Anda di halaman 1dari 15

Identitas Buku

Judul Buku

: Negeri 5 Menara

Nama Pengarang

: Ahmad Fuadi

Nama Penerbit

: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit

: 2012

Jenis Buku

: Novel

Jumlah Halaman

: 425 halaman

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkat, rahmat serta karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan
ini.
Saya merasa sangat beruntung karena memiliki orang tua, guru, serta temanteman yang rajin menghembuskan semangat agar saya menyelesaikan tugas ini
dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah pihak-pihak yang berperan penting
dalam penyelesaian tugas ini.
Sekali lagi terima kasih untuk orang-orang baik yang telah banyak membantu
saya dalam mengerjakan tugas ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
agar berguna dalam penulisan laporan selanjutnya.

Balikpapan, 26 September 2015

Penulis

Daftar Isi
IDENTITAS BUKU......................................................................1
KATA PENGANTAR...................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................4
ISI BUKU......................................................................................5
TANGGAPAN .............................................................................14
LAMPIRAN..................................................................................15

Pendahuluan
3

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, kita dapat menyelami segala hal yang berkaitan
dengan kebahasaan, sastra serta yang lainnya.
Pada kesempatan kali ini, saya akan mengulas segala hal dari novel Negeri 5 Menara.
Novel karya Ahmad Fuadi ini merupakan novel yang sangat menarik. Novel ini menceritakan
tentang kehidupan pesantren yang dibalut dengan nuansa religi dan modernisasi. Novel ini
berlatarbelakang tentang mimpi para santri yang di dukung oleh sebuah mantra yang sangat
dahsyat, mantra yang dapat menggetarkan jiwa dan memotivasi diri untuk terus berusaha dan
sangat inspiratif bagi para pembaca, yaitu Man Jadda Wajada yang berarti Siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil.
Novel ini juga menceritakan bagaimana dan seperti apa kehidupan di suatu pesantren, yakni
Pesantren Madani. Kehidupan pesantren yang berpegang teguh pada aturan menjadikan para
santri yang mengenyam pendidikan disana harus memiliki kedisplinan yang tinggi. Karena,
jika diketahui adanya pelanggaran sedikit saja, maka dengan tegas, hukum lah yang
bertindak. Tidak peduli apakah yang bersangkutan adalah santri yang junior ataupun yang
senior, mereka akan dihukum sesuai pelanggaran yang dilakukannya. Hukuman yang paling
ringan adalah dengan di beri tugas menjadi jasus (mata-mata) untuk menegakkan ketertiban
dan kedisplinan di PM dan yang paling berat adalah dipulangkan.
Bagaimana kah perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu
mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai? Bagaimana
sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang
mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak seperti seorang shaolin?Ikuti perjalanan
hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah
buku pertama dari sebuah trilogi.

ISI BUKU
4

Alif Fikhri adalah seorang anak dari keluarga sederhana yang tinggal di Bayur, kampung
kecil di dekat Danau Maninjau Padang, Sumatera Barat. Alif masih memiliki keturunan darah
ulama. Sejak kecil, Alif telah bercita-cita menjadi seorang insinyur. Tokoh idolanya adalah
B.J. Habibie. Alif juga mempunyai dua orang Adik, yaitu Laili dan Safya.

1.
...Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku
menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri... (Hal. 8)
2.
Waang akan pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar.
Apalagiwaang punya darah ulama dari dua kakekmu. (Hal. 9)
3.
Setelah merangkul Laili dan Safya, dua adikku yang masih di SD, aku berjalan tidak
menoleh lagi. Kutinggalkan rumah kayu kontrakan kami di tengah hamparan sawah yang
baru ditanami itu. Selamat tinggal Bayur, kampung kecil yang permai. Halaman depan kami
Danau Maninjau yang berkilau-kilau, kebun belakang kami bukit hijau berbaris. (Hal. 15)

v Setelah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah- yaitu sekolah agama


setingkat SMP, Alif berencana untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu
SMA(Sekolah Menengah Pertama) di Bukittinggi. Namun, keinginan dan cita-citanya
tersebut terhalang dengan keinginan orang tuanya, Amaknya (atau yang berarti ibunya dalam
bahasa Minang) tidak setuju dengan keinginan Alif untuk masuk SMA, ibunya ingin Alif
melanjutkan pendidikan di sekolah yang masih berkaitan dengan agama, karena ibunya ingin
agar Alif menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas,
seperti Buya Hamka yang sekampung dengan mereka.

1.
Amak ingin anak laki-laki ku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan
pengetahuan yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan
amar maruf nahi munkar, mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, kata
Amak pelan-pelan. (Hal. 8)
2.
Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi
supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah. (Hal. 8)
3.
Amak ingin memberikan anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia
untuk akhirat. (Hal. 9)

v Awalnya Alif memberontak. Bahkan Ia mengurung diri di dalam kamar selama beberapa
hari. Ia kesal karena cita-citanya di tentang oleh ibunya. Tetapi karena Alif tidak ingin
mengecewakan harapan orang tua khususnya ibu, Alif pun menjalankan keinginan ibunya dan
masuk pondok pesantren Di Jawa Timur, Bernama Pondok Pesantren Madani atau PM. Atas
saran dari Pak Etek Gindo (pamannya) di Kairo.

1.
Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur
dan ahli ekonomi, tangkisku sengit. (Hal. 9)
2.
Kekesalan karena cita-citaku ditentang Amak ini berbenturan dengan rasa tidak tega
melawan kehendak beliau. Kasih sayang Amak tak terperikan kepadaku dan adik-adik. Walau
sibuk mengoreksi tugas kelasnya, beliau selalu menyediakan waktu; membaca buku,
mendengar celoteh kami dan menemani belajar. (Hal. 11)
3.
Di tengah gelap, aku terus bertanya-tanya kenapa orang tua harus mengatur-atur anak
yang baru belajar punya cita-cita ? Kenapa masa depan harus diatur orangtua ? Aku bertekad
melawan keinginan Amak dengan gaya diam dan mogok di dalam kamar gelap. Keluar hanya
untuk buang air dan mengambil sepiring nasi untuk dimakan di kamar lagi. (Hal. 11)
4.
Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa.
Tidak mau di Bukittinggi atau Padang, kataku di mulut pintu. (Hal. 12)

v Ayah dan Amak yang mendengar keputusan mendadak itu sontak terkejut. Mereka,
terutama Amak tidak menyangka akan keputusan Alif yang sangat mendadak itu. Ayah dan
Amak segera berunding tentang hal itu. Setelah berunding beberapa saat, akhirnya Amak dan
Ayahnya merestui Alif untuk menempuh pendidikan disana, meskipun dengan berat hati.

1.
Amak yang sedang menyiram pot bunga suplir di ruang tamu ternganga kaget. Ceret
airnya miring dan menyerakkan di lantai kayu. Ayah yang biasa hanya melirik sekilas dari
balik koran haluan, kali ini menurunkan koran dan melipatnya cepat-cepat. Dia mengangkat
telunjuk ke atas tanpa suara, menyuruhku menunggu. Mereka berdua duduk berbisik-bisik
sambil ekor mata mereka melihatku yang masih mematung di depan pintu kamar. Hanya sasses-sis-sus yang bisa kudengar. (Hal. 13)
2.
Ayah dan amak menggangguk dan mereka kembali berdiskusi dengan suara rendah.
Setelah beberapa saat, Ayah akhirnya angkat bicara. Kalau itu memang maumu, kami
lepas waang dengan berat hati. (Hal.13)

v Setelah keputusan Alif direstui, Alif dan Ayahnya segera menuju ke Pulau Jawa
menggunakan sebuah bus. Selanjutnya mereka menyeberangi Selat Sunda dengan
menggunakan kapal ferry. Setelah sampai di dermaga, mereka segera melanjutkan perjalanan
menggunakan bus menuju ke Jawa Timur, tempat dimana Pondok Madani itu berada.

1.

Kita naik bus saja ke Jawa besok pagi, kata Ayah yang akan mengantarku. (Hal. 14)

2.
Bersama Ayah, aku menumpang bus kecil Harmonis yang terkentut-kentut merayapi
kelok Ampek Puluah Ampek. Jalan mendaki dengan dengan 44 kelok patah... (Hal. 15)
3.
Pegangan yang kuat! teriak laki-laki bercambang lebar dengan seragam kelasi kepada
penumpang ferry raksasa yang aku tumpangi. (Hal. 22)

4.
Dengan senyum lebar yang memperlihatkan sebaris gigi putih, dia menyapa Ayah,
Assalamualaikum Pak. Saya ismail siswa kelas enam PM atau Pondok Madani. Bapak mau
mengantar anak sekolah ke Madani? Ayah mengangguk. Baik Pak, tolong ikuti saya...
Dengan sigap dia mengangkat tas dan kardus kami lalu mengikatkannya di atap bus biru PM
Transport. Sejenak kemudian kami telah menembus persawahan yang menghijau, disupiri
oleh Ismail.

v Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan mantera
saktiman jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Dia bersama ribuan
murid lainnya seakan tersihir oleh mantera tersebut.

1.

Man jadda wajada! (Hal. 40)

2.
Dengan wajah berseri-seri dan senyum sepuluh senti menyilang di wajahnya, laki-laki
ini hilir mudik diantara bangku-bangku murid baru, mengulang-ulang mantera ajaib ini di
depan kami bertiga puluh. setiap dia berteriak, kami menyalak balik dengan kata yang sama,
man jadda wajada. Mantera ajaib berbahasa Arab ini bermakna tegas: Siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil!. (Hal. 41)
3.
Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian. Masing-masing dikomandoi
seorang kondaktur yang energik, menyalakkan man jadda wajada. Hampir satu jam non
stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di
musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo. (Hal.40)
v Pekan Perkenalan siswa PM. Alif dan teman-temannya berbondong-bondong memenuhi
aula. Kiai Rais almukarram sebagai pemimpin Pondok Madani memberikan pidato singkat
sebagai pembuka Pekan Perkenalan Siswa tersebut. Ia dijuluki sebagai Sang Rennaissance
Man yaitu pribadi yang tercerahkan karena aneka ragam ilmu dan kegiatannya.

1.
Marhaban. Selamat datang anak-anakku para pencari ilmu. Welcome. Selamat datang.
Bien venue. Saya selaku rais mahad-pimpinan pondok-dan para guru di sini dengan sangat
bahagia menyambut kedatangan anak-anak baru kami untuk ikut menutut ilmu di sini. Terima
kasih ata kepercayaannya, semoga kalian betah. Mulai sekarang kalian semua adalah dari
keluarga besar PM, Kiai Rais membuka sambutannya. Suaranya dalam menenangkan. (Hal.
49)

2.
Assalamualaikum, tutupnya. Pidatonya sangat singkat. Semua orang memberi tepuk
tangan bergemuruh.
Aku menyikut Raja. Singkat sekali, mana petuah seorang kiai, tanyaku.
Tenang bos. Kata buku ini Kiai Rais itu seperti mata air ilmu. Mengalir terus. Dalam
seminggu ini pasti kita akan mendengar dia memberi petuah berkali-kali, jawab Raja penuh
harap. (Hal. 49)
7

v Kehidupan pesantren yang berpegang teguh pada aturan menjadikan para santri yang
mengenyam pendidikan disana harus memiliki kedisplinan yang tinggi. Karena, jika
diketahui adanya pelanggaran sedikit saja, maka dengan tegas, hukum lah yang
bertindak.Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari
Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari
Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib
sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awanawan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing.

1.
Maaf... maaf... Kak, kami terlambat. Tapi hanya sedikit kak, 5 menit saja. Karena
harus membawa lemari yang berat ini dari lapangan...
Sudah berapa lama kalian resmi jadi murid di PM? katanya memotong kalimatku.
Dua... dua... hari Kak, jawabku terbata-bata.
Baru dua hari sudah melanggar. Bukankah kemarin malam qanun dibacakan dan kalian tahu
tidak boleh terlambat.
Kami membisu, tidak bisa menjawab. Hanya napas kami yang naik turun terdengar
berserabutan.
Kalian sekarang di Madani, tidak ada istilah terlambat sedikit. 1 menit atau 1 jam,
terlambat adalah terlambat. Ini pelanggaran. (Hal. 60)

2.

Jewer kuping teman sebelahmu sekuat aku menjewermu!

Belum dia selesai, aku telah menjewer kuping Atang, sementara Atang menjewer kuping
Said. Selanjutnya Said memegang kuping Raja yang memegang kuping Dulmajid yang
memegang kuping Baso. Semakin kencang jeweran yang kuterima, semakin kencang aku
menjewer Atang dan semakin ganas Atang menjewer Said, begitu seterusnya. Sementara itu
yang paling ujung, Baso yang malang, tidak punya mitra untuk saling jewer menjewer, dia
hanya meringis-ringis tanpa bisa melampiaskan kesumatnya. Dengan sudut mata aku liat dia
akhirnya menjewer pintu lemarinya yang keras. (Hal. 67-68)

3.
Akhi. Kalian berenam, coba dengar. Awal dari kekacauan hukum adalah ketika orang
meremehkan aturan dan tidak adanya penegakkan hukum. Di sini lain. Semua kesalahan pasti
dibayar dengan hukuman. Sebagai murid baru, kalian harus mencamkan prinsip ini ke dalam
hati. Karena itu, setelah mempertibangkan kesalahan kalian, mahkamah ini akan menambah
hukuman supaya kalian jera, kata Tyson dengan suara serius. (Hal. 74)

4.
Saking seringnya kami berkumpul di kaki menara, kawan-kawan lain menggelari kami
dengan Sahibul Menara, orang yang punya menara.... Kami senang saja menerima julukan
itu. Bahkan Said kemudian punya ide untuk membuat kata sandi setiap orang. Said kami
sebut menara 1, Raja menara 2, aku menara 3, Atang menara 4, Dulmajid menara 5, dan Baso
menara 6. (Hal. 95)

5.
Sebuah menara dan sebuah senja! Suasana dan pemandangan yang terasa sangat lekat
di hatiku. Belasan tahun lalu, di samping menara masjid PM, kami kerap menengadah ke
langit menjelang sore, berebut menceritakan impian-impian gila kami yang setinggi langit:
Arab Saudi, Mesir, Eropa, Amerika dan Indonesia. Aku tergetar mengingat segala kebetulankebetulan ajaib ini. (Hal. 402)

v Selain teman-teman di pondok, Alif juga mempunyai seorang kawan lama bernama
Randai. Ia adalah teman Alif sejak kecil bahkan ia dan Alif bercita-cita ingin melanjutkan ke
SMA yang sama. Tetapi kenyataannya hanya Randai yang dapat merealisasikan mimpi
tersebut, karena Alif melanjutkan sekolah ke Pondok Madani. Karena Randai melanjutkan
sekolah di SMA, ia bercerita pengalaman-pengalamannya kepada Alif melalui surat. Yang
secara tidak langsung ingin membuat Alif merasa iri. Alif yang masih belum melupakan
mimpi lamanya itu sedikit-sedikit mulai terpengaruh, hati Alif mulai goyah dan pikirannya
tidak tenang.
1.
Alhamdulillah sesuai cita-cita aku diterima di SMA Bukittinggi. Sekarang aku sedang
mapras-masa perkenalan siswa. Kau tahu Lif, ternyata keindahan SMA yang kita
bayangkan tidak ada apa-apanya dengan yang sebenarnya. SMA benar-benar tempat yang
menyenangkan untuk belajar dan bergaul...
Di acara mapras ini kita diperkenalkan dengan berbagai macam ekskul yang hebat-hebat.
Kamu belum pernah lihat komputer kan? Nah disini semua murid ikut belajar komputer
karena sekolahku baru membuat lab komputer yang paling modern di kota kita. Senangnya.
Ternyata komputer tidak hanya ada di film saja, ternyata disekolahku pun ada.
... Luar biasa kawan. Semoga keputusan kau ke Jawa itu benar. Kalau tidak, cepatlah
kembali, mungkin kamu masih bisa di terima di SMA ini. (Hal. 101-102)

2.
Sudah beberapa hari ini aku merasa seperti ada batu yang menekan dadaku. Awalnya
aku tidak tahu apa penyebabnya. Tapi tekanan di dada ini semakin terasa setiap aku melihat
sampul surat Randai di atas lemariku. Surat ini mempengaruhi perasaanku lebih besar dari
yang aku kira. Badanku terasa lesu dan aku jadi malas bicara. (Hal 104)

3.
Alif, syukur ALHAMDULILLAH, aku telah DITERIMA di TEKNIK MESIN ITB,
persis seperti yang aku harapkan. Sekolahnya Bung Karno dan Pak Habibie.... (Hal. 310)

4.
Dan sekam yang tidak pernah pudur dalam 3 tahun ini akhirnya meletik-letik dan
menyala menjadi api. Ada iri yang meronta-ronta di dadaku. Semua yang di dapat Randai
adalah mimpiku juga. Mahasiswa ITB dan bercita-cita menjadi Habibie. Kini kawanku
mendapatkan semuanya kontan. Sedangkan aku masih harus mengangsur 1 tahun lagi sebagai
murid kelas 6 di PM. (Hal. 311)

v Di Pondok Pesantren Madani ujian disambut dengan sangat istimewa. Mulai dari ujian
biasa (yang dilaksanakan secara maraton sepanjang 15 hari) sampai ujian akhir kelas enam.
Semua disambut bagai pesta akbar, riuh dan semarak. Diskusi dan belajar bersama terjadi
dimana-mana. Sungguh indah dan elektrik. Semuanya bergerak mengikuti pesta ini dengan
antusias. Mereka juga berusaha untuk melaksanakan Sahirul Lail, yaitu bergadang dan
bangun malam untuk belajar. Para guru juga berperan aktif. Mereka di suruh oleh Kiai Rais
untuk menjawab pertanyaan apa saja tentang mata pelajaran apapun serta membangunkan
yang tertidur di jam belajar.

1.
Bagi kami berenam, yang memutuskan belajar bersama di aula, kehadiran guru ini
kesempatan emas untuk mendapatkan keterangan lengkap, terinci,personal, one on one.
Tinggal panggil, Tad..tad....afwan, tolong terangin bab ini apa maksudnya? lalu dengan
penuh dedikasi si ustad duduk disebelahku, menguraikan dengan baik jawabannya... (Hal.
192)

2.
Aku layangkan pandanganku ke aula di seberang Al-Barq. Jam 2 malam, aula ini
sudah ramai seperti pasar subuh! Puluhan lampu semprong berkelap-kelip di atas setiap meja
pasukan sahirul lail. Ketika angin berhembus, mata apinya serempak menari-nari seperti
kunang-kunang. (Hal. 198)

3.
Said menyorongkan gelas besar dan semangkuk makrunah, Ya akhi, ngopi dulu
supaya tidak ngantuk. Itulah enaknya punya teman seperti Said yang sering dapat wesel.
Konsumsi ditanggung banyak. (Hal. 198)

v Banyak sekali hal-hal menarik yang terjadi di PM. Diantaranya Sarah yang menjadi Putri
di Madani. Para santri berusaha sekuat tenaga hanya untuk dapat melihat Sarah, menyapa,
atau bahkan berkenalan dengannya. Segala hal tentang Sarah selalu menjadi berita terhangat.
Bahkan bagi sahibul menara. Selain itu peristiwa pencurian sapi yang menghebohkan PM.
Dua orang pencuri berhasil ditangkap. Yang secara tidak langsung melibatkan Alif, Dulmajid
dan tim elit Tapak Madani.

10

1.
Saya baru dapat info kalau kita akan punya warga baru yang istimewa di sini. Seorang
gadis caaaantik. Kata cantik di ungkapkannya dengan hiperbolik... (Hal. 229)

2.
Nah ini yang kalian tak tahu. Telah jadi legenda di kalangan kakak kelas bahwa ustad
ini punya anak gadis cantik yang tidak jauh umurnya dengan kita.
Wah
Iya, jadi gosipnya kita akan punya putri di sini. (Hal. 229)

3.
Nama tuan putri itu Sarah, katanya puas dengan imbalan yang dia dapat dari
informasi ini. (Hal. 230)

4.
Aku biasanya tidak banyak bicara. Apalagi memang tidak banyak yang bisa aku
ceritakan tentang hal ini. Tapi nama Sarah yang bersenandung itu membuat aku
memberanikan diri berkata, Kalau aku ingin berkenlan dengan Sarah, kataku. (Hal. 232)

5.
Sarah adalah idaman semua orang. Dan dia berada di tempat yang paling tidak bisa
ditembus. Bapaknya, Ustad Khalid adalah salah seorang guru yang paling tegas dan disegani.
Bagaimana mungkin kau akan bisa? tanya Raja. (Hal. 232-233)

6.
Bukan dia saja yang iri. Kami semua, bahkan semua penduduk PM melihat siapa saja
yang beruntung melihat penampakan Sarah dengan penuh benci dan iri. Kok bisa mereka
seberuntung itu. Walau penuh dengan benci dan iri, kami tetap dengan antusias duduk
melingkar mendengarkan si Dulmajid yang sekarang mengulang detik-detik dia melihat
Sarah. Walau dalam senyatanya memang hanya hitungan beberapa detik. Sekelebat saja.
(Hal. 236)

7.
Tepat jam 10 malam, aku dan Dulmajid sampai di lokasi kami, sebuah tempat gelap di
ujung barat PM.(Hal. 241)

8.
Oke kawan, aku siap melawan dedemit Sungai Bambu sekarang, katanya penuh
dengan percaya diri. (Hal. 242)

9.
Tangannya bergerak cepat memilin kuping kami. Amanah menjaga PM kalian siasiakan. Sampai ketemu di mahkamah besok! katanya dengan desis murka sambil berlalu
dengan sepeda hitamnya ke dalam gelap malam. Ah, alamat aku menjadi jasus lagi. Kantukku
tiba-tiba punah. (Hal. 245)
11

10. Aku sedang berdiri meregangkan badanku yang kesemutan ketika dari hulu sungai kami
mendengar suara orang berteriak-teriak dan bunyi kaki mendekat ke arah kami. Tapi sungai
benar-benar gulita, kami tidak dapat melihat apa-apa yang terjadi... (Hal. 246)

11. CEPAT MENYERAH!!! Kau sudah kami kepung! hardik Ustad Khaidir. Tangannya
mengibas ke arahku., menyuruh menjauh. (Hal. 248)

12. Syukran ya akhi, telah menahan dia untuk lari. Kalian bebas dari mahkamah, kesalahan
tidur di maafkan, katanya. Kali ini dengan nada bersahabat. Dia mengulurkan tangan.
Mungkin untuk menghargai usaha kami. Aku jabat dengan ragu-ragu. Cincin kuningannya
terasa dingi di telapakku. (Hal. 249)

13. Seminggu kemudian, sebuah kejutan indah datang. Kami bertiga dan tim elit Tapak
Madani dipanggil ke rumah Kiai Rais. Kami dianugerahi selembar piagam penghargaan atas
dedikasi kepada PM. Sungguh membanggakan menerima piagam langsung dari tangan Kiai
Rais dan berfoto bersama beliau.

v Saat kelas enam, Alif dan teman-temannya mempunyai tugas yang sangat besar. Yaitu
mempersembahkan pagelaran multi seni terhebat yang bisa mereka produksi kepada
almamater tercinta. Mereka harus membuktikan bahwa mereka tidak kalah dengan kelas
enam tahun lalu. Acara megah ini sangat di nanti-nantikan oleh ribuan penonton. Bahkan
karena mempersiapkan acara ini, Alif, Atang, Said mendapatkan hukuman. Yaitu di botaki
karena telah melanggar aturan.

1.
Akhi, tugas berat kita adalah bagaimana membuat panggung yang lain dari
sebelumnya dan tidak terlupakan seumur hidup, kata Said yang naju ke depan tanpa diminta.
(Hal. 338)

2.
Aku punya ide, kata Atang menggebu-gebu, seminggu sebelum hari H. Jadi kawankawan, aku ingin membuat teater yang panggungnya tidak terbatas di panggung depan, tapi
panggungnya adalah tempat duduk penonton... (Hal. 340)

3.
Sialnya, telah tiga apotik yang telah kami datangi, semua apotekernya selalu
menggeleng, kami tidak menjual karbon dioksida padat. Mereka menyuruh kami ke
Surabaya untuk membeli barang ini. Kami berpandang-pandangan. Persoalannya kami hanya
diberi izin pergi sebentar hanya untuk tujuan ke Ponorogo... (Hal. 343)

12

4.
Dengan nada dan tatapan dinginnya, Ustad Torik memotong. Itu bukan alasan.
Menunggu sampai pagi pun masih bisa. Kalian sudah tahu aturan adalah aturan. Semua yang
ikut ke Surabaya saya tunggu di kantor. SEKARANG JUGA. (Hal. 351)

5.
Dan, tiba-tiba benda sedingin es segera menyentuh kudukku, membuat aku merinding
di kuduk dan tangan. Dan crik... crik... crik... dengan lapar sebuah gunting memangkas
rambutku... (Hal. 353)

6.
Said yang telah berhasil menemukan optimisme normalnya lalu menggamit kami
berdua. Ya akhi, sebelum ke asrama, kita ke studio foto dulu yuk. Kapan lagi tiga orang
berkepala shaolin berfoto pakai sarung. Said memang selalu tahu bagaimana mengambil sisi
positif dari setiap bencana.

v Setelah kelulusan, mereka menjalani kehidupannya masing-masing. Mereka menempuh


kehidupan baru yang telah menjadi impian mereka. Sesuai dengan cita-cita masing-masing.
Ada yang pergi melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di Jawa, dll. Usaha dan kerja keras
telah menghantarkan mereka kepada kesuksesan. Mereka menjalani impian mereka di
London, Amerika, Arab Saudi, Indonesia, dll.

1.
Ternyata ini dia Nelsons column yang disebut-sebut di buku reading kita waktu kelas
tiga dulu. Lebih besar dan lebih tinggi dari yang aku bayangkan. (Hal. 402)

2.
Alangkah indah. Senda gurau dan doa kami di bawah menara dulu menjadi kenyataan.
Aku tidak putus-putus membatin, Terima kasih Allah, Sang Pengabul Harapan dan Sang
Maha Pendengar Doa.

TANGGAPAN TERHADAP ISI BUKU

Novel ini dapat dibaca oleh semua kalangan. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini
sangat menarik. Ringan, deskriptif dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan
wawasan berbagai macam daerah. Terdapat catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan
13

arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa juga terdapat dalam novel
tersebut, salah satunya Man Jadda Wajada yang sering di cantumkan dan membuat novel
ini terkenang di hati pembaca. Pembaca tidak akan bosan membaca kehidupan di Pondok
karena penulis menggunak alur campuran. Penulis mengambil setting Alif yang sudah bekerja
lalu mulai masuk ke dalam ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya di Pondok Madani.
Setelah cukup panjang menceritakan tentang pondok, penulis beralih lagi ke kehidupan Alif
sekarang. Bisa Mengubah pola pikir kita tentang kehidupan pondok yang hanya belajar
agama saja. Karena dalam novel ini selain belajar ilmu agama, ternyata juga belajar ilmu
umum seperti bahasa inggris, arab, kesenian dll.

LAMPIRAN

14

15

Anda mungkin juga menyukai