29
seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai
manusia pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia
diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung kepada agama, golongan,
kelamin, umur, warganegara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban
perdata tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah
dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dimaksudkan,
dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia.
Pengecualiannya sebagai mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata
ditergaskan pada pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
(1) Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya;
(2) Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada".
Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW di atas ini sering disebut
"rechtsfictie". Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya. Demikian juga
30
dalam pasal 236 KUHPerdata ditentukan; bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli
waris kalau ia telah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Hal ini berarti, bahwa
seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada
saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW, seorang anak
yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan,
manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan
itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada. Artinya
kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan maka
ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandunganpun ia
sudah merupakan orang yakni pendukung hak. Pentingnya pasal 2 BW terlihat pada
contoh kasus sebagai berikut. Seorang ayah pada tanggal 1 Agustus 1984 meninggal
dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia mempunyai dua orang anak, sedangkan istrinya
dalam keadaan hamil (mengandung).
Seandainya pasal 2 BW tidak ada, maka yang menjadi ahli waris kalau ayah
yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan wasiat hanyalah dua orang anaknya dan
jandanya (istrinya). Pada tanggal 1 September 1984 dalam kandungan istri itu lahir
hidup dan segar bugar. Kalu pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan yang
ditinggalkan ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya, yang masingmasing mendapat sepertiga, sedangka ia yang masih dalam kandungan ketika ayahnya
meninggal dunia tidak mendapat apa-apa. Keadaan ini dirasakan tidak adil, namun
keberadaan Pasal 2 BW tersebut dimaksudkan untuk meniadakan ketidakadilan itu,
sehingga anak yang ada dalam kandunganpun merupakan ahli waris. Karena itu bagian
dari masing-masing ahli waris pada contoh kasus di atas ini adalah seperempat (tiga
anak dan seorang istri/janda). Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya
hidup sedetik. Adapun bagiannya mendaji warisan. Jadi anak yang hidup sedetik dan
kemudian meninggal itu menjadi pewaris. Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah
saudara-saudaranya dan ibunya.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung
hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama
seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 BW
menyatakan :"Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau
kehilangan segala hak perdata". Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi
31
32
perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator).
Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan
oleh Balai Harta Peninggalan
(weeskamer).
Uraian di atas dapat dikatakan; bahwa setiap orang adalah subyek hukum
(rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semua orang
cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
melakukan
perbuatan hukum.
c). Pendewasaan
Dalam sistim hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus
melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum
pendewasaan (handlichting), - yang diatur pada pasal-pasal 419 s/d 432. Pendewasaan
merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang
yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi maksudnya adalah memberikan kedudukan
hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum
dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapi
umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri. Akan tetapi
lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang sudah tidak relevan lagi dengan
adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 (pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) yang
menentukan bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa.
Ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang menetapkan umur seorang dewasa 18
tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 2 Desember
1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara perdata antara Masrul Susanto alias Tan Kim
Tjiang vs Ny. Tjiang Kim Ho.
Dalam pergaulan hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang
sedemikian banyaknya, maka sudah tentu diperlukan adanya tanda untuk membedakan
orang yang satu dengan orang yang lain, selanjutnya untuk mengetahui apa yang
merupakan hak-haknya dan apa pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya tandan
yang diperlukan ialah nama.
33
d). Nama
Bagi golongan eropah dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini
diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (pasal 5 a s/d 12) yang menentukan tentang
nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan. Akan tetapi
dengan adanya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian
nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur dalam undang-undang ini
tidak berlaku lagi. Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropah dan mereka yang
dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena nama itu merupakan
indentifikasi seseorang sebagai subjek hukum.
diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam
urusan pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan.
Nama seorang golongan Eropah pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu "nama
kecil" (misalnya Karel, Jan Rebert, dan sebagainya) yang biasa diberikan sendiri oleh
orang tuannya dan "nama keluarga" seperti (Bakker, Koch, Tounssen dan sebagainya)
yang dipakai oleh bapak dan ibunya.
e). Tempat Tinggal
Selain dari pada nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai suatu
hak/atau kewajiban serta dengan siap seorang mengadakan hubungan hukum, maka
dalam hukum perdata ditentukan pula tentang tempat tinggal (domisili). Kepentingan
adanya ketentuan tentang tempat tinggal (domisili) dimana ia berkediaman pokok.
Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka tempat
tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada. Tempat tingggal dibedakan atas 2
macam :
1. Tempat tinggal yang sesungguhnya. Di tempat tinggal sesungguhnya inilah biasanya
seseorang melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajiban-kewajiban perdata pada
umumnya. Tempat tinggal yang sesungghnya dapat dibedakan pula atas 2 macam,
yakni :
a. Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak terikat/tergantung
pada hubungannya dengan pihak lain.
34
b. Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat / tergantung
pada hubungannya dengan pihak lain.
belum dewasa dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada
dibawah pengampuan dirumah pengampunya. Buruh mempunyai tempat tinggal
dirumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.
2. Tempat tinggal yang dipilih. Dalam suatu sengketa dimuka pengadilan, kedua belah
pihak yang berpekara atau salah satu dari mereka dapat memilih tempat tinggal lain
dari pada tempat tinggal mereka yang sebenarnya. Pemilihan tempat tinggal ini
dilakukan dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih itu
dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk kepentingan pihak yang
memilih tempat tinggal tersebut.
Kemudian rumha kematian yang sering terpakai dalam Undang-Undang tidak
lain seperti domisili pengahabisan dari orang yang meninggal pengertian ini adalah
penting untuk menentukan beberapa hal seperti : pengadilan mana yang berwenang
untuk mengadili tentang warisan yang dipersengketakan ; pengadilan mana yang
berwenang untuk mengadili tuntutan siberpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi
badan hukum biasanya tidak dikatakan dengan istilah "tempat tinggal / kematian"
melainkan "tempat kedudukan". Secara yuridis tempat kedudukan suatu badan hukum
ialah tempat dimana pengurusnya menetap. Menurut beberapa arrest dari Hoog Raad.
Ketentuan-ketentuan mengenai tempat tinggal yang memuat dalam BW Buku I pasal 17
s/d 25, juga berlaku dalam memperlakukan Undang-Undang Tata Usaha maupun
Undang-Undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak menentukan lain.
f). Keadaan Tidak Hadir
Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun waktu yang lama
meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada
orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan
tidak ditempat orang itu tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi bilamana orang
yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak memeberikan kuasa
apapun kepada orang lain untuk mewakili dirinya maupun untuk mengurus harta
kekayaannya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak ditempatnya orang itu
menimbulkan persoalan, siapa yang mewakili dirinya dan bagaimana mengurus harta
35
kekayaannya. Meskipun orang yang meninggalkan tempat tinggal itu tidak kehilangan
statusnya sebagai persoon atau sebagai subjek hukum, namun keadaan tidak ditempat
(keadaan tidak hadir - afwezigheid) orang tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum,
sehingga oleh karena itu pembentuk undang-undang perlu mengaturnya.
Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tak hadir
(afwezigheid) termuat dalam BW Buku I pasal 463 s/d 495 dan dalam Stb. 1946 No.
137 jo Bilblad V dan Stb. 1949 No. 451. Undang-Undang mengatur keadaan tidak
ditempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (pasal 463 s/d 466), masa
yang berhubungan dengan penyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu
mungkin meninggal dunia (pasal 467 s/d 483) dan masa pewarisan secara difinitif (pasal
484).
Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan apakah
orang yang meninggalkan tempat tingal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia ;
akan tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta
kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pada masa ini Pengadilan
Negeri tempat tinggal orang yang keadaan tak hadir itu menunjuk Balai Harta
Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan segal urusan
orang tersebut. Sekiranya harta kekayaan dan kepentingan orang yang tidak ditempat
tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu,
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga
sedarah atau semenda atau kepada istri atau suaminya.
Masa yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang yang meninggalkan
tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak
keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar terakhir
yang membuktikan bahwa pada waktu itu ia masih hidup, setelah diadakan pemanggilan
secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak 3 kali. Hak-hak dan kewajibankewajiban orang yang tidak ditempat beralih kepada ahli warisnya, tetapi ini hanya
bersifat sementara dan dengan pembatasan-pembatasan.
Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan
bahwa orang yang tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah
lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah
lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak ditempat itu. Meskipun
36
demikian dalam setiap masa itu orang yang tidak ditempat tersebut tetap mempunyai
wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang ditinggalkannya,
dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kembali
kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu (pasal 486 dan pasal 487).
Kemudian dalam pasal 489 s/d 492 diatur tentang akibat-akibat keadaan ditempat yang
berhubungan dengan perkawinan. Tapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan, pasal-pasal BW mengenai afwezigheid yang behubungan
dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi.
Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tak hadir
terutama adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih sukar. Berbeda
dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah atau antar negara sudah
lancar. Untuk masa sekrang pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat tetap ada
gunanya, satu dan hal-hal bila terjadi perang atau terjadi kekacauan-kekacauan dimana
orang banyak yang hilang dan perhubungan dengan beberapa daerah atau negara
terputus.
5. Pertemuan Kelima (K.5)
Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum
a. Pengertian Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum ditengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan
satu-satunya subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subjek
hukum lain yang sering disebut "badan hukum" (rechtspersoon). Sebagai halnya subjek
hukum manusia, badan hukum inipun dapat mempunyai hak-hak dan kewajibankewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/
rechtsverhouding) baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum lain
maupun antara badan hukum dengan orang manusia (natuurlijkpersoon). Karena
itu
badan hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa
menyewa dan segala macam perbuatan dilapangan harta kekayaan.
Dengan demikian badan hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang
tidak berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia.
Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa maka badan hukum tidak dapat dan
37
38
kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (penguru, anggotaanggotanya) seperti manusia biasa, yang mempunyai panca indra dan sebagainya.
Pengikut teori organ ini antara lain Mr. L. Polano.
d) Teori Propriete Collective
Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaff. Menurut teori ini hak dan
kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota
bersama-sama.
anggotanya.
membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan
hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Star Busmann dan Kranenburg adalah
pengikut-pengikut ajaran ini.
e) Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, kongkrit, riil,
walaupun tidak bisa diraba bukan hayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang
dikemukakan oleh Mejers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan
badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Meskipun teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam
memahami hakikat badan hukum, namun teori-teori itu sependapat bahwa badan
hukum dapat ikut berkecimpung dalam pergaulan hukum di masyarakat, artinya
hanya dalam lalu lintas hukum saja.
c. Pembagian Badan-Badan Hukum
Menurut pasal 1653 BW badan hukum di bagi atas 3 macam yaitu :
1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah/kekuasaan umum misalnya daerah
tingkat I, daerah tingkat II/ Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh negara dan
sebagainya.
umum,
39
misalnya
40
keberatan para ahli karena badan hukum adalah persoon, maka seharusnya dimasukkan
dalam Buku I tentang orang. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan
41
hukum ini antara lain termuat dalam Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum
; Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum ; Stb. 1927 No. 156 tentang gereja
dan organisasi-organisasi agama; Stb. 1939 No. 570 jo 717 tentang badan hukum
Indonesia; Stb. 1939 No. 569 jo, 717 tentang Indonesische maatschappij op aandelen
(IMA); Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang PT yang telah dicabut dengan
berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang PT, Undang-undang Yayasan
No. 31 Tahun 2000, Perseroan Perkapalan dan perkumpulan asuransi ; Undang-Undang
pokok Perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi; dan lain-lain.
Dalam pada itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu
badan/perkumpulan/ badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum
(rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat itu adalah sebagai berikut di bawah ini :
1) Adanya harta kekayaan yang terpisah. Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota
maupun dari perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah
untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu dari pada badan hukum yang bersangkutan. Harta
kekayaan ini, meskipun berasal dari
kepentingan satu atau beberapa orang anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan
tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang
hendak dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam anggaran
dasar badan hukum yang bersangkutan.
3) Mempunyai kepentingan sendiri
42
subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan
hukum
mempunyai
mempertahankannya
kepentingan
terhadap
pihak
sendiri
ketiga
dan
dapat
dalam
menuntut
pergaulan
serta
hukumnya.
Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada
suatu-waktu yang pendek, tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
4) Ada organisasi yang teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum
disamping manusia badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan
perantaraan organnya. Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari
manusia itu bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ itu dipilih, diganti
dan sebagainya diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau
keputusan rapat anggota yang tiada lain dari pada pembagian tugas.
Dengan
mutlak
untuk
diakui
sebagai
badan
hukum,
43
disebut "organ" (alat perlengkapan seperti pengurus, direksi dan sebagainya) dari badan
hukum yang merupakan unsur penting dari organisasi badan hukum itu.
Bagaimana organ dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus
diperbuatnya serta apa saja yang tidak boleh diperbuatnya, lazimnya semua ini
ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam
peraturan-peraturan lainnya.
dapat berbuat sewenang-wenang, tetapi dibatasi sedemikian rupa oleh ketentuanketentuan intern yang berlaku dalam