan dengan kekuasaan.
Sementara menurut Schumpeter, bahwa sosiologi ekonomi berkaitan
dengan konteks institusional dari ekonomi.
Selama ini telah berbagai strategi dimunculkan untuk
memperpadukan ilmu ekonomi dan sosiologi, yaitu aliran-aliran
Rational Choice Sociology, New Economic Sociology, SocioEconomics, Psycho-Socio-Anttropo-Economics (=PSA-Economics), dan
Transaction Cost Economics. Melalui New Institutional Economics
ekonomi melihat ke dalam aspek institusi dan mencoba untuk
mengintegrasikan institusi ke dalam analisis mereka. Melalui inilah
tercipta ruang bagi dialog antara para ahli imu ekonomi dan sosiologi.
Kenapa Harus Menyatu?
Sosiologi perlu dilakukan secara bersamaan dengan ekonomi, karena
(Granvetter dan Swedberg, 1992):

1. Economic action is a form of social action (perilaku ekonomi


merupakan bentuk dari perilaku sosial),
2. Economic action is a socially situated (terjadi dalam situasi sosial),
dan
3. Economic institution are social construction (kelembagaan
ekonomi terkontruksi secara sosial).
Untuk PSEKP, ekonomi dan sosiologi sebaiknya dipadukan dengan
beberapa alasan di antaranya adalah:
1. Secara mandat, PSE diharuskan melakukan kajian sosial-ekonomi.
Secara keorganisasian, staf PSE terdiri atas peneliti berlatarbelakang
ekonomi (pertanian) dan sosiologi (pedesaan).
2. Dengan memadukan, maka akan diperoleh pemahaman yang lebih
lengkap, terutama penelitian di aras mikro dan meso. Berbagai penelitian
yang hanya dengan pendekatan ekonomi selama ini dikeluhkan tidak
mampu memahami dan memberi solusi yang implikatif dan memuaskan.
3. Banyak perilaku ekonomi masayarkaat yang tidak terjawab secara
memuaskan, terutama dalam hal kelembagaan pertanian di pedesaan.
Misalnya adalah naiknya harga-harga menjelang hari raya padahal bukan
karena faktor supply, juga berfluktuasinya harga di tingkat produsen
untuk komoditas karet dan lada padahal di hilir tidak demikian.
Sosiologi yang Mana?
Kata sosial saat ini setidaknya diberi dua makna yang saling
berseberangan. Pertama, sosial dalam konteks ilmu sosial, yaitu seluruh
ilmu yang mempelajari interaksi antar manusia, termasuk ilmu politik,
antropologi, psikologi sosial, sosiologi, dan ekonomi. Kedua, adalah
sesuatu yang anti ekonomi, yaitu segala perbuatan yang tidak
dimaksudkan untuk mencari untung dan memupuk kekayaan,
sebagaimana melekat pada kata berjiwa sosial, Panti Sosial, dan
Departemen Sosial. Banyak orang mencampuradukkan kedua kata ini,
sehingga sosiologi sebagai salah satu bentuk ilmu sosial dianggap
sebagai ilmu yang anti ekonomi, anti kemajuan, dan anti kemodernan.

Dari begitu luas bidang kajian sosiologi, maka yang dibutuhkan di


PSE adalah cabang sosiologi yang mempelajari perilaku ekonomi
masyarakat. Atau lebih kurang adalah apa yang disebut dengan
SOSIOLOGI EKONOMI. Yaitu, ilmu sosiologi yang membantu
menjelaskan perilaku ekonomi, bagaimana agar ekonomi desa bersaing,
bagaimana mencapai kesejahteraan, dan lain-lain.
Untuk menjelaskan itu semua, sosiologi memandang manusia
sebagai makhluk yang multidimensi dan dihargai secara utuh. Manusia
tidak hanya memiliki motivasi ekonomi (untung, efisien, kaya), namun
memiliki dimensi-dimensi lain bahwa manusia juga punya motivasi,
jiwa, orientasi hidup, etika, estetika, dunia batiniah, harga diri, hubungan
transedental dengan Tuhan, dan lain-lain. Sosiologi ingin melihat
bagaimana seluruh faktor ini mempengaruhi sikap dan perilaku
ekonominya.
Maka menurut levelnya, bidang-bidang sosiologi yang relevan
diterapkan adalah sosiologi mikro, sosiologi keluarga, sosiologi
kelompok; bukan sosiologi makro dengan grand theories-nya. Maka
aspek yang akan dilihat adalah masalah tata nilai, norma sosial,
kepemimpinan, keberadaan kelompok-keleompok sosial, kelas sosial,
perubahan sosial, struktur sosial, kewirausahaan, jaringan sosial, dan
lain-lain.
Jadi, sosiologi yang diperlukan di PSE adalah sosiologi
kontemporer dibandingkan sosiologi klasik. Lebih kepada sosiologi
terapan dibandingkan sosiologi teoritis. Juga akan menerapkan
bentuk-bentuk baru penerapan ilmu sosiologi dalam konsep-konsep
pembangunan yang misalnya dikembangkan dalam konsep community
development, capacity building, pembangunan berdimensi kerakyatan,
pembangunan berkelanjutan, empowerment, dan lain-lain.
Bentuk Tim Penelitian

Memadukan penelitian ekonomi dan sosiologi, berbeda dengan


memadukan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Namun, khusus untuk
PSE, pemaduan penelitian ekonomi yang kuantitatif dengan penelitian
sosiologi yang kualitatif merupakan kombinasi yang paling baik.
Penelitian kualitatif dapat melengkapi kelemahan penelitian ekonomi
yang cenderung deduktif.

Upaya untuk mengintegrasikan penelitian kuantitatif dan kualitatif,


pada pokoknya berpayung kepada prinsip triangulation. Kombinasi
kuantitatif dan kualitatif dapat terjadi pada semua tahap, mulai dari
metode, paradigma, hipotesa, pengambilan data, analisa data, sampai
kepada penulisan hasil penelitian. Ada 5 tujuan yang dapat dicapai
dengan mengintegrasikan penelitian kuantitatif dan kualitatif menurut
Creswell (1994), yaitu: untuk mendapatkan hasil yang konvergen,
bersifat saling melengkapi (complementary), saling mengembangkan
(developmentally) karena metode kuantitatif dapat membantu metode
kualitatif dan sebaliknya, bersifat inisiasi, serta sekaligus merupakan
ekspansi karena meluaskan scope studi.
Selanjutnya menurut Creswell, ada tiga model kombinasi yang dapat
dipilih dalam pengintegrasian ini, yang menunjukkan tingkat integrasi
yang semakin kuat.
1.

Desain 2 tahap. Tahap penelitian kuantitatif dilakukan secara terpisah


dengan tahap penelitian kualitatif. Hal ini memiliki keuntungan, dimana
dua paradigma yang berbeda dapat berjalan bersama, namun
kerugiannya pembaca laporan menjadi bingung.

2.

Desain dominant-subordinant. Disini salah satu harus mengalah,


misalnya rancangan kuantitatif lebih dominan dan kualitatif tidak.
Desain ini sering dipakai di PSE. Dalam pelaksanaannya, para peneliti
yang berlatar belakang ekonomi menerapkan bentuk penelitian ekonomikuantitatif yang menggunakan metode eksperimen dengan testing

korelasi variabel, sedangkan interview sosiologi-kualitatif dilakukan


secara minor. Keuntungan dari desain ini adalah paradigma yang
digunakan tetap dapat konsisten meskipun si peneliti kualitatif akan
merasa kurang puas.
3.

Desain metodologi campuran. Ini yang paling terkombinasi dibanding


dua desain sebelumnya. Pencampuran ini sudah terjadi mulai dari
paradigma yang digunakan, review literatur, teori-teori yang dipakai,
serta tujuan dan pertanyaan penelitian sampai kepada analisis data dan
penulisan laporan. Artinya disini dilakukan metode pencampuran
deduktif (kuantitatif) dan induktif (kualitatif) sekaligus.

Sosiolog dapat masuk ke bidang ekonomi, misalnya ke jantungnya


ekonomi yaitu pasar. Sosiologi dapat menggunakan pendekatan jaringan
sosial untuk memahami pasar.
Perbedaan Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
Kata kualitatif menunjuk terjadinya penekanan kepada proses dan
makna yang tidak diperoleh dengen menguji atau mengukur secara
jumlah (quantity), intensitas, ataupun frekwensii[i]. Penelitian kualitatif
menuntut hubungan dua arah sebagai hubungan subyek-suibyek
(intersubyektifitas), dan data-data yang bersifat gayut nilai. Jadi,
penelitian kualitatif tidak semata-mata mengutamakan hubungan kausal
antar varaibel, namun lebih berfokus kepada proses. Dengan semangat
induktif, maka kebenaran ilmiah adalah hasil kesepakatan antara peneliti
dan pihak yang diteliti (tineliti).

Penelitian kualitatif berbeda secara diametral dengan penelitian


kuantitatif dalam segala aspek-aspeknya. Sifat-sifat penelitian kualitatif
adalah induktif, naturalistik, subyektif, holistik, humanistik, aposteriori,
fleksibel, dan validitas. Sedangkan penelitian kuantitatif bersifat
deduktif, manipulatif, obyektif, reduktif, mekanistik, apriori, baku, dan

reliabilitas. Prinsip validitas dalam penelitian kualitatif misalnya adalah


suatu kesahihan yang diukur dari kesesuaian antara yang dikatakan dan
diperbuat tineliti, bukan dari korelasi statistik yang kuat antar variabel
belaka yang dapat saja karena kebetulan.
Karena tuntutan etikanya, penelitian kualitatif cenderung beraras mikro,
namun mendalam, terperinci, dan kaya. Dalam konteks itu, penelitian
kualitatif tidak berpretensi pada keterwakilan. Karena itu, studi kasus
adalah pilihan yang tepat dengan segala kebutuhannya. Untuk dapat
membuat generalisasi maka dapat dilakukan studi kasus multi lokasi.
Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan yang sangat berbeda,
mulai dari rancangan penelitian sampai dengan penulisan laporan. ii[ii]
Rancangan penelitian kualitatif bersifat retropektif dan luwes sehingga
terbuka terhadap perubahan di lapangan. Walaupun terbuka terhadap
perubahan namun mesti memiliki arah yang jelas. Sampel dapat
purposif, karena yang penting adalah keterwakilan aspek permasalahan.
Berbeda dengan penelitian kuantitatif, ia dapat hanya menggunakan
hipotesa pengarah yang menghubungkan antar dua konsep, bukan
hipotesa uji yang menghubungkan dua variabel secara kuantitatif.
Beberapa strategi penelitian kualitatif yang mungkin untuk penelitian
kelembagaan misalnya studi kasus dan studi historik. Penelitian studi
kasus menerapkan beragam metode misalnya dengan menerapkan
metode wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen (prinsip
triangulasi). Studi kasus merupakan satu strategi dalam penelitian
kualitatif. Ia dapat dipilih bila pokok pertanyaan berkenaan dengan
bagaimana (how) dan mengapa (why), bila peneliti hanya memiliki
sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan
diselidiki, dan bilamana fokus penelitian terletak pada fenomena
kontemporer dalam konteks kehidupan nyataiii[iii].

Penelitian kualitatif juga dapat berbentuk studi historik dengan


melakukan penafsiran dokumen-dokumen tentang masa lampau, maupun
wawancara untuk me-recall ingatan pelaku maupun informan. Studi
historik merupakan bentuk penelitian yang penting, karena berdasarkan
asumsi bahwa gejala sosial harus dipelajari dalam konteks historisnya.
Dalam pengumpulan data dapat mengetengahkan data secara deskriptif
terhdap gejala-gejala yang dihadapi dalam konteksnya yang alami
(natura setting)iv[iv]. Data dapat diperoleh dengan pendekatan
intersubjektivitas melalui hubungan partisipatif.
Menurut John Lofland (dalam Sitorus, 1998) dalam pengumpulan data
kualitatif perlu diperhatikan empat hal berikut: (1) peneliti kualitatif
harus cukup dekat dengan orang-orang dan situasi yang diteliti, sehingga
dimungkinkan pemahaman mendalam dan rinci tentang apa yang sedang
berlangsung; (2) peneliti kualitatif harus berupaya menangkap apa yang
secara aktual terjadi dan diakatakan orang; (3) data kualitatif terdiri dari
sekumpulan besar uraian murni mengenai berbagai orang, kegiatan, dan
interaksi sosial, dan; (4) data kualitatif terdiri dari kutipan langsung dari
berbagai orang, yaitu dari apa yang mereka katakan dan tulis. Untuk
saling menutupi kekurangan satu metode maka lazim digunakan prinsip
triangulasi, baik triangulasi data, triangulasi peneliti, triangulasi teori,
dan triangulasi metodologi.
Dalam pengumpulan data harus menggunakan catatan harian, yang
berfungsi sama dengan kuesioner dalam penelitian kuantitatif. Catatan
harian memiliki fungsi yang sangat pokok. Biasanya terdiri dari topik,
nara sumber, waktu dan tempat wawancara, dan isi yang terbagi menjadi
bagian deskriptif dan bagian reflektif.
Dalam pengolahan data, menurut Miles dan Huberman (1992), ada tiga
jalur analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data.


Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung.
Kegiatannya adalah meringkas hasil wawancara (data), mengkode,
menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat pratisi, dan menulis
memo. Artinya disini dilakukan pengorganisasian data melalui
penajaman dan penggolongan data, untuk mengarahkan ke tujuan
penelitian.

Selanjutnya, penyajian data adalah bagaimana menyusun data


sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam penarikan kesimpulan.
Penyajian dapat dilakukan dengan bentuk teks naratif, matriks, grafik,
serta jaringan dan bagan.

Terakhir, penarikan kesimpulan diperoleh setelah sebelumnya si peneliti


mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan pola-pola, penjelasan,
konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi.
Proses penarikan kesimpulan telah dimulai secara kasar semenjak
penelitian dimulai, dengan terus menerus memikir ulang selama
penulisan, meninjau ulang catatan lapang, tukar pikiran dengan teman
sejawat dan juga tineliti. Uraian dapat dilakukan secara prosesual
dengan saling menghubungkan antar kejadian sosial.
Satu hal yang juga khas dalam penelitian kualitatif adalah pada
penulisan laporan. Proses penulisan laporan sudah dimulai semenjak di
lapangan sampai akhir penelitian. Karena itulah penelitian kualitatif
memerlukan waktu lebih lama di lapangan, untuk melakukan verifikasi
serta memperoleh kesepakatan intersubyektif dengan tineliti. Dengan
itu, akan dimungkinkan untuk melihat lobang-lobang dalam laporannya.
Jika penelitian bergabung dengan penelitian kuantitatif, maka setelah
data kuantitatif diolah akan dapat menjadi bahan diskusi dengan
kesimpulan-kesimpulan yang sudah sudah dibuat dari data kualitatif.

Jelaslah bahwa memadukan penelitian ekonomi dan sosilogi dalam


penelitian kelembagaan dan organisasi pertanian adalah salah satu
strategi yang cukup beralasan. Meskipun tidak menutup kemungkinan,
penelitian dengan hanya pendekatan ilmu sosiologi juga dapat dilakukan
untuk melakukan kajian kelembagaan.
Disamping itu, peneliti yang berlatar belakang sosiologi, dapat pula
menggunakan bentuk penelitian kualitatif baik dalam posisi pelengkap
dalam penelitian yang lebih bersifat ekonomi maupun dalam penelitian
tersendiri. Artinya ia dapat tugas khusus, mulai dari pencantuman bagian
materinya dalam proposal, menggunakan catatan harian sebagai
pengganti kuesioner, dan menulis laporan secara bersama-sama untuk
memperkuat analisa kuantitatif. Namun untuk tim peneliti yang khusus
peneliti sosiologi, maka dapat merancang proposal secara khusus,
melakukan kegiatan lapang, serta menulis laporan dengan prinsipprinsip penelitian kualitatif secara penuh.

Meskipun demikian, penelitian kelembagaan tidak selalu harus


menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, karena dapat juga
menggunakan metode sosiologi kuantitatif (berkembang di AS).
Memadukan Pendekatan Ekonomi-Kuantitaif dan Sosioolgi
Kualitatif dalam Penelitian Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian
Ekonomi

Sosiologi

1. Mempelajari perilaku benda 1. Mempelejari perilaku


untuk memprediksi perilaku
manusia yang diikat oleh
manusia
benda-benda (=komoditas
pertanian)
2. Objek terbatas namun dalam 2. Objek luas namun dangkal.

3. Mengutamakan kehandalan
informasi dengan sampel yang
memadai

3. Mengandalkan kepada
kualitas informasi, meskipun
dengan data n terbatas.

4. Mencari hubunganhubungan dan memprediksi


apa yang akan terjadi.

4. Memahami dan menjelaskan


tanpa pretensi untuk
memprediksi

5. Rancangan penelitian
bersifat deduktif dan tertutup.
Variabel dan indikator sudah
bisa ditebak dari awal, dan
cenderung tidak berubah.
Tidak ada variabel baru yang
akan diambil di lapangan.

5. Rancangan penelitian
bersifat induktif dan terbuka.
Peneliti belum tahu persis akan
menemukan apa. Variabel
baru, indikator baru dapat
dipakai jika dirasa perlu.

6. Pemilihan sampel telah


ditetapkan sejal awal, jumlah
dan jenisnya

6. Rencana sampel awal masih


dapat berubah. Yang penting
adalah pengetahuan dan
kemampuan responden
memberikan informasi yang
relevan.

7. Data kuantitatif merupakan


andalan pokok. Semakin
banyak jawaban semakin kuat.

7. Data kuantitatif merupakan


titik masuk untuk menggali
data kualitatif sebagai andalan.
Jawaban yang kuat tidak harus
banyak kasus.

8. Rasio matematis

8. Rasio dengan menonjolkan


kualitas fakta, meskipun hanya
1-2 kejadian

9. Pengolahan data dan


penulisan laporan dilakukan
belakangan.

9. Data diolah mulai dari


lapangan, termasuk menulis
laporan penelitian.

Objek Perhatian Peneliti Ekonomi dan Sosiologi dalam Penelitian


Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian (=Kelembagaan Pemasaran)
Studi kelembagaan melihat tata aturan yang hidup, yang analisis
ekonomi dapat mengukurnya apakah itu ekonomis, atau bagaimana ia
menjadi lebih eknomis. Jadi sesungguhnya penelitian ekonomi dan
sosiologi kelembagaan saling melengkapi kekurangannya masingmasing. Dengan memadukan penelitian kuantitatif dalam bidang
ekonomi dan kualitatif untuk sosiologi, dimana beberapa variabel
didalami secara kuantitatif dan variabel lain dieksplorasi secara
kualitatif, maka banyak keuntungan yang akan diperoleh.
Dari sisi sudut pandang ekonomi, fungsi utama kelembagaan adalah
agar tercapai efisiensi dalam bertindak. Menurut Bromley, kelembagaan
persist us to carry on our daily lives with a minimum of repetition
and costly negotiationv[v]. Suatu tindakan menjadi ekonomis, karena
telah ada pedoman dalam bertindak (prdictable). Pelaku ekonomi tak
akan bertindak secara acak, namun mengikuti pola yang sudah
disepakati. Itulah gunanya kelembagaan yang salah satu fungsinya
adalah pedoman bertindak bagi anggota-anggotanya.
Dapat dikatakan, bahwa pada studi kelembagaan -lah terjadi integrasi
antara sosiologi dan ekonomi. Studi kelembagaan memenuhi syarat
untuk itu karena kelembagaan bersifat muti aras. Karena itu, studi
kelembagaan bersifat multi disiplin dan multi metodologi. Sifat muti
disiplin adalah karena ia dapat menjadi pertemuan para ekonom dan
sosiolog, sementara sifat multi metodologinya adalah karena
penelitiannya bisa dilakukan dengan metode survey untuk penelitian
ekonomi serta observasi berperan (participatory observation), serta studi
dokumen yang biasa digunakan dalam penelitian-penelitian sosiologi.

Penelitian ekonomi mempelajari gejala kelembagaan, sedangkan


sosiologi mempelajari penyebab timbulnya gejala tersebut.

Berbagai hal yang dipelajari oleh peneliti berlatar belakang ekonomi


biasanya adalah:
1.

Struktur pasar, sistem pasar, dan keterpaduan pasar.

2.

Demand, elastisitas demand, dan estimasi demand.

3.

Suplai, elastisitas suplai, dan market supply.

4.

Harga, struktur harga, analisis harga.

5.
6.

Margin pemasaran, biaya pemasasran, efisiensi pemasaran, resiko


pemasaran, dan strategi pemasaran.
Standarisasi dan grading.

Objek penelitian sosiologi adalah manusia dan perilakunya. Sosiologi


bertolak dari premis dasar bahwa manusia memiliki nilai, norma, sikap,
kesenangan, kebutuhan yang beragam, perasaan, sentimen, etika,
estetika, aspek religi, dan lain-lain. Artinya, seorang pedagang tidak
semata-mata hanya mempertimbangkan efisiensi dan keuntungan saja
dalam berinteraksi.
Karena itu, maka bidang sosiologi, khususnya kelembagaan pemasaran,
dapat menggali hal-hal berikut. Kelembagaan akan sampai kepada dua
aspek, yaitu aspek kelembagaan (nilai, norma, aturan, kesepakatan) dan
aspek keorganisasian (struktur, peran).
Berkaitan dengan tata nilai.

1. Bagaimana seluruh pelaku (petani dan pedagang) memaknai


hidupnya? Apakah mereka bertanam sayur dan berdagang karena
terpaksa? Apa pekerjaan yang sesungguhnya mereka inginkan?
(Pertanyaan ini penting untuk melihat misalnya level
kewirausahaan dan potensi untuk berkembang di masa depan.
Apakah mungkin mereka link dengan pola pemasaran modern dan
ekspor misalnya?)
2. Apakah pekerjaan berdagang dianggap jalan hidup yang baik? (Di
Jawa dulu berdagang dianggap pekerjaan rendah)
3. Apakah mereka dapat menemukan keselarasan antara pekerjaan
yang ditekuni dengan nilai-nilai religius dari agama yang mereka
anut?
4. Bagaimana mereka memaknai ekonomi desanya? Apakah
kemajuan ekonomi dilihat dalam konteks untuk menuju ekonomi
desa yang beraing dan mandiri? Adakah tujuan yang lebih hakiki
dari kemajuan ekonomi itu sendiri? Apakah kemajuan ekonomi
merupakan alat atau tujuan akhir?
5. Bagaimana sikap mereka terhadap alam dan segala sumberdaya
yang dimiliki dan dianugerahi kepadanya? Apakah semata-mata
hanya alat ekonomi? Apakah perlu dijaga? Bagaimana dengan
tanah: apakah tanah semata-mata hanya direduksi menjadi
komoditas ekonomi? (Sikap yang mudah melepaskan tanah untuk
memperoleh modal telah menyebabkan petani kehilangan
tanahnya dan dimiliki oleh pedagang yang punya uang. Akibatnya
mereka tergantung kepada pedagang selamanya).
6. Bagaimana konsep mereka tentang kerja? (Hal ini akan
berimplikasi kepada bagaimana etos kerja yang dikembangkan).
Berkaitan dengan sistem norma.
1.

Bagaimana norma yang dijalankan, apakah murni berdasar


pertimbangan efisiensi dan keuntungan? Apa yang disebut dengan

keuntungan yang layak dalam penentuan harga dari seorang


pedagang?
2.

Tentang solidaritas. Bagaimana pedagang memandang petani? Apakah


sebagai manusia impersonal sebagai pemasok belaka, sebagai asset yang
harus dijaga eksistensinya, ataukah dipandang sebagai manusia yang
sederajat?

3.

Bagaimana sentimen keluarga, etnis, atau se daereah asal dalam


berinteraksi? Apakah ini dipertimbangkan dalam berdagang?

4.

Dengan pedagang selevel. Apakah pedagang slevel hanya dilihat


semata-mata sebagai saingan? Adakah sikap saling membantu?

5.

Dengan pedagang vertikal. Bagaimana menjaga hubungan antara


pedagang pengumpul desa dengan pedagang pengumpul besar? Adakah
hubungan hutang piutang? Berapa lama dan berapa besar hutang masih
dianggap wajar? Bagaimana jika tidak membayar dalam tempo yang
seharusnya?

6.

Tentang reward dan punishment. Tiap kelembagaan selalu memiliki


ini. Apa bentuk terimakasih yang diberikan atau perlakuan-perlakuan
berbeda yang ditunjukkan jika rekan dagang telah melakukan sesuai
kesepakatan? Dan sebaliknya?

7.

Tentang harga. Bagaimana harga ditentukan? Apakah semata-mata


didasarkan kepada harga pasar, atau ada sentimen lain? Apakah harga
untuk langganan berbeda?

8.

Tentang konflik. Apakah konflik sering terjadi? Bagaimana bentuknya,


antara siapa? Bagaimana solusi yang digunakan?

Berkaitan dengan keorganisasian.


1.

Rantai tata niaga baru menggambarkan aliran barang. Bagaimana


rantai tersebut terbentuk secara historik? Kenapa rantainya mesti
panjang atau pendek? Adakah sentimen-sentimen non-pasar yang
mempengaruhi terbentuknya?

2.

Bagaimana stuktur kekuasaan? Dari seluruh level, dimana kekuasaan


berpusat? Di hulu, di tengah, atau di hilir?

3.

Bagaimana struktur modal? Apakah modal yang besar selalu


merepresentasikan kekuasaaan yang besar? Apakah aliran permodalan
dapat menggambarkan faktor-faktor kohensi sosial?

4.

Bagaimana posisi petani dan pedagang terhadap pemerintah? Dan


bagaimana posisi lokasi yang kita kaji dengan sentra produksi dan
sentra perdagangan lain?

5.

Apakah peran masing-masing dijalankan? Dapatkah mereka bertukar


peran? Bagaimana prosedur seseorang dapat masuk menjadi
pedagang? Artinya, apakah kelembagaan ini bersistem terbuka atau
tertutup?

Selain itu, ada data-data penting yang harus dikumpulkan yang tidak
dapat diklasifikasikan apakah termasuk kedalam bidang ekonomi atau
sosiologi, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Kondisi sarana dan prasarana transportasi.


Informasi pasar
Kebijakan pemasaran
Keagrariaan
Permodalan

i
ii
iii
iv
v

Anda mungkin juga menyukai