Anda di halaman 1dari 108

STATUS DAN JUAL BELI TANAH

BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU KABUPATEN DEMAK


SETELAH BERLAKUNYA UUPA

TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat S-2
Program Studi
Magister Kenotariatan

Oleh
YOSEPHINE DWI HARTATI, SH
B4B 002 181

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2007

STATUS DAN JUAL BELI TANAH


BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU KABUPATEN DEMAK
SETELAH BERLAKUNYA UUPA

STATUS AND TRADE OF LAND OF EX-PERDIKAN VILLAGE OF


KADILANGU IN REGENCY OF DEMAK SUBSEQUENT TO
THE IMPLEMENTATION OF UUPA

ABSTRAK
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S-2

Magister Kenotariatan

YOSEPHINE DWI HARTATI, SH


B4B 002 181

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2007

TESIS

STATUS DAN JUAL BELI TANAH


BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU KABUPATEN DEMAK
SETELAH BERLAKUNYA UUPA

Disusun oleh
YOSEPHINE DWI HARTATI, SH
B4B 002 181

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji


pada tanggal 4 Desember 2007 dan dinyatakan
telah memenuhi syarat untuk diterima

Tesis ini telah Diterima Sebagai Persyaratan Untuk


Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

Telah disetujui oleh :

Mengetahui:
Pembimbing

Ketua Program
Magister Kenotariatan

Hj. Endang Sri Santi, SH, MH.

H. Mulyadi, SH, MS.

NIP. 130 929 452

NIP. 130 529 429

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya
sendiri dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan
lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan manapun yang belum
atau tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan dalam tulisan dan daftar pustaka.

Semarang,

Desember 2007
Penulis,

YOSEPHINE DWI HARTATI, SH

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
kasih sayangnya yang tak terhingga kepada penulis, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.
Dalam tesis ini, penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki.
Namun atas izin-Nya, penulis memiliki kekuatan, usaha yang keras serta semangat
untuk membuat mimpi penulis menjadi kenyataan sehingga lahirlah sebuah karya
sederhana yaitu sebuah tesis dengan judul STATUS DAN JUAL BELI TANAH
BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU KABUPATEN DEMAK SETELAH
BERLAKUNYA UUPA.
Karya ini tidak akan terselesaikan, jika Tuhan tidak berkehendak serta
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1.

Bapak H. Mulyadi, SH, MS, selaku Ketua Program Studi Magister


Kenotariatan Universitas Diponegoro.

2.

Ibu Hj. Endang Sri Santi, SH, MH, selaku Dosen pembimbing yang
dengan penuh kesabaran membimbing penulis.

3.

Bapak DR. Arief Hidayat, SH, MS, selaku Dosen wali yang telah
memberi arahan dalam kegiatan akademik penulis.

4.

Bapak Sugeng Purwadi, APtnh, Kepala Kantor Pertanahan


Kabupaten Demak.

5.

Bapak Drs. Sudaryono, Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran


Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Demak.

6.

Bapak Sunarso, SH, Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah


Kantor Pertanahan Kabupaten Demak.

7.

Bapak Drs. Krisnaedi, Kepala Kelurahan Kadilangu Kecamatan


Demak, Kabupaten Demak.

8.

Bapak

R.

Sandioko,

Tokoh/sesepuh

masyarakat

Kelurahan

Kadilangu.
9.

Segenap masyarakat Kelurahan Kadilangu yang telah bersedia


menjadi responden dan meluangkan waktunya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya pada waktu wawancara.

10.

Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen pengajar Magister Kenotariatan


atas segala bekal ilmu yang sangat berharga dan bermanfaat bagi
penulis.

11.

Segenap

karyawan

bagian

Tata

Usaha

Program

Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro.


12.

Semua teman kuliahku di Magister Kenotariatan Universitas


Diponegoro angkatan 2002.

13.

Romo Mikael Walidi, Msf, yang selalu mendorong dan memberi


semangat selama menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini.

14.

Semua anggota keluargaku terutama ibuku, yang selalu membantu


selama menyelesaikan perkuliahan sampai penulisan tesis ini
berakhir.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, penulis menyadari


bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu penulis harapkan dan terima dengan tangan terbuka guna
perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Permohonan maaf yang tulus jika selama
dalam penulisan tesis ini penulis banyak melakukan kesalahan, baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja.
Akhirnya, walau sekecil apapun tesis ini, semoga dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.

Semarang,

Desember 2007
Penulis,

YOSEPHINE DWI HARTATI, SH

ABSTRAK
STATUS DAN JUAL BELI TANAH
BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU KABUPATEN DEMAK SETELAH
BERLAKUNYA UUPA
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tanggal 4 September
1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan, maka Desa-desa Perdikan hapus dan
beralih menjadi Desa biasa, sehingga hak-hak istimewa yang melekat pada Desa
Perdikan hapus pula.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tanggal 24
September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai pelaksanaan
dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, maka tidak dikenal lagi adanya dualisme hukum
dibidang pertanahan yang didasarkan pada Hukum Adat dan Hukum Perdata Barat.
Hal-hal yang bersangkutan dengan tanah selanjutnya diatur menurut ketentuan
Undang-undang Pokok Agraria tersebut beserta peraturan pelaksanaannya. Hak-hak
atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA yaitu hak-hak yang berasal dari
Hukum Adat maupun Hukum Perdata Barat dikonversi menjadi hak-hak atas tanah
menurut ketentuan UUPA sebagaimana diatur dalam Pasal 16, antara lain : Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan lain-lain. Selanjutnya atas
dasar hak-hak tersebut segala bentuk peralihan yang terjadi seperti jual beli, hibah,
tukar menukar dan sebagainya dilaksanakan pula menurut ketentuan UUPA (Pasal 26)
beserta peraturan pelaksanaannya (PP Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 37).
Permasalahan yang timbul pada masyarakat di Kelurahan Kadilangu, bahwa
status hak atas tanah bekas Desa Perdikan belum jelas dan masih dijumpai adanya
sistem jual beli atas tanah bekas Desa Perdikan dengan sistem jual beli lama sehingga
tidak sesuai dengan sistem jual beli yang diatur dalam UUPA. Oleh karena itu
penyusun ingin mengetahui status dan jual beli atas tanah di Kelurahan Kadilangu
Kabupaten Demak yang merupakan tanah bekas Desa Perdikan yang sampai sekarang
belum tuntas penyelesaiannya.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris. Pendekatan yuridis
digunakan sebagai acuan dasar yaitu berupa norma-norma hukum atau peraturanperaturan yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perolehan
status dan jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu. Pendekatan empiris
digunakan untuk menganalisis perilaku masyarakat berkaitan dengan peraturanperaturan mengenai status tanah bekas Perdikan Kadilangu.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa status tanah bekas Desa Perdikan
seharusnya dapat dikategorikan sebagai tanah swapraja/bekas swapraja yang
selanjutnya beralih pada tanah Negara. Sedangkan pelaksanaan jual beli atas tanah
bekas Desa Perdikan tidak sesuai dengan UUPA karena tidak adanya bukti/status hak
atas tanah bekas Desa Perdikan. Sehingga tidak dapat dipenuhinya persyarakatan bagi
suatu peralihan hak (jual beli) menurut ketentuan UUPA.

ABSTRACT

STATUS AND TRADE OF LAND OF EX-PERDIKAN VILLAGE OF


KADILANGU IN REGENCY OF DEMAK SUBSEQUENT TO
THE IMPLEMENTATION OF UUPA
Referring to Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1946 (1946 Act Number 13)
issued on 4 September 1946 in relation to eradication of Perdikan villages, Perdikan
villages have been removed and become regular villages, so that special rights
embedded to the Perdikan villages have also been removed.
With the advent of Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (1960 Act Number
5) issued on 24 September 1960 in relation to basic regulations of agrarian affairs as the
revelation of Article 33 verse 3 of UUD 1945 (1945 Constitution), there is not any
longer legal dualism in land affairs based on Common Laws and Western Civil laws.
Matters concerning with land affairs are subsequently disposed according to policy of
Undang-Undang Pokok Agraria or UUPA (act of agrarian affairs) along with its rules of
revelation. Rights on land existing prior to the implementation of UUPA, which had
been rights coming from Common Laws and Western Civil Laws, were converted into
rights on land according to the policy of UUPA. The rights on land, as they were
disposed in Article 16, are among others: property rights, enterprise use rights, building
use rights, usage rights and the like. Then based on the rights any form of transposition
following such as trade, grant, barter and so forth is to be conducted according to the
policy of UUPA in Article 26 along with its rules of revelation (1997 Government
Regulation Number 24 Article 37).
Cases emerging from people in Village of Kadilangu have been that the status
of land of the ex-Perdikan village has not been plain and that the old system of trade of
land of the ex-Perdikan village has still been observable. The cases have been improper
to the trade system disposed in UUPA. It is therefore the writer would like to find out
the status and trade of land in Village of Kadilangu in Regency of Demak. The land has
been of ex-Perdikan village which up to the present has not yet been settled down.
This research uses an empiric juridical method. The juridical approach used as
a basic reference is a series of legal norms or regulations disposing matters related to
acquisition of the status and trade of land of ex-Perdikan Village of Kadilangu. The
empiric approach is used to analyze behavior of people related to regulations on the
status of land of the ex-Perdikan Village of Kadilangu.
From the research result it is concluded that the status of land of the exPerdikan Village of Kadilangu should have been to be categorized as land of swapraja
(autonomous)/ bekas swapraja (ex-autonomous) area which should then be converted to
the state land. Whereas the mode of trade of land of the ex-Perdikan village has been
improper to UUPA as there has been no evidence/ status of rights on land of the exPerdikan village. The absence of the status has been unable to accomplish conditions for
a transposition of (trade) right according to the policy of UUPA.

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ....

HALAMAN PENGESAHAN....

ii

HALAMAN PERNYATAAN....

iii

KATA PENGANTAR...

iv

ABSTRAK.

vii

ABSTRACT

viii

DAFTAR ISI..

ix

BAB I. PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah

B. Perumusan Masalah...

C. Tujuan Penelitian...

10

D. Manfaat Penelitian

10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

12

A. Tanah Perdikan Sebelum Berlakunya Undang-undang


Nomor 13 Tahun 1946 Dan Undang-undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960..

12

A.1. Asal Mula Desa Perdikan Kadilangu...

12

A.2. Pengertian Status Tanah Perdikan

15

A.3. Orang Yang Berhak Atas Tanah Perdikan...

15

A.4. Transaksi Jual Beli Tanah Dalam Hukum Adat...

16

B. Tanah Perdikan Setelah Berlakunya Undang-undang


Nomor 13 Tahun 1946 Dan Undang-undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960..

20

B.1. Status Tanah Perdikan


B.1.1. Desa Perdikan Dihapus Menjadi Desa Biasa

20

B.1.2. Kedudukan Tanah Perdikan Setelah Menjadi


Desa Biasa....

21

B.2. Pengaruh Berlakunya UUPA Terhadap Tanah


Bekas Desa Perdikan Kadilangu.........

22

B.3. Sistem Jual Beli Yang Berlaku Atas Tanah Bekas


Desa Perdikan Kadilangu

24

BAB III. METODE PENELITIAN...

29

A. Metode Pendekatan...........

30

B. Spesifikasi Penelitian

31

C. Populasi Dan Teknik Sampling.....

32

D. Teknik Pengumpulan Data.

33

E. Analisis Data......

34

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

36

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.....

36

A.1. Letak Wilayah......

36

A.2. Batas Wilayah......

36

A.3. Luas Wilayah

37

A.4. Wilayah Administrasi......

37

A.5. Kelurahan Kadilangu..........

39

A.5.1. Keadaan Daerah

39

A.5.2. Penduduk.......

40

A.5.3. Sosial Ekonomi.

41

A.5.4. Agama.......

43

B. Kedudukan Tanah Bekas Desa Perdikan Kadilangu


Setelah Dikeluarkannya UUPA

44

C. Status Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan Kadilangu..

49

C.1. Gambaran Mengenai Status Hak Atas Tanah


Bekas Desa Perdikan Kadilangu

49

C.1.1. Tanah Bekas Desa Perdikan.........

49

C.1.2. Subyek Hak Atas Tanah Bekas Desa

Perdikan Kadilangu..........

51

C.1.3. Obyek Hak Atas Tanah Bekas Desa


Perdikan Kadilangu.......

52

C.1.4. Peralihan Hak Atas Tanah Bekas Desa


Perdikan Kadilangu.......

53

C.2. Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Bekas Desa


Perdikan Kadilangu......

54

C.3. Status Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan


Kadilangu.........

57

C.3.1. Tanah Swapraja

57

C.3.2. Tanah Hak Ulayat.........

60

C.3.2.1. Pengertian.......

60

C.3.2.2. Ciri-ciri Hak Ulayat........

61

C.3.2.3. Kewenangan Masyarakat Hukum


Adat Atas tanah..........

65

C.3.2.4. Eksistensi Hak Ulayat


Masyarakat Kadilangu.......

66

C.3.3. Tanah Hak Milik.......

72

D. Pemindahan Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan


Kadilangu..........

85

BAB V. PENUTUP........

93

A. Kesimpulan....

93

B. Saran

96

DAFTAR PUSTAKA.

97

LAMPIRAN

103

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Tanah mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan
manusia, karena tanah mempunyai fungsi sebagai tempat kegiatan manusia,
tanah juga sebagai sumber penghidupan demi kelangsungan kehidupan
manusia. Oleh sebab itu di Negara kita membicarakan masalah tanah
merupakan hal yang penting, mengingat Negara kita adalah Negara agraris dan
sebagian besar penduduknya hidup bercocok tanam, maka kebutuhan akan
tanah sebagai areal pertanian harus ada.
Begitu pentingnya peranan tanah maka kebutuhan akan Undangundang yang merupakan unifikasi dari Hukum Pertanahan adalah hal yang
sangat dibutuhkan, karena pada waktu dulu ada dua sistem hukum yang
mengatur

tentang tanah berjalan bersama-sama sehingga menimbulkan

persoalan. Dua sistem tersebut adalah :


1. Hukum yang mengatur tentang tanah-tanah adat.
2. Hukum yang mengatur tentang tanah-tanah yang tunduk kepada
Hukum Perdata Barat.
Pada tanggal 24 September 1960 ditetapkan berlakunya Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Dengan adanya unifikasi dalam hukum pertanahan maka semua tanah yang

tunduk pada hukum adat maupun yang tunduk pada hukum Perdata Barat dapat
dikonversi menjadi bermacam-macam hak atas tanah sebagaimana dalam Pasal
16 ayat 1 UUPA, antara lain:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai.
e. Hak Sewa.
f. Hak Membuka Tanah.
g. Hak Memungut Hasil Hutan.
Disamping hak-hak atas tanah tersebut diatas masih terdapat hak-hak lain
yang sifatnya sementara sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 UUPA,
yaitu:
a. Hak Gadai.
b. Hak Usaha Bagi Hasil.
c. Hak Menumpang.
d. Hak Sewa Tanah Pertanian.
Jika kita perhatikan dalam Diktum Kedua UUPA tentang ketentuanketentuan konversi, mengenai konversi tanah adat antara lain telah diatur
Pasal II ayat 1 yang menyebutkan:
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 seperti
yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom,
milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa,
pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht altijddurence erfpacht, hak

usaha atas bekas tanah partikulir dan hak-hak lain dengan nama
apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak
milik tersebut dalam Pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyai
tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
Kemudian dalam Diktum Keempat diatur pula:
A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari
swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai
berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
B. Hak-hak yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam
huruf A diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Tetapi pada kenyataannya di Kabupaten Demak masih ada tanah
yang belum dikonversi menjadi hak-hak seperti tersebut di atas. Hal tersebut
karena belum adanya peraturan yang mengatur secara khusus bagi tanah yang
bersangkutan. Tanah tersebut adalah bekas Desa Perdikan di Kelurahan
Kadilangu, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Karena keistimewaan Desa
Perdikan tersebut maka hukum yang mengatur tentang tanahnya mempunyai
keistimewaan pula, akibatnya tanah bekas Desa Perdikan tersebut tidak dapat
dikonversi. Sehingga sistem transaksi/mutasi/ pemindahan hak tanah bekas
Desa Perdikan yang berlaku belum bisa diterapkan sesuai ketentuan Pasal 26
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 maupun Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997. Untuk itu diperlukan peraturan khusus yang mengatur
mengenai tanah bekas Desa Perdikan.
Berhubung status tanah bekas Desa Perdikan belum kuat seperti
status hak atas tanah yang tercantum dalam Pasal 16 dan Pasal 53 dari UUPA
Nomor 5 Tahun 1960 maka sistem transaksinya tidak dapat diterapkan pada
Pasal 26 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 maupun Pasal 37 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997. Demi pentingnya hak atas tanah serta kepastian hukum
atas tanah bekas Desa Perdikan, maka diperlukan peraturan khusus yang
mengatur mengenai bekas tanah Desa Perdikan.
Yang dimaksud dengan Desa Perdikan adalah:
Desa yang didalamnya mempunyai hak-hak istimewa berupa
pembebasan dari pajak tanah pada Negara dan Kepala Perdikan
dibebaskan pula dari pajak pemotongan hewan kerbau, kuda dan
kambing. Tanah Perdikan diberikan oleh Raja atau Sultan yang
berkuasa sebelum atau semasa awal penjajahan kepada pendirinya
karena jasa-jasa tertentu. Desa Perdikan dapat dijumpai di daerah
Banyumas, Madiun, Kediri dan Demak. 1)
Tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu semula berasal dari
pemberian Raden Patah dalam kedudukannya sebagai Sultan Demak yang
diberikan kepada Sunan Kalijaga sebagai hadiah karena jasa-jasanya dalam
mengembangkan

agama

Islam, khususnya

di pulau

Jawa

dan

mendirikan

__________________________
1) Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi Dan
Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 2005, hal 89-90.

Masjid Agung Demak. Tanah Desa Perdikan tersebut semula berupa hutan
belukar yang kemudian dirubah menjadi tempat pemukiman dan desa
pertanian. Seiring dengan perkembangan jaman tanah Desa Perdikan
Kadilangu sekarang ini dikenal sebagai Kelurahan Kadilangu.
Pada zaman Hindia Belanda keberadaan Desa Perdikan Kadilangu
diakui dalam Tata Negara Belanda yang dinamakan Vrije

Dessa

sebagaimana dimaksud dalam Goverments Besluit tertanggal 20 Desember

1912 Nomor 25 Bijblad 7847. Yang semula Desa Perdikan Kadilangu meliputi
wilayah 33 Desa dipersempit menjadi 10 Desa. Usaha untuk mempersempit
wilayah dilanjutkan berdasarkan Goverments Besluit tertanggal 25 Januari
1915 Nomor 10. Yang dulunya 10 Desa dikurangi menjadi 1 Desa saja, yaitu
Desa Kauman yang kemudian menjadi wilayah kekuasaan Desa Perdikan
Kadilangu.
Seperti dengan Desa Perdikan yang lain maka Desa Perdikan
Kadilangu inipun mempunyai hak istimewa, berupa pembebasan pajak tanah,
pemotongan hewan, kerbau, kuda dan kambing.
Sedangkan

sistem

penguasaan

tanah

menggunakan

sistem

Parsprototo yaitu hanya para ahli waris yang berdomisili di Kadilangu


saja yang diperbolehkan menggarap dan menikmati hasilnya dan dengan sistem
Kloso Gumelar yaitu tanah boleh dipakai tetapi tidak boleh dijual. Dalam
perkembangan selanjutnya dengan adanya kebutuhan dari pemegang hak atas
tanah di Kelurahan Kadilangu peralihan hak atas tanah dengan jual beli tidak
terjadi antar kerabat Kadilangu saja melainkan juga kepada orang luar (bukan
kerabat). Sehingga sekarang banyak pemilik tanah yang bukan para ahli waris
keluarga Kadilangu.
Adapun tata cara jual beli yang berlaku atas tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu adalah para pihak yaitu penjual dan pembeli datang sendiri
ke Kantor Kelurahan untuk mengadakan perjanjian jual beli. Pelaksanaan jual
beli dimaksud dinyatakan dengan pembuatan segel jual beli (akta dibawah
tangan) dihadapan kepala Kelurahan dan dua sarekat Kelurahan sebagai saksi

yang kemudian ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan dengan


diikuti pembayaran harga jual belinya yang telah disepakati bersama. Surat
perjanjian jual beli (segel) yang dibuat dihadapan Kepala Kelurahan tersebut
berfungsi sebagai alat bukti yang sah bahwa benar telah dilakukan jual beli
yang bersangkutan.
Berlangsungnya Desa Perdikan dengan hak istimewa tersebut tidak
sesuai dengan cita-cita dan Asas Negara Kesatuan. Maka pada Tahun 1946
Menteri Dalam Negeri melakukan penghapusan hak istimewa dari apa yang
dikenal sebagai Desa Perdikan di daerah Banyumas Jawa Tengah. Dan dalam
rangka kepentingan masyarakat khususnya Pemerintah pada umumnya
keberadaan Desa Perdikan sebagaimana tersebut diatas tidak dapat
dipertahankan lagi. Maka Pemerintah pada tanggal 4 September 1946
mengeluarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946

yaitu tentang

Penghapusan Desa-desa Perdikan. Sebagai pelaksanaan Undang-undang


Nomor 13 tahun 1946 oleh Pemerintah diterbitkan Peraturan Menteri
Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Nomor 12 Tahun 1962
tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu Di Daerah Demak Jawa
Tengah.
Pemerintah berupaya dalam menghapus Desa Perdikan melalui
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 dan peraturan pelaksanaannya yaitu
Peraturan PUOD Nomor 12 Tahun 1962 atas Desa Perdikan Kadilangu
mengenai status hak atas tanahnya tidak disebut atau disinggung secara tegas.
Akibatnya panitia yang ditugasi untuk melaksanakan penghapusan Desa

Perdikan Kadilangu, seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri PUOD


Nomor 12 Tahun 1962 sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 13
Tahun 1946 belum berhasil. Hal ini terbentur terutama kepada masalah status
tanah Kadilangu tersebut. Sehingga tanah di Kelurahan Kadilangu yang
merupakan bekas Desa Perdikan Kadilangu khususnya dalam pengaturan hak
atas tanahnya masih seperti keadaan sebelum dikeluarkan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1946.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, tujuan pokoknya adalah :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria Nasional, yang
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Demi tercapainya masyarakat adil dan makmur serta kesejahteraan
masyarakat, maka tanah di Indonesia dikuasai oleh Negara. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 junto Pasal 2 UUPA, bahwa bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam dikuasai oleh Negara. Dikuasai disini
bukan berarti dimiliki tetapi Negara mempunyai kewenangan:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Terhadap segala hal yang berkaitan dengan pertanahan yang diberi
tugas adalah Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang
pelaksanaannya dari pusat sampai daerah, termasuk permasalahan yang timbul
di Kelurahan Kadilangu.
Dari hal-hal sebagaimana tersebut diatas bahwa status hukum hak
atas tanah di Kelurahan Kadilangu Kabupaten Demak yang merupakan tanah
bekas Desa Perdikan sampai sekarang belum tuntas penyelesaiannya. Sehingga
masalah tersebut perlu penanganan khusus demi kepastian hukum pemilik
tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu.
Berpangkal pada uraian tersebut diatas penyusun tertarik untuk
menyusun tesis dan mengadakan penelitian berjudul STATUS DAN JUAL
BELI TANAH BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU KABUPATEN
DEMAK SETELAH BERLAKUNYA UUPA.

B. PERUMUSAN MASALAH

Status tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu sampai sekarang ini


belum jelas, maka akan berpengaruh juga terhadap pelaksanaan jual beli
tanah bekas Desa Perdikan sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundang yang berlaku. Dan berdasarkan uraian yang termuat dalam latar
belakang penelitian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:

1. Bagaimana status tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu, Kabupaten


Demak, setelah berlakunya UUPA?
2. Bagaimana pelaksanaan jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu,
Kabupaten Demak menurut ketentuan UUPA?

C. TUJUAN PENELITIAN
Setiap penelitian yang dilakukan seseorang adalah untuk mencapai
suatu tujuan tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan dan ditentukan
sebelumnya. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui status tanah bekas Desa Perdikan di Kelurahan
Kadilangu, kabupaten Demak setelah berlakunya UUPA.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli tanah bekas Desa Perdikan
Kadilangu Kabupaten Demak menurut ketentuan UUPA.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari dua sisi,


yaitu secara teoritis dan praktis.
1. Manfaat Teoritis.
Penelitian

ini

diharapkan

mempunyai

manfaat

teoritis

bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pertanahan


dalam kaitannya dengan tanah bekas Desa Perdikan.
2. Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan kepada Pemerintah
untuk menyempurnakan peraturan-peraturan mengenai status dan jual
beli tanah bekas Desa Perdikan dan dapat menjadi bahan pertimbangan
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan UUPA.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TANAH PERDIKAN SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG


NOMOR

13

TAHUN

1946

DAN

UNDANG-UNDANG

POKOK

AGRARIA NOMOR 5 TAHUN 1960.


A.1. Asal mula Desa Perdikan Kadilangu.
Istilah Desa Perdikan sudah ada sejak jaman pemerintahan rajaraja. Pada jaman kerajaan tanah adalah milik raja dan rakyat hanya
mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya saja, tetapi
tidak memilikinya.
Pendapat bahwa tanah itu milik raja terdapat pula dalam:
a. Kata-kata rakyat biasa di Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa tanah
adalah Kagungan Dalem.
b. Domeinverklaring yang terdapat dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit
Staatblad 1870 Nomor 118.
c. Waktu di Bali masih ada raja-raja, maka dikatakan bahwa Raja itu
Sang Mawa Bumi. 2)

____________________________

2) Direktorat Landreform, Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, Diktat Asas-asas
Hukum Adat Tanah, hal 6.

Raja kemudian menghadiahkan tanah kepada seseorang yang


dianggap berjasa kepadanya sehingga terbentuklah Desa Perdikan.
Menurut Slamet Muljana, istilah Desa Perdikan sudah ada sejak jaman
raja-raja.
Dalam Kerajaan Majapahit tanah menurut Undang-undang
Agama (Kitab perundang-undangan Majapahit) Pasal 115 adalah milik
Raja. Rakyat hanya mempunyai hak untuk menggarapnya, memungut
hasil, tetapi tidak memilikinya. Hak milik tanah tetap ada pada Raja.
Dalam Negara Kertagama dan pada berbagai prasasti banyak sekali kita
jumpai soal prasasti Desa Perdikan. Raja menghadiahkan kepada
seseorang atas jasanya dengan pikukuh yang berupa piagam. Dalam hal
itu orang menerima anugerah atau hadiah tanah tetapi tidak memiliki
tanah yang bersangkutan. Orang itu hanya mempunyai hak untuk
memungut hasilnya. Keistimewaannya adalah bahwa anugerah itu
dibebaskan dari pajak. 3)
Menurut Imam Sudiyat, terjadinya Desa Perdikan adalah karena
pengaruh Raja terhadap hukum adat. Pengaruh Raja-raja terhadap hukum
tanah adat ada dua macam yaitu pengaruh yang merusak dan pengaruh
yang memperkuat.
____________________________
3) Slamet Muljana, Perundang-undangan Madjapahit, Djakarta, Bharatara, 1967, hal 38.

1. Pengaruh Raja yang merusak.

Ini terutama menimpa persekutuan-persekutuan hukum yang terletak


di wilayah sekitar pusat kerajaan, dilingkungan wilayah kediaman
Raja-raja dan kaum bangsawan (negaragung). Pengaruh itu berupa:
a. penggantian kepala-kepala persekutuan.
b. pengambilalihan tanah persekutuan hukum oleh raja.
c. pemberian hak kepada wangsa atau pegawai raja untuk memungut
pajak persekutuan-persekutuan hukum, yang sebenarnya harus
dipungut oleh Raja (lungguh, apanage). Sistem apanage ini
mendesak hak ulayat dan hak milik perorangan. Sesudah sistem
ini hapus, hak-hak yang terdesak itu berkembang kembali.
2. Pengaruh raja yang memperkuat.
Pengaruh ini bermanifestasi dalam:
a. penguatan susunan organisasi persekutuan-persekutuan hukum
yang terletak di luar wilayah negaragung, dilingkungan periferi
kerajaan jauh dari wilayah kediaman Raja-raja (mancanegara),
agar kewajiban menyetor pajak dan mengerahkan tenaga pekerja
(untuk keperluankerig aji) dapat ditunaikan sebaik-baiknya.
b. pembentukan Desa Perdikan. 4)

___________________________________
4) Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, Yogyakarta, Liberty, 1981, hal 18.

Dari

pendapat

kedua

sarjana

tersebut

diatas

dapatlah

disimpulkan mengenai asal mula/terjadinya Desa Perdikan merupakan


pengaruh dari Raja yang memperkuat kedudukan dari hukum adat

khususnya dalam bidang pertanahan. Tanah Perdikan merupakan tanah


milik Raja yang terdapat pada suatu wilayah tertentu yang diberikan
pada seseorang yang dianggap berjasa kepadanya dengan suatu pikukuh
berupa piagam. Orang yang mendapat pikukuh akan menguasai wilayah
tanah Raja yang disebut Desa Perdikan. Orang yang menguasai Desa
Perdikan ini mempunyai keistimewaan yaitu tidak dipungut pajak (upeti).

A.2. Pengertian Status Tanah Perdikan.


Tanah Perdikan adalah tanah milik Raja pada suatu wilayah
tertentu, yang diberikan pada seseorang yang dianggap berjasa kepada
Rajanya. Tanah Perdikan mempunyai keistimewaan, antara lain tanah
tersebut bebas dari pajak (upeti). Seorang pemegang tanah Perdikan
hanya mempunyai hak memakai atau menikmati hasilnya saja.

A.3. Orang Yang Berhak Atas Tanah Perdikan.


Orang yang berhak atas tanah Perdikan adalah orang yang diberi
hadiah oleh Raja dengan suatu pikukuh karena jasanya terhadap Raja
khususnya dalam bidang penyiaran agama. Apabila orang tersebut
meninggal maka sebagai gantinya adalah ahli waris yang meneruskan
jasanya dalam menyiarkan agama. Dari para ahli waris yang merupakan
peralihan dari satu generasi kebeberapa generasi sehingga pemakaian dari
Tanah Perdikan menjadi terpecah-pecah. Oleh ahli waris tersebut tidak
jarang tanah tersebut dipindahtangankan baik melalui jual beli maupun

gadai. Tetapi harus diingat yang dapat dipindahtangankan hanya hak


memakai atau hak menikmati hasilnya saja, sedangkan hak milik atas
tanahnya tidak dapat dipindahtangankan.

A.4. Transaksi Jual Beli Tanah Dalam Hukum Adat.


Transaksi tanah menurut hukum adat adalah penyerahan hak
atas tanah dengan pembayaran kontan atau tunai dari pihak satu (penjual)
kepada pihak lain (pembeli) pada saat itu juga. Perbuatan hukum tersebut
selanjutnya disebut transaksi jual beli (dalam bahasa jawa disebut adol
atau sade).
Agar transaksi ini merupakan perbuatan hukum yang sah maka
wajib dilakukan dihadapan penguasa, pada waktu itu Kepala Persekutuan
atau Kepala Desa. Sehingga perbuatan hukum tersebut terang. Apabila
transaksi tersebut dilakukan diluar sepengetahuan Kepala Persekutuan
atau Kepala Desa maka transaksi tersebut tidak diakui oleh Hukum Adat
dan oleh karenanya pihak penerima tanah tersebut tidak diakui haknya
serta pihak ketiga tidak terikat olehnya, dan perbuatan hukum itu
dianggap tidak terang.
Pada umumnya untuk transaksi-transaksi itu dibuatkan suatu
akta yang ditandatangani (cap jempol) oleh para pihak yaitu penjual dan
pembeli serta dibubuhi pula tanda tangan Kepala Persekutuan atau
Kepala Desa dan para saksi.

Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya Adat Recht yang


telah dialih bahasa oleh Saleh Adiwinata dikatakan:
bahwa (dalam hukum adat) semua hubungan-hubungan hukum
dianggap

sebagai

konkret/nyata

atau

dibuat

secara

kongkrit/nyata. 5)
Dengan demikian perjanjian yang dibuat dengan persetujuan
saja atau pertemuan kehendak yang diucapkan dengan mulut, tanpa
disertai perbuatan dan konkret dianggap belum ada perjanjian. Hal ini
dikatakan pula oleh Van Vollenhoven sebagai berikut:
pertemuan kehendak saja yang oleh para pihak telah
dinyatakan,

belum

sekali-kali

telah

melahirkan

suatu

persetujuan. Sebab untuk mendapat suatu kekuatan mengikat


menurut hukum adat, haruslah masih terjadi hal yang nyata atau
konkret atau terlihat
______________________________________
5) Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni, 1976,
Hal 13.

yaitu menyerahkan diri apa yang disebut panjer (alat pengikat)


dalam bentuk sedikit uang atau benda lain yang nyata atau
terlihat yang diserahkan pada si (calon) penjual oleh si (calon)
pembeli. 6)
Perbuatan konkret atau kontan dalam persetujuan (perjanjian)
ditandai dengan adanya panjer yang pada umumnya berupa uang.
Umumnya orang baru merasa terikat pada suatu janji jika telah menerima

panjer dan

apabila

terjadi

pengingkaran

maka hal tersebut

mempunyai sanksi. Sanksi tersebut adalah panjer akan hilang apabila


pihak pembeli membatalkan perjanjian itu. Sedangkan pihak pembeli
dapat menuntut pihak penjual jika tidak memenuhi janjinya.
Menurut H.R. Otje Salman Soemadiningrat, perbuatan konkret
dalam masyarakat hukum adat merupakan sesuatu yang bertujuan untuk
mencapai keseimbangan (evenwicht). 7)
Transaksi jual menurut Imam Sudiyat, dapat dibedakan sebagai
berikut:
1. Jual Gadai yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran

___________________________
6) Ibid hal 14.
7) Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung, Alumni, 2002,
Hal 118.

sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual tetap


berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya
kembali.
2. Jual Lepas yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran
sejumlah uang tunai, tanpa hak menebus kembali, jadi penyerahan itu
berlaku untuk seterusnya/selamanya.
3. Jual Tahunan yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran
sejumlah uang secara tunai, dengan janji tanpa suatu perbuatan
hukum lagi, tanah itu akan kembali dengan sendirinya kepada

pemiliknya, sesudah berlaku beberapa tahun/beberapa kali panen


(menurut perjanjian). 8)
Mengenai transaksi tanah yang menyangkut tanah Perdikan
menurut pendapat Slamet Muljana, bahwa jual beli terhadap tanah raja
adalah:
Jika ada orang yang menjual tanah, pada hakekatnya ia hanya
menjual hak pakai tanah yang bersangkutan. Dalam Kitab
Perundang-undangan Agama,

rakyat

juga

bisa

mengadaikan

tanah, namun pada hakekatnya yang digadaikan hanya hak pakai


tanah bukan hak memiliki tanah. Ditambah keterangan bahwa gadai
tanah tidak dapat leleb karena tanah adalah milik Raja. 9)
_____________________________
8) Imam Sudiyat, Op. cit, hal 28.
9) Slamet Muljana, Op. cit, hal 7.

Dari hal tersebut diatas berarti bahwa tanah Perdikan dapat dijualbelikan atau digadaikan, namun yang dijual-belikan maupun digadaikan
adalah hak memakainya saja, sebab hak milik masih ada pada Raja.

B. TANAH PERDIKAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG


NOMOR

13

TAHUN

1946

DAN

UNDANG-UNDANG

AGRARIA NOMOR 5 TAHUN 1960.


B.1. Status Tanah Perdikan.
B.1.1. Desa Perdikan Dihapus Menjadi Desa Biasa.

POKOK

Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13


Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan serta Peraturan
Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12
Tahun 1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu di
Daerah Demak Jawa Tengah, membawa pengaruh terhadap tata
pemerintahan bekas tanah (desa) Perdikan Kadilangu, antara lain:
1. Desa Perdikan Kadilangu dihapus dan dijadikan desa biasa,
sehingga

yang

dulunya

terdapat

dualisme

sistem

kepemimpinan yaitu adanya Kepala Desa Perdikan dan Lurah


Desa Perdikan. Setelah Desa Perdikan dihapus maka hanya
ada satu pemimpin yaitu Kepala Desa Kadilangu yang tidak
lagi dijabat secara waris, melainkan dipilih dari anggota
masyarakat.
2. Hapusnya hak-hak istimewa yang diberikan kepada Desa
Perdikan sebagaimana dimaksud dalam Bijbl Nomor 7874
(GOUV BESL Nomor 25 tanggal 20 Desember 1912) maupun
Kepala Desa Perdikan sebagai penguasa, termasuk pemberian
tunjangan tahunan kepada ahli waris Kadilangu serta
kewajiban yang dibebankan kepada seseorang atau penduduk.
Desa Perdikan yang dihapus adalah yang disebut dalam
Pasal 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946, yang dianggap
sebagai Desa Perdikan ialah semua desa-desa yang dalam Tata
Negara Belanda dinamakan Vrije Dessa sebagaimana dalam

Bijbl Nomor 7874 (GOUV BESL Nomor 25 tanggal 20 Desember


1912).
B.1.2. Kedudukan Tanah Perdikan Setelah Menjadi Desa Biasa.
Dengan hapusnya Desa Perdikan maka tentunya sistem
pemerintahan kembali pada Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945.
Tetapi hal-hal yang berhubungan dengan penghapusan desa
tersebut

tentunya tidak semudah yang dibayangkan. Karena

sebagai aturan pelaksanaan mengenai penghapusan Desa Perdikan


belum ada maka kita berpegang pada Pasal II Aturan Peralihan
dari Undang-undang Dasar 1945, yang menyebutkan :
Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang Dasar 1945. 10)
Karena dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946
maupun dalam Peraturan Menteri Pemerintah Umum dan
Otonomi Daerah Nomor 12 tahun 1962 tidak mengatur secara
jelas, maka kedudukan tanah Desa Perdikan tetap dikuasai oleh
para ahli waris Kadilangu dan statusnya tetap sebagai milik raja.

B.2. Pengaruh Berlakunya UUPA Terhadap Tanah Bekas Desa Perdikan


Kadilangu
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang-undang Pokok Agraria sebagai Hukum Tanah Nasional,
kiranya tanah Perdikan merupakan tanah yang dikuasai oleh Negara atas
dasar:

1. Diktum Kedua UUPA tentang ketentuan-ketentuan konversi Pasal II


ayat 1 yang menyebutkan:

_____________________________
10) H.A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, Jakarta, PT.Pembangunan, 1981, hal 120

Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau


mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1 seperti
yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada
mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu hak agrarisch
eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas
druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht
altijddurence erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikulir dan
hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20
ayat 1, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat
sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.
Dalam ayat tersebut tanah Perdikan tidak disebut sebagai tanah
yang haknya dapat dikonversi sebagai hak milik.
2. Diktum Ketiga UUPA yang menyebutkan:
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk penyelenggaraan
perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan
diatur tersendiri.
Dengan melihat ketentuan tersebut, maka Peraturan Menteri
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 Tahun 1962,
yang isinya antara lain mengenai penghapusan hak-hak istimewa
yang ada pada Desa Perdikan, seharusnya berlaku juga untuk
tanahnya (bekas tanah Perdikan).
3. Diktum Keempat UUPA yang menyebutkan:

A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari


swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu
mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih
kepada Negara.
B. Hak-hak yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan
dalam huruf A diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Mengingat

bahwa

tanah

Perdikan

Kadilangu

dulunya

merupakan tanah pemberian atau hadiah dari Raja Demak yang


diberikan kepada Sunan Kalijaga karena jasanya dalam menyiarkan
agama Islam. Hal ini diakui juga oleh Pemerintah Hindia Belanda
dalam Bijbl Nomor 7874 (GOUV BESL Nomor 25 tanggal 20
Desember 1912).
Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut seharusnya tanah
bekas Desa Perdikan Kadilangu dapat dikategorikan sebagai tanah
swapraja/bekas swapraja yang selanjutnya beralih menjadi tanah
Negara. Sehingga hak dan wewenang atas tanah tersebut hapus dan
beralih juga pada Negara.
Selanjutnya pemilik tanah bekas Desa Perdikan tersebut dapat
mengajukan permohonan hak atas tanahnya kepada Pejabat yang
berwenang melalui Kantor Pertanahan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 junto Nomor 9 Tahun 1999 tanggal 14 Oktober
1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Perbatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan.

B.3. Sistem Jual Beli Yang Berlaku Atas Tanah Bekas Desa Perdikan
Kadilangu.
Telah kita ketahui bahwa tanah Kadilangu semula merupakan
Desa Perdikan yang dikuasai oleh Sunan Kalijaga yang kemudian secara
turun temurun beralih dikuasai oleh para ahli waris Kadilangu.
Sifat turun temurun ini menurut pihak ahli waris Kadilangu
adalah adanya kenyataan bahwa selama ini tanah Kadilangu tersebut
selalu berada di tangan anak cucu Sunan Kalijaga dari generasi ke
generasi.
Proses timbulnya hak diawali dari peristiwa pemberian tanah
oleh Raja Demak kepada Sunan Kalijaga. Walaupun istilah pemberian itu
merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan mengalihkan sesuatu
hak atau benda kepada pihak lain, namun karena tanah sebagai obyek dari
pemberian itu belum siap pakai bahkan masih berupa hutan belukar dan
rawa-rawa, maka pemberian tanah tersebut dapat diartikan sebagai
pemberian ijin untuk membuka tanah.
Dengan diberikannya ijin membuka tanah itu kepada Sunan
Kalijaga, timbullah hubungan hukum antara Sunan Kalijaga dengan tanah
itu walaupun masih dalam bentuk hubungan hukum yang abstrak. Setelah
tanah itu benar-benar dibuka, pohon-pohon ditebang, belukar dibersihkan
dan rawa dikeringkan barulah hubungan hukum yang abstrak tadi
menjadi konkret yaitu hak atas tanah tersebut. Kemudian tanah tersebut
ditanami, timbullah hak yang disebut hak memetik hasil dan setelah hasil

dipanen berungkali secara berlanjut, hak memetik tadi berkembang dan


berubah menjadi hak pakai. Pada akhirnya tanah berubah total dan benarbenar menjadi lahan pertanian dan tempat pemukiman yang mapan, maka
hak pakai tersebut berkembang dan berubah menjadi suatu hak yang
terkuat, terpenuh yang bisa menjadi induk dari hak-hak atas tanah lainnya
dan bersifat turun temurun yaitu hak atas tanah yang disebut hak milik
adat.
Dari uraian diatas, pihak ahli waris Kadilangu menganggap
bahwa status tanah Kadilangu adalah milik Sunan Kalijaga dan setelah
wafat menjadi tanah warisan bagi anak cucu keturunannya sepanjang
masa dengan hak milik adat sebagai haknya.
Dalam

perkembangan

selanjutnya

dengan

adanya

perkembangan jaman dan kebutuhan dari para pemegang hak atas tanah
Kadilangu,

telah

banyak

terjadi

peralihan

terhadap

kepemilikan/penguasaan tanah atau dengan kata lain terjadi jual beli


terhadap tanah bekas Perdikan Kadilangu tersebut. Jual Beli tersebut
tidak hanya terjadi antar kerabat Kadilangu saja melainkan juga kepada
orang luar (bukan kerabat), sehingga sampai sekarang banyak pemilik
tanah bekas Perdikan yang bukan ahli waris/keluarga Kadilangu. Jual
Beli atas tanah dimaksud adalah terbatas pada tanah pekarangan atau
perumahan, sedangkan untuk tanah sawah masih tetap dikuasai dan
dipergunakan oleh ahli waris Kadilangu yang tetap berdomisili di
Kelurahan Kadilangu. Penggunaan dari hasil tanah sawah itu disamping

untuk mencukupi kebutuhan hidup para ahli waris juga untuk biaya
pemeliharaan Masjid Kadilangu.
Jual beli atas tanah Kadilangu dilakukan secara :
a. Tunai, ini ditandai dengan adanya pembayaran harganya oleh pembeli
kepada penjual secara penuh dalam arti tidak diangsur. Dengan
pembayaran tersebut, penjual telah menyerahkan hak atas tanah
kepada pembeli dan pada saat itu pembeli telah menjadi pemegang
hak atas tanah tersebut.
b. Riil, dilakukan dengan pembuatan/penulisan perjanjian jual beli serta
penerimaan harga tanah oleh Penjual. Dan adanya kata sepakat antara
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tidak diikat dengan
panjer.
c. Terang, dengan dilakukannya jual beli yang bersangkutan dihadapan
Kepala Kelurahan beserta saksi-saksi, sehingga menunjukkan bahwa
perbuatan hukum yang mereka lakukan bukanlah jual beli yang gelap.
Pelaksanaan jual beli dinyatakan dengan pembuatan segel jual
beli (akta bawah tangan) dihadapan Kepala Kelurahan serta dua orang
sarekat Kelurahan sebagai saksi yang kemudian ditandatangni oleh pihakpihak yang berkepentingan serta diikuti dengan pembayaran harganya
yang telah disepakti bersama.
Surat perjanjian (segel) jual beli tanah yang telah dibuat
dihadapan Kepala Kelurahan tersebut berfungsi sebagai alat bukti bahwa
benar telah dilakukan jual beli tanah yang bersangkutan. Dengan

demikian pembeli sebagai pemegang haknya yang baru berhak atas tanah
yang bersangkutan dan tidak dapat disangkal pemilik yang lama maupun
ahli warisnya.
Untuk selanjutnya terjadinya jual beli tersebut dicatat di Kantor
Kelurahan mengenai subyek pemilik/penguasaan tanahnya atas nama
pemegang hak yang baru guna kepentingan kewajiban pembayaran pajak
(PBB).

BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research,


yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian
secara logawiyah berarti mencari kembali. 11)
Penelitian merupakan suatu proses yang berupa langkah-langkah, yang
dilakukan secara berencana dan sistematis yang berguna untuk memperoleh
pemecahan masalah dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan tertentu dimana
dalam hal ini langkah yang dilakukan harus sesuai dan saling mendukung antara
yang satu dengan yang lain sehingga dapat diharapkan agar penelitian
mempunyai nilai yang cukup memadai serta memberikan kesimpulan tidak
meragukan. 12)
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut. Untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalah yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. 13)

______________________________
11) Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hal 28.
12) Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hal 20.
13) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1984, hal 43.

Untuk dapat mempelajari suatu gejala hukum, maka diperlukan adanya


suatu data. Data ini sangat diperlukan untuk mendukung pengkajian antara datadata yang didapat dengan teori yang mendukungnya. Sehingga permasalahan
pokok yang menjadi bahan untuk diteliti dapat dijawab. Agar data yang

dimaksud dapat diperoleh dan dibahas, peneliti menggunakan metode penelitian


sebagai berikut:

A. METODE PENDEKATAN
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan Yuridis Empiris yaitu dengan melakukan penelitian secara timbal
balik antara hukum dengan lembaga indoktrinal yang bersifat empiris dalam
menelaah kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. 14)
Mengingat permasalahan yang akan diteliti menyangkut keterkaitan
antara faktor yuridis perolehan status dan jual beli tanah bekas Desa Perdikan
Kadilangu dan perilaku masyarakat adanya kewajiban pendaftaran hak atas
tanah untuk memperoleh sertipikat demi terjaminnya kepastian hukum.
Adapun faktor yuridisnya adalah norma-norma hukum atau
peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan perolehan status dan jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu.
___________________________
14) Ronny Hanitijo Soemitro, Metologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, Cetakan
Kelima, 1990, hal 34.

Sedang faktor empirisnya adalah perilaku masyarakat yang


berkaitan dengan peraturan-peraturan mengenai status tanah bekas Perdikan
Kadilangu.

B. SPESIFIKASI PENELITIAN

Suatu penelitian dapat dibagi menjadi tiga yaitu : Pertama adalah


Penelitian Eksploratios yaitu penelitian penjelajahan, mencari keterangan,
penjelasan dan data menganai hal-hal yang belum diketahui. Kedua adalah
Penelitian Deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan menuliskan tentang
sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Ketiga adalah Penelitian
Eksplanatoris yaitu suatu penelitian yang menerangkan memperkuat atau
menguji dan bahkan menolak suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap
hasil penelitian yang ada. 15)
Dalam penelitian ini menggunakan Spesifikasi penelitian yang
bersifat Deskriptif Analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan secara
menyeluruh dan sistematis obyek dari pokok permasalahan. 16)
Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan
gambaran yang sebenarnya mengenai permasalahan sebagaimana tersebut
diatas. Sehingga dari gambaran tersebut akan dianalisa dalam kenyataan yang
terjadi dalam suatu tempat penelitian.
_______________________________
15) Soerjono Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1984, hal 4.
16) Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hal 122.

C. POPULASI DAN TEKNIK SAMPLING


Penelitian ini berkaitan dengan perolehan status dan jual beli tanah
bekas Desa Perdikan Kadilangu di Kelurahan Kadilangu, Kecamatan Demak,
Kabupaten Demak. Untuk memperoleh data dan keterangan yang berhubungan
dengan pelaksanaannya penulis melakukan survey langsung ke lapangan

dengan menentukan populasi, sample dan wilayah penelitian yang akan diteliti
terlebih dahulu.
Populasi adalah seluruh obyek yang terdiri atas seluruh individu,
seluruh gejala dan seluruh unit yang akan diteliti.

17)

Adapun yang menjadi

populasi dari penelitian ini adalah semua unit yang ada sangkut pautnya
dengan masalah perolehan status dan jual beli tanah bekas Desa Perdikan
Kadilangu.
Sampel adalah merupakan bagian dari populasi yang merupakan
sumber data yang akan diteliti

mewakili

populasi. Penentuan sampel

dilakukan berdasarkan purposive sampling yaitu penarikan sampel dengan cara


memilih subyek yang benar-benar dapat mencerminkan penarikan populasi.
Mengenai jumlah sampel yang akan diambil menurut pendapat
Ronny Hanitijo bahwa pada prinsipnya tidak ada peraturan yang ketat secara
mutlak menentukan berapa persen sampel tersebut harus diambil dari populasi.
Berdasarkan pendapat tersebut diatas maka yang menjadi responden
dari penelitian ini adalah:
_______________________
17) Ronny Hanitijo Soemitro, Op. cit, hal 44.

a. Warga masyarakat Kelurahan Kadilangu yang pernah melakukan jual beli


tanah bekas Desa Perdikan, untuk penjual dan pembeli masing-masing
sebanyak 20 orang.
b. Kepala Kelurahan Kadilangu.
c. Tokoh/sesepuh masyarakat di Kelurahan Kadilangu.
d. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Demak.

e. Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan


Kabupaten Demak.
f. Kepala Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak.
g. Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten
Demak.

D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA


Dalam suatu penelitian, pengumpulan data merupakan salah satu
tahapan dalam proses penelitian dan sifatnya mutlak untuk dilakukan karena
data merupakan fenomena yang akan diteliti. Dari data yang diperoleh kita
mendapatkan gambaran yang jelas tentang obyek yang akan diteliti, sehingga
akan membantu kita untuk menarik suatu kesimpulan dari obyek atau
fenomena yang akan diteliti.
Agar penulis memperoleh gambaran tentang fenomena yang diteliti
hingga pada penarikan suatu kesimpulan, maka penulis tidak mungkin terlepas
dari kebutuhan akan data yang akurat. Untuk memperoleh data yang diperlukan
dalam penelitian ini, penulis menggunakan cara sebagai berikut:
a. Data Primer
Wawancara Langsung, dalam melakukan wawancara ini, penelitian
menggunakan teknik wawancara terarah (directive interview) yaitu peneliti
terlebih dahulu merencanakan pelaksanaan wawancara. Wawancara

dilakukan secara bebas terpimpin dengan alat bantu berupa daftar


pertanyaan.
b. Data sekunder.
Studi Kepustakaan, yaitu dengan penelitian kepustakaan yang merupakan
tujuan untuk mendapatkan landasan teoritis yang menitik beratkan pada
peraturan perundang-undangan, buku-buku, literatur dan referensi-referensi
lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas.

E. ANALISIS DATA
Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah
metode analisa kualitatif untuk mengetahui bagaimana perolehan status dan
jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu, apakah sesuai dengan peraturan
yang berlaku atau tidak.
Metode analisa kualitatif merupakan suatu cara penelitian yang
menghasilkan data diskriptif, yaitu apa yang dinyatakan responden secara
tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai
sesuatu yang utuh.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian diklasifikasikan kemudian
dianalisis secara kualitatif yang selanjutnya akan disajikan dalam bentuk
deskriptif dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti dalam bentuk tesis.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


A.1. Letak Wilayah
Demak sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah terletak
pada koordinat :
Lintang Selatan : 6 43 26 7 09 43
Bujur Timur

: 110 27 58 110 48 47

A.2. Batas Wilayah


Batas-batas Kabupaten Demak :
Sebelah Utara

: Kabupaten Jepara dan Laut Jawa.

Sebelah Timur

: Kabupaten Kudus dan Kabupaten Grobogan.

Sebelah Selatan

: Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang

Sebelah Barat

: Kota Semarang.

Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah sepanjang 49 Kilometer


dan dari Utara ke Selatan sepanjang 41 Kilometer.
Dilihat dari ketinggian permukaan tanah dari permukaan laut
(elevasi), wilayah Kabupaten Demak terletak mulai dari 0 meter sampai
dengan 100 meter dari permukaan laut. 18)
____________________________________
18) Demak Dalam Angka 2005, Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak, hal 1.

A.3. Luas Wilayah


Secara administratif luas wilayah Kabupaten Demak adalah
89.743 Hektar.Sedang dari testur tanahnya, wilayah Kabupaten Demak
terdiri atas tekstur tanah halus (liat) seluas 49.066 Hektar dan tekstur
tanah sedang (lempung) seluas 40.677 Hektar. 19)
A.4. Wilayah Administrasi
Kabupaten Demak terbagi atas 14 Kecamatan, 241 Desa dan 6
Kelurahan, sedangkan menurut klasifikasinya wilayah Kabupaten Demak
terdiri atas 144 Desa/Kelurahan Swadaya mula dan 69 Swakarya mula.
Selain itu menurut tingkat perkembangan LKMD, maka di Kabupaten
Demak terdapat 29 Desa berkategori II dan 218 Desa berkategori III. 14
Kecamatan di Kabupaten Demak tersebut adalah:
1.

Kecamatan Mranggen

2.

Kecamatan Karangawen

3.

Kecamatan Guntur

4.

Kecamatan Sayung

5.

Kecamatan Karangtengah

6.

Kecamatan Bonang

7.

Kecamatan Demak

8.

Kecamatan Wonosalam

_________________________
19) Ibid

9.

Kecamatan Dempet

10.

Kecamatan Gajah

11.

Kecamatan Karanganyar

12.

Kecamatan Mijen

13.

Kecamatan Wedung

14.

Kecamatan Kebonagung. 20)


Kecamatan Demak mempunyai luas wilayah

61.175 Hektar.

39.100 Hektar adalah tanah sawah dan 22.030 Hektar adalah tanah
kering. Terdapat 19 Desa/Kelurahan di Kecamatan Demak antara lain:
1. Desa Kalikondang
2. Desa Donorejo
3. Desa Katonsari
4. Kelurahan Mangunjiwan
5. Kelurahan Bintoro
6. Kelurahan Kadilangu
7. Kelurahan Betokan
8. Desa Cabean

9. Desa Bango
10. Desa Bolo
_________________________
20) Ibid, hal 19.

11. Desa Sedo


12. Desa Mulyorejo
13. Desa Kedondong
14. Desa Raji
15. Desa Turirejo
16. Desa Tempuran
17. Kelurahan Singorejo
18. Kelurahan Kalicilik
19. Desa Karangmlati. 21)
A.5. Kelurahan Kadilangu
A.5.1. Keadaan Daerah
Kelurahan Kadilangu termasuk dalam wilayah Kecamatan
Demak, mempunyai luas 0,952 KM, terdiri dari 73,64 Hektar
tanah sawah dan 21,55 Hektar tanah kering. Terletak di Sebelah
Timur Kota Demak pada jalur

Demak-Grobogan sejauh lebih

kurang 2 Kilometer dengan ketinggian 4 meter diatas permukaan


air laut.

___________________________________

21) Kecamatan Demak Dalam Angka 2005, hal 1-2.

Kelurahan Kadilangu berbatasan dengan :


Sebelah Utara

: Desa Botorejo

Sebelah Timur

: Desa Botorejo

Sebelah Selatan

: Desa Kendaldoyong

Sebelah Barat

: Kelurahan Bintoro. 22)

Dengan melihat perincian luas daerah maka sebagian besar


Kelurahan Kadilangu merupakan tanah sawah, yang sebagian
besar merupakan sawah tadah hujan sedangkan yang merupakan
pertanian tehnis hanya sebagian kecil saja.
A.5.2. Penduduk
Penduduk Kelurahan Kadilangu berjumlah 3.426 jiwa yang
meliputi penduduk laki-laki sebanyak 1.700 jiwa dan penduduk
perempuan sebanyak 1.726 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut
seluruhnya merupakan Warga Negara Indonesia dengan jumlah
kepala keluarga sebanyak 853 KK. 23)
Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk menurut
umur dan jenis kelamin di Kelurahan Kadilangu, dapat dilihat pada
table berikut:

__________________________
22) Ibid, hal 3-25.
23) Ibid.

Tabel 1.
JUMLAH PENDUDUK MENURUT UMUR DAN
JENIS KELAMIN KELURAHAN KADILANGU
No.

Umur

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

1.

0 - 4

175

238

413

2.

5 - 14

363

343

706

3.

15 - 24

263

249

512

25 - 34

199

167

366

5.

35 - 44

191

188

379

6.

45 - 54

165

170

335

7.

55 - 64

170

188

358

8.

65 >

174

183

357

Jumlah

1.700

1.726

3.426

Sumber Data : Kelurahan Kadilangu Tahun 2007

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa dari


jumlah penduduk yang ada yang paling banyak adalah umur 9 - 14
Tahun sebanyak 706 jiwa.
A.5.3. Sosial Ekonomi
Sebagian besar wilayah Kelurahan Kadilangu berupa tanah
sawah, maka penduduk Kelurahan Kadilangu kebanyakan bermata
pencaharian sebagai petani. Tanah sawah di Kelurahan Kadilangu
sebagian besar merupakan sawah tadah hujan sehingga musim
tanamnya terbatas. Pada daerah yang dapat terjangkau irigasi teknis
bisa dua kali panen setiap tahunnya, sedangkan daerah yang kurang
airnya penduduk hanya bisa satu kali panen.
Tabel 2.

PENDUDUK MENURUT MATA PENCAHARIAN


KELURAHAN KADILANGU
No.

Jenis Mata Pencaharian

Jumlah

1. Petani

367

2. Buruh Tani

486

3. Buruh Industri dan bangunan

139

4. Pengusaha

5. Pedagang

261

6. Pegawai Negeri Sipil, Polisi dan TNI

335

7. Pensiunan

241

102

Lain-lain

Sumber Data : Kelurahan Kadilangu Tahun 2007


Keadaan sosial masyarakat Kelurahan Kadilangu cukup baik
terutama yang menyangkut kepentingan bersama dari anggota
masyarakat. Kerukunan dalam masyarakat juga masih terpelihara
dengan baik, hal ini dapat dilihat dari adanya kegiatan bersama,
misalnya kebersihan lingkungan kampung dan sebagainya.
Sarana pendidikan di Kelurahan Kadilangu terdapat 2
Sekolah

Dasar

Negeri

dan 1

Sekolah

Diniyah. Sedangkan

sarana

kesehatan di Kelurahan Kadilangu hanya terdapat 1 Puskesmas. 24)


A.5.4. Agama
Penduduk di Kelurahan Kadilangu mayoritas beragama
Islam. Hal ini dapat dipahami sebab Kelurahan Kadilangu dulunya

tempat pusat penyebaran agama Islam untuk pertama kalinya di


Pulau Jawa. Karena mayoritas beragama Islam maka perwujudan
kehidupan sehari-hari sangat dipengaruhi oleh hukum agama Islam.
Contoh : pengajian bersama, tahlil, manakip dan sebagainya.
Namun demikian tidak jarang masih ada yang menjurus kearah
animisme dan hal ini melekat kuat dalam kehidupan sehari-hari
penduduk Kelurahan Kadilangu. Contoh: memberi sesaji pada
makam Sunan Kalijaga dan sebagainya. 25)
Tabel 3.
PENDUDUK MENURUT AGAMA
KELURAHAN KADILANGU
No.

Jenis Agama

1. Islam

Jumlah Penganut
3.385

2. Katholik

3. Kristen

34

4. Hindu

5. Budha

Sumber Data : Kelurahan Kadilangu Tahun 2007


____________________________
24) Ibid.
25) R. Sandioko, Wawancara, Tokoh/sesepuh masyarakat Kelurahan Kadilangu, tanggal 6 Nopember 2007.

Tabel 4.
SARANA IBADAH
KELURAHAN KADILANGU
No.

Jenis Agama

Jumlah Penganut

1. Masjid

2. Musholla

19

3. Gereja

4. Kuil

5. Klenteng

Sumber Data : Kelurahan Kadilangu Tahun 2007

B. KEDUDUKAN TANAH BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU


SETELAH DIKELUARKANNYA UUPA.
Setelah dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) segala
hal yang berhubungan dengan tanah Desa Perdikan Kadilangu hapus menjadi
tanah biasa dan

langsung menjadi tanah Negara. Maka bagi warga yang

mempunyai hak atas tanah bekas Desa Perdikan diberikan jalan keluar untuk
proses pensertipikatan tanah melalui permohonan hak kepada Negara.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 junto Nomor 9 Tahun 1999 tanggal
14 Oktober 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Peraturan ini sebagai pengganti dari
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuanketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.
Bagi warga yang ingin mempunyai sertipikat hak milik atas tanah bekas
Desa Perdikan dapat mengajukan permohonan yang ditujukan kepada Menteri
sebagaimana diatur dalam PMA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 11 yang
menyebutkan :

Permohonan Hak Milik atas tanah Negara diajukan secara tertulis yang
ditujukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang
daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.
Permohonan hak milik tersebut memuat sebagaimana diatur dalam
PMA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 9 ayat 2 yang menyebutkan :
1. Keterangan mengenai pemohon :
a. apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat
tinggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri/suami
dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya;
b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau
peraturan pendiriannya, tanggal dan nomor surat keputusan
pengesahannya oleh pejabat yang berwenang tentang
penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data
fisik:
a. dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertipikat, girik,
surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan
tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari
Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan
hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

b. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar
Situasi sebutkan tanggal dan nomornya);
c. jenis tanah (pertanian/non pertanian);
d. rencana penggunaan tanah;
e. status tanahnya (tanah hak atau tanah Negara);
3. Lain-lain:
a. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah
yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang
dimohon;
b. keterangan lain yang dianggap perlu.
Setelah berkas permohonan diterima dan diperiksa kelengkapan
data yuridis dan data fisik oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat
kemudian diadakan sidang panitia A yang fungsinya mengadakan

penelitian-penelitian terhadap status dan diri pemohon. Kemudian


dihasilkan risalah pemeriksaan tanah.
Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara
Pasal 3 antara lain disebutkan:
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya memberi
keputusan mengenai pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian
yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 (duaribu meter persegi),
kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.
Dalam hal ini yang berhak mengeluarkan surat keputusan pemberian hak
adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten karena luas tanah yang
dimohon dibawah 2000 m2 (duaribu meter persegi). Selanjutnya surat
keputusan tersebut dikirim kepada penerima hak yang bersangkutan.
Penerima hak diwajibkan juga membayar ganti rugi pada kas Negara dan
membayar dana landreform. Selanjutnya surat keputusan tersebut
didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten untuk kemudian dicatat
dalam buku

tanah dan selanjutnya dibuatlah sertipikat tanahnya. 26)

Namun mengenai proses permohonan hak atas tanah Negara


bekas Desa Perdikan Kadilangu pada Tahun 1974 baru melahirkan surat
keputusan pemberian hak milik atas tanah terhadap 24 pemohon. Proses
tersebut belum sampai pada tahap-tahap berikutnya sebagaimana tersebut
diatas sehingga belum bisa diterbitkan sertipikat hak milik. Karena pada
waktu itu surat keputusan tersebut ditangguhkan sementara sehubungan

dengan adanya sanggahan dari para ahli waris Sunan Kalijaga. Dan sampai
sekarang proses tersebut belum bisa diselesaikan. 27)
Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan proses atau tata
cara memperoleh sertipikat tanah pada Kantor Badan Pertanahan Nasional,
dari awal pengajuan berkas sampai dengan keluarnya sertipikat tanah yang
berasal dari tanah Negara maupun tanah milik adat.

________________________
26) Sunarso, Wawancara, Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Demak,
2 Nopember 2007.
27) Sudaryono, Wawancara, Kepala Seksi Hak Tanah Dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan
Kabupaten
Demak, 2 Nopember 2007.

Proses/Tata Cara Memperoleh Sertipikat Tanah

Pemohon

Loket
Penerimaan
Berkas

Penelitian
Berkas

Gambar Situasi
Pengukuran

Panitia A

Tanah
Negara

Pengumuman
Tanah

Surat
Keputusan
Hak

Surat
Perintah
Setor

Loket
Pembayaran

Pendaftaran

Loket
Pembayaran
Sertipikat

Sertipikat

Keterangan : Proses tanah milik adat selama 6 bulan, sedangkan proses tanah
Negara selama 4 bulan.

C. STATUS HAK ATAS TANAH BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU


C.1. Gambaran Mengenai Status Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan
Kadilangu

Kelurahan
Demak,

Kadilangu

Kabupaten

yang

Demak,

terletak di wilayah Kecamatan

Propinsi

Jawa

Tengah,

sebelum

dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang


Penghapusan Desa-desa Perdikan.
Agar dapat diperoleh gambaran mengenai status hak atas tanah
bekas Desa Perdikan Kadilangu, perlu diketahui kondisi yang ada sampai
dengan saat ini. Berdasarkan pengamatan dan dokumen yang ada,
diharapkan dapat membantu memperoleh kesimpulan untuk penyelesaian
masalah. Adapun gambaran tersebut dapat diuraikan sebagaimana
dibawah ini.
C.1.1. Tanah Bekas Desa Perdikan
Menurut pengamatan penulis dan berdasarkan dokumen
yang ada, bahwa penguasaan tanah bekas Desa Perdikan
Kadilangu sampai sekarang ini nyata-nyata dikuasai oleh para ahli
waris Sunan Kalijaga, yaitu tanah sawah seluas 73,64 Hektar dan
tanah yang digunakan untuk perumahan seluas 21,55 Hektar.
Tanah-tanah tersebut dipergunakan oleh para ahli waris Sunan
Kalijaga yang berdomisili di Kelurahan Kadilangu. Sistem
penguasaan atas tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu tidak
hanya dipergunakan oleh para ahli waris Sunan Kalijaga saja
tetapi dipergunakan juga untuk kepentingan umum.
Sepanjang yang mengenai kepentingan para ahli waris
(kedalam) sistem penguasaan atas tanah bekas Desa Perdikan

yang dipakai di Kelurahan Kadilangu ada dua yaitu sistem Pars


Prototo dan sistem Kloso Gumelar. Yang dimaksud dengan sistem
Pars Prototo yaitu tanah yang dipakai oleh para ahli waris yang
berdomisili di Kelurahan Kadilangu saja yang boleh menggarap
dan menikmati hasilnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
sistem

Kloso

Gumelar

yaitu

bahwa

tanah

boleh

dipergunakan/dipakai tetapi tidak boleh dijual lepas. Sebagai


penanggung jawab atas tanah bekas Desa Perdikan terhadap pihak
luar (pemerintah), para ahli waris menggunakan sistem Primus
Interparis, artinya bahwa salah satu diantara para ahli waris yang
berdomisili di Kelurahan Kadilangu dan yang dipilih sebagai
sesepuh para ahli waris, maka dialah yang diserahi tugas sebagai
penanggung jawab. Sesepuh para ahli waris bertanggung jawab
atas pemilikan dan pemanfaatan tanah di Kelurahan Kadilangu
serta bertindak untuk dan atas nama para ahli waris.
Sepanjang mengenai fungsi sosial dari tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu terutama untuk kepentingan pemukiman,
tempat usaha dan lokasi obyek pembangunan yang difungsikan
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk maka untuk itu
disediakan tanah seperlunya dengan hak pakai.
Dalam perkembangannya tanah yang dikuasai dan
digunakan secara turun temurun oleh penduduk sebagai tempat
tinggal dalam prakteknya dapat diperjualbelikan.

Tanah yang

dikuasai penduduk sekarang ini banyak yang berasal dari jual beli
antara pihak ahli waris dengan penduduk setempat atau dengan
kata lain ahli waris telah menjual tanah kepada penduduk bukan
ahli waris. 28)
C.1.2. Subyek Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan Kadilangu
Dimuka telah disebutkan bahwa pada awal mulanya
subyek Desa Perdikan adalah Sunan Kalijaga. Tanah Bekas Desa
Perdikan tersebut diperoleh Sunan Kalijaga dari pemberian Raden
Patah dalam kedudukannya sebagai Sultan Demak. Karena Sunan
Kalijaga dianggap telah berjasa dalam mengembangkan agama
Islam di Pulau Jawa. Tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu yang
diberikan tersebut dulunya berupa hutan belukar dan rawa-rawa.
______________________________
28) Krisnaedi, Wawancara, Kepala Kelurahan Kadilangu, Kabupaten Demak, 6 Nopember 2007

Setelah Sunan Kalijaga wafat maka tanah bekas Desa


Perdikan Kadilangu dikuasai oleh para ahli waris

Sunan

Kalijaga yang dimiliki secara bersama-sama. Dengan demikian


hak atas tanah bekas Desa Perdikan baik secara bersama atau
individual berada ditangan para ahli waris Sunan Kalijaga yang
dikelola oleh sesepuh yang telah ditunjuk oleh para ahli waris
Sunan Kalijaga. Sesepuh para ahli waris Sunan Kalijaga tersebut
bertanggung jawab atas pemilikan dan pemanfaatan tanah bekas
Desa Perdikan Kadilangu dan bertindak atas nama segenap para
ahli waris Sunan Kalijaga. Sesepuh dalam mengambil keputusan

tidak boleh berdasarkan kehendak

pribadinya, tetapi harus

berdasarkan atas kehendak seluruh para ahli waris. 29)


C.1.3. Obyek Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan Kadilangu
Menurut

pengamatan

penulis dan

berdasarkan

dokumen yang ada, bahwa obyek tanah bekas Desa Perdikan


Kadilangu adalah berupa tanah sawah, pekarangan, tegalan,
sungai dan lain-lain.
Secara umum penguasaan obyek berupa tanah sawah,
pekarangan dan tegalan tersebut tidak dilandasi dengan adanya
alat
_______________________________
29) R. Sandioko, Wawancara, Kepala Kelurahan Kadilangu, Kabupaten Demak, 5 Nopember 2007.

bukti kepemilikan secara tertulis baik yang dikuasai dan dimiliki


oleh para ahli waris maupun yang dikuasai oleh masyarakat
karena sejak dulu Kelurahan Kadilangu merupakan Desa Perdikan
dimana tanah tersebut tidak pernah dikenakan pajak. 30)
Kekuatan dan kepastian obyek hak atas tanah bekas
Desa Perdikan Kadilangu sangat tergantung pada pengakuan
dan

kepercayaan

masyarakat

tersebut dilakukan karena

Kelurahan

tidak

Kadilangu.

Hal

ada bukti tertulis yang

menyebutkan masing-masing pemilik atas tanah yang mereka


miliki dan kuasai.

31)

C.1.4. Peralihan Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan Kadilangu


Tanah Kadilangu sebagai tanah bekas Desa Perdikan
sampai saat ini keberadaannya tetap sebagai suatu kesatuan yang
utuh sebagai tanah warisan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
dan melestarikan identitas dan integritas Sunan Kalijaga dengan
Kadilangunya. Namun dalam perkembangan waktu di dalam
masyarakat

Kelurahan

Kadilangu

banyak terjadi jual beli

dan

___________________________
30) Krisnaedi, Op. cit.
31) Ibit.

hibah baik antara warga masyarakat sendiri maupun antara warga


masyarakat dengan pihak lain diluar Kelurahan Kadilangu. Hal ini
dapat dilihat pada arsip jual beli dan hibah atas tanah bekas Desa
Perdikan di Kantor Kelurahan Kadilangu.
Adapun yang menyangkut pihak luar dalam hal ini
terhadap Pemerintah yang menginginkan tanah bekas Desa
Perdikan yang dikuasai oleh para ahli waris Sunan Kalijaga, maka
pihak pengelola dalam hal ini sesepuh para ahli waris menuntut
adanya ganti rugi. Contohnya

pada

waktu

pembangunan

lapangan untuk parkir yang dibangun oleh Dinas Pariwisata Jawa


Tengah dan dalam proyek pelebaran dan perluasan sungai
kalijajar yang menggunakan tanah bekas Desa Perdikan yang

dikuasai oleh para ahli waris Sunan Kalijaga,

dalam hal ini

sesepuh para ahli waris minta adanya pembayaran ganti rugi


kepada pihak Pemerintah. 32)
C.2. Penguasaan Dan Penggunaan Tanah Bekas Desa Perdikan
Kadilangu
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti
fisik dan juga dalam arti yuridis. Penguasaan Yuridis dilandasi hak,
yang

_____________________
32) Krisnaedi, Op. cit.

dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada


pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi
adapula penguasaan yuridis yang walaupun kewenangan untuk meguasai
tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataan penguasaan fisiknya
dilakukan pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik atau
dengan kata lain tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa
hak.
Mengenai penguasaan dan penggunaan tanah di Kelurahan
Kadilangu yang merupakan bekas Desa Perdikan dibedakan menjadi dua
yaitu :
1. Tanah pekarangan/perumahan yang dipergunakan untuk pemukiman

penduduk sudah berlangsung secara turun temurun sehingga hak


perorangan semakin kuat. Dan berdasarkan pengamatan dilapangan
membuktikan bahwa sedemikian kuatnya hak perorangan ini maka
penguasaan tanah oleh sesepuh para ahli waris Sunan Kalijaga atas
tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu semakin melemah.
2. Tanah sawah masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh para ahli
waris Sunan Kalijaga yang tetap berdomisili di Kelurahan Kadilangu.
Penggunaan dari hasil tanah sawah disamping untuk mencukupi
kebutuhan

hidup

para

perawatan/pemeliharaan

ahli

waris

makam

dan

Sunan

juga

Kalijaga

untuk

biaya

serta

biaya

pemeliharaan Masjid Kadilangu termasuk imbalan jasa para


petugasnya.
Untuk lebih jelasnya mengenai jenis, luas tanah, penguasaan
dan penggunaan tanah bekas Desa Pedikan Kadilangu dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 5.
JENIS, LUAS TANAH, PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN
TANAH BEKAS DESA PERDIKAN KADILANGU
No.
1

Jenis
Tanah sawah

Luas (Ha)

Penguasaan dan penggunaan

73,64

Kesemuanya dikuasai dan


digunakan oleh para ahli
waris Sunan Kalijaga yang
berdomisili

di

Kadilangu.
2

Tanah

21,55

Dikuasai oleh:

Kelurahan

pekarangan

a. Para ahli waris.


b. Bukan ahli waris.
Digunakan untuk perumahan
dan pemukiman.

Lain-lain

12,32

Digunakan

untuk

jalan,

kuburan dan sungai.

Sumber Data : Kantor Petanahan Kabupaten Demak Tahun 2007

C.3. Status Hak Atas Tanah Bekas Desa Perdikan Kadilangu


Dijelaskan didepan bahwa Kelurahan Kadilangu dahulunya
merupakan Desa Perdikan Kadilangu yang mempunyai permasalahan
menyangkut status hak atas tanahnya yang sampai sekarang ini belum
terselesaikan.
Untuk memperjelas dalam membantu penyelesaian terhadap
permasalahan tersebut diatas, akan diuraikan status hak atas tanah bekas
Desa Perdikan Kadilangu dalam beberapa kategori antara lain sebagai :
C.3.1. Tanah Swapraja.
Dalam UUPA diktum Keempat disebutkan :
A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari
swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu
mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih
kepada Negara.
B. Hak-hak yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam
huruf A diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224
Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian Pasal 1 butir c, disebutkan :

Tanah-tanah dalam rangka pelaksanaan Landreform akan


dibagikan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini ialah :
Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih
kepada Negara, sebagai yang dimaksud dalam Diktum Keempat
huruf A Undang-undang Pokok Agraria.
Di dalam penjelasan PP Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 1
butir c dinyatakan sebagai berikut :
Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih
kepada Negara, sebagai yang dimaksud dalam Diktum Keempat
huruf A Undang-undang Pokok Agraria adalah selain domein
Swapraja dan bekas Swapraja, yang dengan berlakunya Undangundang Pokok Agraria menjadi hapus dan beralih kepada Negara,
juga tanah-tanah yang dimiliki Swapraja, yaitu yang diusahakan
dengan cara persewaan, bagi hasil dan lain sebagainya atau
peruntukkan tanah jabatan dan lain-lain.
Untuk

mengidentifikasikan

tanah

di

Kelurahan

Kadilangu yang merupakan tanah bekas Desa Perdikan apakah


termasuk tanah Swapraja atau bukan sangatlah sulit. Hal tersebut
disebabkan tidak ada sumber/dokumen tertulis mengenai tanahtanah yang dimiliki oleh Raja yang pada waktu itu diperintah oleh
Raden Patah sebagai penguasa atas tanah Swapraja.
Kelurahan Kadilangu yang merupakan tanah bekas Desa
Perdikan dan merupakan salah satu wilayah Kerajaan Islam
Demak juga tidak ditemukan mengenai pengaturan tentang
subyek dan obyek atas tanah dari Kerajaan Islam Demak.
Yang ditemukan saat ini hanya dokumen yang
menyebutkan bahwa tanah Kadilangu awal mulanya adalah tanah
pemberian Raden Patah kepada Sunan Kalijaga sebagai hadiah

atas jasa-jasanya dalam mengembangkan agama Islam di Pulau


Jawa.
Proses terjadinya Desa Perdikan adalah karena pengaruh
Raja terhadap Hukum Adat. Pengaruh Raja-raja terhadap Hukum
Adat ada dua macam yaitu :
1. Pengaruh Raja yang merusak.
Ini terutama menimpa persekutuan-persekutuan hukum yang
terletak di wilayah sekitar pusat kerajaan, dilingkungan
wilayah

kediaman

Raja-raja

dan

kaum

bangsawan

(negaragung). Pengaruh itu berupa:


a. penggantian kepala-kepala persekutuan.
b. pengambilalihan tanah persekutuan hukum oleh raja.
c. Pemberian hak kepada wangsa atau pegawai raja untuk
memungut pajak persekutuan-persekutuan hukum, yang
sebenarnya harus dipungut oleh Raja (lungguh, apanage).
Sistem apanage ini mendesak hak ulayat dan hak milik
perorangan. Sesudah sistem ini hapus, hak-hak yang
terdesak itu berkembang kembali.
2. Pengaruh raja yang memperkuat.
Pengaruh ini bermanifestasi dalam:
a. penguatan susunan organisasi persekutuan-persekutuan
hukum yang terletak di luar wilayah negaragung,
dilingkungan periferi kerajaan jauh dari wilayah kediaman

Raja-raja (mancanegara), agar kewajiban menyetor pajak


dan mengerahkan tenaga pekerja (untuk keperluankerig
aji) dapat ditunaikan sebaik-baiknya.
b. pembentukan Desa Perdikan. 33)
Apabila dikaitkan dengan keadaan di Kelurahan
Kadilangu yang merupakan bekas Desa Perdikan maka
Kelurahan Kadilangu terjadi karena pengaruh Raja Demak
pada waktu itu diperintah oleh Raden Patah terhadap hukum
tanah di wilayah Kerajaan Demak.
Dari uraian tersebut diatas, bahwa dilihat secara teori
bekas Desa Perdikan Kadilangu merupakan tanah Swapraja.
Namun dari beberapa keputusan pejabat pemerintah dalam hal
penanganan masalah tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
mendapat perlakuan yang lain. Hal ini dapat diketahui dari
sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun1946
sampai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Umum
Dan Otonomi Daerah Nomor 12 Tahun 1962.
C.3.2. Tanah Hak Ulayat
C.3.2.1. Pengertian.
Hak Ulayat adalah hak yang utama dalam
persekutuan hukum atau masyarakat hukum atas tanah.
Van Vollenhoven menyatakan hak ulayat itu adalah
Beschikkingsrecht yang berarti hak menguasai tanah.

________________________
33) Imam Sudiyat, Op. cit, hal 28.

Yang dimaksud hak menguasai tanah adalah hak


desa menurut hukum adat dan kemauannnya untuk
menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat
kepentingan orang luar (orang asing) dengan membayar
kerugian kepada Kepala Desa, dalam hal desa turut
campur dalam perkara-perkara yang terjadi disitu yang
belum dapat diselesaikan. 34)
Dalam Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria
dijelaskan yang dimaksud dengan Hak Ulayat dan hakhak yang serupa

itu ialah yang di dalam perpustakaan

adat disebut beschikkingsrecht.


C.3.2.2. Ciri-ciri Hak Ulayat
Ciri-ciri Hak Ulayat yang terlihat jelas diluar
Pulau Jawa yaitu :
a.

Hanya

persekutuan

itu

sendiri

beserta

para

warganya yang berhak bebas mempergunakan


tanah-tanah liar diwilayah kekuasaan.

_______________________
34) Sajuti Talib, Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria, Jakarta, Bina Aneka, 1985, hal. 23.

b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu


dengan izin penguasa persekutuan tersebut, tanpa
izin tersebut dianggap melakukan pelanggaran.
c. Warga persekutuan boleh mengambil manfaat dari
wilayah

Hak

Ulayat

dengan

restriksi,

jika

dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia


dipandang sebagai orang asing, sehingga harus
mendapat izin lebih dulu. Sedangkan orang asing
hanya diperkenankan mengambil manfaat dari
wilayah

Hak

Ulayat

dengan

izin

Kepala

persekutuan hukum disertai pembayaran upeti,


mesi

(recognitie,

restribusi)

kepada

Kepala

persekutuan hukum.
d. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala
hal yang terdiri dalam wilayahnya, terutama yang
berupa tindakan melawan hukum yang merupakan
delik.
e. Hak Ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindahkan,
diasingkan untuk selamanya.
f. Hak Ulayat meliputi juga tanah yang sudah
digarap, tanah dusun, sawah, dan lain-lain yang
dikuasai oleh sesepuh Kadilangu. 35)

Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri Hak Ulayat


tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Ulayat
merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Hak
Ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan
wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan baik
yang sudah dihaki maupun yang belum. Didalam
lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah resnelius. Hak
Ulayat mempunyai kekuatan berlaku keluar dan
kedalam. Kedalam hubungan dengan warganya dan
keluar berhubungan dengan bukan anggota masyarakat
hukum adatnya, yang disebut orang asing atau orang
luar.
Hubungan

antara

Hak

Ulayat

dan

hak

perorangan itu bersangkut paut dalam hubungan kempis


mengembang, desak

mendesak, batas

membatasi,

mulur

___________________________________
35) Imam Sudiyat, Op. cit, Hal. 2-3.

mungkret tiada henti. Dimana Hak Ulayat kuat, disitu


Hak Ulayat lemah demikian sebaliknya. Makin banyak
usaha yang dikeluarkan oleh seseorang atas suatu bidang

tanah, maka makin eratlah hubungan dengan tanah yang


bersangkutan dan makin kuat pula hak atas tanah
tersebut. 36)
Hak Ulayat juga diakui oleh UUPA, tetapi
pengakuan itu disertai dua syarat yaitu mengenai
eksistensinya dan pelaksanaannya. Hak Ulayat diakui
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, demikian
disebutkan dalam Pasal 3. Didaerah-daerah dimana Hak
Ulayat itu tidak ada lagi, tidak akan dilahirkan Hak
Ulayat baru.
Yang menjadi subyek Hak Ulayat adalah
masyarakat yang merupakan suatu kesatuan didalam
lingkungan hukum itu. Misalnya di Ambon disebut Dati,
di Sumatera Selatan disebut Marga dan di Minangkabau
disebut Nagari. Adapun obyek Hak Ulayat adalah :
a. Tanah (daratan) sebagai ruang lingkup kehidupan.
__________________________
36) Imam Sudiyat, Op. cit, Hal. 81.

b.

Air (perairan, kali, danau dan sungai).

c.

Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (hutan


kayu dan buah-buahan).

d. Binatang yang hidup liar.


C.3.2.3. Kewenangan Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah

Kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah


menurut konsepsi hukum adat. Berdasarkan uraian
tersebut di atas mengenai sistem pemerintahan adat dan
status tanah ulayat, diperoleh gambaran mengenai betapa
eratnya hubungan antara masyarakat hukum adat dengan
wilayah dimana anggota masyarakat bertempat tinggal.
Hubungan yang demikian bukan hubungan yang bersifat
yuridis semata-mata, tetapi juga menunjukkan hubungan
yang bersifat magis religius.
Timbulnya hubungan yang begitu erat antara
masyarakat hukum adat dengan wilayahnya :
a. Tanah Umum, berupa pekarangan yang digunakan
untuk usaha kecil-kecilan bagi warga masyarakat dan
sebagai obyek pembangunan. Untuk keperluan ini
perlu adanya ganti rugi apabila pihak luar tersebut
menginginkan atas tanah tersebut.
b. Tanah

kerabat,

telah

dijelaskan

pada

bagian

penguasaan dan penggunaan tanah tersebut diatas.


c. Tanah

pekarangan,

yang

dipergunakan

untuk

perumahan merupakan tempat menetapnya keluargakeluarga. Tanah ini penggunaan dan pemanfaatannya
sepenuhnya ditangani keluarga tidak akan diganggu
oleh siapapun. Haknya merupakan hak perorangan

karena perorangan/keluarga tersebut memperolehnya


dengan penggarapan tanah tersebut.
Tanah-tanah yang tersebut di atas juga
merupakan kewenangan yang ada dalam masyarakat
Kadilangu, karena mengusahakan untuk mendapatkan
manfaat dari tanah-tanah tersebut bagi kepentingan
keluarga maupun kepentingan masyarakat Kadilangu.
C.3.2.4. Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Kadilangu
Eksistensi Hak Ulayat masyarakat hukum adat
menurut UUPA Pasal 3, antara lain :
1. Sepanjang Menurut Kenyataan Masih Ada.
Berdasarkan data, maka dapat dikatakan
bahwa Hak Ulayat masyarakat Kadilangu masih ada
dan kelihatan jelas. Hal ini diketahui dari :
1. Adanya Subyek Hak Ulayat, yaitu masyarakat
Kadilangu

yang

mempunyai

karakteristik

tersendiri. Hal ini dapat dilihat dengan adanya


sistem pemilikan tanah fungsionaris adat yang
terdiri dari sentono dan sesepuh para ahli waris
Kadilangu.
2. Adanya obyek yaitu tanah ulayat diwilayah itu
merupakan tempat tinggal warga. Sebagai pusat
persekutuan yaitu wilayah tempat mereka berupa

kebun ladang dan sawah dimana eksistensinya


diakui oleh para pejabat pemerintah dan warga
masyarakat sekitar.
3. Adanya

kewenangan

mengatur

dari

masyarakat/adanya hubungan hukum antara


masyarakat dengan tanah diwilayahnya, antara
lain :
a. Mengatur

dan

menyelenggarakan

penggunaan tanah diwilayahnya, misalnya


untuk

bercocok

tanam,

berkebun

dan

pemukiman warga.
b. Pemberian

hak-hak

yang

sesuai

untuk

warganya menurut hukum adatnya sebatas


hak pakai turun temurun. Tetapi sekarang
sudah meningkat menjadi hak milik bila
orang tersebut secara turun temurun telah
menguasai fisik tanah itu.
c. Dalam hal mengatur pemindahan hak tanah
itu seperti jual beli, hibah dan waris. Untuk
tanah dengan hak perorangan yang dikuasai
warga masyarakat pemindahan hak dilakukan
dihadapan Kepala Kelurahan. Sedangkan
untuk tanah yang dikuasai dan dikelola oleh

sesepuh Kadilangu harus sepengetahuan dan


dilakukan dihadapan sesepuh para ahli waris
Kadilangu tersebut. 37)
Tetapi kenyataannya, pada akhirakhir ini ada kerabat waris Sunan Kalijaga
yang salah menggunakan kewenangan yang
ada padanya yaitu dengan
milik bersama

menjual

tanah

untuk kepentingan pribadi.

_____________________________________
37) Krisnaedi, Op. cit

Sehingga keberadaan Hak Ulayat yang


dimiliki

para

ahli

waris

Kadilangu

khususnya tanah pekarangan tersebut akan


menjadi

berkurang,

karena

semakin

kuatnya hak-hak perseorangan. Hal ini


terjadi karena perkembangan pembangunan
yang mengakibatkan banyaknya pemilikan
tanah perorangan. 38)
Dengan
pokoknya

berlakunya

disebutkan

UUPA,

yang

pada

pemindahan

hak

yang

dilakukan berdasarkan hukum adat, tidak boleh


bertentangan dengan kepentingan nasional. Untuk itu
Hak Ulayat atas tanah masyarakat hukum adat harus

disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada


pada UUPA.
2. Harus Disesuaikan Dengan Kepentingan Nasional
dan Negara
Dari uraian tersebut diatas bahwa Hak Ulayat
masih ada. Tetapi berdasarkan Pasal 3 UUPA yang
mengakui eksistensi dan pelaksanaannya,

maka

Hak
____________________________________
38) R. Sandioko, Op. cit

Ulayat akan diperhatikan sepanjang hak tersebut


benar-benar ada. Misalnya
swasta

akan

pemerintah

atau

melaksanakan pembangunan, maka

sebelum menggunakan tanah, masyarakat perlu


didengar pendapatnya untuk memberikan recognitie
sebagai tanda pengakuan Hak Ulayat tersebut.
Berdasarkan Pasal 3 UUPA yang berpangkal
pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang antara lain
menyatakan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara.
Sedangkan kewenangan Negara diatur dalam Pasal 2
UUPA. Disini ditekankan bahwa penggunaan tanah
agar bisa mendatangkan kemakmuran untuk rakyat

banyak. Sehingga ruang lingkupnya lebih luas yaitu


bahwa semua tanah dalam wilayah Indonesia
merupakan tanah milik bersama seluruh rakyat
Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa
Indonesia.
Jadi tidak dibenarkan suatu Hak Ulayat
dalam suatu wilayah hanya mutlak berlaku khusus
untuk masyarakat hukum adat itu saja. Kepentingan
masyarakat hukum adat harus tunduk kepada
kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas.
Agar Negara atau pemerintah dalam mengatur
lajunya pembangunan diseluruh tanah air dapat
merata serta tidak mengalami hambatan. Sebab yang
memberi

kemakmuran

pembangunan

yang

bukan

tanahnya

dilaksanakan

diatas

tetapi
tanah

tersebut.
3. Tidak Bertentangan Dengan Peraturan Perundangundangan.
Dalam pelaksanaannya Hak Ulayat oleh
masyarakat hukum adat tidak boleh bertentangan
dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan

ketentuan

tersebut

Hak

Ulayat

masyarakat hukum adat yang sudah mulai berkurang

atau mulai hilang karena begitu kuatnya hak


perorangan/individu jangan dihidupkan kembali,
apabila dalam pelaksaannya hanya mengutamakan
kepentingan

suku

keuntungan

saja.

dan

bertujuan

Maka

hal

untuk

cari

tersebut

jelas

bertentangan dengan UUPA dan UUD 1945.

C.3.3. Tanah Hak Milik


Sejak berlakunya UUPA segala hal yang bertalian
dengan masalah tanah telah diatur secara jelas dalam Undangundang tersebut.
Tujuan ditetapkan UUPA adalah :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria
nasional yang akan merupakan alat untuk membawa
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan
rakyat tani dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Macam-macam hak atas tanah yang terdapat dan diatur
dalam Pasal 16 UUPA, antara lain :

a. Hak Milik
Dalam Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa :
1. Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 6.
2. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Dalam Pasal 21 UUPA disebutkan tentang subyek
yang dapat mempunyai Hak Milik, yaitu :
1. Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai
Hak Milik.
2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang
dapat mempunyai Hak Milik dan syarat-syaratnya
(Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang
Penunjukan Badan-badan Hukum Yang dapat Mempunyai
Hak Milik Atas Tanah).
3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini
memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat
atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan
setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan
kewarganegaraan wajib melepaskan hak itu dalam jangka
waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu
tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak
tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
4. Selama
seseorang
disamping
kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia
tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik dan
baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 Pasal ini.
Tentang bagaimana terjadinya Hak Milik disebutkan
dalam Pasal 22 UUPA, bahwa :
1. Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Selain memuat cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1
Pasal ini, Hak Milik terjadi karena :

a. Penetapan Pemerintah menurut cara dan syaratsyarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
(Permenagria/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan).
b. Ketentuan Undang-undang.
Selanjutnya dalam Pasal 23 UUPA disebutkan
bahwa:
1. Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Milik
serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Dalam Pasal 24 UUPA disebutkan bahwa :
Penggunaan tanah Hak Milik oleh bukan pemiliknya
dibatasi dan diatur dengan peraturan perundang-undangan
(UU Nomor 4 Tahun 1996). Hak Milik dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan (Pasal 25
UUPA).
Dalam Pasal 26 UUPA disebutkan bahwa :
1. Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan
Hak Milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah (PP Nomor 24 Tahun 1997).
2. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan Hak Milik kepada orang asing, kepada
seorang
warga
Negara
yang
disamping
kewarganegaraan
Indonesianya
mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan
hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua
pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak
dapat dituntut kembali.

Dalam Pasal 27 UUPA disebutkan tentang hal-hal yang


menyebabkan hapusnya Hak Milik, apabila :
a. tanahnya jatuh kepada Negara :
1. karena pencabutan berdasarkan Pasal 18 UU
Nomor 2 Tahun 1961.
2. karena menyerahkan dengan sukarela oleh
pemiliknya (Keppres Nomor 55 Tahun 1993).
3. karena keterlantaran.
4. karena ketentuan Pasal 21 ayat 3 dan Pasal 26 ayat
2 UUPA.
b. tanahnya musnah.
b. Hak Guna Usaha
Dalam Pasal 28 UUPA disebutkan pengertian Hak Guna
Usaha :
1. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam
jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29
UUPA, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan.
2. Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya
paling sedikit 5 Hektar, dengan ketentuan bahwa jika
luasnya 25 Hektar atau lebih harus memakai investasi
modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik
sesuai dengan perkembangan jaman.
3. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
Dalam Pasal 29 UUPA disebutkan tentang jangka waktu
Hak Guna Usaha, yaitu:
1. Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama
25 Tahun.
2. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama
dapat diberikan hak guna usaha-usaha untuk jangka
waktu paling lama 35 Tahun.
3. Atas permintaan pemegang dan mengingat keadaan
perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam

ayat 1 dan 2 Pasal ini dapat diperpanjang dengan


waktu paling lama 25 Tahun.
Pasal 30 UUPA menyebutkan bahwa :
1. Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2. Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna
Usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai
yang tersebut dalam ayat 1 Pasal ini dalam jangka
waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan
hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang
memperoleh Hak Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi
syarat tersebut. Jika Hak Guna Usaha yang
bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam
jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena
hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain
akan dipindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 31 UUPA disebutkan bahwa Hak Guna Usaha
terjadi karena penetapan Pemerintah.

Pasal 31 UUPA menyebutkan bahwa :


1. Hak
Guna
Usaha,
termasuk
syarat-syarat
pemberiannya. Demikian juga setiap peralihan dan
penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19
UUPA.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta
hapusnya Hak Guna Usaha, kecuali dalam hal hak itu
hapus karena jangka waktunya berakhir.
Dalam Pasal 33 UUPA disebutkan bahwa Hak Guna
Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak

Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4


Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Pasal 34 UUPA menyebutkan bahwa :
Hak Guna Usaha hapus karena :
a. Jangka waktunya berakhir.
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak dipenuhi.
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir.
d. Dicabut untuk kepentingan umum.
e. Diterlantarkan.
f. Tanahnya musnah.
g. Ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2 UUPA.
c. Hak Guna Bangunan
Definisi Hak Guna Bangunan disebutkan dalam Pasal 35
UUPA, sebagai berikut :
1. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling
lama 30 Tahun.
2. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat
keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka waktu tersebut dalam ayat 1 dapat diperpanjang
dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
3. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.
Dalam Pasal 36 UUPA disebutkan bahwa :
1. Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2. Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna
Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang
tersebut dalam ayat 1 Pasal ini dalam jangka waktu
satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan
ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak

Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat


tersebut. Jika Hak Guna Bangunan tidak dilepaskan
atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak
itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hakhak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuanketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37 UUPA menjelaskan tentang terjadinya Hak Guna
Bangunan, sebagai berikut:
a. Mengenai tanah yang langsung dikuasai oleh Negara
karena penetapan pemerintah.
b. Mengenai tanah milik, karena perjanjian yang
berbentuk otentik antara pemilik tanah yang
bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh
Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud
menimbulkan hak tersebut.
Pasal 38 UUPA menyebutkan, bahwa :
1. Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat
pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19
UUPA.
2. Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna
Bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali
dalam hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 39 UUPA menyebutkan bahwa:


Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani Hak Tanggungan (diatur dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).
Pasal 40 UUPA menyebutkan bahwa:
Hak Guna Bangunan hapus karena:
a. Jangka waktunya berakhir
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuatu syarat tidak dipenuhi

c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka


waktunya berakhir
d. Dicabut untuk kepentingan umum
e. Diterlantarkan
f. Tanahnya musnah
g. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2 UUPA.
d. Hak Pakai
Dalam Pasal 41 UUPA disebutkan bahwa :
1. Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh Pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam pejanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
undang-undang ini.
2. Hak Pakai dapat diberikan:
a. Selama jangka waktu tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapun.
3. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat
yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42 UUPA menyebutkan tentang siapa yang dapat
mempunyai Hak Pakai :
Yang dapat mempunyai Hak Pakai ialah :
a. Warga Negara Indonesia
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
Dalam Pasal 43 UUPA disebutkan, bahwa:
1. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara
maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain dengan ijin pejabat yang berwenang.

2. Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan


kepada pihak lain jika hal itu dimungkinkan dalam
perjanjian yang bersangkutan.
e. Hak Sewa Untuk Bangunan
Pasal 44 UUPA menyebutkan, bahwa :
1. Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak
sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan
tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan,
dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa.
2. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan:
a. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu
b. Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan
3. Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam Pasal
ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
unsur-unsur pemerasan.
Dalam Pasal 45 UUPA disebutkan, bahwa :
Yang dapat mempunyai Hak Sewa adalah :
a. Warga Negara Indonesia
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia.
f. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan
Dalam Pasal 46 UUPA disebutkan, bahwa :
1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya
dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Dengan mempergunakan hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan secara sah tidak dengan
sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Sedangkan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hakhak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang

serta hak-hak yang bersifat sementara sebagaimana yang disebut


dalam Pasal 53.
Ketentuan-ketentuan dalam tanah Hak Milik dibedakan
menurut:
1. Isi dan sifat
Isi dan sifat dari Hak Milik terdapat dalam UUPA Pasal
20 ayat 1, dalam kata-kata yang berbunyi : turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.
Hak Milik adalah hak yang turun temurun. Hak turun
temurun dapat diartikan sebagai :
a. hak yang diwarisi dan diwariskan. 39)
b. hak yang dapat diwariskan berturut-turut ataupun diturunkan
kepada pihak lain, tanpa perlu diturunkan derajatnya ataupun
hak itu menjadi tiada atau harus memohon haknya kembali
ketika terjadi pemindahan hak. 40)
Dalam Penjelasan Pasal 20 UUPA, disebutkan :
Hak Milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini
tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang
mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat
sebagai hak eigendom menurut pengertian yang asli
dulu. Sifat yang demikian akan terus bertentangan
dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap
hak. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud
membedakan dengan hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, dan lain-lainnya, yaitu untuk
menunjukkan bahwa diantara hak atas tanah yang dapat

dipunyai hak miliklah yang ter (artiya : paling kuat


dan terpenuh).
2. Peralihan
Peralihan dari Hak Milik terdapat dalam UUPA Pasal 20
ayat 2, yang berbunyi : Hak Milik dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain. Artinya, Hak Milik tidak hanya dapat beralih
karena pewarisan, tetapi juga dapat dialihkan kepada pihak lain.
Misalnya dengan jual beli, hibah, penukaran,

pemberian

dengan
wasiat dan lain-lain. 41)
______________________
39) Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Bandung, PT. Citra Adiyta Bakti, 1991,
hal 112.
40) Parlindungan A.P, Komentar Atas Undang-undag Pokok Agraria, Bandung , PT. Mandar Maju, Cetakan
VI, 1990, hal 124.
41) Boedi Harsono, Op. cit, hal 332-333.

Peralihan itu tidak perlu mengurangi haknya atau harus


mengajukan permohonan hak yang baru asal peralihan itu
dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat untuk mempunyai
Hak Milik. 42)
Peralihan hak atas tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
hanya terjadi pada tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat
dengan hak perorangan dan terbatas pada tanah-tanah pekarangan
saja. 43)
Untuk semua tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
sampai saat ini tidak dapat dijadikan hak tanggungan karena tidak
diatur secara tegas di dalam UUPA dan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996. Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 4 ayat 1
bahwa obyek hak tanggungan antara lain adalah Hak Milik,

Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Sedangkan untuk


tanah bekas Desa Perdikan belum jelas status tanahnya. Jadi tidak
dapat untuk dijadikan hak tanggungan. 44)

___________
42) Parlindungan A.P, Op. cit, hal 126.
43) Krisnaedi, Op. cit
44) Sudaryono, Op. cit.

3. Subyek
Dalam UUPA Pasal 21 ayat 1, dikatakan bahwa hanya
Warga Negara Indonesia yang

dapat mempunyai Hak Milik.

Pasal 21 ayat 1 UUPA diatas jelas menentukan dan membatasi


Subyek Hak Milik.
Terkait dengan Pasal 21 ayat 1 tersebut di atas, Subyek
atas tanah bekas Desa Perdikan pada saat ini adalah para ahli
waris Sunan Kalijaga. Dimana sesepuh

para ahli waris yang

diserahi untuk mengaturnya. Terutama untuk tanah sawah yang


sampai saat ini nyata-nyata masih dikuasai oleh sesepuh para ahli
waris. Sedangkan warga masyarakat yang menguasai tanah
pekarangan mempunyai hak yang bersifat perorangan. 45)
Sebenarnya kalau melihat ketentuan Pasal 21 ayat 1
UUPA sebagaimana tersebut di atas, maka tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu seharusnya tidak hanya dikuasai oleh para

ahli waris Sunan Kalijaga saja tetapi bisa dikuasai oleh semua
Warga Negara Indonesia.

___________________________
45) Krisnaedi, Op. cit.

D. PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH BEKAS DESA PERDIKAN


KADILANGU
Telah diketahui bahwa sejak terjadinya unifiksi hukum dibidang
pertanahan yaitu dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan
pada tanggal 24 September 1960 kita hanya mengenal satu lembaga jual beli
tanah.
Lembaga jual beli tanah dalam hukum tanah Nasional adalah
didasarkan pada hukum adat dan bila kita perhatikan jual beli menurut UUPA
dengan membandingkan jual beli menurut hukum adat yang berlaku sebelum
UUPA, maka tata cara serta pembuktiannya telah mengalami perubahan
ataupun perbedaan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.
Namun pada kenyataannya sistem jual beli tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu yang berlaku sampai saat ini belum sesuai dengan
ketentuan jual beli menurut UUPA. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa
dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat Kadilangu Khususnya, maka
keberadaan tanah di Kelurahan Kadilangu juga mengalami perkembangan yaitu
tanah di Kelurahan Kadilangu dalam prakteknya dapat diperjual belikan.

Perbandingan antara sistem jual beli tanah bekas Desa Pedikan


Kadilangu dengan sistem jual beli tanah menurut UUPA adalah sebagai
berikut:
1. Sistem jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu, yang berlaku :
a. Bersifat tunai, terang dan riil.
b. Tidak dilakukan dengan panjar.
c. Dilakukan dihadapan Kepala Kelurahan sebagai pejabat dalam Hukum
Adat.
d. Bentuk perjanjian jual beli dibuat dibawah tangan diatas segel.
e. Dicatat di Kantor Kelurahan sebagai bukti adanya peralihan hak
penguasaan atas tanah yang dibelinya.
f. Sebagai bukti peralihan hak penguasaan atas tanahnya berupa segel jual
beli tanah dan perubahan girik pajak.
2. Sistem jual beli tanah menurut UUPA, yang berlaku :
a. Bersifat tunai, terang dan riil.
b. Sistem panjar tidak dikenal lagi.
c. Dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
tunjuk/diangkat oleh Menteri/Kepala BPN.
d. Bentuk perjanjian jual beli dibuat dengan Akta.
e. Adanya keharusan untuk mendaftarkan tanah yang dibelinya itu.
f. Adanya keharusan mempunyai sertipikat dari Kantor Pertanahan guna
kepentingan kepastian hukum bagi pemiliknya.

Dari data sistem jual beli tanah tersebut diatas, maka terlihat adanya
beberapa penyimpangan sistem jual beli tanah bekas Desa Perdikan terhadap
UUPA. Adapun faktor-faktor terjadinya penyimpangan sistem jual beli
tersebut, diuraikan sebagai berikut:
1. Sifat tunai, terang dan riil.
Bahwa sifat jual beli atas tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
adalah sebagaimana Hukum Adat pada umumnya yaitu tunai, terang dan
riil.
Jika dibandingkan dengan jual beli menurut UUPA, maka jual
beli dalam UUPA juga bersifat tunai, terang dan riil. Hal ini karena jual
beli menurut UUPA didasarkan pada hukum adat. Hanya mengenai
pengertian terang dan riil yaitu menyangkut pejabat dan surat perjanjian
jual belinya menurut UUPA sudah mengalami perkembangan dan
perubahan sesuai dengan perkembangan jaman.
Perbedaan tersebut diatas dikarenakan menyangkut status

hak

dari tanah bekas Desa Perdikan yang sampai saat ini belum jelas statusnya.
2. Tidak dilakukan dengan panjar
Dalam jual beli menurut Hukum Adat dapat dilakukan dengan
panjar. Tetapi tidak demikian dengan jual beli atas tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu tidak dilakukan dengan panjar melainkan secara
langsung antara penjual dan pembeli. Hal tersebut dilakukan karena dalam
jual beli tersebut masyarakat Kadilangu menghendaki sesuatu yang praktis
dalam arti tidak banyak prosedur.

Dengan demikian jual beli atas tanah bekas Desa Perdikan


Kadilangu sudah sesuai dengan ketentuan UUPA yang juga tidak mengenal
adanya panjar sehingga dalam hal ini tidak ada permasalahan.
3. Dilakukan dihadapan Kepala Kelurahan
Jual beli atas tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu sesuai dengan
ketentuan dalam Hukum Adat yaitu dilakukan dihadapan Kepala Kelurahan
yang sampai saat ini masih berlangsung. Sedangkan menurut ketentuan
UUPA jual beli atau peralihan hak atas tanah harus dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Mengenai lembaga jual beli tanah dalam UUPA dapat dijumpai
dalam Pasal 26 ayat 1, yang menyebutkan :
Jual beli, pertukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat,
pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksud untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
1 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 junto Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Didalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Pasal 37 ayat 1, disebutkan:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan
jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dari ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUPA dan Pasal 37 ayat 1 PP
Nomor 24 Tahun 1997 tersebut jelaslah bahwa setiap jual beli tanah harus

dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diangkat


atau ditunjuk oleh Menteri/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Terhadap tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu dimana
perjanjian jual belinya tidak dilakukan di hadapan PPAT sebagaimana
ketentuan dalam UUPA maupun Peraturan Pemerintah yang mengaturnya,
hal ini disebabkan adanya faktok-faktor, sebagai berikut:
a. Subyek hak/masyarakat setempat
Berdasarkan pengamatan dan penelitian dilapangan menunjukkan
bahwa hak masyarakat Kadilangu atas tanah yang diperjual belikan
statusnya belum jelas, meskipun secara nyata tanah tersebut sudah
dikuasainya secara turun temurun. Hal ini berkaitan dengan belum
terbitnya keputusan dari Pemerintah tentang status tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu. Sehingga subyek hak masyarakat belum jelas atau
belum sesuai.
b. Status hak atas tanah
Telah diuraikan sebelumnya mengenai status tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu sampai sekarang ini masih terdapat perbedaan
pendapat. Pihak para ahli waris Kadilangu berpendirian masih
mempunyai hak atas tanah bekas Desa Perdikan tersebut sebagai hak
milik, sedangkan Pemerintah menganggap bahwa tanah bekas Desa
Perdikan tersebut sebagai tanah Negara. 46)
Sehubungan dengan hal sebagaimana tersebut diatas dalam jual
beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu, pada dasarnya yang dijual

belikan bukanlah hak atas tanahnya melainkan hanya karangkitri atau


bangunan rumah yang ada diatas tanah tersebut. 47)
Bila kita perhatikan harga beli karangkitri atau bangunan rumah
yang nilainya tinggi, maka seorang pembeli tidak hanya menghendaki
Karangkitri atau bangunan rumahnya saja melainkan juga terhadap
tanahnya juga. Agar tanah tersebut laku terjual maka penjual pada
akhirnya mengaku kalau memiliki hak atas tanahnya.
Selanjutnya seorang pembeli tanah bekas Desa Perdikan tersebut
hanya memperoleh hak pengakuan saja. Tapi dalam perkembangannya
jual beli tersebut meliputi pula bangunan rumah dan tanah.
4. Bentuk perjanjian
Perjanjian jual beli atas tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
dibuat diatas segel yang dikuatkan oleh Kepala Kelurahan setempat,
berbeda dengan perjanjian jual beli menurut ketentuan UUPA perjanjian
jual beli harus dibuat dihadapan dan dengan akta PPAT yang telah
ditentukan.
___________________________
46) Ibid.
47) Ibid.

Hal ini berkaitan dengan status

hak

atas

tanah

bekas Desa Perdikan

yang belum jelas sehingga tidak dimungkinkan dilakukan jual beli dengan
menggunakan akta PPAT yang dimaksudkan.
1. Dicatat di Kantor Kelurahan

Sebagai adanya jual beli atau peralihan hak atas tanah bekas Desa
Perdikan dicatat di Kantor Kelurahan setempat, berbeda dengan ketentuan
UUPA bahwa jual beli atau peralihan hak atas tanah harus didaftarkan di
Kantor Pertanahan guna mendapatkan sertipikat hak atas tanah.
Jual beli atau peralihan hak atas tanah bekas Desa Perdikan hanya
dicatat di Kantor Kelurahan setempat karena tidak dipenuhinya syaratsyarat sebagaimana tercantum dalam UUPA maupun Peraturan Pemerintah
yang berlaku. Mengingat status hak atas tanah bekas Desa Perdikan sampai
sekarang belum jelas. Sehingga PPATpun belum bisa membuatkan akta
jual beli tanah bekas Desa Perdikan.
2. Bukti peralihan
Sebagai bukti jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
adalah segel dan girik pajak. Sehingga tidak bisa didaftarkan di Kantor
Pertanahan. Hal ini berbeda dengan bukti jual beli menurut UUPA yaitu
berupa sertipikat hak atas tanah.
Dari uraian sebagaimana tersebut diatas bahwa penguasaan atas
tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu apabila dikaitkan dengan tertib
administrasi pertanahan belum dapat tercapai. Tertib administrasi
pertanahan yang dimaksud bahwa data-data setiap bidang tanah tercatat dan
dapat diketahui dengan mudah mengenai antara lain:
a. riwayat tanah,
b. luas tanah,
c.

status tanah,

d. letak bangunan,
e. nama pemilik, dan
f. sejarah peralihan tanah.
Bahwa untuk mencapai sasaran tertib administrasi pertanahan
yang diinginkan dalam Pasal 19 ayat 2 UUPA disebutkan:
Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
1. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut;
3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas belum dapat dilaksanakan di
Kelurahan Kadilangu dalam pengaturan penguasaan tanahnya.

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan
penulis terhadap status dan jual beli tanah bekas Desa Perdikan di Kelurahan
Kadilangu, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, dengan permasalahan yang
dikemukakan di dalam Bab I Pendahuluan, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :

1. Status tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu, Kabupaten Demak setelah


berlakunya UUPA adalah sebagai berikut:
a. Pada Diktum Keempat huruf A disebutkan hak-hak dan wewenangwewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang
masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan
beralih kepada Negara. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut tanah
bekas Desa Perdikan Kadilangu dapat dikategorikan sebagai tanah
swapraja/bekas swapraja yang selanjutnya beralih menjadi tanah
Negara. Sehingga hak dan wewenang atas tanah tersebut hapus dan
beralih juga pada Negara.
b. Permohonan hak atas tanah kepada Negara diatur dengan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1999 junto Nomor 9 Tahun 1999 tanggal 14 Oktober 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara
dan Hak Pengelolaan. Peraturan ini sebagai pengganti Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuanketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.
2. Pelaksanaan jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu Kabupaten
Demak adalah sebagai berikut :
a. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 dan
Peraturan Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah Nomor 12 Tahun
1962, peralihan hak dengan jual beli diurusi oleh Kepala Desa Perdikan
yang merupakan ahli waris dari Sunan Kalijaga. Tapi sesudah

berlakunya

Undang-undang

dan

Peraturan

Pemerintah

tersebut

peralihan hak dengan jual beli dilakukan dihadapan Kepala Desa hasil
pemilihan.
b. Peralihan hak atas tanah melalui jual beli dapat didaftarkan apabila
dibuktikan dengan akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 37 ayat 1. Tetapi PPAT berhak menolak
membuatkan akta, apabila tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 39 PP Nomor 24 Tahun 1997. Dengan
demikian maka PPAT tidak bisa membuatkan akta atas tanah bekas
Desa Perdikan Kadilangu karena :
1. Tanah bekas Desa Perdikan belum dibukukan.
2. Tanah bekas Desa Perdikan belum pernah didaftarkan.
3. Tanah bekas Desa Perdikan masih dalam sanggahan.
4. Tanah bekas Desa Perdikan belum bersertipikat.
c. Sebagai bukti peralihan hak atas tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
karena jual beli adalah segel jual beli dan girik pajak. Sehingga atas
tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu apabila dikaitkan dengan tertib
administrasi pertanahan belum tercapai. Karena untuk mencapai sasaran
tertib administrasi pertanahan disebutkan dalam Pasal 19 ayat 2 UUPA
sebagai berikut :
1. pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat


pembuktian yang kuat.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas belum dapat dilaksanakan di
Kelurahan Kadilangu.
Dari hal-hal tersebut diatas pelaksanaan jual beli tanah bekas Desa
Perdikan Kadilangu Kabupaten Demak belum sesuai dengan perundangundangan maupun peraturan-peraturan yang berlaku.

B. SARAN
1. Pemerintah harus terus mengupayakan diterbitkannya peraturan-peraturan
pelaksana dari UUPA mengenai pengaturan secara tegas tentang status
tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu, Kabupaten Demak yang
dikategorikan sebagai tanah swapraja/bekas swapraja agar menjadi jelas
pelaksanaannya.
2. Agar pelaksanaan jual beli tanah bekas Desa Perdikan Kadilangu
Kabupaten Demak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan maupun
peraturan-peraturan yang berlaku harus sesegera mungkin mendapatkan
tindak lanjut dari instansi-instansi yang terkait dalam hal ini antara lain
Pejabat Pembuat Akta Tanah, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten
Demak, Pemerintah Daerah Kabupaten Demak, Kepala Kelurahan
Kadilangu dan dinas-dinas yang terkait, agar dilakukan upaya-upaya untuk
mengatasinya.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Abdurrachman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Alumni, Bandung, 1978.
______________, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-undangan
Agraria Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1994.
Abdurrachman, M. Thoha, Pembahasan Waris Dan Wasiat Menurut Hukum
Islam, Sumbangsih, Yogyakarta, 1976.
Adiwinata, Saleh, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-undang Pokok
Agraria, Ulumni, Bandung, 1983.
Al Rashid, Harun, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Ghalia, Jakarta Indonesia,
1987.
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1984.
B, Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
Bzn, Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1976.
Cahyono, Bambang Tri, Ekonomi Pertanahan, Liberty, Yogyakarta, 1983.
Chulaemi, Achmad, Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak Atas
Tanah Dan Pemindahannya, FH Undip, Semarang, 1993.
Direktorat Landreform, Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam
Negeri, Azas-azas Hukum Adat, Tidak diterbitkan,1981.

Effendi, H.A.M, Pokok-pokok Hukum Adat II, Duta Grafika, Semarang, 1990.
Effendie, Bachtiar, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan
Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993.
Gautama, Sudargo, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Alumni,
Bandung, 1981.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan, Isi, Dan
Pelaksanaan Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2005.
_____________, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan
Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002.
Kartasapoetra dan Setiady, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, Melton Putra, Jakarta, 1991.
Komarudin, Metode Penulisan Skripsi Dan Thesis, Bandung, 1974.
Muljana, Slamet, Perundang-undangan Madjapahit, Bhratara, Jakarta, 1967.
Notonegoro, Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria di Indonesia,
Pancuran Tujuh, Jakarta, 1974.

Parlindungan, A.P, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, Mandar


Maju, Bandung, 1990.
_______________, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1999.
Perangin, Effendi, 401 Pertanyaan Dan Jawaban Tentang Hukum Agraria,
Rajawali Perss, Jakarta, 1991.

______________, Praktek Pengurusan Sertifikat Hak Atas Tanah, Rajawali


Perss, Jakarta, 1990.
______________, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Perss,
Jakarta, 1991.
Prodjodikoro, R dan Wirjono, Hukum Waris di Indonesia, Sumur Bandung,
Bandung, 1980.
Saleh, K. Wantjik, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977.
Salim, Oemar, Dasar-dasar Hukum Waris Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,
1987.
Satrio, J, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, LP3S, Jakarta,
1988.
Soejendro, Kartini, Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani
Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, Rajawali Perss, Jakarta, 1985.
Soekanto, Soerjono dan Sri Manuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Perss, Jakarta, 1985.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Perss, Jakarta, 1984.
_______________, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali, Jakarta, 1983.

Soemadiningrat, Otje Salman, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,


Alumni, Bandung, 2002.
Soemadiningrat, Otje Salman dan Anthon Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi
Hukum, Alumni, Bandung, 2004.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta,
1984.
_____________________, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.
Soepono, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Abadi,
Jakarta, 2002.
Soerjopratiknjo, Hartono, Hukum Waris Testamenter, Seksi Notariat FH UGM,
Yogyakarta, 1984.
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang Dan Keluarga, Perspektif Hukum
Perdata/BW, Hukum Islam Dan Hukum Adat, Sinar Grafika,
Jakarta, 1992.
Sudikno, Mertokusumo, Perundang-undangan Agraria Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1982.

Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Azas, Liberty, Yogyakarta, 1981.


____________,

Beberapa

Masalah

Penguasaan

tanah

Di

Berbagai

Masyarakat Sedang Berkembang, Badan Pembinaan Hukum


Nasional, Jakarta, 1982.
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 2001.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 1997.
Suryodiningrat, R.M., Perikatan-perikatan Yang Bersumber Perjanjian,
Alumni, Bandung, 1980.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Mas
Agung, Jakarta, 1987.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa-desa
Perdikan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA).
Peraturan Menteri Pemerintah Umum Dan Otonomi Daerah Nomor 12 Tahun
1962 tentang Penghapusan Desa Perdikan Kadilangu Di Daerah
Demak Jawa Tengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor


4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.

Anda mungkin juga menyukai