Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan adanya spasme
otot yang periodik dan berat , tanpa disertai gangguan kesadaran.1
Sampai saat ini tetanus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk. Disamping itu
penatalaksanaan tetanus modern yang membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU), jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di
negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Di
negara berkembang tetanus banyak ditemukan pada populasi neonatus dan
merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi yang penting. Di negara maju
tetanus terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat
bertani atau berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat 2,3
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi
tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Imunitas terhadap
tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika
seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program
imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini
di negara sedang berkembang.3

1.2.

Tujuan :

a) Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi


Dokter (P3D) di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
b) Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
a) Untuk lebih memahami dan mampu menangani pasien dengan kasus
tetanus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Defenisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin

yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan adanya spasme
otot yang periodik dan berat , tanpa disertai gangguan kesadaran.1
Clostridium tetani merupakan bakteri berbentuk batang gram positif,
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Tetanus ini biasanya akut
dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.Tetanospamin
merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.

Spora

Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta infeksi tali pusat (tetanus
neonatorum).4

2.2.

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki

dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah
basil, gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk
vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan
kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan
tetanus.5
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada
salah satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C.
tetani relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan
terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk
desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh
hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15
lbs selama 15-20 menit pada suhu 121C juga dapat membunuh semua bentuk
kehidupan. Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan.

Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah


banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun.5

Gambar 1. Pewarnaan Gram C. tetani.


Sumber: http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html,
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik.
Bentuk vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan
potensiasi infeksi tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas.
Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau
toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan
C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang
paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan
2,5 ng/kg berat badan.5
2.3.

Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada

jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologik


lingkungan peternakan / pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. 5
Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang

dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,
Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Insiden dan mortalitas lebih
tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur
lain.6
2.4.

Patofisiologi7
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani. Bakteri ini

terdapat di tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut
biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor,
atau ujung potongan umbilikus pada neonatus. Pada 20% kasus, mungkin tidak
ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses,
gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan
abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi.
Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk
pertumbuhan sporanya, maka bakteri ini akan berkembang biak dan menghasilkan
toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten
yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin
sedikit memiliki efek klinis.
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular
junction menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent
endopeptidase memecah vesicle associated membrane protein II (VAMP II atau
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk
pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu
transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah

pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron
menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan
menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak
terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Otot wajah terkena paling awal karena
jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.

Gambar 2. Mekanisme kerja tetanospasmin


2.5.

Gambaran klinis8
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%

penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan

prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode <7 hari)
menunjukkan makin berat penyakitnya.
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot,
lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang
tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku
leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.
Peningkatan tonus otot otot trunkal meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot
yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan
tidak simetris.
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan
respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang
melibatkan otot-otot dada. Selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi
mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering.
Hipoksia

biasanya

terjadi

pada tetanus

akibat

spasme

atau kesulitan

membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling
berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3
sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila
spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari
setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis
biasanya dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi.
Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini
silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba.
Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya
sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.

2.6.

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari gambaran klinis dan adanya riwayat luka

yang mendahului. Tidak ada tes laboratorium yang dapat menegakkan diagnosa
pasti tetanus. WHO mendefinisikan penyakit tetanus pada dewasa yaitu sekurangkurangnya terdapat satu dari tanda-tanda berikut : trismus (kesulitan untuk
membuka mulut) atau risus sardonicus (spasme menetap dari otot wajah) atau
kontraksi otot yang sangat nyeri. Walaupun definisi ini meminta terdapatnya
riwayat luka atau kaku, tetanus juga bisa terjadi pada pasien yang tidak memiliki
riwayat luka yang spesifik.8
Tes sederhana yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosa tetanus
adalah tes spatula. Tes ini dilakukan dengan cara menyentuhkan spatula pada
dinding orofaring. Pada kondisi normal hal ini akan mencetuskan gag reflex, pada
individu dengan tetanus tes ini akan menginduksi kontraksi masseter sehingga
terjadi penutupan rahang.10
Derajat keparahan penyakit tetanus : 9
1.

Menurut Ablett
Tabel 1. Sistem skoring tetanus menurut Ablett

Grade I (ringan)
Grade II (sedang)

Grade III A (berat)

Grade III B (sangat


berat)

Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak


ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea 30
kali/menit, disfagia ringan.
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia
120 kali/menit.
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler.
Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten.

Sumber: Cottle, 2011

2.

Menurut Patel dan Joag

Kriteria I : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, kaku otot tulang


belakang
Kriteria II : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria III : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria IV : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria V : kenaikan suhu rektal sampai 37,80 C dan aksila sampai
37,20 C
Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas ini, maka dibuatlah tingkatan penyakit
tetanus sebagai berikut :
Derajat I (ringan) : minimmal 1 kriteria (K1 atau K2) mortalitas 0 %
Derajat II (sedang) : minimal 2 kriteria (K1 dan K2) dengan masa inkubasi
>7 hari dan onset >2 hari, mortalitas 10%
Derajat III (berat) : minimal 3 kriteria dengan inkubasi <7 hari dan onset
<2 hari, mortalitas 32%
Derajat IV (sangat berat) : kasus berat, minimal ada 4 kriteria dengan
mortalitas 60%
Derajat V : Biasanya mortalitas 84% dengan 5 kriteria termasuk
didalamnya adalah tetanus neonatorum maupun puerperium.
Selain skoring Ablett, terdapat juga skoring untuk menilai prognosis
tetanus seperti Phillip Score dan Dakar Score. Kedua sistem skoring ini
memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitupula manifestasi
neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel di bawah ini : 9

10

Tabel 2 : Dakar Score


Skor 1

Skor 0

Masa inkubasi

< 7 hari

> 7 hari

Awitan penyakit

<48 jam

> 48 jam

Tempat masuk

Tali pusat, uterus, fraktur Selain tempat tersebut


terbuka,
postoperatif,
bekas suntikan IM

Spasme

(+)

(-)

Panas badan (per rektal)

> 38,4 0C

< 38,4 0C

Takikardia dewasa

> 120 x/menit

<> 120 x/menit

Neonatus

> 150 x/menit

<> 150 x/menit

Tingkat

Jumlah Skor

Prognosis mortalitas
(%)

Ringan

0-1

< 20

Sedang

2-3

10 20

Berat

20 40

Sangat berat

5-6

> 50

(sumber : Laksmi, 2014)

Tabel 3 : Phillips Score

11

WAKTU MASUK

SKOR SELAMA PERAWATAN

Masa inkubasi

SKOR

Spame

1. 14 hari

Hanya trismus

2. 10 hari

Kaku seluruh badan

3. 5 10 hari

Kejang terbatas

4. 2 5 hari

Kejang seluruh

5. < 48 jam

Opistotonus

Imunisasi

Frekwensi spasme

Lengkap

6 X dalam 12 jam

< 10 tahun

Dengan rangsangan

> 10 tahun

Terkadang spontan

Ibu di imunisasi

Spontan < 3X/15 mnt

Tidak di imunisasi

10

Spontan > 3X/15 mnt

10

Luka infeksi

Suhu

Tidak diketahui

36,7 37,0 C

Distal/perifer

37,1 37,7 C

Proksimal

37,8 38,2 C

Kepala

38,3 38,8 C

Badan

> 38,8 C

Komplikasi

Pernafasan

Tidak ada

Sedikit berubah

Ringan

Apneu saat kejang

Tidak membahayakan

Mengancam nyawa (tak 8


langsung)

Kadang apneu saat 4


kejang

8
Selalu apneu setelah

12

Mengancam nyawa

10

kejang

10

Perlu tracheostomi
TOTAL SKOR

DERAJAT KEPARAHAN

< 10

TETANUS GRADE I (RINGAN, recovery spontan )

10 14

TETANUS GRADE II (SEDANG dengan perawatan


standard seharusnya sembuh)

15 23

TETANUS GRADE III (BERAT, out-come survive


tergantung kwalitas pengelolaan)

> 24

TETANUS GRADE IIIB (SANGAT BERAT, outcome diduga meninggal

(sumber : Laksmi, 2014)

2.7.

Penatalaksanaan
Prinsip dari terapi pada pasien tetanus ini adalah :
a. Terapi suportif awal
Pasien seharusnya di rawat di ICU. Intubasi profilaksis sebaiknnya segera
diputuskan pada pasien dengan manifestasi sedang sampai dengan berat.
Gunakan teknik RSI untuk mencegah komplikasi saat intubasi.10,11,12
b. Manajemen luka.
Luka dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridement
secara menyeluruh. Rekomendasi terbaru yaitu luka dieksisi minimal 2cm
dari jaringan normal yang terlihat disekitar tepi luka. Abses seharusnya
diinsisi dan drainase. Karena beresiko releas nya tetanospasmin ke
pembuluh darah, perlakuan terhadap luka sebaiknya ditunda sampai
beberapa jam setelah diberikan antitoxin. 10,11,12
c. Menghentikan pelepasan toksin di dalam luka.
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk mengurangi jumlah
bentuk vegetatif dari C.tetani di luka tersebut. Untuk beberapa tahun,
Penicilin G menjadi pilihan, tetapi sekarang tidak lagi. Metronidazole

13

dengan dosis 500 mg setiap 6 jam atau 1000 mg setiap 12 jam merupakan
antibiotik pilihan, walaupun penisilin dengan dosis 10-12 juta unit secara
intravena, diberikan setiap hari selama 10 hari masih bisa diberikan.
Metronidazole lebih unggul karena lebih sedikit mencetuskan spasme.
Penisilin sendiri mempunyai efek antagonistik kompetitif GABA pada
sentral ketika diberikan dalam dosis besaryang dapat memperparah gejala
spasme pada pasien. Alternatif antibiotik lain antara lain klindamisin
ataupun

eritromisin.

Pemberian

antibiotik

ganda

dapat

menjadi

pertimbangan ketika dicurigai adanya superinfeksi dengan bakteri lain


pada daerah infeksi.10,12
d. Menetralisasi toksin yang belum terikat.
Pemberian

antitoksin

bertujuan

untuk

menetralisasi

toksin

yang

bersirkulasi serta toksin yang belum terikat pada daerah luka, namun
toksin yang telah berikatan tidak dapat dipengaruhi oleh pemberian
antitoksin. Human tetanus immune globulin (TIG) diberikan dengan dosis
3000-6000 unit secara IM, dalam dosis terbagi . Pemberian antitoksin
tambahan tidak diperlukan karena waktu paruhnya yang panjang. Pilihan
antitoksin yang lain adalah Equine Tetanus Antitoxin (TAT) yang
merupakan derivat serum dari kuda, antitoksin ini mempunyai keunggulan
dalam harga, namun kekurangannya waktu paruh yang lebih pendek dan
berhubungan dengan kejadian anafilaktik yang lebih besar.10,12
e. Kontrol manifestasi klinis penyakit akibat toksin yang sudah terikat.
Berbagai agen pilihan dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi
untuk menatalaksana spasme otot. Tatalaksana spasme otot penting karena
spasme merupakan manifestasi utama tetanus dan dapat menimbulkan rasa
nyeri, mengancam ventilasi karena menyebabkan laringospasme akibat
kontraksi terus-menerus otot bantu nafas. Obat ideal yang dapat menjadi
pilihan adalah obat yang dapat menghentikan kejang tanpa menyebabkan
sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Diazepam, merupakan golongan
benzodiazepin yang umum digunakan sebagai pilihan utama karena onset

14

kerjanya yang cepat. Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang


berkerja dengan cara meningkatkan frekuensi pembukaan GABA channel
sehingga

menyebabkan

influks

ion

klorida

dan

menyebabkan

hiperpolarisasi dan menumpulkan rangsang potensial aksi berikutnya.


Dosis diazepam adalah 20mg/kgBB dibagi dalam 8 dosis.13
Diagram 1. Pemberantasan Kejang dengan Diazepam

Lorazepam dan midazolam dari golongan yang sama, memiliki


keunggulan dalam lama kerja sehingga pemberian berulang tidak terlalu
diperlukan. Barbiturat dan klorpromazin (25-50 mg secara intravena

15

maupun intaramuskular setiap 8 jam menjadi pilihan kedua karena efek


sedasi yang ditimbulkan dapat berlebihan.13
Tabel 4. Pilihan Antikonvulsan
Jenis Obat
Diazepam

Dosis
Efek Samping
0,5 1,0 mg/kgBB/4jam(IM) Stupor, Koma

Meprobamat

300 400 mg/ 4 jam (IM)

Tidak Ada

Klorpromasin

25 75 mg/ 4 jam (IM)

Hipotensi

Fenobarbital
50 100 mg/ 4 jam (IM)
Sumber: Ritarwan, 2004
2.8.

Depresi pernafasan

Komplikasi14
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung

dari toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau
komplikasi sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif
seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer,
dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot.
Tabel 5. Komplikasi
Sistem organ
Jalan napas
Respirasi

Komplikasi
Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat
ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya
pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Renal
Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
spasme.
Lain-lain
Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.
Sumber: Ritarwan, 2004
2.9. Pencegahan

16

Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam


menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai
sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk
orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk
profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.15
Tabel 6. Jadwal Imunisasi Aktif Terhadap Tetanus
Bayi dan anak
normal.

Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.


Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Bayi dan anak normal


sampai usia 7 tahun
yang tidak
diimunisasi pada
masa bayi awal.

DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4


bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

Usia 7 tahun yang


belum pernah
diimunisasi.

Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada


kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan 612 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.

Ibu hamil yang belum


pernah diimunisasi.

Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima 2


dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2
trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah
diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus
tersebut diberikan 250 IU human tetanus immunoglobulin.
Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus diberikan.

Sumber: Edlich, 2003

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.

17

Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hatihati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus .16
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma
adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma.
Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran,
kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi
sebagai yang riwayatnya tidak diketahui.16
Tabel 7. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma
Riwayat imunisasi
tetanus sebelumnya
(dosis)
Tidak diketahui atau < 3
3 dosis

Luka rentan tetanus


TT

HTIG

Luka tidak rentan tetanus


TT

Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
(kecuali 5
(kecuali
tahun sejak
10 tahun
dosis
sejak dosis
terakhir)
terakhir)
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

HTIG
Tidak
Tidak

Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis
profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular.
Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan,
gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak
tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum
kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan
pada pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden

18

5-30%). ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus
melebihi reaksi yang potensial terhadap produk ini 15.
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang
tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang
karakteristik sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan
imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas
alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses
manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang terbentuknya
imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus
tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak
terlaksana dengan baik15.

BAB 3
LAPORAN KASUS

19

3.1. Anamnesis
Tuan W, 66 tahun, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
dengan keluhan kejang. Hal ini dialami pasien sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Kejang berlangsung terus menerus tanpa disertai penurunan kesadaran.
Kejang rangsang dijumpai. Wajah menyeringai dijumpai. Lima hari yang lalu,
kaki kanan pasien tertusuk duri kelapa sawit di belakang rumahnya. Gigi hitam
dan berlubang dijumpai. Pasien sudah mendapat pertolongan pertama dari RS
SURYA Binjai, dan dirujuk ke RSUP H. Adam Malik Medan. BAB dan BAK
dalam batas normal.
RPT

: Tidak ada

RPO

: Metronidazol, Diazepam, ATS, Ranitidin, dan Ondansentron

Time Sequence

3.2.

Pemeriksaan Fisik

20

B1 : airway clear dengan ETT No. 7.5 cuff terpasang, RR : 20x/menit, SP :


vesikuler, ST : - , S/G/C =

-/-/-, Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ;

MLP : I
B2 : akral : H/P/K, TD : 120/80, HR : 80-100x/menit, T/V : cukup ,
CRT < 2 detik, T : 37.2C
B3 : Sens : DPO ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm/ kanan 3mm; RC: +/+
B4 : BAK (+), vol : 50cc / jam, warna : kuning jernih
B5 : abdomen : soepel, peristaltik (+) normal, mual muntah (-)
B6 : oedem(-), fraktur : (-)

Port de entry: middle ankle joint kaki kanan


3. 4. Penanganan IGD

Memastikan jalan nafas clear. Membebaskan jalan nafas dengan


melakukan intubasi ETT no 7,5 cuff saat desaturasi.

Oksigen via ETT 8 L/i, SaO2 98%

Pemasangan IV line dengan abbocath yakni 20 G, IVFD RL 20 gtt/i

Pemasangan kateter urine dan memantau urine output

Pemasangan OGT

IVFD Fentanyl 200 mcg dalam NaCl 0,9 %

Inj Diazepam 1 amp (k/p) bila pasien kejang

Inj Metronidazol 500mg/8 jam

Inj Ranitidine 50mg/12 jam

Vit C 1 gr/24 jam

21

3.5.

Pemeriksaan Penunjang

3.5.1. Laboratorium IGD


Jenis pemeriksaan
Hasil
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB)
13,9 g%
Leukosit (WBC)
22.860 mm3
Hematokrit
42%
Trombosit (PLT)
273 x 103
FAAL HEMOSTASIS
PT
14.5 (13.9) detik
APTT
28.2 (32.8) detik
TT
12.9 (17) detik
INR
1.05
GINJAL
Ureum
43 mg/dL
Kreatinin
1.21 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na)
148 mEq/L
Kalium (K)
4,2 mEq/L
Klorida (Cl)
107 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 127 mg/dL

Rujukan
11,715,5
4,511,0x103
3954%
150450x103

18-55 mg/dL
0,71,3 mg/dL
135155 mEq/L
3,65,5 mEq/L
96106 mEq/L
<200 mg/dL

22

3.5.2. Foto Thorax

Kesimpulan: efusi pleura kiri


3.6. Diagnosis
Penurunan Kesadaran et causa Tetanus, direncanakan untuk dilakukan
pemasangan ETT.

23

3.7. Follow-Up Pasien


19 Februari 2016

S : Kejang
O:

B1 : airway clear dengan ETT No. 7.5 cuff terpasang, RR : 16x/menit, SP :


vesikuler, ST : - , S/G/C =

-/-/-, Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ;

MLP : I
B2 : akral : H/P/K, TD : 110/60, HR : 80-100 x/menit, T/V : kuat/cukup ,

CRT: < 2 detik, T : 36,4C


B3 : Sens : DPO; pupil : isokor, diameter kiri 2 mm/ kanan 2 mm; RC: +/

+
B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning jernih
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-), fraktur : (-)

A: Penurunan Kesadaran et causa Tetanus


P:

IVFD RL 20 gtt/i

IVFD Fentanyl 200 mcg dalam 50 cc NaCl 0,9 % 5 cc/jam

IVFD Diazepam 2cc/jam

IVFD Rocuronium 3cc/jam

Inj Metronidazol 500mg/8 jam

ATS (debridement) 1500 IU

24

Inj Ranitidine 50mg/12 jam

Inj PCT 1 gr (k/p)

Vit C 1 gr/24 jam

25

BAB 4
DISKUSI
No. Kasus
Teori
1.
Pasien, laki-laki berusia 66 Epidemiologi
tahun.

Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada


kelompok usia neonatus dan > 50 tahun
dibandingkan kelompok umur lain.

2.

Kaki kanan pasien tertusuk Etiologi


duri kelapa sawit di belakang Spora
rumahnya.

Clostridium

tetani

biasanya

masuk kedalam tubuh melalui luka pada


kulit oleh karena terpotong , tertusuk
ataupun luka bakar serta infeksi tali

3.

pusat (tetanus neonatorum).


Pemeriksaan yang dijumpai Penegakan diagnosa
pada pasien:
-

Riwayat

- Diagnosis dapat ditegakkan dari


luka

(+):

gambaran klinis dan adanya riwayat

tertusuk duri pada kaki

luka yang mendahului. Tidak ada tes

kanan, gigi hitam dan

laboratorium

berlubang
Gejala klinis: trismus,

menegakkan diagnosa pasti tetanus.

risus sardonicus,

yang

dapat

- WHO mendefinisikan penyakit


tetanus pada dewasa yaitu sekurangkurangnya terdapat satu dari tandatanda berikut : trismus atau risus
sardonicus atau kontraksi otot yang
sangat nyeri.
- Walaupun definisi ini meminta
terdapatnya riwayat luka atau kaku,
tetanus juga bisa terjadi
pada pasien yang tidak memiliki

4.

Penatalaksanaan Awal

riwayat luka yang spesifik.


Penatalaksanaan Awal

26

Airway:

Airway

clear,

terintubasi ETT No.7,5 cuff,


c-spine stabil
Breathing:

RR

16x/i,

Oksigen via ETT 8 L/i,


SaO2 98%
Circulation:

Airway : Spasme laring dapat


terjadi

segera,

mengakibatkan

obstruksi saluran nafas atas akut


dan respiratory arrest.
Breathing : Pernapasan

dapat

terpengaruh akibat spasme yang


Capillary

melibatkan otot-otot dada. Selama

Refill Time <2 detik, Akral:

spasme yang memanjang, dapat

H/P/K ,T/V kuat/cukup,TD:

terjadi hipoventilasi berat dan apnea

120/80 mmHg, HR:80-100

yang mengancam nyawa. Tanpa

x/menit, regular, dilakukan

fasilitas ventilasi mekanik, gagal

pemasangan IV line dengan

nafas akibat spasme otot adalah

abbocath 20G dan diberikan

penyebab kematian paling sering

Circulation: Pemberian cairan

IVFD RL
Disability: Kesadaran: GCS
DPO,

AVPU:

intravena

Disability:

Fungsi

neurologis

unresponsive, pupil : 3

dievaluasi untuk defisit serius yang

mm : 3 mm, isokor, RC : +/

melibatkan otak dan sumsum tulang

+
Exposure:
oedema(-)

fraktur

(-),

belakang.
Exposure: Menentukan port de
entry

27

5.

Intubasi ETT No.7,5 Evaluasi Awal


a. Terapi suportif awal

cuff,

IVFD RL 20 gtt/i

Pemasangan

b. Manajemen luka.
c. Menghentikan pelepasan toksin

kateter

urine dan memantau

Pemasangan OGT

IVFD

Fentanyl

e. Kontrol
penyakit
200

mcg dalam NaCl 0,9 %


Drip 5 amp Diazepam
dalam 500 cc D5% 20
gtt/i

Inj Diazepam 1 amp


(k/p)

bila

pasien

kejang

Inj

Metronidazol

500mg/8 jam

IVFD

Rocuronium

3cc/jam

Inj Ranitidine 50mg/12


jam

d. Menetralisasi toksin yang belum


terikat.

urine output

di dalam luka

Vit C 1 gr/24 jam

manifestasi
akibat

sudah terikat.

toksin

klinis
yang

28

BAB 5
KESIMPULAN
Tuan W, 66 tahun, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
dengan keluhan kejang. Hal ini dialami pasien sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Kejang berlangsung terus menerus tanpa disertai penurunan kesadaran.
Kejang rangsang dijumpai. Wajah menyeringai dijumpai. Lima hari yang lalu,
kaki kanan pasien tertusuk duri kelapa sawit di belakang rumahnya. Gigi hitam
dan berlubang dijumpai. Pasien sudah mendapat pertolongan pertama dari RS
luar, dan dirujuk ke RSUP H. Adam Malik Medan. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik dan laboratorium, pasien
didiagnosa dengan Penurunan Kesadaran et causa Tetanus. Pada pasien ini
dilakukan tindakan pemasangan ETT . Penatalaksanaan berupa:

Memastikan jalan nafas clear. Membebaskan jalan nafas dengan


melakukan intubasi ETT no 7,5 cuff saat desaturasi.

Oksigen via ETT 8 L/i, SaO2 98%

Pemasangan IV line dengan abbocath yakni 20G, IVFD RL 20 gtt/i

Pemasangan kateter urine dan memantau urine output

Pemasangan OGT

IVFD Fentanyl 200 mcg dalam NaCl 0,9 %

IVFD Rocuronium 3cc/jam

Inj Diazepam 1 amp (k/p) bila pasien kejang

ATS (debridement) 1500 IU

29

Inj Metronidazol 500mg/8 jam


Inj Ranitidine 50mg/12 jam

Inj PCT 1 gr (k/p)

Vit C 1 gr/24 jam

DAFTAR PUSTAKA
1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care
Manual. 6th ed. Philadelphia:

Butterworth Heinemann

Elsevier;

2009.p.593-7.
3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are &
pain. Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.orgcontent/6/4/164.3.full.pdf.
4. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat
Daruratan Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009
5. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M,
et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term
Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54..
6. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS,
Setiati S, (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI; 2007.
7. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British
Journal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.
8. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during
humanitarian

emergencies.

2010.

Available

online

from:

http://whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pd
f. [Accessed on 27 Februari 2016].
9. Laksmi, N. K. S., Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/vol.41 no 11. 2014.
Bali. Indonesia

30

10. Hinfrey PB. Tetanus : Overview and Workup. 2013. Available online from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-workup#showall.
[Accessed on 27 Februari 2016]
11. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo, Aru W. et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2007. p. 1777-85
12. Kapita selekta kedokteran/editor, Chris Tanto 9, et al., Ed. 4. Jakarta :
Media Aesculapius, 2014.
13. Ritarwan K. Tetanus. Lecture Paper. 2004. Available online from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysarafkiking2.pdf. [Accessed on 27 Februari 2016]
14. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India.
2002;50:398-407.
15. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M,
et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term
Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54.
16. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).
http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 8 Oktober
2011.

Anda mungkin juga menyukai