Anda di halaman 1dari 12

Perkembangan Pers di

Indonesia
Oleh Jon Apri
XII IPS 2

Indonesia ialah Negara penganut system pers


demokrasi. Sebelum menganut system pers ini,
Negara kita mengalami beberapa revolusi dalam
bidang pers. Tidak bisa dipungkiri pengaruh pers
di Negara kita sangat besar. Perkembangannya
pun juga termasuk sangat kompleks, dalam arti
pers Indonesia terbagi menjadi beberapa periode
dimana satu periode mewakili satu era/masa
dimulai dari pers di masa kolonial hingga pers di
era reformasi. Berikut ialah perkembangan Pers di
Indonesia :

1.Pers di masa kolonial ( tahun 1744 sampai


awal abad 19)
Pada masa kolonial pers Indonesia diduduki oleh
Pers Belanda. Pers Belanda menerbitkan surat
kabar berbahasa Belanda yang selanjutnya
bangsa Indo raya dan Cina menerbitkan surat
kabar sendiri yang
berbahasa Belanda, Cina, dan bahasa daerah.
Namun, diketahui tahun 1776 surat kabar
pertama Indonesia telah dibredel oleh pemerintah
Belanda. Sampai pada pertengahan abad 19,
terdapat 30 surat kabar Belanda, dan 27 surat
kabar bahasa Indonesia dan satu surat kabar
berbahasa Jawa.

2.Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)

Ketika awal berdirinya Boedi Oetomo, pers Indonesia bisa dibilang sebagai
alat perjuangan bagi rakyat indonesia. Pers di Indonesia berfungsi untuk
perjuangan dan alat penentu nasib (memperbaiki kedudukan dan nasib)
anak bangsa. Hingga akhir masa colonial , terdapat 33 surat kabar
berbahasa Indonesia (47.000 eksemplar) dan 27 surat kabar yang
dibredel. Beberapa surat kabar yang beredar saat itu ialah :
Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di
Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920.
Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.

3.Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)

Pers Indonesia pada pemerintah jepang mengalami perkembangan, dengan belajar


tentang kemampuan media massa dalam mobilisasi massa untuk tujuan tertentu
berarti telah memperluas wawasan rakyat Indonesia.Pada era ini pers Indonesia
mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin
penerbitan pers.Dalam masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan
beberapa surat kabar baru diterbitkan meskipun dikontrol ketat oleh Jepang. Selain
itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan
menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media (harian), yaitu:
Asia Raya di Jakarta
Sinar Baru di Semarang
Suara Asia di Surabaya
Tjahaya di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan
lebih dari zaman Belanda. Namun begitu, hal ini justru memberikan banyak
keuntungan bagi pers Indonesia, diantaranay adalah Pengalaman karyawan pers
Indonesia bertambah. Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap
berita yang disajikan oleh sumber resmi Jepang, serta meluasnya penggunaan
bahasa Indonesia.

4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)


Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa
Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru
diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali
menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan
kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan yaitu:

Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan


Belanda yang dinamakan Pers Nica (Belanda).
Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau
disebut Pers Republik.

5. Era pers partisan


Era ini berlangsung dari 1945-1957. Setelah
terkena euphoria kemerdekaan terjadilah
persaingan keras antara kekuatan politik sehingga
pers Indonesia mengalami perubahan sifat dari
pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada
era ini sekedar menjadi corong partai politik.
Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni,
surat kabar republikein yang mengobarkan aksi
kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat
kabar belanda, dan surat kabar Cina.

6. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)

Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA
dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh
penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi
dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: Hak kebebasan
individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan
kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan
sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan
bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi bahwa langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalahmajalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam
usaha menerbitkan pers nasional. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai
mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan
sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

7. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama

Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua
tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila.
Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai
pancasila dan UUD45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas
dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa bulan madu antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya
Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini
hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya Peristiwa Malari
(Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti
zaman Orde Lama).

amplop adalah
budaya pemberian amplop
8. Pers di masa Transisi Jurnalisme
(sebelum
Reformasi)
bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun
pemberian ini dikecam dan berusah dihindari
namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
Era ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik
mulai berubah. Faktor yang melatarblekangi perubahan ini
antara lain adalah kaenyataan bahwa Soeharto akan
mencapai usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul
perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru hanya soal
waktu. Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers
karean lembaga SIUPP yang mengontrol pers dengan ketat
tidak dihapus.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong
kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan
system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn
tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan
kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan
PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam
keredaksian.
Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga
macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari
peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni
eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta
secara tersirat bukan tersurat. Penggunaan kata-kata ini
adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu
pemberitaan. Fakta dalam sebuah berita berbahaya
senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk
mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber
berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu
saja membuat wartwan Indonesia semakin malas.

Pada masa orde baru ini juga diketemukan


adanya monopoli media massa oleh keluraga
para pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut
pandang pemberitaan yang hampir sama dan
sangat berhati-hati karena takut menyinggung
pemilik saham.
Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai
bersikap terbuka, begitupun dengan pers
meskipun tetap harus bersikap hati-hati.
Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari
perubahan situasi politik di Indonesia dan juga
tuntutan pembaca kelas menengah yang
jumlahnya semkain banyak di Indonesia.
Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia
membredel tiga mingguan terkemuka yaitu
Tempo, Editor dan Detik. Ada tiga teori tentang
pembredelan tersebut yakni teori permusuhan
Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo
memberitakan rencana produksi pesawat terbang
dan pembelian bekas kapal perang yang
mengkritik habibie, teori intrik politik yang
berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu
bekerjasama dengan Benni Moerani dan
pengikutnya di ABRI untuk menjatuhkan dan
menyingkirkan Habibie dan teori Intimiasi yang
berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin
memperlambat laju perubahan masyarakat dan
media yang semkain bergerak menuju kebebasan
yang lebih lebar. Pembredelan ini mengakibatkan
terjadinya protes dan demo di kalangan
wartawan Indonesia.Sebagai penyelesaian kasus

9. Pers di masa pasca Reformasi


Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan
mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema
ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor
kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan
ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru,
pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada
di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat
izin terbit. Di awal reformasi banyak bermunculan
penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid
baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira
dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan
penting dibanding dengan undang-undang
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin
adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga
negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi
disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu
terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,
pembredelan, dan pelarangan penyiaran
sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.

Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers


No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan
peranan sebagai berikut:

Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan


mendapatkan informasi.
Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, serta menghormati kebhinekaan.
Mengembangkan pendapat umum berdasar
informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Tujuannya agar wartawan dapat melindungi
sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini
digunakan jika wartawan dimintai keterangan
pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di
pengadilan.

Penutup

Demikian perkembangan pers


di Indonesia yg saya
temukan, sekian dan
terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai