Anda di halaman 1dari 29

REVIEW BUKU Terorisme Aktor & Isu Global Abad XXI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Militer dan Civil Society
REVIEW
Dosen Mata Kuliah: DR. AGUS SUBAGYO, S.IP, M.Si

DISUSUN OLEH :
LUTHFI GHIFARIZ
6211131055

HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
2015 2016

IDENTITAS BUKU

Judul buku

: Terorisme Aktor & Isu Global Abad XXI

Penulis

: Dr.Agus Subagyo, S.IP.,M.Si.

Penerbit

: ALFABETA, Bandung

Cetakan

: ke-1 , April 2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Kata Pengantar
Puji serta syukur kami panjatkan ke khadirat Allah swt atas berkat dan rahmatnya saya
dapat menyelesaikan review buku Teroris(me) Aktor & Isu Global Abad XXI Karangan Dr.
Agus Subagyo, S.IP.,M.Si. Review buku ini disusun guna memenuhi tugas dari Dosen mata
kuliah militer dan civil society Dalam Penyusunan review buku ini saya merasa masih
banyak kekurangan - kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penyusun. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan penyusunan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini
saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat dosen
kami Bapak Dr. Agus Subagyo S.IP, M.Si karena telah memberikan kesempatan kepada kami
serta rekomendasi dan dukungannya dalam pembuatan review buku ini.
1.2 Latar Belakang
Seiring dengan adanya fenomena globalisasi, isu-isu global menjadi bergeser dari isu
high politics ke isu-isu yang bersifat low politics. Selain mengalami pergeseran, isu baru turut
mewarnai konstelasi politik dan keamanan global, yakni terorisme sebagai isu baru yang
merebak di awal abad ke-21. Sebagai sebuah fenomena baru di dunia ini, terorisme mampu
menyedot perhatian seluruh penduduk di muka bumi ini. Bagaimana tidak, dunia yang belum
lama merasakan kebebasan dari situasi peperangan di berbagai belahan dunia sebagai bentuk
keamanan tradisional, masih harus merasakan kecemasan setiap saat terhadap aksi terror yang
mungkin bisa terjadi kapan saja.
Aksi terorisme menjadi lebih terkenal sejak peristiwa 9/11 di Ameika Serikat, padahal bila
ditelusuri kembali, aksi-aksi serupa pernah terjadi sebelumnya. Terorisme kemudian menjadi
musuh bersama setiap negara dan sepertinya menjadi sumber kebijakan pertahanan bagi
seluruh negara. Setiap negara akan memposisikan terorisme sebagai musuh utama yang dapat
menghancurkan negara. Namun, dengan adanya beragam pernyataan dan klaim AS terhadap
segala sesuatu mengenai terorisme, juga menimbulkann berbagai macam spekulasi terhadap
kejadian tersebut juga terhadap negara Amerika sendiri. Bagaimana tidak, AS dengan lantang
menyebut beberapa kelompok sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terror yang

terjadi, padahal hal tersebut belum tentu benar adanya. Di samping itu, dengan alasan
terorisme semua tindakan AS seperti menginvasi dan mengembargo negara yang AS curigai
nampak menjadi hal yang dapat dibenarkan.
Hingga detik ini, belum ada kesepakatan yang bulat mengenai apa iu terorisme dan segala
yang berkaitan dengan terorisme. Tuduhan AS dam tindakannya tidak dapat dijadikan sebuah
tolok ukur dalam menghakimi sebuah organisasi maupun sebuah negara. Namun, semua
negara sepakat bahwa terorisme merupakan hal yang harus dimusuhi dan dilenyapkan karena
terorisme sudah melanggar HAM dan melanggar upaya perdamaian dunia yang dijunjung
tinggi oleh semua negaraa di dunia. Kendati demikian, perlu adanya kesepakatan dan upayaupaya dalam mencegah terorisme secara bersama-sama. Di samping itu, negara sebagai
sebuah individu juga harus memiliki upaya dalam mencegah ancaman terorisme terhadap
wilayah kedaulatannya. Terdapat beragam upaya yang dilakukan oleh negara-neagra di dunia
dalam mencegah aksi terorisme, salah satunya di Indonesia, terdapat Perpu anti terorisme
yang merupakan respon dari kejadian terror Bom di Bali, di samping itu Indonesia juga
membentuk badan khusus dalam menangani kasus terorisme. Buku ini mengulas seputar
terorisme di Abad ke-21, dengan menganalisis studi kasus 9/11 di Amerika Serikat pada 2001
silam. Buku ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus tersebut, mulai dari analisis
terhadap kemungkinan penyebab hingga akibat yang ditimbulkan dengan terjadinya terror
tersebut.

BAB II
ISI BUKU
Buku ini terbagi ke dalam enam bab, dimana tiap bab berisi sub-bab. Keenam bab
tersebut di antaranya : Hubungan Internasional dan Terorisme, Dunia dan Terorisme, Osama
Bin Laden dan Terorisme, Indonesia dan Terorisme, TNI dan Terorisme serta Polri dan
Terorisme. Selanjutnya, masing-masing keenam bab tersebut akan dibahas di bawah ini.

BAB 1 Hubungan Internasional dan Terorisme


Pada BAB pertama membahas mengenai sebuah bencana baru melanda Amerika

Serikat di awal abad ke-21, tepatnya pada tanggal 11 September 2001. Bencana baru
tersebut bukanlah merupakan bencana layaknya banjir, gempa bumi dan sebagainya yang
berasal dari alam, namun bencana tersebut adalah apa yang kita kenal hari ini sebagai
Terorisme. Terorisme dapat dikatakan sebuah bencana yang kini menghantui hampir
seluruh negara di dunia bukan hanya bagi Amerika Serikat.
Tragedi 9/11 di Amerika Serikat menimbulkan kepanikan dan ketakutan di negara
tersebut hingga Presiden AS pada saat itu George W. Bush segera mengumumkan kepada
dunia bahwa AS mendapatkan serangan teroris biadab. Sebagai negara yang memiliki
pengaruh yang besar, segala apapun yang dilakukan maupun dinyatakan AS seolah selalu
dianggap benar dan berdampak luas bagi negara lainnya.
Dengan tanpa didukung oleh data dan fakta yang akurat, Presiden Bush menuduh
Osama Bin Laden dan jaringan Al-Qaeda sebagai dalang di balik tragedi tersebut. tidak hanya
itu, AS juga mencanangkan program melawan terorisme global dengan mengkampanyekan
upaya penghancuran sel-sel Al-Qaeda dan jaringan terorisme global di seantero dunia. Karena
AS merasa dirinya benar, maka seolah-olah apa yang dilakukannyapun merupakan hal yang
tepat, padahal bila ditelisik kembali langkah AS tersebut telah melanggar apa yang selalu
negara tersebut suarakan, dalam hal ini prinsip-prinsip HAM dan kedaulatan negara yang
seharusnya dijunjung tinggi dalam arena internasional mulai tidak diindahkan demi
membasmi terorisme global.

Politik bumi hangus yang sebenarnya telah mengakar dalam realism politik AS,
telah menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi dan implementasi HAM internasional.
Betapa tidak, dalam rangka menggelar perang melawan terorisme global, cara yang
dipergunakan AS sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kedaulatan negara.
Secara sembarangan AS menuduh kelompok-kelompok islam militant sebagai teroris dan
negara-negara yang sebelumnya membangkang atas hegemoninya sebagai negara atau sarang
teroris.
Beberapa negara yang dituduh AS sebagai poros kejahatan menjadi objek penyerangan
AS seperti Irak dan Afganistan. Bentuk penyerangan tersebut bukan hanya semata-mata
penyerangan fisik terhadap wilayah negara namun juga penyerangan terhadap aspek lain
seperti ekonomi. AS melakukan embargo terhadap negara yang ia pandang sebagai
pendukung terorisme global.
Berdasarkan kasus di atas, Hak Asasi Manusia menjadi sebuah konsep yang penting dan
bukan merupakan masalah yang patut disepelekan. Dalam literatur Ilmu Politik, hak asasi
adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Secara historis-empiris,
pemikiran dan gerakan HAM dapat dilacak kembali pada lahirnya Magna Charta 1215 ,
Glorius Revolution 1688, Deklarasi Kemerdekaan AS, pemikiran Trias Politika dan Kontrak
Sosial.
Isu pokok HAM adalah bahwa kewenangan negara harus mewujudkan dan sekaligus
memberikan perlindungan atas hak-hak individu, hak-hak politi, sipil maupun hak-hak
ekonomi. Dalam konteks hubungan internasional, upaya implementasi HAM mengalami
benturan dan perdebatan. Kisaran perdebatan terletak pada masalah bagaimana interaksi
antara implementasi nilai HAM yang bersifat universal-internasional dengan kedaulatan
negara. Kedua pandangan tersebut adalah :
1

Autonomy of States, pandangan ini menekankan pada pengakuan atas prinsip


kedaulatan negara dalam hubungan internasional dan prinsip tidak campur tangan

urusan dalam negeri negara lain.


Cospolitan perspective, pandangan ini bertumpu pada pengakuan HAM pada tingkat
individu secara universal. Karena itu, masalah hak asasi pada hakekatnya melampaui
batas-batas nasional negara bangsa.

Meskipun kedua pandangan di atas saling bertolak belakang, terdapat kesamaan yang
mendasar yakni keduanya mengklaim HAM sebagai masalah fundamental demokrasi.
Ironisnya AS seolah melupakan hal tersebut dalam langkahnya memberantas terorisme yang
belum tentu sepenuhnya benar.
Terorisme turut memberikan perubahan terhadap konstelasi politik global. Ideologi
politik luar negeri pasca tragedy WTC dan pentagon bersumber pada Doktrin Bush : kalau
anda bukan teman saya, pastilah anda musuh saya. Saya tidak membedakan teroris dengan
negara yang melindungi teroris. Doktrin Bush inilah yang menjadi pijakan baru AS dalam
memberantas terorisme global serta seolah menjadi hal baru yang mewarnai konstelasi politik
global.
Terdapat masalah terkait cara menangani dan mencegah tindak terorisme. Kesulitan yang
dihadapi adalah kenyataan bahwa kegiatanb terorisme telah melintas batas antar-negara.
Masalah metode penanganan terhadap terorisme global inilah yang terus menerus
menimbulkan pro kontra. Substansi dari masing-masing negara terhadap terorisme global
sama, yakni harus dicegah dan diberantas karena sangat bertentangan dan mengancam
perdamaian, stabilitas dan keamanan internasional. Namun, cara atau metode yang harus
ditempuh belum ada kesepakatan yang bersifat global.
Bahkan perdebatan ini semakin memuncak ketika AS secara sembarangan menuduh
negara-negara yang dulunya membangkang terhadap hegemoninya, dengan sebutan teroris,
poros kejahatan dan sarang teroris. Rencana AS menyerang negara-negara yang dianggap
melindungi teroris atas nama intervensi antiterorisme merupakan pemikiran yang
melanggar HAM internasional dan kedaulatan negara. Oleh karena itu, agar supaya perang
melawan terorisme global ini tidak mematikan prinsip-prinsip HAM, diperlukan suatu
kerangka konseptual yang harus dirumuskan oleh seluruh negara-negara di dunia, yang dapat
dijadikan batu pijakan dalam memberantas terorisme global sekaligus sebagai pengontrol
bias-bias HAM politik luar negeri AS.

BAB 2 Dunia dan Terorisme


Kejadian 9/11 menyedot perhatian hampir seluruh negara di dunia. Berdasarkan

pernyataan kontroversial Presiden Bush kala itu AS dibantu oleh Inggris melakukan serangan
udara atas basis-basis militer dan instalasi persenjataan tentara Taliban yang dianggap

melindungi Osama Bin Laden. Pernyataan Presiden dan tindakan serangan tersebut menjadi
sebuah paket yang kontroversial karena AS seakan-akan benar dengan semua hal tersebut, tak
ada bukti-bukti kuat dan konkret mengenai keterlibatan Osama Bin Laden dalam tragedi
WTC dan Pentagon.
Banyak kalangan menilai bahwa serangan yang dilancarkan AS ke Afganistan tidak lebih
dari tindakan balas dendam dan ambisi pribadi Presiden Bush terhadap pemerintahan atau
rezim Taliban. Sebagaimana diketahui, rezim Taliban selalu melindungi Osama Bin Laden
ketika terjadi peristiwa pengeboman Kedutaan Besar AS di Kenya dan Tanzania tahun 1998
lalu menewaskan 250 orang penduduk. Atas hancurnya Kedubes AS tersebut, AS menuduh
dan berusaha menangkap Osama Bin Laden, tapi berkat perlindungan rezim Taliban, AS tidak
berhasil menghukumnya.
Dalam kasus ini, realisme terlihat dalam politik Amerika Serikat. Hans J. Morgenthau
(1978), seorang pelopor realisme politik internasional, mengatakan bahwa salah satu asumsi
realisme politik adalah kemampuannya mempengaruhi negara lain melalui penggunaan
kekuasaan, kekuatan dan kekerasan tanpa mengindahkan nilai-nilai moral dan etika. Dalam
menyelesaikan masalah-masalah internasional, AS cenderung senang menggunakan kekuatan
militer ketimbang negosiasi dan diplomasi. Berbagai tindakan AS khususnya pada masa
Perang Dingin sangat kental akan nuansa realisme.
Inilah yang merupakan jawaban sekaligus penjelasan atas tindakan AS melakukan
pengeboman terhadap Afganistan. AS tidak mau melakukan negosiasi untuk mencapai
kompromi. Negosiasi dilakukan setelah upaya penyerangan berhasil dilakukan. Dengan kata
lain, AS lebih mengedepankan diplomacy of violence.
Presiden George W. Bush mengatakan bahwa serangan dan pemboman yang dilakukan
oleh pasukan militer AS dengan dibantu Inggris mempunyai tiga tujuan utama:
1. Untuk menangkap Osama Bin Laden sebagai otak dari tragedi 11 September.
2. Untuk menghancurkan jaringan Al-Qaeda beserta jaringan-jaringan terorismenya di
seluruh dunia.
3. Untuk menggulingkan rezim Taliban yang ia anggap melindungi Osama Bin Laden.
Namun, beberapa kalangan mensinyalir bahwa selain ketiga tujuan di atas, AS
mempunyai motivasi lain dalam menyerang Afganistan. Motivasi itu adalah motivasi
geografis dan ekonomis.

Tampilan politik luar negeri AS pascatragedi WTC dan Pentagon memang menunjukkan
perubahan yang sangat mendasar. AS sangat represif, ofensif dan reaktif terhadap negaranegara yang dianggap membahayakan bagi perdamaian. Kampanye antiterorisme AS juga
menciptakan ketidakharmonisan kawasan. Di Asia Tenggara, kehadiran pasukan AS di
Philipina, pernyataan menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, yang menuduh Indonesia
sebagai sarang teroris dan isu kehadiran pasukan AS di Indonesia telah memunculkan
ketegangan-ketegangan baru masing-masing negara.
Di Asia Timur, proses reunifikasi dua Korea juga mengalami hambatan karena berbagai
pernyataan Bush yang mendiskreditkan Korea Utara. Di Timur Tengah, Rencana AS
menyerang Irak dan konflik berkepanjangan antara Israel-Palestina telah menciptakan
keresahan di kawasan paling panas di dunia ini.
Sebagai sebuah isu global masa kini, terorisme membawa isu-isu lainnya yang
sebelumnya telah terbenam seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Isu-isu tersebut
adalah militerisme, senjata nuklir dan perang. Peran militer sangat dibutuhkan untuk
menumpas

terorisme

global.

Senjata

nuklir

juga

mulai

diperbincangkan

untuk

menghancurkan kelompok terorisme global dan negara yang melindunginya.


Makna yang bisa diambil dari perubahan-perubahan besar politik dunia saat ini adalah
terjadinya arus balik orientasi dan isu high politics yang mencakup kajian militer, keamanan
dan perang. Pada masa Perang Dunia II dan perang dingin. Orientasi dan isu High Politics
sangat menonjol. Namun, berakhirnya perang dingin bergeser menjadi low politics yang
mencakup ekonomi, lingkungan hidup, HAM dan demokrasi. Di awal abad ke-21 ini,
kembali ke high politics, hal ini dipicu oleh serangan teroris ke Gedung WTC dan Pentagon,
11 September. Ditambah lagi dengan doktrin Bush yang sangat kontroversial.
Global Antiterrorism Governance
Dalam khazanah ilmu hubungan internasional, organisasi terorisme adalah salah satu
aktor atau pemain dalam percaturan politik internasional, karena sifatnya yang melintas batas
antarnegara. Namun, sebagai aktor global, organisasi terorisme baru diakui secara luas
setelah sepak terjangnya pada masa perang dingin dan mencapai klimaksnya ketika meletus
tragedi WTC dan Pentagon, AS tanggal 11 September 2001 lalu.
Prioritas utama terhadap gerakan antiterorisme yang mewarnai kebijakan politik luar
negeri AS mendorong isu terorisme menjadi isu global di awal abad ke-21, mengalahkan isu-

isu yang sebelumnya mendominasi tatanan politik global, seperti demokrasi, HAM, good
governance dan lingkungan hidup.
Trauma psikologis yang amat mendalam terhadap tragedi 11 September 2001 dan phobia
sosial akan datangnya peristiwa serupa mendorong masyarakat internasional untuk menaruh
perhatian besar tentang bagaimana upaya-upaya yang harus dilakukan dalam mencegah
praktek terorisme global. PBB melalui Dewan Keamanannya merumuskan Resolusi No.1373
yang mewajibkan negara-negara anggota PBB untuk mencari, menghukum atau
mengekstradisi teroris yang ditemukan di wilayahnya. Di tambah lagi dengan keharusan
negara-negara untuk saling tukar-menukar informasi mengenai jaringan teroris dan
membekukan aset maupun memblokade aliran dana. Di samping itu, resolusi ini juga
bersepakat untuk membentuk sebuah komite, terdiri dari 15 anggota Dewan Keamanan untuk
mengawasi pelaksanaan aturan-aturan tersebut.
Nampaknya, terorisme global akan menjadi isu sentral dunia dan menjadikan teroris
sebagai aktor global yang mendominasi tatanan politik dunia abad XI. Hampir dapat
dipastikan, semua tindakan setiap negara dalam percaturan politik internasional akan banyak
dipengaruhi oleh dinamika perkembangan terorisme global. Penentuan siapa lawan dan
kawan akan sangat digariskan secara tegas oleh demarkasi terorisme global. Dengan
demikian, terorisme global akan terus menjadi wacana yang kembali mengubah mainstream
politik internasional dari sebelumnya from high politics to low politics menjadi from low
politics to high politics.
Aktor dan isu global abad XXI
Awal abad ke-21 sekarang ini, dunia masih terus menyaksikan rentetan perubahan cepat dan
mendasar yang pada gilirannya mempengaruhi proses transformasi pada konfigurasi politik
dan ekonomi global. Secara politik, muncul gelombang demokrasi yang sarat akan nilai-nilai
kebebasan dan persamaan. Secara ekonomi, timbul gejala globalisasi ekonomi pasar yang
kental akan nuansa kapitalisme global dan perdagangan bebas. Perubahan politik dan
ekonomi global tersebut telah memampatkan negara-bangsa pada pola hubungan saling
ketergantungan (inter-dependensi) dan saling keterkaitan (inter-linkage).
Bersamaan dengan dinamika perubahan global tersebut, telah lahir pula isu baru yang
sangat besar pengaruhnya terhadap tatanan politik ekonomi global saat ini. Isu baru ini adalah
isu seputar masalah terorisme. Isu terorisme telah mampu menyamai dan mungkin juga

menggeser

isu-isu dalam agenda internasional sebelumnya. Seperti masalah HAM.

Intervensi humaniter, demokratisasi, good governance dan lingkungan hidup.


Konsekuensi dari mencuatnya isu terorisme ke permukaan ini adalah lahirnya teroris
sebagai aktor yang sangat diperhitungkan di atas pentas internasional.hal ini sejalan dengan
kecenderungan dalam hubungan internasional bahwa aktor politik global tidak lagi terbatas
pada pemerintah (nation state), melainkan juga meliputi unsur-unsur non-pemerintah. Seperti
LSM, Perusahaan multi nasional, media massa dan organisasi terorisme internasional.
Dalam konteks ini, dunia telah terbelah menjadi dua bagian yang terpisahkan, yakni
antara ikut kubu AS memerangi terorisme global atau ikut mendukung terorisme global.
Negara-negara di dunia dihadapkan pada pilihan itu dan mau tidak mau harus memilih di
antara keduanya.
Makna yang bisa diambil dari perubahan-perubahan besar politik dunia ini adalah
terjadinya arus balik orientasi dan isu high politics.
Isu terorisme global yang menggema di hampir seluruh penjuru dunia telah menimbulkan
stabilitas keamanan regional menjadi kacau dan tidak harmonis. Hal ini diperkuat lagi dengan
tampilan politik luar negeri AS pascatragedi WTC dan Pentagon yang sangat represif. ofensif
dan reaktif terhadap negara-negara yang dianggap membahayakan bagi perdamaian. Atas
nama gerakan antiterorisme global, AS kerap kali menuduh, mencap dan menetapkan negaranegara yang diduga secara sepihak terlibat dalam jaringan terorisme global sebagai musuh
yang harus diperangi. Ini bisa dilihat dari rentetan pernyataan Bush yang cenderung
menyudutkan beberapa negara seperti Irak, Iran dan Korea Utara yang dituduh sebagai poros
kejahatan, serta Rusia, Cina, Korea Utara, Irak, Iran, Libya dan Suriah yang dituduh telah
mengembangkan senjata pemusnah massal.

BAB 3 Osama Bin Laden dan Terorisme


Istilah terorisme adalah sebuah isu dan wacana yang menarik dan selalu diperdebatkan

oleh berbagai ilmuwan . hingga saat ini belum ada kesepakatan yang baku tentang apa
definisi terorisme. Masing-masing ilmuwan HI berbeda pendapat akan istilah terorisme.
Kekaburan akan istilah terorisme ini semakin mempersulit untuk mengidentifikasi perbedaan
antara terorisme dan gerakan perjuangan kemerdekaan.

Presiden AS, George W Bush tanpa didukung data yang akurat menuding Osama Bin
Laden dan Jamaah Al-Qaeda sebagai pelaku dalam tragedy WTC dan Pentagon. Meskipun
Osama Bin Laden membantah tudingan itu, AS terus menggalang pembentukan opini
internasional dalam rangka gerakan anti-terorisme. Serangan pasukan militer AS ke
Afganistan dianggap sebagai bagian dari gerakan anti-terorisme tersebut.
Opini publik yang berkembang di AS menunjukkan bahwa Osama Bin Laden dan
jaringan Al-Qaeda-nya lah yang melakukan perbuatan biadab tersebut. hal itu didasarkan
pada informasi dan penemuan-penemuan yang dikembangkan oleh pemerintah AS, diperkuat
dengan berbagai kesaksian, seperti Senator dari Utah. Orrin Hatch, Badan Intelijen AS, CIA
dan penuturan beberapa penumpang pesawat Boeing 757 seperti Jeremy Gilk warga New
Jersey.
Spekulasi-spekulasi bermunculan seperti teori konspirasi bahwa pelaku utama dari tragedi
WTC dan Pentagon adalah Israel dan rakyat AS sendiri. Bukti dari argumentasi itu adalah
adanya laporan dari jaringan televise Al Mannar di Lebanon dan harian Al Wathon di
Yordania yang mengungkapkan bahwa saat tragedi 11 September terjadi, 4000 karyawan
berkebangsaan Israel yang berkantor di WTC tidak masuk kerja. Di samping itu, masih ada
lagi petunjuk lain yang menguatkan spekulasi tersebut.
Kendati demikian, AS menafikkan indikasi-indikasi tersebut dan selalu
mengkampanyekan tuduhan bahwa Osama, Al-Qaeda dan jaringan Taliban adalah pihakpihak yang betanggung jawab atas tragedy WTC dan pentagon dan sudah sepatutnya diberi
hukuman dengan serangan pasukan militer AS ke basis-basis pertahanan Afghanistan.
Legitimasi yang dipegang AS adalah resolusi DK PBB No. 1373 mengenai terorisme.
Osama Bin Laden
Osama Bin Laden bernama asli Usamah Bin Muhammad Awad Bin Laden, adalah anak
ke-17 dari 50 bersaudara. Dia lahir di Riyadh saat Ayahnya telah sukses menjadi konglomerat
Arab Saudi yang berkecukupan dalam segi ekonomi dan kasih sayang.
Hampir seluruh hidup Osama Bin Laden diabdikan bagi perjuangan melawan kejahatan
dan kebathilan. Perjuangannya dimulai ketika ia berada di Afganistan tahun 1979 dan
langsung menyerukan jihad atas invasi tentara Soviet. Setelah itu, pada tahun 1989, Osama
kembali ke Arab Saudi, Pakistan dan Sudan, Pada tahun 1996, Osama kembali ke Afganistan

dan bertemu dengan Mullah Omar untuk selanjutnya membantu Taliban berperang melawan
tentara Mujahidin.
Nama Osama mulai mencuat sejak keterlibatan Osama dalam berbagai aksi terorisme anti
Amerika, yang mencuatkan namanya sejajar dengan pemimpin negara adikuasa dunia, mulai
dari pemboman kedubes AS di Kenya dan Tanzania tahun 1998, Peledakkan kapal Perang AS
USS Cole di Pelabuhan Yaman tahun 2000 sampai dengan tuduhan atas hancurnya menara
kembar WTC dan gedung Pentagon, 11 September 2001.
Meskipun pihak pemerintah AS telah membekukan aset dan aliran dana Osama, ia tidak
akan kekurangan dana untuk operasionalisasi kegiatannya. Jauh sebelumnya, Osama telah
mengadopsi suatu sistem pengelolaan khusus untuk masalah keuangan nya.
Tragedi WTC dan Pentagon sempat menimbulkan pertanyaan dan keraguan akan
kemampuan sistem pertahanan rudal nasional AS yang menelan biaya sekitar 60 milyar
dollar yang dapat menguasai semua titik rawan di seluruh dunia ternyata kecolongan di
negeri sendiri.

BAB 4 Indonesia dan Terorisme


Pada masa awal-awal reformasi, radikalisme dan militansi yang merebak di Indonesia

adalah radikalisme etnik. Hal ini ditandai dengan berbagai kekerasan kolektif dan kerusuhan
sosial di Sampit, Poso dan Ambon. Selanjutnya radikalisme etnik ini kemudian menjalar pada
radikalisme kesukuan, golongan dan agama. Akhirnya gejala disintegrasi bangsa menjadi
fenomena penting yang mendapat perhatian serius waktu itu.
Saat ini, radikalisme etnik untuk sementara waktu meredup digeser oleh radikalisme
teroris. Menguatnya radikalisme teroris ini dalam konteks Indonesia telah ada secara
dominatif sejak terjadinya rentetan peristiwa pengeboman di berbagai Gereja pada malam
Natal, peledakan bom di Atrium Senin, pengeboman di Masjid Istiqlal dan bom di kedubes
Filipina di Jakarta.Puncak darii rangkaian aksi pengeboman ini adalah tragedi bom di Legian,
Kuta. Bali 12 Oktober 2002 lalu yang menewaskan lebih dari 180 orang dan 300 orang luka
berat ringan.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keberagaman, sudah
sepatutnya jika kita semua mengutuk berbagai aksi radikalisme teroris yang selama ini
menghantui bangsa Indonesia. Biar bagaimanapun juga, dampak dari radikalisme teroris yang

menjangkiti berbagai kelompok dan gerakan sosial sangat bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan norma-norma keagamaan.
Semakin menguatnya gejala radikalisme teroris di Indonesia saat ini tentunya akan
berdampak pada terjadinya benturan-benturan antar berbagai kelompok masyarakat dengan
pemerintah. Di samping itu, isu-isu terorisme telah mempengaruhi proses penciptaan dan
pengembangan pluralitas budaya dan manusia. Tatanan sosial masyarakat, yang ketika
meletup reformasi bercerai-berai dan ingin ditransformasi dalam wadaah multikulturalisme,
akan mengalami hambatan serius apabila isu terorisme semakin mempengaruhi struktur
sosial.
Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada kebersamaan dan pluralism, melainkan
hanya menekankan pada uniformitas yang monolitik. Selain itu, terorisme tidak
memprioritaskan pada upaya-upaya dialog, melainkan langsung pada tindak kekerasan yang
membahayakan. Hal ini sangat bertentangan dengan perspektif multikulturalisme yang
mendasarkan diri pada saluran dialog, kebersamaan, kemanusiaan, penghormatan
antarmanusia dan pengakuan akan perbedaan.
Melihat betapa bahayanya permasalahan terorisme di Indonesia ini terhadap persatuan
bangsa dan pengembangan multikulturalisme yang sedang dibangun, maka perlu diupayakan
sebuah strategi untuk menangkalnya secepat mungkin. Salah satu cara yang efektif untuk itu
adalah langkah penguatan masyarakat sipil yang ada dalam masyarakat Indonesia. Seluruh
komponen masyarakat sipil mulai dari partai politik, LSM, Organisasi Sosial dan lain-lain
harus senantiasa bersatu padu,saling berdialog, tukar informasi dan merapatkan barisan demi
cegah tangkal praktek terorisme.
Konsolidasi masyarakat sipil ini sangat penting mengingat saat ini negara sebagai unit
politik formal tidak mampu lagi memberikan rasa aman dan kedamaian pada rakyatnya dari
ancaman terorisme. Penguatan masyarakat sipil bisa dilakukan secara nyata dengan saling
tukar informasi, saling dialog, saling bekerja sama sehingga akan tercapai suatu kesepakatan
dan gerakan moral sosial yang kuat sehingga persatuan dan kesatuan bangsa bisa terjaga.
Selain itu, dengan ditumbuh kembangkan budaya dialog, diskusi dan tukar informasi masingmasing

komponen

masyarakat

akan

mendorong

percepatan

multikulturalismee yang selama ini ingin dikembangkan secara bersama.

timbulnya

budaya

Sebagai reaksi atas tragedi bom Legian, pemerintah Indonesia melalui menteri kehakiman
dan HAM pada saat itu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti undang undang Anti
Terorisme. Pemerintah berharap dengan terbitnya Perpu anti terorisme tersebut dapat
dijadikan dasar legitimasi dan payung hukum bagi aparat hukum untuk melakukan upaya
pencegahan dan pemberantasan terhadap merebaknya praktek-praktek terorisme di Indonesia,
khususnya dalam menyelidiki dan mengusut dalang dan pelaku peristiwa bom Bali.
Sementara itu, AS melalui lobi-lobi di PBB, berhasil mendesak Dewan Keamanan (DK)
PBB untuk mengeluarkan resolusi yang intinya mengutuk keras para pelaku terror di balik
peristiwa bom Bali. Australia yang dalam tragedi ini paling banyak warganya yang menjadi
korban merasa terpukul dan segera menawarkan bantuan intelijen untuk membantu
pemerintah Indonesia mengatasi persoalan terorisme.
Secara umum, masyarakat pascatragedi Bom Bali turut prihatin atas peristiwa bom Bali
yang menurut berbagai kalangan merupakan aksi terror paling besar kedua di dunia setelah
tragedi WTC dan Pentagon di AS dan juga merupakan aksi terror paling besar dalam lembar
sejarah terorisme di Indonesia. Selain itu, diterbitkannya Perpu antiterorisme oleh pemerintah
Indonesia menyusul tragedy Bom Bali juga banyak dipuji dan didukung oleh masyarakat
internasional. Paling tidak, hal ini tercermin dalam rangkaian pernyataan para kepala negara
dan pemerintahan di sidang APEC.
Meskipun mendapat dukungan dari negara-negara di dunia, khususnya AS dan sekutunya,
Perpu antiterorisme dipandang secara bervariasi oleh public domestic. Public menilai bahwa
dikeluarkannya Perpu antiterorisme telah diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi,
perpu antiterorisme memiliki urgensi positif dalam menangani persoalan terorisme. Namun
di sisi lain, Perpu antiterorisme dikhawatirkan oleh publik akan disalahgunakan oleh
pemerintah dalam memberangus lawan-lawan politik atau kelompok oposan.
Dalam konteks inilah, sebenarnya terdapat pro dan kontra dalam masyarakat menyikapi
Perpu antiterorisme. Bagi publik yang mendukung pemberlakuan perpu antiterorisme,
perangkat hukum berwujud perpu ini sangat penting baik secara hukum maupun secara
politik. Sementara itu, bagi publik yang menolak perpu antiterorisme berargumentasi bahwa
proses lahirnya perpu antiterorisme sarat dengan muatan kepentingan negara asing, yakni AS
karena itu perpu ini dinilai hanya digunakan sebagai alat atau sarana bagi AS untuk menjerat
kelompok-kelompok islam yang dianggapnya sebagai kelompok teroris atau paling tidak
mempunyai kaitan dengan Al-Qaeda. Di samping itu, sebagian besar publik mencemaskann

perpu antiterorisme akan diselewengkan oleh rezim penguasa untuk merepresi rakyat
sebagaimana UU Subversi pada masa rezim orde baru.
Berbeda dengan AS yang bersatu merapatkan barisan dalam satu komando memerangi
terorisme global setelah peristiwa 11 September 200, Indonesia pascatragedi bom Bali
menunjukkan kenyataan yang sebaliknya. Terror tersebut telah menciptakan benturanbenturan membahayakan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok islam, khususnya
kelompok islam garis keras dan radikal. Benturan tersebut dipicu oleh langkah pemerintah
menangkap dan menetapkan status tersangka terhadap ketua Majelis Mujahiddin Indonesia,
Abu Bakar Baasyir.
Langkah penangkapan terhadap tokoh-tokoh Islam oleh pemerintah ini sebenarnya
disebabkan karena upaya dari tokoh-tokoh islam tersebut untuk mengubah bentuk negara dari
(menurut mereka) sekuler menjadi negara agama (Islam) dengan menjalankan syariat islam
secara konsisten. Bagi mereka, negara islam sangat cocok bagi Indonesia karena mayoritas
penduduknya beragama islam. Islam dianggap sebagai solusi dalam mengatasi berbagai
permasalahan bangsa. Namun, pemerintah melihat hal ini secara berbeda. Bagi pemerintah,
Indonesia sangat heterogen dan plural apabila ditinjau dari aspek etnik. Karenanya, Pancasila
adalah konsep yang tepat untuk mewadahi kemajemukan tersebut.
Rentetan ketegangan yang mempengaruhi relasi islam-negara ini harus dipahami sebagai
mata rantai yang saling berkaitan sehingga memerlukan perhatian yang serius. Terror bom
Bali, keluarnya perpu antiterorisme dan penangkapan Baasyir mempunyai keterkaitan yang
sangat erat.
Terdapat tiga indikator yang dapat dipaparkanb sebagai argumentasi bahwa relasi nonharmonis antara kelompok kelompok islam dengan pemerintah akan mempengaruhi dan
mengancam proses demokratisasi Indonesia. Pertama, isu terorisme yang menjadi penyebab
ketidakharmonisan relasi islam-negara. Perang global melawan terorisme global yang
dikumandangkan oleh AS dan persepsinya bahwa kelompok islam radikal di Indonesia
sebagai teroris telah mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia terhadap kelompokkelompok islam radikal. Untuk kepentingan ini, AS tidak menginginkan Indonesia
demokratis dulu demi mendukung perang melawan terorisme global.
Kedua,pemberlakuan Perpu antiterorisme yang terkesan diterbitkan secara terburu-buru dan
tidak memungkinkan pemberian ruang publik bagi partisipasi publik maupun public

complain. Miskinnya partisipasi public dalam proses lahirnya Perpu antiterorisme telah
menciptakan suatu perangkat hukum yang bias dan menimbulkan pro kontra di tingkat publik
sehingga mempengaruhi proses transisi menuju demokrasi. Ketiga, pembentukan Satgas
antiterorisme telah menciptakan kekhawatiran akan fungsinya yang dapat diselewengkan oleh
penguasa sebagaimana Kopkamtib di masa rezim Soeharto. Kalau ini terjadi maka akan
berakibat pada terancamnya proses transisi menuju demokrasi.
Oleh karena itu, melihat berbagai peristiwa secara mendalam, perlu diciptakan wahana
dialog antara berbagai kelompok dan stake holders yang terkait dalam upaya mendamaikan
dan mengharmoniskan relasi islam-negara. Perlu kiranya diciptakan sarana mediasi untuk
menjembatani antara berbagai persepsi dan kepentingan masing-masing pihak sehingga
tercipta keharmonisan hubungan masing-masing pihak.
Relasi Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah
Kampanye perang melawan terorisme global yang dikumandangkan oleh PBB dengan
sponsor AS telah mempengaruhi stabilitas keamanan internsional. Sebagai negara yang
terbuka terhadap perkembangan lingkungan strategis, Indonesia sangat terpengaruh oleh isu
terorisme global.
Berdasarkan data di lapangan, berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sangat
terkait dengan jaringan Jamaah Islamiyah pimpinan Abu Bakar Baasyir yang mempunyai
keterkaitan dengan jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Keterkaitan antara
jamaah Islamiyah dengan Al-Qaeda merupakan sesuatu yang membahayakan dan perlu
diwaspadai mengingat adanya tokoh penghubung antar kedua organisasi ini, yakni Hambali.
Jamaah Islamiyah adalah organisasi keagamaan radikal yang didirikan pada tahun 1993.
Organisasi ini beroperasi di Malaysia, Singapura, Indonesia, Philipina dan Thailand. Pada
tahun 2001, organisasi ini dimasukkan dalam daftar 10 organisasi teroris oleh PBB atas
desakan AS. Keterkaitan Al-Qaeda dan JI adalah dalam hal : penyebaran ideologi, pelatihan
kemiliteran, dana operasi, senjata dan amunisi, personil dan pelatih.
Dalam aspek ideologi, Al-Qaeda merupakan sumber inspirasi dan referensi religius JI,
khususnya ideologi dalam memerangi negara-negara Barat. Dalam aspek pelatihan
kemiliteran, banyak tokoh-tokoh JI yang dilatih oleh Al-Qaeda di kamp latihan militer
Afganistan. Dalam pendanaan, operasi terorisme yang dilakukan JI di wilayah Indonesia
didanai oleh Al-Qaeda. Dalam aspek persenjataan dan amunisi, Al Qaeda memasok senajta

mutakhir beserta amunisinya kepada tokoh-tokoh JI untuk mendukung operasinya. Dalam


aspek personil dan pelatih, sebagian

besar tokoh JI adalah alumni Afganistan dan

mendapatkan mentoring dari para pelatih yang berasal dari tokoh Al-Qaeda.
Berbagai aksi terorisme sebagai dampak keterkaitan antara JI dan Al-Qaeda tentunya
berkonsekuensi pada terganggunya kondisi keamanan dalam negeri Indonesia. Aksi terorisme
dapat menimbulkan ancaman stabilitas politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan sehingga
menghambat proses pembangunan ekonomi dan jalannya demokratisasi di Indonesia di era
reformasi saat ini. Pariwisata Bali menjadi menurun drastis, travel warning diberlakukan
negara-negara barat, citra keamanan Bali menjadi hancur dan pada gilirannya akan
mempengaruhi keamanan dalam negeri karena adanya taruhan kredibilitas bangsa Indonesia
dalam menangani aksi terorisme.

BAB 5 TNI dan Terorisme

Perkembangan lingkungan strategis yang ditandai dengan adanya saling ketergantungan


antarnegara dimana setiap perubahan yang terjadi pada satu negara akan mempengaruhi
negara lain merupakan gambaran kondisi dunia yang telah menapaki era globalisasi yang
diakselerasi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi.
Salah satu peristiwa yang merupakan dampak dari perkembangan lingkungan strategis
tersebut adalah merebaknya aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Aksi terorisme yang
dilakukan oleh kelompok teroris diduga kuat sangat terkait dengan jaringan terorisme
internasional yang beroperasi di berbagai negara. Upaya penanganan terhadap terorisme
sangat mendesak dilakukan untuk menciptakan rasa aman dan mendorong stabilitas
keamanan nasional.
Kondisi inilah yang mendorong perlunya penyiapan satuan khusus anti terror TNi untuk
menghadapi aksi terorisme tersebut. Dalam perkembangannya, upaya penyiapan satuan
khusus anti terror TNI sangat dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis, baik di
tingkat global, regional maupunn nasional.

Penerapan nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal-global yang diadopsi oleh setiap
negara di dunia telah menciptakan ruang kebebasan dalam berserikat dan berkumpul bagi
setiap warga negara yang sebenarnya sangat bagus bagi perkembangan jalannya
pemerintahan telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan tindakann terror
yang melanggar hukum dan mengancam stabilitas pemerintahan.
Tindakan terror yang dilakukan sekelompok oang merupakan gambaran nyata bahwa
nilai-nilai demokrasi telah salah dipahami. Dalam alam demokrasi, ada kendala dimana
satuan antiteror sulit untuk menangkap orang atau kelompok yang diduga melakukan
tindakan terror karena bertentangan dengan prinsip demokrasi. Demokrasi dijadikan tameng
bagi kelompok teroris untuk menghindar dari penangkapan satuan khusus antiteror. Di era
demokrasi, tidak mudah bagi negara untuk menangkap warga negara yang diduga melakukan
aksi terror sebelum ada bukti dan saksi yang kuat. Kondisi demokrasi inilah yang
menyulitkan bagi satuan khusus antiteror untuk menangkap para teroris.
Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi telah
dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk mempermudah jalinan komunikasi antar sel-sel
teroris di berbagai negara termasuk Indonesia. Kondisi yang demikian tentunya membuat
satuan khusus anti terror TNI perlu memiliki kemampuan dan keterampilan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga dapat melacak keberadaan jaringan teroris di Indonesia.
TNI, Terorismer dan Stabilitas Nasional
Menguatnya radikalisme, fundamentalisme dan militansi agama, khususnya agama islam
dipraktekkan secara keliru oleh sebagian kecil pemeluknya telah mendorong adanya aksi
terorisme yang mengatasnamakan agama. Aksi terror dipahami secara salah kaprah sebagai
jihad dimana matti dalam aksi terror merupakan syahid. Islam telah salah digunakan
sebagai ideologi oleh sekelompok orang melakukan aksi terror.
Kondisi demikian tentunya sangat berpengaruh terhadap satuan khusus anti terror TNI
dalam menangani aksi terror tersebut. Penangan aksi terror tentunya harus dilakukan secara
hati-hati agar supaya tidak melahirkan benturan kepentingan yang dapat memposisikan
satuan khusus antiteror berhadapan dengan umat islam.
Undang-undang No.15 Tahun 2003 tentang penanganan terhadap aksi terorisme belum
mewadahi secara eksplisit unsur satuan khusus anti terror TNI. UU terorisme tesebut masih
sangat terbatas dan belum detail dalam penanganan aksi terror di Indonesia.

Kondisi ekonomii masyarakat Indonesia yang berada dalam kondisi kemiskinan,


pengangguran dan ketimpangan pendapatan sebenarnya merupakan akar penyebab terjadinya
aksi terror di Indonesia. Dari pengamatan yang dilakukan selama ini terungkap bahwa aksi
terror yang dilakukan merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kondisi
kesejahteraan masyarakat yang tak kunjung membaik. Satuan khusus anti terror TNI yang
bertugas menangani aksi terror perlu melihat akar persoalan munculnya perilaku terror
tersebut sehingga pendekatan keamanan saja tidak cukup dalam menangani

aksi terror

melainkan diperlukan pula pendekatan kesejahteraan.


Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang secara umum relatif rendah sehingga
menyebabkan lemahnya kualitas sumber daya manusia telah mendorong masyarakat
Indonesia mudah untuk diprovokasi dan dipancing dengan isu-isu yang dapat membahayakan
stabilitas keamanan. Penegakan hukum yang masih lemah juga menjadi faktor pendorong
menguatnya aksi terror di wilayah Indonesia. Kondisi demikian tentunya berpengaruh
terhadap satuan antiteror TNI dalam melakukan penanganan terhadap aksi terror sehingga
kondisi masyarakat tersebut menjadi bahan perhatian dan perimbangan.
Daya dorong TNI terlibat dalam Penanganan terorisme
Aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia telah membuat semua pihak
sadar dan paham akan pentingnya suatu mekanisme dan prosedur penanggulangan aksi
terorisme. Namun demikian, masih sangat terbatas pihak-pihak yang menyadari bahwa dalam
penanggulangan aksi terorisme perlu melibatkan semua pihak, khususnya TNI.
Oleh karena itu, perlu dirumuskan sebuah gagasan tentang pemberdayaan satuan
penanggulangan terror TNI untuk mengatasi aksi terorisme dalam rangka stabilitas nasional.
Dalam pasal 7 UU TNI dinyatakan bahwa ada dua macam operasi TNI, yakni Operasi
Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Penanganan aksi terorisme
merupakan kategori dari OMSP. Untuk itu, OMSP merupakan landasan yang dapat di pakai
oleh TNI dalam membantu pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, ketika pemerintah
kesulitan dalam menangani aksi terorisme. Dengan mempedomani UU TNI tersebut, maka
pemberdayaan satuan penanggulangan terror TNI untuk mengatasi aksi terorisme akan dapat
mencapai sasaran sasaran yang telah ditetapkan sehingga dapat menjamin stabilitas Nasional
dalam rangka keutuhan NKRI.

Sebagai alat pertahanan negara, keterlibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme sangat
relevan mengingat adanya payung hukum berupa Undang-Undang RI No.34 Tahun 2004
tentang TNI, khususnya pasal 9, dimana TNI memegang amanat untuk melakukan tugas
pokok dalam operasi militer selain perang (OMSP), diantaranya membantu penanganan aksi
terorisme.
Peluang dan Kendala TNI
Dalam penanganan terorisme, TNI menghadapi berbagai peluang yang dapat
dimanfaatkan sehingga akan dapat mendorong stabilitas nasional, antara lain :
Perang melawan terorisme yang dilakukan oleh AS dapat dijadikan peluang bagi
Indonesia untuk meyakinkan dunia internasional, termasuk AS, bahwa penanganan aksi terror
tidak hanya bisa dilakukan oleh satuan tertentu semata melainkan memerlukan keterlibatan
satuan khusus antiteror TNI.
Bantuan dana, teknis dan manajerial yang mengalir dari lembaga internasional terhadap
pemerintah Indonesia untuk menangani aksi terror secara lebih optimal sehingga dapat
membantu pemerintah dalam menangani masalah terorisme yang sangat komplek.
Adanya Resolusi DK PBB Nomor 1337 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap
negara di dunia harus memerangi aksi terror di seluruh negara di dunia dan mewajibkan
setiap negara di dunia untuk membantu negara yang sedang mengalami kesulitan dalam
menangani aksi terror. Juga adanya UU Terorisme yang disahkan oleh pemerintah dan DPR
dimana aksi terror merupakan tindakan pelanggaran pidana khusus yang sangat berat
hukumannya.
Sedangkan kendala yang dihadapi oleh TNI dalam menghadapi aksi terorisme adalah sebagai
berikut :
Kurang tegas dan kurang beraninya kepemimpinan nasional dalam mengambil tindakan
dan kebijakan untuk menangani aksi terror secara terarah, terpadu dan terprogram. Perilaku
pejabat publik yang masih diwarnai dengan perilaku KKN, konflik antarelit politik dan
sebagainya mempercepat tumbuh dan berkembangnya aksi terror di Indonesia sehingga sulit
untuk menanganinya secara tuntas sampai ke akarnya.
Belum disahkannya UU Keamanan Nasional yang mengatur porsi kewenangan setiap
institusi pertahanan dan keamanan dalam menangani aksi terror. Di samping itu, masih

terdapat persepsi negatif sebagian kecil masyarakat yang menyatakan bahwa pemberian porsi
yang besar bagi satuan khusus antiteror TNI akan dapat mendorong pelanggaran HAM.
Kemudian, kondisi masyarakat yang masih tradisional pola pikir dan pola tindaknya
sehingga menyulitkan bagi semua pihak untuk menangani aksi terror secara komprehensif.

BAB 6 Polri dan Terorisme

Sebagai aparat kamtibmas, polri mempunyai tugas dan wewenang untuk menanggulangi
aksi terorisme sebagaimana tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri dan UU No.
15 Tahun 2003 tentang Penanganan Tindak Pidana Terorisme. Polri perlu membuat langkahlangkah penanganan dan memberikan prioritas pada penanggulangan tindak pidana terorisme
mengingat dampak yang ditimbulkannya sangat besar bagi stabilitas politik.
Peningkatan kemampuan satuan fungsional Polri sangat mendesak untuk dilakukan
sehingga akan mampu mengantisipasi berbagai bentuk, jenis dan modus operandi kejahatan
yang terjadi di tengah masyarakat.
Satuan intelkam adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah kapolres. Satuan
intelkam bertugas menyelenggarakan / membina fungsi intelijen bidang keamanan. Visi
satintelkam adalah terwujudnya postur intelijen keamanan yang professional, bemoral dan
modern dalam memelihara Kamtibmas dan penegakan hukum, dengan melaksanakan early
warning dan early detection terhadap ancaman dan gangguan keamanan guna mewujudkan
kewaspadaan dan stabilitas keamanan. Sedangkan misinya adalah :
1. Mendeteksi potensi gangguan keamanan secara dini yang bersumber dari dalam dan
luar negeri.
2. Mewujudkan kondisi keamanan yang mendukung terselenggaranya kegiatan
pemerintah dan kehidupan masyarakat.
3. Mewujudkan intelijen keamanan sebagai pusat informasi keamanan yang akurat dan
actual serta bermanfaat dalam rangka mengamankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
4. Membangun kekuatan intelijen keamanan dengan infrastrukturnya dalam satu sistem
terintegrasi dan tergelar dari tingkat pusat sampai tingkat kewilayahan yang didukung
oleh etika profesi intelijen.
5. Membangun dan mengembangkan kerjasama dengan badan-badan intelijen instansi
terkait dalam rangka mewujudkan pemeliharaan keamanan.
Berdasarkan Juklak Kapolri No. Pol. : Juklak/10/VI/1980 Tentang penggunaan Intelijen
Kepolisian, disebutkan bahwa intelijen adalah pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan metode-metode tertentu

yang secara terorganisir untuk mendapatkan

pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah, sedang dan akan dihadapi, kemudian

disajikan kepada pimpinan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan/tindakan atau


perumusan kebijaksanaan.

KEKUATAN DAN KELEMAHAN BUKU

Kekuatan
Dalam penjelasannya, buku ini berangkat dari kasus 9/11 yang merupakan sebuah
pengalaman yang tak akan terlupakan oleh AS serta negara-negara di dunia. Hal tersebut
menjadi kelebihan tersendiri karena dengan begitu pembaca akan lebih memahami
penyampaian si penulis.
Di samping itu, penulis tidak menggunakan bahasa yang terlalu berat dalam
penyampaiannya sehingga pembaca mudah mengerti maksudnya. Pengemasan buku ini pun
cukup menarik, yakni dengan jumlah halaman yang tidak terlalu banyak dan bab yang tak
banyak memberikan nilai tersendiri.
Kelemahan
Sebenarnya dari keseluruhan isi dalam buku ini sangatlah menarik dan tergolong mudah
dipahami bagi penstudi Hubungan Internasional, akan tetapi masih terdapat isi yang kurang
sesuai yakni perihal waktu terjadinya kasus yang kemudian diceritakan seolah kasus tersebut
terjadi tak lama sebelum penerbitan buku ini sendiri. Penulis pun terlalu banyak mengulang
kata yang sama di setiap bab nya sehingga pembaca akan merasa sedikit bingung dan isinya
pun menjadi terkesan monoton.

Kontribusi buku
Dalam buku ini banyak sekali memberikan suatu pencerahan dan juga bisa dijadikan
sebagai suatu pedoman dalam menganalisa, mempelajari, hingga memperdalam masalah
masalah dalam Hubungan Internasional, khususnya dalam masalah terorisme. Tentunya
masalah terorisme menjadi suatu hal yg sedang hangat hangatnya diperbincangkan dalam
pemberitaan saat ini, tidak lepas juga di Indonesia yang mana masalah terorisme ini sudah
menjadi suatu hal yg harus segera dicarikan solusinya. Dalam buku ini membahas mengenai
Daya dorong TNI terlibat dalam Penanganan terorisme. Aksi terorisme yang terjadi di
beberapa wilayah Indonesia telah membuat semua pihak sadar dan paham akan pentingnya
suatu mekanisme dan prosedur penanggulangan aksi terorisme. Namun demikian, masih
sangat terbatas pihak-pihak yang menyadari bahwa dalam penanggulangan aksi terorisme
perlu melibatkan semua pihak, khususnya TNI. Oleh karena itu, perlu dirumuskan sebuah
gagasan tentang pemberdayaan satuan penanggulangan terror TNI untuk mengatasi aksi
terorisme dalam rangka stabilitas nasional.
Dalam pasal 7 UU TNI dinyatakan bahwa ada dua macam operasi TNI, yakni Operasi
Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Penanganan aksi terorisme
merupakan kategori dari OMSP. Untuk itu, OMSP merupakan landasan yang dapat di pakai
oleh TNI dalam membantu pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, ketika pemerintah
kesulitan dalam menangani aksi terorisme. Dengan mempedomani UU TNI tersebut, maka
pemberdayaan satuan penanggulangan terror TNI untuk mengatasi aksi terorisme akan dapat
mencapai sasaran sasaran yang telah ditetapkan sehingga dapat menjamin stabilitas Nasional
dalam rangka keutuhan NKRI.
Sebagai alat pertahanan negara, keterlibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme sangat
relevan mengingat adanya payung hukum berupa Undang-Undang RI No.34 Tahun 2004
tentang TNI, khususnya pasal 9, dimana TNI memegang amanat untuk melakukan tugas
pokok dalam operasi militer selain perang (OMSP), diantaranya membantu penanganan aksi
terorisme. Lalu dibahas mengenai peluang dan kendala dari TNI sendiri dalam menangani
permasalahan terorisme, yang mana dalam penanganan terorisme, TNI menghadapi berbagai
peluang yang dapat dimanfaatkan sehingga akan dapat mendorong stabilitas nasional, antara
lain :
Perang melawan terorisme yang dilakukan oleh AS dapat dijadikan peluang bagi
Indonesia untuk meyakinkan dunia internasional, termasuk AS, bahwa penanganan aksi terror

tidak hanya bisa dilakukan oleh satuan tertentu semata melainkan memerlukan keterlibatan
satuan khusus antiteror TNI.
Bantuan dana, teknis dan manajerial yang mengalir dari lembaga internasional terhadap
pemerintah Indonesia untuk menangani aksi terror secara lebih optimal sehingga dapat
membantu pemerintah dalam menangani masalah terorisme yang sangat komplek.
Adanya Resolusi DK PBB Nomor 1337 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa setiap
negara di dunia harus memerangi aksi terror di seluruh negara di dunia dan mewajibkan
setiap negara di dunia untuk membantu negara yang sedang mengalami kesulitan dalam
menangani aksi terror. Juga adanya UU Terorisme yang disahkan oleh pemerintah dan DPR
dimana aksi terror merupakan tindakan pelanggaran pidana khusus yang sangat berat
hukumannya.
Sedangkan kendala yang dihadapi oleh TNI dalam menghadapi aksi terorisme adalah sebagai
berikut :
Kurang tegas dan kurang beraninya kepemimpinan nasional dalam mengambil tindakan
dan kebijakan untuk menangani aksi terror secara terarah, terpadu dan terprogram. Perilaku
pejabat publik yang masih diwarnai dengan perilaku KKN, konflik antarelit politik dan
sebagainya mempercepat tumbuh dan berkembangnya aksi terror di Indonesia sehingga sulit
untuk menanganinya secara tuntas sampai ke akarnya.
Belum disahkannya UU Keamanan Nasional yang mengatur porsi kewenangan setiap
institusi pertahanan dan keamanan dalam menangani aksi terror. Di samping itu, masih
terdapat persepsi negatif sebagian kecil masyarakat yang menyatakan bahwa pemberian porsi
yang besar bagi satuan khusus antiteror TNI akan dapat mendorong pelanggaran HAM.
Kemudian, kondisi masyarakat yang masih tradisional pola pikir dan pola tindaknya
sehingga menyulitkan bagi semua pihak untuk menangani aksi terror secara komprehensif.
Selanjutnya dibahas juga mengenai peran yg dilakukan oleh POLRI dalam menangani
permasalahan terorisme,

Sebagai aparat kamtibmas, polri mempunyai tugas dan

wewenang untuk menanggulangi aksi terorisme sebagaimana tertuang dalam UU No. 2


Tahun 2002 Tentang Polri dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penanganan Tindak Pidana
Terorisme. Polri perlu membuat langkah-langkah penanganan dan memberikan prioritas pada

penanggulangan tindak pidana terorisme mengingat dampak yang ditimbulkannya sangat


besar bagi stabilitas politik.
Peningkatan kemampuan satuan fungsional Polri sangat mendesak untuk dilakukan
sehingga akan mampu mengantisipasi berbagai bentuk, jenis dan modus operandi kejahatan
yang terjadi di tengah masyarakat.
Satuan intelkam adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah kapolres. Satuan
intelkam bertugas menyelenggarakan / membina fungsi intelijen bidang keamanan. Visi
satintelkam adalah terwujudnya postur intelijen keamanan yang professional, bemoral dan
modern dalam memelihara Kamtibmas dan penegakan hukum, dengan melaksanakan early
warning dan early detection terhadap ancaman dan gangguan keamanan guna mewujudkan
kewaspadaan dan stabilitas keamanan. Sedangkan misinya adalah :
1. Mendeteksi potensi gangguan keamanan secara dini yang bersumber dari dalam dan
luar negeri.
2. Mewujudkan kondisi keamanan yang mendukung terselenggaranya kegiatan
pemerintah dan kehidupan masyarakat.
3. Mewujudkan intelijen keamanan sebagai pusat informasi keamanan yang akurat dan
actual serta bermanfaat dalam rangka mengamankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
4. Membangun kekuatan intelijen keamanan dengan infrastrukturnya dalam satu sistem
terintegrasi dan tergelar dari tingkat pusat sampai tingkat kewilayahan yang didukung
oleh etika profesi intelijen.
5. Membangun dan mengembangkan kerjasama dengan badan-badan intelijen instansi
terkait dalam rangka mewujudkan pemeliharaan keamanan.
Berdasarkan Juklak Kapolri No. Pol. : Juklak/10/VI/1980 Tentang penggunaan Intelijen
Kepolisian, disebutkan bahwa intelijen adalah pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan metode-metode tertentu

yang secara terorganisir untuk mendapatkan

pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah, sedang dan akan dihadapi, kemudian
disajikan kepada pimpinan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan/tindakan atau
perumusan kebijaksanaan.
Dari berbagai isi yang ada dalam buku ini sangat membantu menangani permasalahan
terorisme yang ada saat ini.

Anda mungkin juga menyukai