Fix Lapkas Anastesi
Fix Lapkas Anastesi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan adanya spasme
otot yang periodik dan berat , tanpa disertai gangguan kesadaran.1
Sampai saat ini tetanus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk. Disamping itu
penatalaksanaan tetanus modern yang membutuhkan fasilitas intensive care unit
(ICU), jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di
negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah
kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Di
negara berkembang tetanus banyak ditemukan pada populasi neonatus dan
merupakan salah satu penyebab mortalitas bayi yang penting. Di negara maju
tetanus terutama terjadi setelah luka tusuk yang tidak disengaja, misalnya saat
bertani atau berkebun, yang tidak mendapatkan perawatan luka yang adekuat 2,3
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi
tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Imunitas terhadap
tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika
seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program
imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini
di negara sedang berkembang.3
1.2.
Tujuan :
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Defenisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus ditandai dengan adanya spasme
otot yang periodik dan berat , tanpa disertai gangguan kesadaran.1
Clostridium tetani merupakan bakteri berbentuk batang gram positif,
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Tetanus ini biasanya akut
dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.Tetanospamin
merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta infeksi tali pusat (tetanus
neonatorum).4
2.2.
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki
dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah
basil, gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk
vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan
kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan
tetanus.5
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada
salah satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C.
tetani relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan
terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk
desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh
hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15
lbs selama 15-20 menit pada suhu 121C juga dapat membunuh semua bentuk
kehidupan. Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan.
Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,
Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Insiden dan mortalitas lebih
tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur
lain.6
2.4.
Patofisiologi7
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat di tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut
biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor,
atau ujung potongan umbilikus pada neonatus. Pada 20% kasus, mungkin tidak
ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses,
gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan
abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi.
Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk
pertumbuhan sporanya, maka bakteri ini akan berkembang biak dan menghasilkan
toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten
yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin
sedikit memiliki efek klinis.
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular
junction menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent
endopeptidase memecah vesicle associated membrane protein II (VAMP II atau
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk
pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu
transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah
pelepasan glisin dan -amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron
menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan
menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak
terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Otot wajah terkena paling awal karena
jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.
Gambaran klinis8
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode
onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan
prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode <7 hari)
menunjukkan makin berat penyakitnya.
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot,
lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang
tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku
leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.
Peningkatan tonus otot otot trunkal meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot
yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan
tidak simetris.
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan
respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang
melibatkan otot-otot dada. Selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi
mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering.
Hipoksia
biasanya
terjadi
pada tetanus
akibat
spasme
atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling
berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3
sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila
spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari
setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis
biasanya dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi.
Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini
silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba.
Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya
sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.
2.6.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari gambaran klinis dan adanya riwayat luka
yang mendahului. Tidak ada tes laboratorium yang dapat menegakkan diagnosa
pasti tetanus. WHO mendefinisikan penyakit tetanus pada dewasa yaitu sekurangkurangnya terdapat satu dari tanda-tanda berikut : trismus (kesulitan untuk
membuka mulut) atau risus sardonicus (spasme menetap dari otot wajah) atau
kontraksi otot yang sangat nyeri. Walaupun definisi ini meminta terdapatnya
riwayat luka atau kaku, tetanus juga bisa terjadi pada pasien yang tidak memiliki
riwayat luka yang spesifik.8
Tes sederhana yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosa tetanus
adalah tes spatula. Tes ini dilakukan dengan cara menyentuhkan spatula pada
dinding orofaring. Pada kondisi normal hal ini akan mencetuskan gag reflex, pada
individu dengan tetanus tes ini akan menginduksi kontraksi masseter sehingga
terjadi penutupan rahang.10
Derajat keparahan penyakit tetanus : 9
1.
Menurut Ablett
Tabel 1. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan)
Grade II (sedang)
2.
10
Skor 0
Masa inkubasi
< 7 hari
> 7 hari
Awitan penyakit
<48 jam
> 48 jam
Tempat masuk
Spasme
(+)
(-)
> 38,4 0C
< 38,4 0C
Takikardia dewasa
Neonatus
Tingkat
Jumlah Skor
Prognosis mortalitas
(%)
Ringan
0-1
< 20
Sedang
2-3
10 20
Berat
20 40
Sangat berat
5-6
> 50
11
WAKTU MASUK
Masa inkubasi
SKOR
Spame
1. 14 hari
Hanya trismus
2. 10 hari
3. 5 10 hari
Kejang terbatas
4. 2 5 hari
Kejang seluruh
5. < 48 jam
Opistotonus
Imunisasi
Frekwensi spasme
Lengkap
6 X dalam 12 jam
< 10 tahun
Dengan rangsangan
> 10 tahun
Terkadang spontan
Ibu di imunisasi
Tidak di imunisasi
10
10
Luka infeksi
Suhu
Tidak diketahui
36,7 37,0 C
Distal/perifer
37,1 37,7 C
Proksimal
37,8 38,2 C
Kepala
38,3 38,8 C
Badan
> 38,8 C
Komplikasi
Pernafasan
Tidak ada
Sedikit berubah
Ringan
Tidak membahayakan
8
Selalu apneu setelah
12
Mengancam nyawa
10
kejang
10
Perlu tracheostomi
TOTAL SKOR
DERAJAT KEPARAHAN
< 10
10 14
15 23
> 24
2.7.
Penatalaksanaan
Prinsip dari terapi pada pasien tetanus ini adalah :
a. Terapi suportif awal
Pasien seharusnya di rawat di ICU. Intubasi profilaksis sebaiknnya segera
diputuskan pada pasien dengan manifestasi sedang sampai dengan berat.
Gunakan teknik RSI untuk mencegah komplikasi saat intubasi.10,11,12
b. Manajemen luka.
Luka dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridement
secara menyeluruh. Rekomendasi terbaru yaitu luka dieksisi minimal 2cm
dari jaringan normal yang terlihat disekitar tepi luka. Abses seharusnya
diinsisi dan drainase. Karena beresiko releas nya tetanospasmin ke
pembuluh darah, perlakuan terhadap luka sebaiknya ditunda sampai
beberapa jam setelah diberikan antitoxin. 10,11,12
c. Menghentikan pelepasan toksin di dalam luka.
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk mengurangi jumlah
bentuk vegetatif dari C.tetani di luka tersebut. Untuk beberapa tahun,
Penicilin G menjadi pilihan, tetapi sekarang tidak lagi. Metronidazole
13
dengan dosis 500 mg setiap 6 jam atau 1000 mg setiap 12 jam merupakan
antibiotik pilihan, walaupun penisilin dengan dosis 10-12 juta unit secara
intravena, diberikan setiap hari selama 10 hari masih bisa diberikan.
Metronidazole lebih unggul karena lebih sedikit mencetuskan spasme.
Penisilin sendiri mempunyai efek antagonistik kompetitif GABA pada
sentral ketika diberikan dalam dosis besaryang dapat memperparah gejala
spasme pada pasien. Alternatif antibiotik lain antara lain klindamisin
ataupun
eritromisin.
Pemberian
antibiotik
ganda
dapat
menjadi
antitoksin
bertujuan
untuk
menetralisasi
toksin
yang
bersirkulasi serta toksin yang belum terikat pada daerah luka, namun
toksin yang telah berikatan tidak dapat dipengaruhi oleh pemberian
antitoksin. Human tetanus immune globulin (TIG) diberikan dengan dosis
3000-6000 unit secara IM, dalam dosis terbagi . Pemberian antitoksin
tambahan tidak diperlukan karena waktu paruhnya yang panjang. Pilihan
antitoksin yang lain adalah Equine Tetanus Antitoxin (TAT) yang
merupakan derivat serum dari kuda, antitoksin ini mempunyai keunggulan
dalam harga, namun kekurangannya waktu paruh yang lebih pendek dan
berhubungan dengan kejadian anafilaktik yang lebih besar.10,12
e. Kontrol manifestasi klinis penyakit akibat toksin yang sudah terikat.
Berbagai agen pilihan dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi
untuk menatalaksana spasme otot. Tatalaksana spasme otot penting karena
spasme merupakan manifestasi utama tetanus dan dapat menimbulkan rasa
nyeri, mengancam ventilasi karena menyebabkan laringospasme akibat
kontraksi terus-menerus otot bantu nafas. Obat ideal yang dapat menjadi
pilihan adalah obat yang dapat menghentikan kejang tanpa menyebabkan
sedasi berlebihan dan hipoventilasi. Diazepam, merupakan golongan
benzodiazepin yang umum digunakan sebagai pilihan utama karena onset
14
menyebabkan
influks
ion
klorida
dan
menyebabkan
15
Dosis
Efek Samping
0,5 1,0 mg/kgBB/4jam(IM) Stupor, Koma
Meprobamat
Tidak Ada
Klorpromasin
Hipotensi
Fenobarbital
50 100 mg/ 4 jam (IM)
Sumber: Ritarwan, 2004
2.8.
Depresi pernafasan
Komplikasi14
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung
dari toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau
komplikasi sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif
seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer,
dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot.
Tabel 5. Komplikasi
Sistem organ
Jalan napas
Respirasi
Komplikasi
Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat
ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya
pneumonia), komplikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Renal
Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
spasme.
Lain-lain
Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.
Sumber: Ritarwan, 2004
2.9. Pencegahan
16
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
17
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hatihati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus .16
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma
adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma.
Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran,
kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi
sebagai yang riwayatnya tidak diketahui.16
Tabel 7. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma
Riwayat imunisasi
tetanus sebelumnya
(dosis)
Tidak diketahui atau < 3
3 dosis
HTIG
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
(kecuali 5
(kecuali
tahun sejak
10 tahun
dosis
sejak dosis
terakhir)
terakhir)
Sumber: American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)
HTIG
Tidak
Tidak
Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis
profilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular.
Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan,
gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak
tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum
kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi
hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan
pada pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden
18
5-30%). ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus
melebihi reaksi yang potensial terhadap produk ini 15.
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang
tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang
karakteristik sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan
imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas
alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses
manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang terbentuknya
imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus
tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak
terlaksana dengan baik15.
BAB 3
LAPORAN KASUS
19
3.1. Anamnesis
Tuan W, 66 tahun, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
dengan keluhan kejang. Hal ini dialami pasien sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Kejang berlangsung terus menerus tanpa disertai penurunan kesadaran.
Kejang rangsang dijumpai. Wajah menyeringai dijumpai. Lima hari yang lalu,
kaki kanan pasien tertusuk duri kelapa sawit di belakang rumahnya. Gigi hitam
dan berlubang dijumpai. Pasien sudah mendapat pertolongan pertama dari RS
SURYA Binjai, dan dirujuk ke RSUP H. Adam Malik Medan. BAB dan BAK
dalam batas normal.
RPT
: Tidak ada
RPO
Time Sequence
3.2.
Pemeriksaan Fisik
20
MLP : I
B2 : akral : H/P/K, TD : 120/80, HR : 80-100x/menit, T/V : cukup ,
CRT < 2 detik, T : 37.2C
B3 : Sens : DPO ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm/ kanan 3mm; RC: +/+
B4 : BAK (+), vol : 50cc / jam, warna : kuning jernih
B5 : abdomen : soepel, peristaltik (+) normal, mual muntah (-)
B6 : oedem(-), fraktur : (-)
Pemasangan OGT
21
3.5.
Pemeriksaan Penunjang
Rujukan
11,715,5
4,511,0x103
3954%
150450x103
18-55 mg/dL
0,71,3 mg/dL
135155 mEq/L
3,65,5 mEq/L
96106 mEq/L
<200 mg/dL
22
23
S : Kejang
O:
MLP : I
B2 : akral : H/P/K, TD : 110/60, HR : 80-100 x/menit, T/V : kuat/cukup ,
+
B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning jernih
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-), fraktur : (-)
IVFD RL 20 gtt/i
24
25
BAB 4
DISKUSI
No. Kasus
Teori
1.
Pasien, laki-laki berusia 66 Epidemiologi
tahun.
2.
Clostridium
tetani
biasanya
3.
Riwayat
(+):
laboratorium
berlubang
Gejala klinis: trismus,
risus sardonicus,
yang
dapat
4.
Penatalaksanaan Awal
26
Airway:
Airway
clear,
RR
16x/i,
segera,
mengakibatkan
dapat
IVFD RL
Disability: Kesadaran: GCS
DPO,
AVPU:
intravena
Disability:
Fungsi
neurologis
unresponsive, pupil : 3
mm : 3 mm, isokor, RC : +/
+
Exposure:
oedema(-)
fraktur
(-),
belakang.
Exposure: Menentukan port de
entry
27
5.
cuff,
IVFD RL 20 gtt/i
Pemasangan
b. Manajemen luka.
c. Menghentikan pelepasan toksin
kateter
Pemasangan OGT
IVFD
Fentanyl
e. Kontrol
penyakit
200
bila
pasien
kejang
Inj
Metronidazol
500mg/8 jam
IVFD
Rocuronium
3cc/jam
urine output
di dalam luka
manifestasi
akibat
sudah terikat.
toksin
klinis
yang
28
BAB 5
KESIMPULAN
Tuan W, 66 tahun, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
dengan keluhan kejang. Hal ini dialami pasien sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Kejang berlangsung terus menerus tanpa disertai penurunan kesadaran.
Kejang rangsang dijumpai. Wajah menyeringai dijumpai. Lima hari yang lalu,
kaki kanan pasien tertusuk duri kelapa sawit di belakang rumahnya. Gigi hitam
dan berlubang dijumpai. Pasien sudah mendapat pertolongan pertama dari RS
luar, dan dirujuk ke RSUP H. Adam Malik Medan. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik dan laboratorium, pasien
didiagnosa dengan Penurunan Kesadaran et causa Tetanus. Pada pasien ini
dilakukan tindakan pemasangan ETT . Penatalaksanaan berupa:
Pemasangan OGT
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care
Manual. 6th ed. Philadelphia:
Butterworth Heinemann
Elsevier;
2009.p.593-7.
3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are &
pain. Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.orgcontent/6/4/164.3.full.pdf.
4. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat
Daruratan Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009
5. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M,
et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term
Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54..
6. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS,
Setiati S, (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI; 2007.
7. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British
Journal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.
8. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during
humanitarian
emergencies.
2010.
Available
online
from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pd
f. [Accessed on 27 Februari 2016].
9. Laksmi, N. K. S., Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222/vol.41 no 11. 2014.
Bali. Indonesia
30
10. Hinfrey PB. Tetanus : Overview and Workup. 2013. Available online from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-workup#showall.
[Accessed on 27 Februari 2016]
11. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo, Aru W. et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta: EGC; 2007. p. 1777-85
12. Kapita selekta kedokteran/editor, Chris Tanto 9, et al., Ed. 4. Jakarta :
Media Aesculapius, 2014.
13. Ritarwan K. Tetanus. Lecture Paper. 2004. Available online from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysarafkiking2.pdf. [Accessed on 27 Februari 2016]
14. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India.
2002;50:398-407.
15. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M,
et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term
Effects of Medical Implants. 2003;13(3):139-54.
16. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online).
http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 8 Oktober
2011.