Anda di halaman 1dari 13

PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT SECARA BERKELANJUTAN

Perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap sumber daya wilayah pesisir dan
lautan yang besar akhir-akhir ini membawa kepada keputusan politik untuk lebih
mengintensifkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dengan membentuk Departemen
Eksplorasi Laut dan Perikanan. Keputusan ini bukan hanya disebabkan oleh kondisi ekonomi
nasional yang sedang dilanda krisis tetapi juga oleh kesadaran akan potensi yang dimiliki
oleh sumber daya kelautan tersebut. Fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan
dengan 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta
km2 adalah sebuah ironi jika pemerintah tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap
sektor ini. Selain itu, 22 persen dari total penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir. Ini
berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional melalui
kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur),
transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya. Seperti diketahui bahwa secara
biologis wilayah pesisir merupakan lingkungan bahari yang paling produktif dengan sumber
daya maritime utamanya seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs),
padang lamun (sea grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan laut lepas serta sumber daya
yang tak dapat diperbaharui lainnya seperti minyak bumi dan gas alam.

Selama ini sektor kelautan belum memberikan kontribusi yang optimal terhadap kegiatan
pembangunan. Pada tahun 1997, kontribusi sumber daya sektor kelautan (kontribusi kegiatan
pembangunan kelautan seperti perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari,
transportasi, dan lainnya) terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 12,4 persen (Rp 56
triliun). Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi pembangunan kelautan yang
dimiliki. Dibandingkan dengan negara-negara seperti Thailand, Korea Selatan, RRC, Jepang
dan Denmark yang luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia kontribusi sekor kelautan
mereka terhadap PDB-nya sudah di atas 30 persen, (Republika, 22-12-1999).

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia masih melimpah dan belum dieksploitasi secara
optimal. Potensi lestari sumber daya perikanan laut mencapai 6,6 juta ton dan baru
termanfaatkan sekitar 60 persen. Lebih rinci, potensi sumber daya perikanan ini terdiri dari
ikan pelagis 3,5 juta ton/tahun, ikan demersal 2,5 juta ton/tahun, tuna 166,0 ribu ton/tahun,
udang 69,0 ribu ton/tahun, cakalang 275,0 ribu ton/tahun, dan ikan karang 48,0 ribu
ton/tahun. Sumbangan sektor perikanan terhadap sektor pertanian adalah sekitar 10,3 persen
per tahun dengan tingkat pertumbuhan yang positif, (Dahuri, Republika, 10 Mei 1999). Data
menunjukkan bahwa sektor perikanan mampu memberikan kontribusi sebesar 2 persen
terhadap PDB tahun 1992, (ADB, 1996) dan sampai pada kuartal III tahun 1998, sektor ini
telah menyumbang sekitar 1,87 persen, (Dahuri, Republika, 10 Mei 1999). Sektor ini juga
memberikan kesempatan kerja bagi lebih dari 4,3 juta nelayan dan petani nelayan serta
menyediakan pendapatan tambahan bagi penduduk di wilayah pesisir Indonesia (ADB,
1996). Namun demikian, beberapa masalah seperti tangkap lebih (over-fishing), penangkapan
secara illegal, penurunan kualitas sumber daya dan habitat, dan polusi mengancam sebagian
besar wilayah pesisir di Indonesia yang pada gilirannya dapat mempercepat penurunan
ketersediaan ikan pesisir dan penurunan hasil tangkapan ikan oleh masyarakat nelayan kecil
yang bermukim di wilayah pesisir. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pengeksploitasian
sumber daya wilayah pesisir dan lautan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat
diperlukan suatu strategi dan pendekatan pengelolaan yang terpadu dan menyeluruh
(integrated and comprehensive management) yaitu dengan melibatkan semua pihak terkait
(stakeholders) dalam seluruh proses pengelolaan mulai dari persiapan, perencanaan sampai
dengan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. Makalah ini akan mencoba
mengidentifikasi berbagai persoalan yang muncul dalam pengelolaan sumber daya wilayah
pesisir dan lautan dan menawarkan beberapa alternatif strategi dan pendekatan yang mungkin
dilakukan agar pemanfaatan sumber daya tersebut dapat dilakukan secara optimal dan
berkelanjutan.

Potensi dan Permasalahannya

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan dimana
batasnya dapat didefinisikan baik dalam konteks struktur administrasi pemerintah maupun
secara ekologis. Batas kearah darat dari wilayah pesisir mencapkup batas administratif
seluruh desa (sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan otonomi
Daerah, Depdagri) yang termasuk dalam wilayah pesisir menurut Program Evaluasi Sumber
Daya Kelautan (MREP). Sementara batas kearah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan
praktis dalam proyek MREP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta
Lingkungan Pantai Indonesia (LIPI) dengan skala 1:50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), (Dahuri. et.al: 1996). Secara
umum wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut; kearah
darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin;
sedangkan kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan
oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Dalam konteks ekologis wilayah pesisir dapat mencakup daerah pedalaman pesisir (coastal
hinterland), daerah rendah (lowlands), perairan pesisir (coastal waters), dan laut dalam
sampai dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang diantaranya mempunyai hubungan saling
keterkaitan satu dengan lainnya. Wilayah pesisir juga dicirikan oleh sejumlah bentuk ekologis
seperti pantai berbatu (rocky shores), pantai pasir (sandy beaches), estuaria (estuaries), laguna
(lagoons), daerah pasang surut (intertidal flats), lahan basah (wetlands), dan pulau-pulau kecil
(small islands). Wilayah-wilayah tersebut membentuk habitat-habitat bagi sejumlah
komunitas biologis spesifik termasuk komunitas pasang surut (intertidal communities), hutan
mangrove (mangroves), padang lamun (sea grass beds), terumbu karang (coral reefs), dan
komunitas-komunitas laut dalam/lepas. Habitat-habitat yang berbeda ini memiliki hubungan
yang dekat dan dapat dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem. Kesemua ekosistem ini
mengandung sejumlah sumber daya yang merupakan sumber kehidupan utama bagi sebagian
besar masyarakat miskin di pesisir. Berikut ini akan dibahas secara garis besar potensi
sumber daya wilayah pesisir dan lautan yang menjadi perhatian utama kebijakan sektor
kelautan dan permasalahan yang dihadapinya.

Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal yang sangat produktif dan khas terdapat
di daerah tropis. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium
karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa,
ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang
mengeluarkan kalsium karbonat, (Nybakken, 1992). Unit dasar dari pembentuk terumbu
adalah polip karang yang bersimbiosis dengan alga yang hidup pada jaringan karang.
Hubungan simbiosis ini adalah faktor kunci yang menjelaskan persyaratan lingkungan yang
ketat bagi pertumbuhan karang karena alga yang bersimbiosis ini memerlukan cahaya untuk
melakukan fotosintesis dan dengan mudah dapat di musnahkan oleh sedimentasi.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktivitas organiknya
dibandingkan dengan ekosistem lainnya dan juga keanekaragaman hayatinya. Selain
memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik,
tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan bermain bagi berbagai biota; ekosistem terumbu
karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti
berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Selain itu,
terdapat beberapa spesies yang berasosiasi dengan terumbu karang – anemon laut, kuda laut,
dan lain-lain - yang merupakan bahan pembuatan obat-obatan seperti antibiotik,
anticoagulant, antileukemic, cardioactive, dan penghambat pertumbuhan kanker.

Selain itu, terumbu karang merupakan sumber dari pembuatan hiasan dari karang (ornamental
corals); karang yang luas dan batu kapur karang yang keras digunakan sebagai bahan
pembuatan jalan dan bangunan serta bahan baku industri. Karang batu juga ditambang secara
intensif untuk pembuatan kapur. Kegunaan tersebut di atas sering menimbulkan konflik
dengan kebutuhan untuk memelihara terumbu karang guna mendukung produksi ikan dan
mempertahankan struktur fisik terumbu yang berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap
abrasi. Pengeksploitasian terumbu karang dengan jalan mengambilnya akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan habitat ikan dan berbagai hewan laut lainnya. Selanjutnya, tutupan
karang menjadi berkurang dan pada akhirnya menurunkan tingkat produktifitas organisme
yang berdiam disana. Lebih dari itu, keindahan pemandangan taman laut akan memudar
sehingga peranan terumbu karang sebagai atraksi wisata akan menghilang dan berpengaruh
negatif terhadap penerimaan devisa melalui pariwisata bahari.

Terumbu karang di perairan laut Indonesia diperkirakan seluas 75.000 km2 (Direktur Bina
Sumber Hayati, 1997) dengan potensi lestari sumber daya ikan sebesar 25-45 ton/km2/tahun
pada kondisi yang masih baik. Pada kondisi terumbu karang yang mengalami kerusakan berat
produksi ikan akan turun secara drastis menjadi sekitar 2-5 ton/km2/tahun. Pada terumbu
karang yang baik panenan lestari yang dianjurkan adalah 20 ton/km2/tahun, (Soekarno et. al,
1995). Jika terumbu karang di Indonesia sebagian besar dalam keadaan baik maka dapat
dibayangkan betapa besar produksi ikan yang bisa dihasilkan setiap tahun. Namun kenyataan
menunjukkan bahwa tinggal 7 persen dari seluruh terumbu karang di Indonesia yang
kondisinya sangat baik, sementara sisanya sebagian besar dalam keadaan jelek dan sangat
jelek, (Suharsono, 1996). Jika dihitung secara ekonomis maka nilai terumbu karang saat ini
kurang lebih 70 ribu dolar Amerika per kilometer persegi dari hasil perikanan, pariwisata dan
sebagai pelindung pantai terhadap abrasi. Total nilai terumbu karang Indoneisa paling sedikit
4,2 miliar dolar Amerika yang setiap tahun mengalami penurunan paling sedikit 12 juta dolar
akibat kerusakan. Jika penangkapan dengan racun diganti dengan cara yang ramah
lingkungan maka keuntungan yang akan dicapai diperkirakan sebesar 14,8 juta per tahun,
(Republika, 12 Februari 2000).

Walaupun memiliki banyak kelebihan dan kegunaan, terumbu karang merupakan ekosistem
yang rapuh dan mudah rusak akibat tekanan dari aktifitas manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung. Beberapa faktor penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang
secara tidak langsung yang berasal dari aktifitas manusia adalah sedimentasi, limbah industri
dan rumah tangga, limbah air panas, hydrocarbon, pestisida, herbisida dan limbah radio aktif.
Sementara faktor penyebab secara langsung kerusakan terumbu karang akibat perbuatan
manusia adalah penambangan batu karang untuk pembuatan kapur dan penambangan pasir;
pengambilan karang dan kerang untuk koleksi dan perdagangan; penangkapan ikan dengan
jaring murami, racun, tombak, dan bahan peledak; dan dampak sampingan dari
pengembangan pariwisata seperti pembuangan jangkar pada saat menyelam, menginjak
karang bagi penyelam pemula dan sebagainya.

Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut dan dipercaya memiliki fungsi ekologis
dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota
perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, amukan
angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan sebagainya. Secara
ekonomis hutan mangrove berfungsi secara langsung sebagai penyedia kayu yang dapat
dipergunakan untuk berbagai jenis konstruksi bangunan, kayu bakar, arang, bahan kertas, dan
lain-lain. Sementara daun-daunannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
obat-obatan, pupuk untuk pertanian, dan sebagainya. Adapun secara tidak langsung, hutan
mangrove merupakan tempat rekreasi yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata alam
(ecotourism) yang menarik seperti yang telah dikembangkan di banyak negara antara lain
Malaysia dan Australia. Kedua kegunaan secara langsung tersebut sudah lama dikenal dan
dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat pesisir di seluruh Indonesia, sementara
kegunaan secara tidak langsung belum dikembangkan dengan optimal.

Indonesia terkenal memiliki hutan mangrove luas dan sangat kaya dengan keaneka-ragaman
hayatinya. Luas hutan mangrove di Indonesia tercatat sebesar 5.209.543,16 ha pada tahun
1982 dan kemudian mengalami penurunan menjadi sekitar 2.496.185 ha pada tahun 1993,
(Dahuri, 1996). Sementara itu, keragaman jenis yang dimiliki oleh hutan mangrove di
Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia dengan total spesies sebanyak 89, terdiri dari 35
spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, 5 spesies terna dan 2
spesies parasitik, (Nontji, 1993). Dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi maka
hutan mangrove merupakan aset yang sangat berharga tidak saja dilihat dari fungsi
ekologisnya tetapi juga dari fungsi ekonomisnya.

Walaupun memiliki kemanfaatan yang sangat tinggi keberadaan hutan mangorve di Indonesia
mengalamai keterancaman yang serius. Keterancaman tersebut terlihat dari tingginya aktifitas
konversi lahan mangrove untuk tujuan tertentu yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi lahan pertanian pasang-surut,
perikanan, pemukiman dan industri adalah ancaman yang paling besar terhadap eksistensi
hutan mangrove. Selain itu, sekitar 300.000 ha hutan mangrove telah hilang akibat
penebangan liar, pembangunan di kawasan pesisir dan polusi yang berasal dari daratan yang
terjadi di kawasan Indonesia bagian barat. Lebih dari 1 juta ha lainnya di peruntukkan
sebagai hutan produksi. Sementara di kawasan Indonesia bagian timur kondisinya tidak
separah di bagian barat, (Jameson et al., 1995). Di wilayah pesisir utara pulau Jawa misalnya,
berdasarkan data Landsat-TM diketahui bahwa kini tinggal 21.195 ha hutan mangrove,
sementara luas tambak sudah mencapai 118.383 ha, (Republika, 12-04-2000).

Ancaman lainnya terhadap keberadaan hutan mangrove yang cukup serius saat ini berasal
dari program pemerintah untuk meningkatkan ekspor produksi perikanan khususnya udang
yang dikenal dengan PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003.
Program ini ditujukan untuk meraih target perolehan devisa negara sebesar 10 miliar dolar
dari sektor perikanan pada tahun 2003. Diharapkan sebanyak 6,79 miliar dolar (66,6%)
diperoleh dari kegiatan budidaya tambak udang. Untuk itu pemerintah akan melakukan
intensifikasi dan ekstensifikasi budidaya tambak baik melalui pembangunan maupun
rehabilitasi jaringan irigasi teknis yang ada. Khusus untuk ekstensifikasi, program ini
menargetkan untuk membuka tambak baru seluas 123.800 hektar, sedangkan untuk
intensifikasi akan diarahkan pada areal tambak seluas 256.555 hektar sehingga pada tahun
2003 nantinya luas tambak seluruhnya adalah 380.355 hektar. Untuk mencapai target tersebut
tidak ayal lagi akan terjadi konversi hutan mangrove menjadi tambak yang makin
memperbesar tekanan terhadap eksistensi sumber daya hutan mangrove. Lebih dari itu,
perubahan fungsi hutan mangrove menjadi tambak akan mengurangi benefit mangrove,
hilangnya pendapatan masyarakat lokal, kerusakan lingkungan pesisir, dan tekanan
internasional akibat kerusakan biodiversitas sehingga berimplikasi pada penolakan ekspor
udang Indonesia.

Untuk mendukung program tersebut dibutuhkan faktor pendukung lainnya seperti benur,
pakan, pupuk, pestisida, kapur, bahan bakar minyak, oli, induk udang, artemia dan pakan
buatan. Selain itu diperlukan paling sedikit 540 unit panti pembenihan berskala besar
(kapasitas produksi 67,5 miliar) dan 4.000 unit skala kecil (kapasitas 12 miliar benur).
Keberadaan faktor pendukung berupa berbagai bahan kimia seperti pakan dan obat-obatan
(pestisida, pupuk dan antibiotik) dalam jumlah yang relatif banyak akan berdampak pada
berkurangnya usia tambak disebabkan oleh sisa makanan dan akumulasi sisa-sisa bahan
kimia sera kelebihan dosis pupuk yang dalam waktu tertentu bisa menjadi racun yang
mematikan udang dan ikan.

Program ini cenderung berfokus pada pencapaian target ekspor sehingga strategi yang
digunakan mengarah pada investasi padat modal (capital intensive). Akibatnya program ini
akan memberikan peluang yang lebih besar kepada pemodal untuk berinvestasi pada sektor
tersebut dan membesar jurang antara petani dengan pengusaha besar. Oleh karena itu, untuk
menghindari hal tersebut perlu dicari format dan aturan yang jelas sehingga tidak
mengekploitasi lingkungan dan petani, termasuk juga aturan yang dapat menjamin
keselamatan dan hak-hak masyarakat setempat.

Padang Lamun (Sea grass beds)

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup diperairan dangkal dan hidup terbenam dalam
laut. Tumbuhan ini tersusun dari rhizome atau batang yang terbenam dan merayap secara
mendatar serta berbuku, daun dan akar. Lamun tumbuh tegak, berdaun tipis yang bentuknya
mirip pita dan berakar jalan, dan membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang
masih terjangkau oleh sinar matahari. Pada buku-buku dari rhizoma ini tumbuh akar dan
batang pendek yang tegak ke atas, berdaun, dan berbunga. Dengan rhizoma dan akar inilah
tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan
terhadap hempasan gelombang dan arus. Berbeda dengan tumbuhan lain yang hidup
terendam di dalam laut (seperti ganggang atau alga laut), lamun berbuah dan menghasilkan
biji. Untuk menghasilkan buah, lamun memiliki sistem pembiakan yang bersifat khas karena
mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophilous pollination). Pada umumnya
lamun dapat hidup pada semua tipe dasar laut, tetapi padang lamun (sea grass beds) yang luas
hanya dijumpai pada dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal dan biasanya terdapat di
perairan laut antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang. Padang lamun ini merupakan
ekosistem yang sangat tinggi produktivitas organiknya.

Sebaran geografis lamun berpusat di dua wilayah yaitu Indo Pasifik Barat dan Karibia
dimana jenis yang terdapat di Indo Pasifik Barat lebih banyak dibandingkan dengan yang
terdapat di Karibia. Jenis tumbuhan berbunga di laut lebih sedikit dibandingkan dengan di
darat karena di laut terdapat hanya 12 jenis (spesies) yang tergolong dalam tujuh marga. Ke
tujuh marga yang terdiri dari tiga marga suku Hydrocharitaceae dan 4 marga suku
Potamogetonaceae banyak dijumpai di perairan Indonesia seperti di Sumatera, Jawa, Bali,
Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang memiliki berbagai
fungsi penting dan kegunaan. Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian
besar memasuki rantai makanan di laut. Dengan perkataan lain lamun merupakan sumber
utama produktivitas primer dan sumber makanan penting bagi berbagai organisme laut.
Padang lamun juga berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan daerah
perlindungan bagi berbagai jenis udang dan ikan serta biota laut lainnya. Daun lamun
berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan
sinar matahari. Vegatasi lamun yang lebat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh
arus dan ombak serta menyebabkan perairan disekitarnya tenang. Oleh karena itu, padang
lamun dapat mencegah terjadinya erosi dan dapat menangkap sedimen yang kemudian
diendapkan dan distabilkan. Lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan hewan dan
juga manusia serta sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas dan pupuk. Masyarakat di
pulau Seribu telah lama memanfaatkan biji samo-samo (Enhalus acoroides) sebagai bahan
makanan setelah dicampur dengan kelapa, (Hutomo et.al. 1987).

Tekanan terhadap ekosistem lamun terutama berasal dari kegiatan pengerukan dan reklamasi
(penimbunan) laut yang dilakukan untuk keperluan industri maupun pembangunan pelabuhan
yang merupakan faktor penyebab kerusakan ekosistem padang lamun. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya luas areal padang lamun serta rusaknya ekosistem padang lamun yang pada
gilirannya akan mempengaruhi biota yang hidup dan mencari makan di ekosistem tersebut.
Faktor lain penyebab rusaknya padang lamun adalah pencemaran air laut termasuk
pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinasi dan fasilitas-fasilitas produksi minyak,
pencemaran oleh aktivitas industri, limbah air panas dari pembangkit listrik dan sebagainya.

Sumber Daya Lainnya

Disamping sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut juga menyimpan berbagai
macam sumber daya lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia.
Sumber daya-sumber daya lainnya itu antara lain adalah berupa bahan-bahan bioaktif seperti
omega-3, sunchlorela dan sebagainya serta sumber daya tidak dapat pulih. Sumber daya tidak
dapat pulih ini meliputi mineral dan geologi. Mineral dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu
mineral strategis terdiri dari minyak, gas, dan batu bara; mineral vital seperti emas, timah,
nikel, bijih besi, dan cromite; dan mineral industri termasuk bahan bangunan seperti granit,
kapur, tanah liat, kaolin, dan pasir, (Dahuri et. al. 1996).

Wilayah pesisir dan lautan juga memiliki berbagai macam jasa-jasa lingkungan yang sangat
penting bagi pembangunan dan kelangsungan hidup manusia serta menyimpan potensi
sumber daya energi yang besar. Jasa-jasa lingkungan dimaksud adalah fungsi kawasan pesisir
dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi,
sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, penampungan
limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan penunjang
kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.

Sumber daya energi yang dimiliki oleh kawasan pesisir dan lautan antara lain adalah arus
pasang-surut, gelombang, perbedaan salinitas, angin, dan pemanfaatan perbedaan suhu air
laut di lapisan permukaan dan lapisan dalam perairan yang dikenal dengan nama Ocean
Thermal Energy Conversion (OTEC). Potensi-potensi energi tersebut sampai saat ini belum
dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan sumber daya yang kita miliki.

Hukum dan Kelembagaan

Pertumbuhan penduduk dan perkembangan kegiatan pembangunan yang makin pesat dewasa
ini menyebabkan tekanan terhadap pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya wilayah
pesisir dan lautan menjadi bertambah. Kondisi ini perlu diantisipasi dengan mengembangkan
suatu model pembangunan yang mampu mengintegrasikan prinsip pemanfaatan dan
pelestarian. Model ini diperlukan untuk mendorong laju pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi baik secara nasional maupun regional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat termasuk masyarakat pesisir. Hal ini dapat terwujud apabila tersedia perangkat
peraturan dan perundang-undangan yang mampu mendorong proses pemanfaatan potensi laut
secara efektif dan efisien dengan dilengkapi oleh kelembagaan yang mampu menanganinya
secara profesional dan terintegrasi dengan sektor terkait.

1. Aspek Hukum

Selama ini telah banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan sebagai landasan
hukum bagi pemanfaatan sumber daya alam. Khusus yang berkaitan dengan pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan secara menyeluruh (comprehensive) dan terpadu (integrated)
sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangannya. Beberapa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir masih bersifat parsial dan
fokusnya lebih kepada aspek ekonomi dan daripada aspek lingkungan. Kebijakan-kebijakan
yang ada menyangkut bidang kehutanan, perikanan, pertambangan, pariwisata, transportasi
laut, dan lingkungan hidup telah memasukkan aspek lingkungan didalamnya tetapi kebijakan
tersebut umumnya berkaitan dengan pengendalian lingkungan bukan memfasilitasi
pengelolaan lingkungan secara terpadu.

Peraturan-peraturan sektoral yang dibuat sebagai bagian dari kebijakan pembangunan dengan
lebih memperhatikan kepentingan sektoral telah pula memasukkan aspek pengelolaan
lingkungan. Namun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut secara individu belum cukup
untuk dijadikan landasan bagi pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Ini berarti
bahwa dibutuhkan kebijakan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan terpadu dan
terkoordinasi yang dapat memfasilitasi pengelolaan secara menyeluruh (comprehensive).
Selama ini yang terjadi adalah bahwa tanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan
terbagi dalam berbagai instansi pemerintah sehingga diperlukan koordinasi lintas sektoral
untuk mengakomodasi kebutuhan pengendalian lingkungan dan kepentingan sektoral.
Kondisi yang sama juga terjadi di daerah-daerah dimana peraturan-peraturan daerah (Perda)
yang dibuat bertendensi mengikuti kebijakan nasional yang ada. Peraturan-peraturan daerah
dibuat untuk menerjemahkan kebijakan nasional kedalam kebijakan operasional agar dapat
memenuhi kebutuhan daerah. Keberadaan kebijakan di tingkat nasional sangat penting guna
menstimulasi pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan daerah. Hal ini jelas
terlihat bahwa selama ini perumusan kebijakan regional khususnya berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam tergantung pada keberadaan kebijakan
nasional tertentu mengenai pengelolaan lingkungan dan pada kebijakan sektoral lainnya yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.

Peraturan perundangan nasional yang sering menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan
pesisir dan lautan adalah sebagai berikut:

 Undang-Undang (UU)
 Undang-Undang Dasar 1945
 Peraturan Pemerintah (PP)
 Keputusan Presiden (Keppres)
 Keputusan Menteri (Kepmen)
 Peraturan Daerah (Perda)

2. Aspek Kelembagaan

Beberapa waktu yang lalu pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan
tersebar pada beberapa instansi pemerintah seperti Departemen Kehutanan, Pertanian,
Perhubungan, Pertambangan dan Energi, Pariwisata dan Telekomunikasi, dan Departemen
Dalam Negeri. Kementerian Negara Lingkungan Hidup secara formal bertanggung jawab
dalam mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan lingkungan khususnya berkaitan dengan
formulasi kebijakan dan koordinator antar lembaga. Kementerian ini tidak memiliki
kewenangan untuk mengimplementasikan kebijakan. Kementrian ini menugaskan empat
asisten menteri untuk merumuskan kebijakan, perencanaan, koordinasi dan pengawasan.
Tidak ada unit khusus dalam kementerian ini yang ditugaskan untuk pengelolaan sumber
daya wilayah pesisir dan lautan. Peran dari kementerian ini penting khususnya dalam proses
pengembangan kebijakan baru dan penyadaran masyarakat tentang pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan lautan. Namun demikian, kementerian ini sepertinya tidak dapat
memainkan peranan yang penting dalam proses penegakan hukum dalam kaitannya dengan
pengendalian dan perlindungan lingkungan khususnya dalam kawasan pesisir dan laut karena
tidak ada unit kerja dibawahnya di tingkat provinsi dan kabupaten.

Sejak dibentuknya kabinet reformasi terlihat bahwa perhatian yang lebih besar dari
pemerintah terhadap keberadaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan telah diberikan
dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. Departemen ini memiliki
empat Direktorat Jenderal yang salah satunya berkaitan erat dengan isu pengelolaan sumber
daya wilayah pesisir dan lautan. Direktorat jenderal tersebut adalah Direktorat Jenderal
Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil. Diharapkan departemen yang baru ini dapat
memainkan perannya dengan baik sebagai koordinator dari berbagai instansi dan lembaga
yang bergerak dalam kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan. Selain
itu, diharapkan pula bahwa kementerian ini dapat mengoptimalkan pengusahaan sektor
kelautan untuk mendukung kegiatan pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan
masyarakat secara umum dan masyarakat pesisir khususnya, menghilangkan kesenjangan
pendapatan antar kelompok masyarakat dan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Oleh
karena itu, departemen ini harus memiliki program yang jelas untuk mengelola sumber daya
wilayah pesisir dan lautan sehingga memberikan manfaat yang besar dan berkelanjutan
kepada masyarakat dan bangsa.

Pengelolaan Terpadu dan Berkelanjutan

Kompleksnya permasalahan yang ada membutuhkan penanganan dan pengelolaan


yang terpadu. Keterpaduan penanganan dan pengelolaan ini bukan hanya menyangkut tata
laksana pengelolaannya tetapi juga muatan atau materi dan prinsip-prinsip yang mendasari
keseluruhan aspek manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta
evaluasi. Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk mengatasi berbagai masalah yang ada saat
ini dan masa yang akan datang, memberdayakan masyarakat wilayah pesisir (para pengguna
sumber daya wilayah pesisir dan lautan /stakeholders) agar dapat menikmati keuntungan
yang diperoleh secara berkesinambungan, mengembangkan program dan kegiatan yang
mengarah pada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya wilayah
pesisir dan lautan, meningkatkan kemampuan dan peran serta masyarakat pantai dalam
pelestarian lingkungan, dan meningkatkan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di
wilayah pesisir dan lautan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu kerangka kerja (framework) yang
dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah
pesisir dan lautan agar tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
konservasi lingkungan dapat terwujud. Framework tersebut berisi empat elemen pokok yaitu
pengelolaan (management), pengembangan sumber daya manusia dan kemampuan
kelembagaan (capicity building), penelitian dan pemantauan (research and monitoring), dan
tinjauan kembali dan evaluasi (review and evaluation).

1. Pengelolaan (Management)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT) adalah sebagai berikut:

Menyusun kebijakan yang lebih terpadu karena selama ini tingkat keterpaduan antara
kebijakan di tingkat nasional, provinsi dan lokal masih sangat rendah.

Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) dalam semua kegiatan manajemen mulai dari
perumusan ide dan gagasan, perencanaan, pelaksanan sampai dengan monitoring dan evaluasi
serta review kegiatan.

Merumuskan mekanisme koordinasi antar lembaga pemerintah agar dapat memfasilitasi


kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.

Meningkatkan kerjasama antara pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM)


dalam kegiatan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT).

Mengkonsolidasikan dan mengembangkan peraturan perundang-undangan serta


penegakkannya berkaitan dengan analisis dampak lingkungan, polusi, perusakan lingkungan,
perikanan dan sebagainya.

Dalam rancangan program pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan sebaiknya
memasukkan analisa ekonomi (economic costs and benefits analysis) secara lengkap.
Termasuk didalamnya adalah rencana perubahan peruntukkan (konversi) lahan hutan
mangrove menjadi tambak harus didahului dengan adanya analisis ekonomi secara
menyeluruh.

Kawasan pesisir dan lautan perlu diidentifikasi dan dimasukkan sebagai salah satu prioritas
utama dalam kebijakan pemerintah.

Lembaga-lembaga ditingkat regional sebaiknya membantu pemerintah mengintegrasikan


berbagai sektor yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu
(PWPLT).

Lembaga-lembaga pemerintah ditingkat lokal, masyarakat lokal, LSM, dan sektor swasta
sebaiknya secara langsung ikut dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
secara terpadu.

Pengimplementasian program pengelolaan berbasis masyarakat (community-based


management) harus mempertimbangkan kondisi khas setiap lokasi.

Dalam kegiatan penyusunan rencana pengelolaan sebaiknya memperhatikan dan


mempertimbangkan perbedaan pemanfaatan dan penggunaan dari wilayah pesisir tertentu.
Perbedaan karakteristik wilayah pesisir membawa pengaruh pada perbedaan penggunaan
(misalnya wilayah pesisir yang dibatasi oleh wilayah perkotaan kota atau perdesaan).

Perlu dibuat zonasi (mintaket) di kawasan pesisir dan lautan yang terdiri dari zonasi untuk
preservasi dan konservasi (kawasan lindung) serta pemanfaatan (budidaya). Hal ini
diperlukan untuk melindungi species langka dan penting serta menjamin keberlanjutan
pemanfaatan sumber daya.

Polusi yang berasal dari kegiatan didaratan harus dimasukkan dalam skema manajemen, dan
lembaga pengelolaan daratan harus diikut-sertakan dalam kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan PWPLT.

Menghilangkan segala kegiatan yang dapat merusak ekosistem sumber daya wilayah pesisir
dan lautan.

Sebelum dilakukan rehabilitasi hutan mangrove perlu diselesaikan terlebih dahulu berbagai
permasalahan yang dihadapi masyarakat termasuk konflik pertanahan pantai dengan
pemerintah dan pengusaha.

Pelaksanaan PWPLT memerlukan dana yang besar, oleh karena itu perlu dijalin dan
dikembangkan hubungan kerjasama dengan berbagai lembaga penyandang dana baik di
tingkat nasional maupun internasional.

2. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kemampuan Kelembagaan (Capacity


Building)

Pengembangan kapasitas tidak hanya diperlukan oleh aparat dan lembaga pemerintah
pelaksana program pengelolaan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengembangan
kapasitas masyarakat pesisir yang selama ini hidupnya jauh dibawah rata-rata kesejahteraan
kelompok masyarakat lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
kapasitas dalam rangka pengelolaan sumber daya kawasan pesisir dan lautan secara terpadu
adalah sebagai berikut:

Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat pesisir serta stakeholder lainnya


tentang arti penting sumber daya wilayah pesisir dan lautan melalui program penyadaran
masyarakat yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.

Melakukan kampanye nasional untuk meningkatkan pemahaman dan partisipasi seluruh anak
bangsa dalam ikut mendukung suksesnya program pengelolaan sumber daya wilayah pesisir
dan lautan secara terpadu.

Perlu dikembangkan sumber mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan bagi
masyarakat pesisir agar tidak terlalu tergantung pada sumber daya perikanan yang bagi
masyarakat kecil sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Pengembangan sumber
mata pencaharian alternatif tersebut harus dibarengi dengan kegiatan pelatihan dan
bimbingan lapangan pasca pelatihan.

Kemampuan masyarakat dalam kaitannya dengan usaha perikanan melalui budidaya


perikanan laut (mariculture) perlu ditingkatkan melalui pelatihan dan bimbingan untuk
mendukung program PWPLT. Keterampilan seperti pembuatan rumpon, terumbu karang
buatan (artificial reefs) dan keramba apung sangat diperlukan oleh masyarakat pesisir dalam
upaya mengembangkan daerah penangkapan (fishing ground) sehingga hasil tangkapan ikan
mereka dapat ditingkatkan. Selain itu, nelayan juga perlu dibekali dengan pengetahuan
manajemen dan pemasaran serta teknologi pengawetan ikan agar usaha perikanan mereka
dapat berkembang dan menjadi usaha (business) yang menguntungkan dan memberi manfaat
yang lebih besar.

Menyediakan sumber daya kapital berupa kredit atau dana bergulir (revolving fund) bagi
masyarakat pesisir untuk mendukung kegiatan ekonominya. Pemberdayaan masyarakat akan
sulit dilakukan jika tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Oleh karena itu,
peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan langkah awal dalam memberdayakan
masyarakat.

Meningkatkan kapasitas institusi lokal dalam merumuskan aturan-aturan dan norma-norma


yang berlaku serta menegakkannya dalam rangka pengelolaan sumber daya wilayah pesisir
dan lautan terpadu.

Melakukan berbagai kegiatan pelatihan teknis khususnya metodologi riset, analisis dampak
lingkungan, manajemen strategis, teknologi komputer seperti Sistem Informasi Geografis dan
Penginderaan Jarak Jauh (remote sensing) dan ekonomi perikanan serta wisata bahari bagi
pelaksana dan manajer program PWPLT baik di pusat maupun di daerah.

Peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan PWPLT melalui
pendidikan formal seperti S1, S2 dan S3 baik di dalam maupun di luar negeri perlu terus
dilakukan.

Mendirikan pusat data dan informasi serta perpustakaan lengkap mengenai pesisir dan
kelautan. Juga menyelenggarakan pendidikan dan latihan, seminar dan forum-forum ilmiah
lainnya dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat dan pelaksana PWPLT.

3 . Penelitian dan Pemantauan (Research and Monitoring)

Penelitian dan pemantauan (research and monitoring) merupakan dua hal yang harus terus
menerus dan secara teratur dilakukan guna mengembangkan berbagai kebijakan dan strategi
yang tepat dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Selain
itu, penelitian dan pemantauan diperlukan untuk mengantisipasi dinamika perkembangan
wilayah pesisir dan lautan serta untuk memenuhi kebutuhan informasi dan melengkapi basis
data pesisir dan kelautan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam
kaitannya dengan penelitian dan pemantauan adalah sebagai berikut:

Penelitian dan pemantauan perlu dilakukan sebagai sebuah proses yang terus-menerus karena
kedua-duanya saling melengkapi. Penelitian dan pemantauan dapat memberikan informasi
mengenai proses manajemen yang sedang berlangsung.

Penelitian mengenai hambatan dan peluang secara sosial ekonomi di tingkat lokal dalam
penerapan pengelolaan berbasis masyarakat dalam rangka PWPLT perlu dikembangkan.

Penelitian mengenai rancangan kawasan perlindungan laut dalam hubungannya dengan


dinamika populasi, proses migrasi, sebaran larva (larval dispersion), dan proses-proses
biologi, fisik dan sosial perlu dilakukan.

Melalui penelitian yang berkesinambungan perlu dikembangkan teknis penilaian cepat (rapid
assessment techniques) untuk mengevaluasi kondisi berbagai sumber daya wilayah pesisir
dan lautan seperti terumbu karang, padang lamun, ikan, mangrove dan sebagainya.

Penilaian terhadap polusi laut yang bersumber dari daratan perlu diberikan perhatian lebih
besar lagi.

Perlu dilakukan evaluasi secara sosial ekonomi manfaat dari sumber daya wilayah pesisir dan
laut secara berkesinambungan.

Pemantauan kondisi fisik dari ekosistem sumber daya wilayah pesisir dan lautan perlu
dilakukan secara teratur agar dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang memberi efek
negatif terhadap keberlangsungan hidup dari organisme yang berasosiasi dengan ekosistem
tersebut. Perubahan gelombang permukaan air laut sebagai dampak tsunami atau tumpahan
minyak di laut akan dapat segera diantisipasi jika dilakukan pemantauan secara terus
menerus.

Penelitian yang dilakukan diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen sehingga tujuan
konservasi disatu pihak dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dilain pihak dapat
diwujudkan. Beberapa topik penelitian yang perlu diperhatikan antara lain adalah saling
keterkaitan antar ekosistem dari berbagai sumber daya pesisir dan lautan, luas areal
perlindungan, ekotoksikologi, ambang batas limbah (levels of discharge) yang dapat ditolerir,
penelitian yang memiliki implikasi terhadap manajemen, metode pemanfaatan sumber daya
secara berkelanjutan, penelitian sosial ekonomi, penelitian kebijakan, isu-isu yang berkaitan
dengan hak pemanfaatan sumber daya (access issues) termasuk konflik diantara stakeholders
(user conflict), penelitian mengenai kepemilikan lahan (research on tenure), dan hak milik
(property right).

Penelitian bersama dengan negara lain yang memiliki masalah yang sama perlu
dikembangkan.

Perlu dikembangkan sebuah sistem informasi manajemen di daerah dengan memanfaatkan


sistem informasi geografis sehingga data mengenai daerah tersebut dapat diakses dengan
mudah oleh berbagai pihak. Selain itu, sistem informasi manajemen ini dapat dipergunakan
untuk meningkatkan kualitas pengawasan.

Perlu dilakukan pelatihan dan bantuan teknis agar masyarakat setempat (local) dapat
melakukan kegiatan pemantauan (monitoring) setiap saat.

4. Tinjauan Kembali dan Evaluasi (Review and Evaluation)

Kegiatan terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah meninjau kembali (review) apa
telah dilakukan selama ini. Peninjauan kembali dilakukan secara teratur guna mengevaluasi
semua kegiatan dan perubahan yang terjadi selama proses implementasi manajemen. Hasil
review digunakan untuk menyempurnakan rencana strategis yang ada dan menyusun kembali
rencana, kebijakan dan pendekatan baru untuk meningkatkan kinerja manajemen sumber
daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Peninjauan kembali dilakukan disemua
tingkat baik lokal, regional, nasional dan juga internasional. Ini penting karena isu pesisir dan
lautan merupakan isu internasional dan dibahas secara khusus dalam Agenda 21 pasal 17.
Pertemuan dalam berbagai forum dan level ini diharapkan dapat dijadikan ajang tukar
menukar informasi dalam rangka penyempurnaan strategi, pendekatan dalam PWPLT dan
juga untuk menggalang kerjasama.

Anda mungkin juga menyukai