TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA APLASTIK
1.1 Definisi
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoeisis yang ditandai oleh penurunan
produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat adanya
pansitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem hematopoetik
atau kanker metastatik yang menekan sumsum tulang. Aplasia ini dapat terjadi hanya
pada satu, dua atau ketiga sistem hematopoisis. Aplasia yang hanya mengenai sistem
eritropoitik disebut anemia hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem
granulopoitik disebut agranulositosis, sedangkan yang hanya mengenai sistem
megakariosit disebut Purpura Trombositopenik Amegakariositik (PTA). Bila mengenai
ketiga sistem disebut panmieloptisis atau lazimnya disebut anemia aplastik. Menurut The
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik
bila: kadar hemoglobin 10 mg/dl atau hematokrit 30; hitung trombosit 50.000/mm 3;
hitung lekosit 3.500/mm3 atau granulosit 1,5 x 109/l (IDAI, 2006).
1.2 Epidemiologi
Ditemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat berat pada
saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki-laki dan perempuan,
namun dalam beberapa penelitian nampak insidens pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan wanita. Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara
barat dengan insiden 1-3/1 juta/tahun. Namun di negara timur seperti thailand, negara
Asia lainnya termasuk Indonesia, Taiwan dan Cina, insidennya jauh lebih tinggi.
Penelitian pada tahun 1991 di bangkok didapatkan insidens 3,7/1 juta/tahun. Perbedaan
insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obatobatan yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insiden virus hepatitis yang
lebih tinggi (IDAI, 2006; Bakta, 2007).
The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study (IAAS) dan French
Study menemukan insiden terjadinya anemia aplastik di Eropa sekitar 2 dari 1.000.000
pertahun. Insiden di Asia 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan di Eropa. Di China
insiden diperkirakan 7 kasus per 1.000.000 orang dan di Thailand diperkirakan 4 kasus
per 1.000.000 orang. Frekwensi tertinggi terjadi pada usia 15 dan 25 tahun, puncak
tertinggi kedua pada usia 65 dan 69 tahun. Penyebab anemia aplastik sebagian besar (5070 %) masih belum diketahui dengan pasti (Segel & Lichtman, 2011)
1.3 Etiologi
Anemia aplastik mungkin bersifat herediter, mungkin sekunder terhadap penyebabpenyebab seperti cedera toksik, radian, atau imunologik pada sel-sel induk sumsum
tulang atau lingkungan mikro, dapat berhubungan dengan berbagai penyakit, atau dapat
bersifat idiopatik (Dorland, 2002).
Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu (IDAI, 2006):
1.
2.
(61%),
Fenilbutason
(19%),
terdiri
atas:
Antikonvulsan
(4%),
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui, atau bersifat
idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses
penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Disamping itu juga disebabkan oleh belum
tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelusuran etiologi
dilakukan melalui penelitian epidemiologik (Bakta, 2007).
1.4 Patofisiologi
Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi
anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkan
patofisiologi penyakit ini, yaitu (IDAI, 2006; Bakta, 2007):
1.
2.
3.
atau dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan sel induk hematopoitik dikenal
sebagai longterm culture-initiating cell (LTC-IC), long-term marrow culture (LTMC),
jumlah sel induk/ CD 34 sangat menurun hingga 1-10% dari normal. Demikian juga
pengamatan pada cobble-stone area forming cells jumlah sel induk sangat menurun.
Bukti klinis yang menyokong teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan
transplantasi sumsum tulang pada 60-80% kasus. Hal ini membuktikan bahwa dengan
pemberian sel induk dari luar akan terjadi rekonstruksi sumsum tulang pada pasien
anemia aplastik. Beberapa sarjana menganggap gangguan ini dapat disebabkan oleh
proses imunologik (IDAI, 2006).
Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk hematopoitik
tergantung pada lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri dari sel stoma yang
menghasilkan berbagai sitokin. Pada berbagai penelitian dijumpai bahwa sel stoma
sumsum tulang pasien anemia aplastik tidak menunjukkan kelainan dan menghasilkan
sitokin perangsang seperti GM-CSF, G-CSF, dan IL-6 dalam jumlah normal sedangkan
sitokin penghambat seperti interferon- (IFN- ), tumor necrosis factor- (TNF-),
protein macrophage inflammatory 1 (MIP-1) dan transforming growth factor-2
(TGF-2) akan meningkat. Sel stroma pasien anemia aplastik dapat menunjang
pertumbuhan sel induk, tapi sel stroma normal tidak dapat menumbuhkan sel induk yang
berasal dari pasien. Berdasar temuan tersebut, teori kerusakan lingkungan mikro sumsum
tulang sebagai penyabab mendasar anemia aplastik makin banyak ditinggalkan (IDAI,
2006).
Kenyataan bahwa terapi imunosupresif memberikan kesembuhan pada sebagian
besar pasien anemia aplastik merupakan bukti meyakinkan tentang peran mekanisme
imunologik dalam patofisiologi penyakit ini. Pemakaian gangguan sel induk dengan
siklosporin atau metilprednisolon memberi kesembuhan sekitar 75%, dengan ketahanan
hidup jangka panjang menyamai hasil transplantasi sumsum tulang. Keberhasilan
imunosupresi ini sangat mendukung teori proses imunologik (IDAI, 2006).
Transplantasi sumsum tulang singeneik oleh karena tiadanya
masalah
sumsum
tulang
singeneik
dengan
didahului
terapi
conditioning
menghasilkan remisi jangka panjang pada semua kasus. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa pada anemia aplastik bukan saja terjadi kerusakan sel induk tetapi juga terjadi
imunosupresi terhadap sel induk yang dapat dihilangkan dengan terapi conditioning
(IDAI, 2006).
1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan
trombositopenia. Gejala ini dapat berupa (Bakta, 2007; Hoffbrand, 2005):
- Sindrom anemia: gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat.
- Gejala perdarahan: paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit seperti
petechie dan echymosis. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaksis, perdarahan
1.7 Diagnosis
Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia
sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik, serta aktifitas relatif sistem
limfopoitik dan sistem retikuloendothelial (SRE). Aplasia sistem eritropoitik dalam darah
tepi akan terlihat sebagai retikulositopenia yang disertai dengan merendahnya kadar Hb,
hematokrit dan hitung eritrosit serta MCV (mean corpuscular volume). Secara klinis anak
tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia, lemah, palpitasi,
sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia sistem
hematopoitik, maka umumnya tidak ditemukan ikterus, pembesaran limpa, hepar maupun
kelenjar getah bening (IDAI, 2006).
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan, tanpa
adanya organomegali (hepatospenomegali). Gambaran darah tepi menunjukkan
pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan
biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan
jaringan lemak; aplasia sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik. Di antara sel
sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit,
osteoklas, sel endotel). Hendaknya dibedakan anatara sediaan sumsum tulang yang
aplastik dan yang tercampur darah (IDAI, 2006).
Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau
bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan
adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang (Bakta, 2007).
Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis and
Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah (Bakta, 2007):
1. Satu dari tiga sebagai berikut:
a. Hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30%
b. Trombosit kurang dari 50x109/L
c. Leukosit kurang dari 3,5x109/L, atau neutrofil kurang dari 1,5x109/L
2. Dengan retikulosit < 30 x 109/L (< 1%)
3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik
atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan deplesi seri
granulosit dan megakariosit
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.
4. Pansitopenia karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksekusi
Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia aplastik.
Hal ini sangat penting dilakukan karena menentukan strategi terapi. Kriteria yang
dipakai pada umumnya ialah kriteria Camitta et.al. tergolong anemia aplastik berat
(severe aplastic anemia) bila memenuhi kriteria berikut:
a. Paling sedikit dua dari tiga:
- Granulosit < 0,5x109/L
- Trombosit < 20x109/L
- Correction retikulosit < 1%
b. Selularitas sumsum tulang < 25%, atau selularitas <50% dengan <30% sel-sel
hematopoetik
Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil < 0,2x109/L. Anemia aplastik
yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat
(nonsevere aplastic anemia).
Terapi kausal
Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan
pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal ini
sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak dapat
dikoreksi (Bakta, 2007).
2.
Terapi suportif
Pengobatan suportif dibedakan untuk mencegah dan mngobati terjadinya infeksi dan
perdarahan.
-
hari panas tidak turun, pikirkan infeksi jamur, dapat diberikan amphotericin-B
-
3.
minggu. Awasi efek samping serupa virilisasi dan gangguan fungsi hati.
Kortikosteroid dosis rendah sampai menengah: fungsi steroid dosis rendah
c.
belum jelas.
GM-CSF atau G-CSF dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah neutrofil,
tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin juga diberikan untuk
4.
b.
1.10
Prognosis
Prognosis bergantung pada (IDAI, 2006):
-
Kasus berat dan progresif, rata-rata meninggal dalam 3 bulan: merupakan 10-
2.
15% kasus
Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relaps.
3.
Sebab Kematian
Sebab kematian pada anemia aplastik, diantaranya (IDAI, 2006):
1.
2.