Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tinjauan Umum Bank Syariah

2.1.1

Pengertian Bank Syariah


Definisi bank syariah menurut Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang

perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan sebagai


berikut :
Bank syariah adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Selain itu, dalam pasal 1 ayat 13 Undang-Undang No.10 tahun 1998
dinyatakan bahwa :
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (mudharabah), pembiayan berdasarkan penyertaan modal
(musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan
adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna).
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah, adalah bank
yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa
disebut dengan Bank Tanpa Bunga, adalah lembaga keuangan/perbankan yang
operasional dan produknya dikembang berlandaskan pada Al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad SAW. Menurut Antonio dan Perwataatmadja yang dikutip
oleh Muhammad (2005:13) membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank
Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yaitu:
Bank Islam adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsipprinsip syariah Islam; (2) bank yang tata cara beroperasinya
mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadits;
sementara bank yang beroperasi sesuai prinsip syariah Islam adalah

bank yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan


syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat
dalam Islam.
Prinsip yang diterapkan oleh bank Islam atau bank syariah salah satunya
menjauhkan riba dalam praktek perbankan. Hukum Islam telah melarang riba
seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Ali-Imran ayat 130 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.
Prinsip utama yang dianut oleh bank syariah adalah seperti yang tercantum
dalam PSAK No.59 mengenai akuntansi perbankan syariah adalah :
1. Azas utama: kemitraan, keadilan, transparasi dan universal
2. Pelarangan riba
3. Tidak mengenal konsep time value of money
4. Konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas
5. Kegiatan tidak boleh spekulatif
6. Tidak boleh menggunakan dua harga untuk satu barang
7. Tidak boleh melakukan dua transaksi dalam satu akad
8. Konsep bagi hasil (tidak menggunakan bunga sebagai alat pendapatan dan
beban)
9. Tidak membedakan secara jelas antara sektor moneter dan sektor riil
10. Dapat memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.

2.1.2

Dasar Falsafah Bank Syariah


Visi perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi

masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil
sesuai prinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan
memberikan mashalat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan Islam.
Setiap lembaga keuangan syariah mempunyai falsafah mencari keridhoan
Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akherat. Dengan landasan

falsafah dasar tersebut dan dengan visi misi perbankan Islam, maka setiap
kelembagaan keuangan syariah akan menerapakan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
1. Menjauhi diri dari kemungkinan adanya unsur riba
a. QS. Luqman: 34 :
Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka secara
pasti keberhasilan suatu usaha. Seperti penetapan bunga simpanan
atau bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional.
Intinya adalah hanya Allah Subhanahu Wataala sajalah yang mengetahui
apa yang akan terjadi esok.
b. QS. Ali-Imron:130 :
Menghindari penggunaan sistem presentasi untuk pembebanan
biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan
yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis
hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu.
c. HR. Muslim Bab Riba No. 1551 s/d 1567 :
Menghindari pengunaan sistem perdagangan/penyewaan barang
ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh
kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
d. HR. Muslim Bab Riba No. 1569 s/d1572 :
Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka
tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai
hutang secara sukarela.
2. Menerapkan prinsip sistem bagi hasil dan jual beli
Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Quran, QS. Al-Baqarah (2):275 dan
surat an-Nisaa (4):29 yang intinya:
Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta
suruhan untuk menempuh jalan perniagaan dengan suka sama suka.
Oleh karena itu, transaksi setiap kelembagaan ekonomi Islami harus selalu
dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya
didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang/jasa. Akibatnya
pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang/jasa dulu baru ada

uang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran


arus barang/jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi,
dan inflasi.

2.1.3

Peranan Bank Syariah


Keberadaan perbankan Islam di tanah air telah mendapatkan pijakan

kokoh setelah lahirnya Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang


direvisi melalui Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, yang dengan tegas
mengakui keberadaan dan berfungsinya Bank Bagi Hasil atau Bank Islam.
Dengan demikian, bank ini adalah bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil.
Bagi hasil adalah prinsip muamalah berdasarkan syariah dalam melakukan
kegiatan usaha bank.
Adanya bank Islam diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan-pembiayaan yang
dikeluarkan oleh bank Islam. Melalui pembiayaan ini bank Islam dapat menjadi
mitra dengan nasabah, sehingga hubungan bank Islam dengan nasabah tidak lagi
sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan.
Menurut Muhammad (2005:16) secara khusus peranan bank syariah
secara nyata dapat terwujud dalam aspek-aspek berikut :
1. Menjadi perekat nasionalisme baru
2. Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan
3. Memberikan return yang lebih baik
4. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan
5. Mendorong pemerataan pendapatan
6. Peningkatan efisiensi mobilisasi dana
7. Uswah hasanah
8. Menghindari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
Uraian secara lengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Menjadi perekat nasionalisme baru, artinya bank syariah dapat menjadi
fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan. Di
samping itu, bank syariah perlu mencontoh keberhasilan Syarikat Dagang
Islam, kemudian ditarik keberhasilannya untuk masa kini (nasionalis,
demokratis, religius, ekonomis).

2. Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya,


pengelolan bank syariah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan, dan
upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan.
3. Memberikan return yang lebih baik. Artinya investasi di bank syariah tidak
memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang diberikan
kepada investor. Oleh karena itu, bank syariah harus mampu memberikan
return yang lebih baik dibandingkan bank konvensional. Di samping itu,
nasabah pembiayaan akan memberikan bagi hasil sesuai dengan keuntungan
yang diperolehnya. Oleh karena itu, pengusaha harus bersedia memberikan
keuntungan yang tinggi kepada bank syariah.
4. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank syariah
mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan
demikian spekulasi dapat ditekan.
5. Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syariah bukan hanya
mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat,
Infaq, dan Shadaqah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiaayaan
Qardul Hasan, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada
akhirnya terjadi pemerataan ekonomi.
6. Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk al-mudharabah
al muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas
dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syariah sebagai financial
arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil, bukan karena spread
bunga.
7. Uswah hasanah implementasi moral dalam penyelenggaraan usaha bank.
8. Salah satu sebab terjadinya krisis adalah adanya Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN).

2.1.4

Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional


Sistem perbankan Islam berbeda dengan sistem perbankan konvensional,

karena sistem keuangan dan perbankan Islam merupakan subsistem dari suatu
sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Oleh karena itu, perbankan

Islam, tidak hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun
dituntut secara sungguh-sungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syariah.
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah
yang melarang sistem bunga dan riba yang memberatkan, maka bank syariah
beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar
kesetaraan dan keadilan. Menurut Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso
(2006:156) perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional,
antara lain :
1. Perbedaan Falsafah
2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
3. Kewajiban Mengelola Zakat
Uraian perbedaan di atas adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada
landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem
bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank konvensional justru
kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam
terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk
menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli
serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Pada dasarnya,
semua jenis transaksi perniagaan melalui bank syariah diperbolehkan asalkan
tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem
bunga berbunga atau compound interest yang dalam semua prosesnya bisa
mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak.
2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan
maupun investasi. Cara titipan dan investasi berbeda dengan deposito pada
bank konvensional dimana deposito merupakan upaya membungakan uang.
Konsep dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkan, bank syariah
harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid.

Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat
suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Sesuai dengan fungsi
bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah
penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan
cara titipan atau investasi tadi kemudian dimanfaatkan atau disalurkan ke
dalam transaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah.
Keuntungan dari

pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam

berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Jika hasil usaha
semakin tinggi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank
kepada nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil otomatis semakin kecil
pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya.
3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib
membayar

zakat,

menghimpun,

mengadministrasikannya

dan

mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada
bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infak, sedekah).
Berdasarkan prinsip-prinsip utama tersebut, maka secara operasional bila
dibandingkan dengan bank konvensional, bank syariah memiliki beberapa
karakteristik esensial yang membedakannya dengan bank konvensional, yaitu:
Tabel 2.1
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Bank Syariah
Hukum Islam & Hukum Positif

Bank Konvensional
Hukum Positif

Investasi

Melakukan investasi-investasi yang


halal saja

Investasi yang halal


dan haram

Prinsip Operasional

Berdasarkan prinsip Bagi Hasil, JualBeli, atau Sewa

Memakai perangkat
bunga

Tujuan
Struktur Organisasi

Profit dan Falah Oriented


Penghimpunan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan
Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan
Syariah Nasional (DSN)
Kemitraan

Profit Oriented
Tidak terdapat dewan
sejenis

Akad & Aspek


Legalitas

Hubungan nasabah

Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Debitor dan Kreditor

Ada beberapa perbedaan mendasar dalam konsep pelaksanaan di bank


konvensional dan bank Islam, yaitu antara lain perbedaan konsep antara bunga
dan bagi hasil, perbedaan konsep antara investasi dengan membungakan uang,
dan perbedaan konsep antara utang uang, dan utang barang.
Adapun perbedaan tersebut diatas menurut Wirdyaningsih (2005:49)
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Perbedaan antara bunga dengan bagi hasil
2. Perbedaan investasi dengan membungakan uang
3. Perbedaan utang uang dan utang barang
Uraian perbedaan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Perbedaan antara bunga dengan bagi hasil
Islam mengharamkan bunga dan

menghalalkan bagi hasil. Keduanya

memberikan keuntungan, tetapi memiliki perbedaan mendasar sebagai akibat


adanya perbedaan antara investasi dan pembungaan uang. Dalam investasi, usaha
yang dilakukan mengandung risiko, dan karenanya mengandung unsur
ketidakpastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak
memiliki risiko, karena adanya presentase suku bunga tertentu yang ditetapkan
berdasarkan besarnya modal.
Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di Bank Islam termasuk
kategori investasi. Besar kecilnya perolehan kembalian itu tergantung pada hasil
usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai pengelola dana.
Dengan demikian, Bank Islam tidak dapat hanya sekadar menyalurkan uang. Bank
Islam harus terus-menerus berusaha meningkatkan return on investment sehingga
lebih menarik dan lebih memberikan kepercayaan bagi pemilik dana.
Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat dijelaskan dalam tabel
sebagai berikut :

Tabel 2.2
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
BUNGA

BAGI HASIL
Penentuan besarnya
Penentuan bunga dibuat
rasio/nisbah bagi hasil
pada waktu perjanjian
dibuat pada waktu akad
Penentuan
dengan asumsi harus selalu
dengan berpedoman
Keuntungan
untung
pada kemungkinan
untung rugi
Besarnya presentase
Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah
berdasarkan pada jumlah
Besarnya presentase
uang (modal) yang
keuntungan yang
dipinjamkan
diperoleh
Bagi hasil tergantung
Pembayaran bunga tetap
pada keuntungan proyek
seperti yang dijanjikan
yang dijalankan. Bila
tanpa pertimbangan apakah
usaha merugi, kerugian
Pembiayaan
proyek yang dijalankan oleh
akan ditanggung
pihak nasabah untung atau
bersama oleh kedua
rugi
belah pihak
Jumlah pembayaran bunga
Jumlah pembagian laba
tidak meningkat sekalipun
meningkat sesuai
Jumlah Pembiayaan jumlah keuntungan berlipat
dengan peningkatan
atau keadaan ekonomi
jumlah pendapatan
sedang "booming"

Eksistensi

Eksistensi bunga diragukan


(kalau tidak dikecam) oleh
semua agama, termasuk
agama Islam

Tidak ada yang


meragukan keabsahan
bagi hasil

Sumber : Muhammad Syafii Antonio (2001:61)


2. Perbedaan investasi dengan membungakan uang
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang.
Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing :
a. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko, karena berhadapan
dengan unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembalinya
(return) tidak pasti dan tidak tetap.
b. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko,
karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat kearah usaha nyata dan produktif. Islam


mendorong masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan
uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk
kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke
waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu tergantung
kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib
atau pengelola dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang.
Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan tingkat kembalian atau return of
investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik
dana.
3. Perbedaan utang uang dan utang barang
Ada dua jenis utang yang berbeda satu sama lainnya, yakni utang yang
terjadi karena pinjam-meminjam uang dan utang yang terjadi karena pengadaan
barang. Utang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada
tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya
notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lainnya yang bersifat tidak pasti dan tidak
jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan.
Utang yang terjadi, karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas
dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri
terdiri dari harga pokok barang ditambah keuntungan yang disepakati, maka
selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl.
Dalam transaksi perbankan Islam yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk
utang pengadaan barang, bukan utang uang.
2.1.5

Prinsip-Prinsip Dasar Perbankan Syariah


Pada sistem operasi bank syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di

bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan
keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada
mereka yang membutuhkan (misalnya modal usaha), dengan perjanjian
pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.

Secara garis besar, pengembangan produk bank syariah dikelompokkan


menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Produk Penghimpunan Dana
2. Produk Penyaluran Dana
3. Produk jasa

2.1.5.1 Prinsip Titipan atau Simpanan


Dalam tradisi fiqih Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan
prinsip Al-wadiah. Menurut Muhammad Syafii (2001:85) Al-wadiah dapat
diartikan sebagai berikut:
Titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun
badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki.
Prinsip wadiah implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah
bertindak sebagai yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai peminjam.
Prinsip ini dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak
menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada
pemilik dana sebagai suatu insentif.
2. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin
penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya
administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
4. Ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap
berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Prinsip wadiah dalam produk syariah dapat dikembangkan menjadi dua
jenis, yaitu: (1) wadiah yad amanah dan (2) wadiah yad dhomanah.

1. Wadiah Yad Amanah


Adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima tidak
diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan dan tidak
bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan
diakibatkan kelalaian penerima titipan.
2. Wadiah Yad Dhamanah
Adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan
dengan atau tanpa izin pemilik barang atau uang dapat memanfaatkan barang
atau uang, dan harus bertanggungjawab terhadap kehilangan atau kerusakan
barang atau uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh
dalam penggunaan barang atau uang tersebut menjadi hak penerima titipan.
Gambaran singkat mekanisme produk bank syariah dengan prinsip
wadiah digambarkan dalam gambar berikut:
Gambar 2.1
Skema al-Wadiah Yad al-amanah
NASABAH
Muwaddi
(Penitip)

(1) Titip Barang

BANK
Mustawda
(Penyimpan)

(2) Bebankan Biaya Penitipan

Sumber : Muhammad Syafii Antonio (2001: 87)


Gambar 2.2
Skema al-Wadiah Yad Dhamanah
NASABAH
Muwaddi
(Penitip)

(1) Titip Dana

(4) Beri Bonus

Bank
Mustawda
(penyimpan)

(3) Bagi Hasil

(2) Pemanfaatan Dana

USERS OF
FUND
(Dunia Usaha)
Sumber : Muhammad Syafii Antonio (2001: 88)

2.1.5.2 Bagi Hasil (Profit-Sharing)


Menurut Muhammad Syafii (2001:90) secara umum, prinsip bagi hasil
dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu:
Al-musyarakah , al-mudharabah, al-muzaraah, dan al-musaqah.
Tetapi prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah dan almudharabah, sedangkan al-muzaraah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk
plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam.
1. Al-Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation)
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah. Transaksi
musyarakah dilandasi oleh adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk
meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk
usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama
memadukan seluruh bentuk sumber daya baik berwujud maupun tidak berwujud.
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2. Al-Mudharabah (Trust Financing, Trust Invesment)
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat

kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena

kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas


kerugian terserbut.
3. Al-Muzaraah (Harvest-Yield Profit Sharing)
Al-Muzaraah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si

penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu


(presentase) dari hasil panen.
4. Al-Musaqah (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of
Yield)
Al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai
imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
2.1.5.3 Jual Beli (Sale and Purchase)
Menurut Muhammad Syafii (2001:101), ada tiga jenis akad jual beli
yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja
dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu:
bai al-murabahah, bai as-salam, dan baial-isthisna.
Uraian tiga jenis akad jual beli sebagai berikut:
1. Bai Al-Murabahah (Deffered Payment Sale)
Bai al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai al-murabahah, penjual harus
memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai tambahannya.
Secara umum, aplikasi perbankan dari bai al-murabahah dapat
digambarkan dalam skema berikut ini.
Gambar 2.3
Skema Bai al-Murabahah
(1) Negosiasi
& Persyaratan

(2) Akad Jual Beli


BANK

NASABAH

(6) Bayar

(3)Beli Barang

(4) Kirim
SUPLIER
PENJUAL

Sumber : Muhammad Syafii Antonio 2001: 107)

(5) Terima
Barang &
Dokumen

2. BaiAs-Salam (In-Front Payment Sale)


Dalam pengertian yang sederhana, baias-salam berarti pembelian barang
yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
3. Bai Al-Istishna (Purchase by Order or Manufacture)
Transaksi baial-isthisna merupakan kontrak penjualan antara pembeli
dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari
pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau
membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada
pembeli akhir.
Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu
waktu pada masa yang akan datang.
2.1.5.4 Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
Menurut Muhammad Syafii (2001:117), secara umum prinsip sewa bank
syariah dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Al-Ijarah (Operational Lease)
2. Al-ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik (Financial Lease with Purchase
Option)
Uraian prinsip sewa bank syariah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Al-Ijarah (Operational Lease)
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
(ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.
2. Al-ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik (Financial Lease with Purchase
Option)
Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntaha bit-tamlik, atau dalam
dunia financial sering dikenal dengan istilah hire-purchase adalah sejenis
perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang
diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan
kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.

2.1.5.5 Jasa (Fee- Based Services)


Selain dari jenis-jenis pembiayaan utama tersebut di atas, perbankan
syariah juga menyelenggarakan pelayanan-pelayanan non-pembiayaan dengan
memperoleh upah atau fee sebagaimana yang dilakukan perbankan konvensional
pada umumnya. Bentuk produk antara lain bank garansi, kliring, inkaso, jasa,
transfer, dan lain-lain. Muhammad Syafii (2001:120) membagi prinsip jasa ini
atas lima jenis, yaitu:
1. Al-Wakalah (Deputyship)
2. AL-Kafalah (Guaranty)
3. AL-Hawalah (Transfer Service)
4. Ar-rahn (Mortgage)
5. Al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)
Uraian prinsip jasa pada perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Al-Wakalah (Deputyship)
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat. Atau akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa (muakkil) kepada kuasa
(wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.
2. AL-Kafalah (Guaranty)
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditangggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan
tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggungjawab
orang lain sebagi penjamin.
3. AL-Hawalah (Transfer Service)
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada
orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini
merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi
tanggungan muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Secara sederhana, hal itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi
pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai piutang pada C
(muhalalaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya pada A, ia lalu

mengalihkan beban utang tersebut pada C. dengan demikian, C yang harus


membayar utang B kepada A, sedangkan utang C sebelumnya pada B dianggap
selesai.
4. Ar-rahn (Mortgage)
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
5. Al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui
atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.

2.1.6

Dewan Pengawas Syariah (DPS)


Penjelasan Pasal 6 Huruf M Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun

1998 tentang Perubahan, Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan


menjelaskan bahwa dalam lembaga Perbankan Islam harus dibentuk Dewan
Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang bersifat
independen yang dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no.72 tahun 1992 tanggal
30 Oktober 1992 pasal 5 tentang Badan Pengawas Syariah pada bank
berdasarkan prinsip bagi hasil adalah:
Ayat 1: Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan
Pengawas Syariah yang mempunyai tugas melakukan pengawasan
atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan
prinsip syariah.

Ayat 2: Pembentukan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh


bank yang bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan
lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia.
Ayat 3 : Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syariah
berkonsultasi dengan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah
mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku
dalam bank syariah sangat khusus bila dibanding bank konvensional. Karena itu,
diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan ini
disusun dan ditentukan oleh Dewan syariah Nasional.
Pasal 27 PBI No.6/24/PBI/2004, menguraikan mengenai tugas, wewenang
dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah, yaitu antara lain meliputi:
1. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN;
2. Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang
dikeluarkan bank;
3. Memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank
secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank;
4. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa
kepada DSN;
5. Menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap
6 (enam) bulan kepada direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional, dan Bank
Indonesia.
2.2

Pembiayaan Bank Syariah


Pembiayaan merupakan bentuk aktiva produktif bank. Pengertian aktiva

produktif menurut PSAK No.31 Akuntansi Perbankan (Revisi 2000) adalah:


Aktiva Produktif adalah penanaman dana bank, baik dalam rupiah
maupun valuta asing dalam bentuk kredit, efek (surat berharga), efek
yang dibeli dengan janji dijual kembali (reserve repo), tagihan
derivatif, tagihan akseptasi, penempatan dana pada bank lain,
penyertaan, dan lain-lain.

Dengan demikian aktiva produktif dapat didefinisikan sebagai penanaman


dana dalam rupiah dan valuta asing yang dimaksudkan untuk memperoleh
penghasilan sesuai dengan fungsinya.

2.2.1

Pengertian Pembiayaan
Pengertian pembiayaan menurut Undang-Undang No.10 tahun 1998

tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan


pasal 1 ayat 12 adalah:
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Menurut Muhammad Syafii (2001:190) pembiayaan adalah:
Pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak yang merupakan deficit unit.
Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan,
baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit,
pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan seperti bank syariah.

2.2.2

Prinsip Analisis Pembiayaan


Menurut Muhammad (2005: 304) ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam prinsip analisis pembiayaan di bank syariah yang didasarkan


pada rumus 5C, yaitu:
1. Character
2. Capacity
3. Capital
4. Collateral
5. Condition

Uraian prinsip 5C adalah sebagai berikut:


1. Character, artinya sifat atau karakter nasabah pengambil pinjaman.
2. Capacity, artinya kemampuan nasabah untuk menjalankan usaha dan
mengembalikan pinjaman yang diambil.
3. Capital, artinya besarnya modal yang diperlukan peminjam.
4. Collateral, artinya jaminan yang telah dimiliki yang diberikan peminjam
kepada bank.
5. Condition, artinya keadaan usaha atau nasabah prospek atau tidak.
Prinsip-prinsip 5C tersebut terkadang ditambahkan dengan 1C, yaitu
Constraint artinya hambatan-hambatan yang menggangu proses usaha.

2.2.3

Jenis-jenis Pembiayaan
Menurut Muhammad Syafii (2001:160) pembiayaan dapat dibagi

menjadi dua hal berikut:


1. Pembiayaan Produktif
2. Pembiayaan konsumtif
Uraian singkat jenis pembiayaan sebagai berikut:
1. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditunjukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha
produksi, perdagangan, maupun investasi.
2. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut Muhammad Syafii (2001:160) jika dilihat dari keperluannya,
pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut:
1. Pembiayaan modal kerja
2. Pembiayaan investasi
Uraian singkat pembiayaan dilihat dari keperluannya sebagai berikut:
1. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan:
a. Peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi,
maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil
produksi; dan

b. Untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu


barang.
2. Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang
(capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Secara umum, jenis-jenis pembiayaan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4
Jenis-jenis Pembiayaan

PEMBIAYAAN
Konsumtif

Produktif

Modal Kerja

Investasi

Sumber : Muhammad Syafii Antonio (2001: 161)

2.2.4

Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Profit sharing)


Perbankan dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya

kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara:
pemilik dana (shahibul maal) yang menyimpan uangnya di bank, bank selaku
pengelola dana (mudharib), dan masyarakat yang mebutuhkan dana yang bisa
berstastus peminjam dana atau pengelola usaha (mudharib).
Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah:
1. Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
dengan kesepakatan.

2. Mudharabah
Mudharabah adalah kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama
menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal.

2.3

Pembiayaan Mudharabah (Trust Financing, Trust Invesment)

2.3.1

Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata adhdharbu fil ardhi, yaitu bepergian untuk

urusan dagang. Firman Allah dalam surat 73 ayat 20, mereka bepergian di muka
bumi mencari karunia Allah. disebut juga qiradh yang berasal dari kata al qardhu
yang berarti al qathu (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya
untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.
Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antar dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama keruigan itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
si pengelola, si pengelola hatus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Landasan hukum, Al Quran Surat al-Muzzamil ayat 20:
Dan jika dari orang-orang berjalan dimuka bumi mencari sebagian
karunia Allah SWT.
Al Quran Surat al-Jumuah ayat 10:
Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka
bumi dan carilah karunia Allah SWT
Al-Hadis Thabrani:
Diriwayakan dari Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muthalib jika
memberikan dana ke miktra usahanya secara mudharabah ia
mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan,
menuruni lembah yang erbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi aturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab

atas dana tersebut. kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun


membolehkannya.
Hadits Ibnu Majah:
Dari Shalih bin Suaib ra bahwa Rasulullah saw bersabda, Tiga hal
yang didalmnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampuradukkan dengan tepung
untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.
Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis (2005: 66):
Mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah perjanjian di antara
paling sedikit dua pihak, dimana satu pihak, pemilik modal (shahib
al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada
pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas
atau usaha.
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertma (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.
2.3.2

Jenis-jenis Pembiayaan Mudharabah


Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja
sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted
mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau
tempat

usaha.

Adanya

pembatasan

ini

seringkali

mencerminkan

kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.

2.3.3

Aplikasi dalam Perbankan


Al-mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan

pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada:


1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus,
seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya; deposito biasa;
2. Deposito spesial (special investment), dimana dana ditipkan nasabah khusus
untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
3. Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
4. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
5. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana
khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh shahibul maal.
2.3.4

Manfaat Pembiayaan Mudharabah

1. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha
nasabah meningkat.
2. Bank tidak akan berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha
bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas
usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benarbenar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan
benar-benar terjadi itulah yang kann dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam al-mudharabah/al-musyarakah ini berbeda dengan
prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan
(nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan
nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
2.3.5

Risiko al-Mudharabah
Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama pada penerapannya

dalam pembiayaan, relatif tinggi. Di antaranya:

1. Slide streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut
dalam kontrak;
2. Lalai dan kesalahan yang disengaja;
3. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Secara umum, aplikasi perbankan al-mudharabah dapat digambarkan
dalam skema berikut ini.
Gambar 2.5
Skema al-Mudharabah
PERJANJIAN
BAGI HASIL

NASABAH
(Mudharib)

KEAHLIAN/
KETERAMPILAN

MODAL
100%

BANK
(Shahibul Maal)

PROYEK/
USAHA
Nisbah
X%

PEMBAGIAN
KEUNTUNGAN

MODAL

Nisbah
Y%

Pengambilan Modal Pokok

Sumber : Muhammad Syafii Antonio (2001: 98)


2.4 Suku Bunga
2.4.1 Pengertian Suku Bunga
Dalam menjaga kelangsungan variabel makro ekonomi negara, pemerintah
biasanya menetapkan tingkat suku bunga. Dalam hal ini tingkat suku bunga juga
dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran dana seperti dikemukakan dalam
artikel Interest yang terdapat pada Encarta Reference Libraray (2005: 91),
bahwa:

Conversely, interest rates generally rise when the demand for


investment funds grows faster than the available supply of funds to meet
that demand. Business executives will not borrow money at an interest
rate that exceeds the return they expect the use of the money to yield.
Menurut Tajul Khalwaty (2000 :143) definisi dari suku bunga adalah :
Suku

bunga

merupakan

instrumen

konvensional

untuk

mengendalikan atau menekan laju pertumbuhan inflasi.


Salah satu lembaga negara yang berwenang dalam menetapkan suku bunga
adalah Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan moneter. Salah satu piranti
moneter tidak langsung Bank Indonesia yaitu menggunakan Operasi Pasar
Terbuka (OPT) yang dilaksanakan untuk mempengaruhi likuiditas Rupiah di
pasar uang, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Operasi
pasar terbuka ini dilakukan melalui dua cara yaitu penjualan Sertifikat Bank
Indonesia dengan sistem pelelangan dan Intervensi Rupiah.

2.4.2 Pengertian Sertifikat Bank Indonesia (SBI)


Dasar hukum penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998
tentang penerbitan Sertifikat Bank Indonesia dan Intervensi Rupiah. Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang
diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek
dengan sistem diskonto.
Tujuan penerbitan SBI adalah sebagai otoritas moneter dalam memelihara
kestabilan nilai Rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang
kartal dan uang giral) di Bank Indonesia yang berlebihan dapat mengurangi
kestabilan nilai Rupiah. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diterbitkan dan dijual
untuk mengurangi kelebihan uang primer tersebut.

2.4.2.1 Karakteristik SBI


Karakteristik dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dimuat dalam
leaflet Bank Indonesia, sebagai berikut :

1. Jangka Waktu maksimum 12 bulan dan sementara waktu hanya diterbitkan


untuk jangka waktu 1 dan 3 bulan.
2. Denominasi, dari yang terendah Rp 50 juta sampai dengan tertinggi Rp 100
miliar.
3. Pembelian SBI oleh masyarakat minimal Rp 100 juta dan selebihnya dengan
kelipatan Rp 50 juta.
4. Pembelian SBI didasarkan pada nilai tunai yang diperoleh dari rumus berikut:
Nilai Tunai

[360

Nilai Nominal

(Tingkat

Diskonto

x 360
x Jangka

Waktu

)]

5. Pembeli SBI memperoleh hasil berupa nilai diskonto yang dibayar dimuka
yang diperoleh dengan rumus berikut ini :
Nilai Diskonto = Nilai Nominal - Nilai Tuna i

6. Pajak penghasilan (PPh) atas diskonto dikenakan secara final sebesar 15%.

2.4.2.2 Tata Cara Transaksi Penjualan SBI


Tata cara transaksi penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yaitu :
1. Penjualan SBI dilakukan melalui lelang
2. Jumlah SBI yang akan dilelang diumumkan setiap hari Selasa.
3. Lelang SBI diadakan setiap hari Rabu dan dapat diikuti oleh seluruh bank
umum, pialang pasar uang dan pialang pasar modal dengan penyelesaian
transaksi hari Kamis.
4. Dalam pelaksanaan lelang SBI, masing-masing peserta mengajukan
penawaran jumlah SBI yang ingin dibeli serta tingkat diskontonya. Pemenang
lelang adalah peserta yang mengajukan penawaran tingkat diskonto yang
terendah sampai dengan jumlah SBI lelang yang diumumkan tercapai. Untuk
memahami tata cara lelang SBI tersebut, berikut ini disajikan contoh transaksi
lelang SBI dengan target lelang SBI sebesar Rp 5 miliar :

Tabel 2.3
Ilustrasi Penawaran SBI
Target lelang : Rp. 5.000.000.000,Peserta

Jumlah Penawaran

A
Rp.1.500.000.000,B
Rp.1.000.000.000,C
Rp.2.000.000.000,D
Rp.2.000.000.000,E
Rp. 750.000.000,F
Rp. 1.250.000.000,(sumber : www.bi.go.id)

Tingkat
Diskonto
20 %
26%
30%
34%
37%
40%

Jumlah Kumulatif
Rp.1.500.000.000,Rp.2.500.000.000,Rp.4.500.000.000,Rp.5.000.000.000,-

Keterangan :
 Peserta A, B, dan C, menang lelang
 Peserta D menang sebagian (Rp.500.000.000,-)
 Peserta E dan F kalah.
Dari ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat diskonto SBI tidak
ditentukan oleh peserta lelang itu sendiri. Semakin rendah tingkat diskonto
yang ditawarkan oleh peserta, maka semakin besar kemungkinan peserta
tersebut memenangkan lelang.
5. Untuk menjaga keamanan dari kehilangan atau pencurian serta menghindari
terjadinya pemalsuan, pihak membeli SBI memperoleh Bilyet Depot
Simpanan (BDS) sebagai bukti atas penyimpanan fisik warkat SBI pada Bank
Indonesia tanpa dipungut biaya penyimpanan.

2.4.2.3 Mekanisme Pembentukan Suku Bunga SBI


Melalui penggunaan SBI, Bank Indonesia dapat secara tidak langsung
mempengaruhi tingkat suku bunga di pasar uang dengan jalan mengumumkan
step out rate (SOR) yaitu tingkat suku bunga yang diterima oleh BI atas
penawaran tingkat bunga dari peserta lelang harian, maupun lelang mingguan.
Selanjutnya step out rate (SOR) tersebut akan dipakai sebagai indikator bagi
tingkat suku bunga transaksi di pasar uang pada umumnya.
Sedangkan cara penentuan suku bunga SBI dihitung dengan cara
menghitung Weighted Average dari SBI yang telah terjual dengan tingkat

diskontonya masing-masing, suku bunga SBI yang berlaku pada saat itu dengan
rumus seperti di bawah ini :
Suku Bunga SBI = M W
i
i

Dimana :
M i = Nominal SBI yang terjual kepada peserta i
Wi = Tingkat diskonto yang ditawarkan peserta i
Ada juga kelemahan dari penerbitan SBI yaitu membuat perbankan
malas menjalankan fungsi intermediasinya. Perbankan seolah termanjakan oleh
keuntungan SBI ketimbang harus membiayai dunia usaha yang beresiko. Oleh
sebab itu bank sentral saat ini terus berupaya untuk menurunkan tingkat suku
bunga SBI secara bertahap agar dunia usaha kembali bergairah sebagai imbas
berjalannya fungsi intermediasi perbankan.
2.5. Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil adalah pembagian keuntungan yang berdasarkan nisbah dalam
perjanjian antara deposan dengan mudharib (Suseno, 2003). Nisbah bagi hasil ini
besarannya adalah 51:49, 60:40, atau tergantung pada akad yang disepakati
bersama dan bagi hasil yang diterima tergantung dari keuntungan yang didapat
oleh bank.
2.5..1 Teori Umum Bagi Hasil (Profit Loss Sharing)
Bagi Hasil Menurut Terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit
sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan sebagai laba. Secara
definitif profit sharing diartikan: distribusi beberapa bagian dari laba pada para
pegawai dari suatu perusahaan. Lebih lanjut dikatakan bahwa hal itu dapat
berbentuk suatu bentuk uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang
diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran
mingguan atau bulanan.
Bagi hasil menurut Suseno adalah suatu prinsip pembagian laba yang
diterapkan dalam kemitraan kerja, dimana porsi bagi hasil ditentukan pada saat
aqad kerja sama. Jika usaha mendapatkan keuntungan, porsi bagi hasil adalah

sesuai kesepakatan namun jika terjadi kerugian maka porsi bagi hasil disesuaikan
dengan kontribusi modal masing-masing pihak. Suseno (2003: 129) mengatakan
bahwa:
Dasar yang gunakan dalam perhitungan bagi hasil adalah berupa
laba bersih usaha setelah dikurangi dengan biaya operasional.
Dapat disimpulkan bahwa bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata
cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana.
Pembagian hasil usaha ini salah satu contohnya dapat terjadi diantara pihak bank
dengan pihak nasabah. Kedua belah pihak sama-sama sepakat bahwa modal usaha
yang diberikan pihak pertama akan dikelola pihak kedua secara professional dan
bertanggung jawab.
2.5.2

Teori Bagi Hasil (Profit Loss Sharing) Dalam Perbankan Syariah


Sebagaimana diketahui, bank yang beroprasi berdasarkan prinsip-prinsip

Islam menawarkan sistem bagi hasil kepada nasabahnya. Artinya, selain


pembagian untung dan rugi sama-sama ditanggung oleh kedua belah pihak, dan
juga dapat dipahami bahwa keuntungan yang akan diperoleh nasabah bisa
berubah-ubah, semuanya tergantung pada pendapatan atau keuntungan yang
diperoleh bank syariah. Besarnya prsentase bagi hasil sudah ditetapkan oleh pihak
bank. Namun, biasanya masih membuka ruang tawar-menawar dalam batas yang
wajar.
Perhitungan bagi hasil di bank syariah ada dua jenis; pertama Profit/Loss
Sharing. Dalam sistem ini, besar-kecil pendapatan bagi hasil yang diterima
nasabah tergantung keuntungan bank. Kedua Revenue Sharing. Dalam sistem ini,
penentuan bagi hasil akan tergantung pada pendapatan kotor bank. Bank-bank
syariah di Indonesia umumnya menerapkan sistem Revenue Sharing. Pola ini
dapat memperkecil kerugian bagi nasabah, Hanya saja jika bagi hasil didasarkan
pada profit sharing, maka presentase bagi hasil untuk nasabah akan jauh lebih
tinggi.
Menurut pengamat perbankan dan investasi Elvyn G.Masassya, bahwa
menabung di bank syariah cukup menarik, tidak hanya bagi masyarakat muslim

tetapi juga non-muslim. Soalnya, dengan sistem bagi hasil akan terbuka peluang
mendapatkan hasil investasi yang lebih besar dibandingkan dengan bunga di bank
konvensional. Jika ingin mendapatkan return yang lebih besar, simpanan di bank
syariah dapat menjadi alternative, ujar Elvyn. Tentu saja harus didukung kondisi
ekonomi yang kondusif, yang memungkinkan perusahaan disektor riil mampu
membukukan keuntungan besar.
Prinsip bagi hasil dalam perbankan syariaah menjadi prinsip utama dan
terpenting, karena keuntungan (bagi hasil) merupakan balasan (upah) atas usaha
dan modal, besar-kecilnya pun tergantung pada keduanya. Dalam qawaid fiqhiyah
(kaidah fiqh) dikatakan algharam bil ghanam (ada untung rugi), prinsip ini
memenuhi prinsip keadilan ekonomi. Dan didalam kaedah bisnis dikatakan bahwa
setiap yang akan menghasilkan keuntungan yang besar, terkandung juga rsiko
yang besar (high risk, high return).
Bagi pihak yang akan menjalankan prinsip ini, maka harus membuat
kesepakatan diawal yang berkaitan dengan usaha yang akan dijalankan dan
menetapkan nisbah (bagian) bagi hasil masing-masing pihak menurut cara
pembagiannya. Usaha yang akan dijalankan merupakan usaha-usaha yang
dibenarkan menurut syariah, tidak boleh ditanamkan pada usaha yang di
haramkan. Yang akan dibagi hasilkan adalah keuntungan bersih dari usaha
tersebut tetapi boleh juga dibuat kesepakatan diantara dua pihak jika bagi hasil
diperhitungkan dari total sales. Karena yang dibagi hasilkan merupakan suatu
keuntungan, maka besar kecilnya nominal keuntungan akan mengalami turunnaik, tergantung dari usaha dan kesungguhan dalam mengelola usaha tersebut.

2.5.3

Teori Prinsip Bagi Hasil Syariah


Prinsip bagi hasil (profit sharing), secara umum dalam prbankan syariah

dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah,


almuzaraah dan al-mushaqah. Walau demikian, prinsip yang paling banyak
dipakai adalah al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzaraah dan
al-mushaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan
pertariian oleh beberapa bank islam.

Al-musyaraqah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Adapun yang menjadi landasan syariah akad al-musyaraqah ini adalah AlQuran Surat An-Nisaa ayat 12, yang artinya:
maka mereka berserikat pada sepertiga
Selanjutnya didalam Al-Quran surat As-shaad ayat 24, dikatakan pula:
dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
Sedangkan Hadits Nabi yang berkaitan dengan hal ini adalah:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, bersabda: Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla berfirman: Aku pihak ketiga dari dua orang yang
brserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya.
Hadits ini menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambaNya yang
melakukan perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan
dan menjauhi penghianatan.
Al-Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis, Al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha berdasarkan
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi di tanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian sipengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kekurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut.

Landasan syariah yang mendasari akad ini adalah Al-Quran Surat AlMuzzammil ayat 20, yang artinya:
dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari
sebagian karunia Allah
Sedangkan Hadits Nabi menyatakan sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul
muthalib jika memberikan dana kemitra usahanya secara
mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau mmbeli
ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan
bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat
tersebut kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah membolehkannya.
Secara umum mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu: Mudharabah
Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk
kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Sedangkan Mudharabah Muqayyadah, atau disebut juga dengan istilah
restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat
usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecendrungan umum si
shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.

2.6. Pengaruh Tingkat Suku Bunga dan Bagi Hasil Terhadap Deposito
Mudharabah
Permintaan adalah keinginan yang disertai dengan kesediaan serta
kemampuan untuk membeli barang yang bersangkutan, sedangkan permintaan
akan suatu barang adalah jumlah barang yang bersangkutan yang pembeli
bersedia membelinya pada tingkat harga yang berlaku pada suatu pasar tertentu
dan dalam waktu tertentu. Pada penelitian ini barang diumpamakan adalah
Deposito mudharabah dan harga dari suatu pasar adalah bunga dan bagi hasil.
Permintaan pasar itu permintaan agregat untuk suatu komoditi yang
menunjukkan jumlah alternatif dari komoditi yang diminta per periode waktu
pada berbagai harga alternatif oleh semua individu di dalam pasar. Jadi

permintaan pasar untuk suatu komoditi tergantung pada semua faktor yang
menentukan permintaan individu dan selanjutnya pada jumlah pembeli komoditi
tersebut di pasar. Secara geometris kurva permintaan pasar untuk suatu komoditi
diperoleh melalui penjumlahan horizontal dari semua kurva permintaan individu
untuk komoditi tersebut.
Ada

beberapa

faktor

yang

mempengaruhi

permintaan

deposito

mudharabah yaitu :
1. Bunga
2. Bagi Hasil
Hubungan permintaan menjelaskan bahwa jika harga naik maka jumlah
output yang diminta akan turun dan sebaliknya, jika harga turun maka output yang
diminta akan naik. Artinya jika harga atau bunga bank umum mengalami
kenaikan maka permintaan akan deposito mudharabah akan berkurang atau
menurun dan sebaliknya, jika bagi hasil lebih besar dari bunga bank umum maka
permintaan akan deposito mudharabah meningkat karena nasabah bersifat profit
motif.
Jika dilihat dari sisi permintaan akan deposito maka hubungan antara
bunga dengan deposito mudharabah adalah negatif. Fungsi permintaan adalah
permintaan yang dinyatakan dalam hubungan matematis dengan faktor-faktor
yang mempengaruhinya. Dalam fungsi permintaan, maka kita dapat mengetahui
hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas. Fungsi permintaan dapat
ditulis sebagai berikut:
Qdx = f ( Px, Py )
Keterangan :
Qdx : Deposito Mudharabah
Px

: Bunga

Py

: Bagi hasil
Dari fungsi permintaan diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor

yang mempengaruhi deposito mudharabah antara lain bunga dan bagi hasil.
Hubungan antar variabel dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bunga.
Apabila bunga pada bank umum mengalami kenaikan maka permintaan akan
deposito mudharabah akan mengalami penurunan sedangkan jika bunga itu
menurun maka permintaan akan deposito mudharabah bertambah atau
meningkat.
2. Bagi hasil
Bagi hasil disini adalah diasumsikan sebagai substitusi atau pembanding suku
bunga pada bank umum dimana keinginan masyarakat dalam mendepositokan
dananya adalah bersifat profit motif yang mana ingin mendapatkan
keuntungan yang besar. Hubungan yang terjadi adalah apabila tingkat bagi
hasil yang diberikan mengalami kenaikan maka volume deposito mudharabah
juga akan meningkat dan sebaliknya jika bagi hasil yang diberikan menurun
maka volume deposito mudharabah menurun.
Berikut adalah beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
yaitu:
No
1

Penelitian Sebelumnya
Judul
Variabel
Hubungan
a. Tingkat
tingkat bunga
bunga
bank
b. Simpanan di
konvensional
bank syariah
dengan
simpanan di
bank syariah

Analisis
perilaku
nasabah bank
syariah dalam
memilih bank
syariah

a. Faktor agama
b. Faktor
keuntungan

Pengaruh
pendapatan
bagi hasil
terhadap

a. Bagi Hasil
b. Deposito
Mudharabah

Hasil
Hubungan
antara tingkat
bunga dibank
konvensional
dengan
simpanan
dibank syariah
adalah
hubungan
negatif
Ketaatan
terhadap
prinsip-prinsip
agama
mempengaruhi
keputusan
nasabah dalam
memilih bank
syariah
Bagi hasil
berpengaruh
secara
signifikan

Penelitian Sekarang
Judul
Variabel
Pengaruh
a. Tingkat
Tingkat
Suku
Suku Bunga
Bunga
dan Bagi
b. Bagi Hasil
c. Deposito
Hasil
Mudhara
Terhadap
bah Bank
Deposito
Syariah
Mudharabah
Mandiri
Bank
Syariah
Mandiri

deposito
mudharabah
4

Analisis
Pengaruh
Suku Bunga
Bank
Konvensional
Terhadap
Jumlah
Simpanan
Pada Bank
Umum
Syariah Tahun
2002-2006

a. Tingkat suku
bunga
b. Simpanan di
bank syariah

hubungan
antara bagi
hasil, suku
bunga serta
pendapatan
terhadap
simpanan
mudharabah
di Bank
Muamalat
Indonesia
(BMI)

a. Bagi Hasil
b. Suku Bunga
c. Simpanan
Mudharabah

terhadap
deposito
mudharabah
Jangka pendek
suku bunga
bank
konvensional
dan nisbah
yang diberikan
oleh bank
syariah
berpengaruh
terhadap
besarnya
jumlah
simpanan pada
bank syariah.
Pada jangka
panjang suku
bunga bank
konvensional
dan nisbah
mempengaruhi
besarnya
jumlah
simpanan pada
bus dan
mempengaruhi
keputusan
masyarakat
untuk
menempatkan
dananya
Bagi hasil dan
suku bunga
tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
simpanan di
BMI, yang
berarti bahwa
faktor agama
masih menjadi
pendorong
nasabah dalam
menabung di
bank syariah

Anda mungkin juga menyukai