Perkembangan Pers Di Indonesia
Perkembangan Pers Di Indonesia
Indonesia
Oleh Jon Apri
XII IPS 2
Ketika awal berdirinya Boedi Oetomo, pers Indonesia bisa dibilang sebagai
alat perjuangan bagi rakyat indonesia. Pers di Indonesia berfungsi untuk
perjuangan dan alat penentu nasib (memperbaiki kedudukan dan nasib)
anak bangsa. Hingga akhir masa colonial , terdapat 33 surat kabar
berbahasa Indonesia (47.000 eksemplar) dan 27 surat kabar yang
dibredel. Beberapa surat kabar yang beredar saat itu ialah :
Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di
Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920.
Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA
dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh
penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi
dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: Hak kebebasan
individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan
kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan
sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan
bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi bahwa langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalahmajalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam
usaha menerbitkan pers nasional. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai
mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan
sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua
tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila.
Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai
pancasila dan UUD45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas
dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang
benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa bulan madu antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya
Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini
hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya Peristiwa Malari
(Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti
zaman Orde Lama).
amplop adalah
budaya pemberian amplop
8. Pers di masa Transisi Jurnalisme
(sebelum
Reformasi)
bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun
pemberian ini dikecam dan berusah dihindari
namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
Era ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik
mulai berubah. Faktor yang melatarblekangi perubahan ini
antara lain adalah kaenyataan bahwa Soeharto akan
mencapai usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul
perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru hanya soal
waktu. Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers
karean lembaga SIUPP yang mengontrol pers dengan ketat
tidak dihapus.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong
kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan
system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn
tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan
kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan
PWI, selain itu pemerintah juga ikut campur tangan dalam
keredaksian.
Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga
macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari
peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni
eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta
secara tersirat bukan tersurat. Penggunaan kata-kata ini
adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu
pemberitaan. Fakta dalam sebuah berita berbahaya
senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme rekaman adalah budaya wartawan untuk
mentranskrip setepat-tepatnya apa yang dikatakan sumber
berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu
saja membuat wartwan Indonesia semakin malas.
Penutup