Anda di halaman 1dari 15

Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak

Angie
102012267
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat : Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat 11470
Email : angie.chouthaloo@gmail.com
Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia. SN terjadi tiba-tiba dan kasus tersering
ditemukan pada anak-anak.1 Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya
kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau
sekunder. Istilah sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik
idiopatik dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta
histopatologinya.2
Pada PBL kali ini didapati kasus mengenai seorang anak laki-laki berusia 6 tahun
yang memiliki kadar kolesterol dan trigliserida yang meningkat. Menurut ibunya anak
tersebut selalu bangun dengan kondisi wajah yang sembab terutama di daerah mata
setiap paginya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan yang meningkat dari
sebelumnya dan edema scrotal. Untuk menanggapi kasus tersebut, maka pada
makalah kali ini akan lebih dijelaskan mengenai sindrom nefrotik yang sejauh ini
menjadi diagnosis utama terhadap kasus. Semoga makalah ini dapat membantu
mahasiswa FK Ukrida untuk lebih memahami mengenai sindrom nefrotik.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis pada anak dapat dilakukan secara alloanamnesis, yaitu menanyakan
langsung kepada orangtuanya atau kepada orang terdekat. Sesuai dengan kasus,
pertanyaan yang diajukan dapat meliputi identitas diri, keluhan utama, sejak kapan
keluhan utama muncul, keluhan lain yang mungkin dirasakan, riwayat penyakit yang
diderita saat ini, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, pengobatan yang
sudah dilakukan dan kondisi sosial ekonomi pasien.

Pertanyaan khusus yang dapat ditanyakan, antara lain: apakah terdapat


edema/pembengkakan? Dimana lokasi terjadinya edema? Sudah berapa lama
pembengkakan terjadi? Apakah ada peningkatan berat badan? Apakah anak
mengalami hematuria (terdapat darah pada urin)? Bagaimana dengan produksi urin,
apakah banyak atau sedikit? Bagaimana warna urinnya? Apakah urin keruh atau
jernih? Apakah ada rasa sakit saat berkemih? Riwayat si anak selama dalam
kandungan sampai saat ini? Apakah si anak sebelumnya pernah mengalami sakit saat
menelan batuk, pilek, demam?1
Sesuai dengan kasus didapatkan hasil anamnesis sebagai berikut:
Usia
Keluhan Utama

: 6 tahun
: Wajah sembab terutama di daerah mata setiap
pagi

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan kesadaran dan
kondisi umum pasien, pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Perlu diperhatikan apakah pasien tampak sakit berat, kesakitan, tertekan,
berkeringat, maupun pucat. Pemeriksaan tanda-tanda vital yang dapat dilakukan
meliputi: tekanan darah, nadi, frekuensi napas, dan suhu badan. Pada inspeksi kita
perlu melihat apakah terjadi pembengkakan pada bagian tubuh (misalnya wajah, mata,
dsb). Pada palpasi perlu diperhatikan apakah ada rasa nyeri pada daerah yang
mengalami pembengkakan atau nyeri pada bagian tractus urogenital. Lakukan pula
palpasi ginjal.
Pemeriksaan khusus lainnya yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan
shifting dullness, undulasi dan ballotement. Selain pemeriksaan-pemeriksaan diatas,
perlu juga untuk melakukan pemeriksaan berat badan untuk melihat apakah terjadi
peningkatan berat badan atau tidak. Pada kasus sindrom nefrotik, pada anak akan
ditemukan adanya edema generalisata, terutama pada daerah wajah. Untuk lebih
menguatkan diagnosis, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
Inspeksi

: Edema wajah terutama pada bagian mata dan edema


scrotal

Berat badan

: Peningkatan berat badan

Pemeriksaan Penunjang 3
1. Pemeriksaan Laboratorium
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk
memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena
hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing
enteropathy) dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti
pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung kongestif, dan lain sebagainya).
Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium harus
didapatkan kondisi proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.
Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya urinalisis, protein urin
kuantitatif, albumin serum, lipid, elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium,
fosfor, hitung jenis darah, pemeriksaan C3-C4, dan ANA. Pada pemeriksaan urinalisis
ditemukan hematuria mikroskopis pada 20% kasus sementara itu hematuria
makroskopik jarang ditemukan. Penghitungan protein urin kuantitatif dapat dilakukan
dengan menghitung protein atau kreatinin urin pagi atau dengan protein urin 24 jam.
Pada penderita SN biasanya didapatkan nilai protein/kreatinin urin yang lebih dari 23mg, sementara pada nilai protein urin 24 jam didapati hasi > 40mg/m2/jam atau nilai
protein urin sewaktu >100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL. Sebagian besar
protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.
Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari 2.5 g/dL
dan jarang mencapai 0.5 g/dL. Pada pemeriksaan lipid didapati peningkatan kolesterol
total dan kolesterol LDL (low density lipoprotein). Terjadi pula peningkatan
trigliserid dengan hipoalbuminemia berat. Kadar kolesterol HDL (high density
lipoprotein) dapat normal atau menurun. Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi
gagal ginjal akut oleh karena deplesi volume intravascular dan/atau thrombosis vena
renal bilateral. Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia. Kadar kalsium
total rendah, oleh karena hipoalbuminemia.
Pada pemeriksaan hitung jenis darah, bila didapati adanya peningkatan
hemoglobin dan hematokrit dapat mengindikasikan adanya hemokonsentrasi dan
deplesi volume intravascular. Nilai platelet biasanya meningkat. Pemeriksaan C3-C4
dapat memberi hasil level komplemen yang rendah, yaitu pada nefritis post infeksi,
SN tipe membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis. Pemeriksaan ANA dapat
diakukan untuk skrining penyakit vaskular kolagen pada pasien dengan gejala
sistemik (demam, ruam, penurunan berat badan, dan nyeri sendi) ataupun bagi pasien
3

sindroma nefrotik pada usia akhir sekolah atau dewasa muda dimana insidensi lupus
cukup tinggi.
2. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia
1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil
dari pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder
atau SN primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia <
1 tahun, dimana SN kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun
dimana penyakit glomerular kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal
hendaknya juga dilakukan bila riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium
mengindikasikan adanya SN sekunder.
3. Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya
trombosis vena ginjal.
Differential Diagnosis
Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema awitan mendadak, hematuria,
azotemia, dan hipertensi yang beratnya bervariasi. Keluaran urin dapat menurun
hingga kurang dari jumlah yang diperlukan untuk mengekskresi beban solut minimal.
Oliguria serta retensi garam dan air merupakan faktor penyebab utama edema,
konegsti sirkulasim, hipertensi serta gangguan asam basa dan elektrolit. Proteinuria
dapat bervariasi dari yang ringan hingga rentang nefrotik; ekskresi protein urin
biasanya kurang dari 1,0 g/24 jam. Hematuria dapat dideteksi hanya dengan
pemeriksaan mikroskopik, atau dapat terlihat secara makroskopis dengan urin yang
berwarna seperti teh atau merah daging. Urinalisis secara khas menunjukkan adanya
silinder campuran, granular, dan eritrosit. Kadar kreatinin serum meningkat. Jika
penyebabnya adalah streptokokus, titer ASTO meningkat dan komplemen serum
menurun.3,4Glomerulonefritis akut post streptokokus merupakan penyebab tersering
glomerulonefritis akut. Kejadian pencetus adalah infesi pada faring dan kulit oleh
strain nefritogenik streptokokus beta hemolitikus grup A. Awitan terjadi tiba-tiba.
nefritis yang terjadi setelah infeksi faring terutama mengenai anak-anak di awal usia
4

sekolah; setelah awitan infeksi streptokokus dalam waktu 9-11 hari. Rasio anak lakilaki yang terkena dan anak perempuan yang terkena adalah 2:1.Kompleks imun yang
terdiri dari streptokokus, antibodi, dan komplemen yang terdeposit di glomerulus.
Kompleks imun ini mencetuskan proliferasi sel endotel (glomerulonefritis
proliferatif). Glomerulonefritis pascastreptokokus sekarang jarang ditemukan di
negara maju, namun masih banyak di temukan di seluruh dunia.3Glomerulonefritis
memiliki distribusi usia dengan puncaknya 7 tahun. Anak terlihat sehat sampai pada
saat terjadi onset mendadak penyakit dan didapatkan urin berwarna merah terang atau
kecoklatan. Edema wajah, terutama pada kelopak mata umum terjadi dan mungkin
didapatkan nyeri abdomen atau pangkal paha bersama dengan nyeri tekan pinggang.
Tekanan darah biasanya meningkat. 1,4
Sindrom nefrotik bawaan. Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena
reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema
pada masa neonatus. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulanbulan pertama kehidupannya.1
Sindrom nefrotik sekunder. Disebabkan oleh: malaria kuartana atau parasit
lainnya, penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid,
glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis, bahan
kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun
oak,

air

raksa,

amiloidosis,

penyakit

sel

sabit,

hiperprolinemia,

nefritis

membranoproliferatif hipokomplementemik.1
Working Diagnosis
1. Definisi dan etiologi
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit, tetapi manifestasi penyakit yang
menyerang glomerular. Banyak terjadi pada anak-anak. Sindrom nefrotik primer/
idiopatik merupakan jenis yang menyerang 90% dari kasus nefrotik pada anak.
Penyebab dari sindrom ini belum diketahui. Sindrom nefrotik primer berdasarkan
histopatologinya dibagi kembali kedalam 5 golongan yaitu: sindroma nefrotik lesi
minimal (MCNS= Minimum Change Nephrotic Sindrome), sindroma nefrotik dengan
poliferasi

mesangial

difus,

sindroma

nefrotik

glomerulosklerosis

fokal,

glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN), dan Glomerulopati membranosa.4

2. Epidemiologi
Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus per
100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000. Sindrom
nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan
sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per
100.000 anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun.
Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada
anak dibawah 5 tahun.
Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan
kebanyakan kasus nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi
minimal. Prevalensi penyakit lesi minimal berkurang secara proprosional sesuai
dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal segmental glomerosclerosis (FSGS)
merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering pada anak dan frekuensi
kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif glomerulonephritis
(MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada anak
yang lebih besar dan adolescent. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak
dan adolescent dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.
3. Faktor Risiko
Usia menjadi faktor risiko utama. Sindroma nefrotik pada anak merupakan
penyakit pra sekolah dengan prevalensi paling tinggi pada usia 2-3 tahun, tetapi
sebenarnya dapat terjadi pada usia berapapun. Semakin muda awitan (kecuali
beberapa bulan pertama memiliki kemungkinan yang besar bahwa lesi tersebut adalah
MCNS. Jenis Kelamin, sindroma nefrotik mempunyai predominansi sebesar hampi
2:1. Penyakit sistemik seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan Henoch
schonlein merupakan penyakitsistemik yang dapat menyebabkan sindroma nefrotik
sekunder. Infeksi streptococcal, post streptocoocal infection adalah salah satu etiologi
sindroma nefrotik sekunder.
4. Klasifikasi4
Sindrom nefrotik primer/idiopatik dibagi kembali menjadi 5

bagian yaitu

sindroma nefrotik lesi minimal (MCNS= Minimum Change Nephrotic Sindrome),


sindroma

nefrotik

dengan

glomerulosklerosis fokal,

poliferasi

mesangial

difus,

sindroma

nefrotik

glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN), dan

Glomerulopati membranosa.
6

Sindroma nefrotik lesi minimal (MCNS= Minimum Change Nephrotic Sindrome)


terdapat pada hampir 85% kasus sindroma nefrotik pada masa kanak-kanak. Dicirikan
dengan kepekaan terhadap terapi kortikosteroid, tidak ditemukannya lesi glomerulus
yang bermakana pada pemeriksaan mikroskop cahaya, tidak adanya timbunan
globulin imun glomerulus atau komplemen, dan dengan proteinuria yang sangat
selektif. Manifestasi klinisnya, sama seperti gejala pada sindroma nefrotik umunya
yakni: edem, proteinuria, pasien biasanya tidak tampak sakit berat, seringkali dengan
asites dan efusi pleura. Cairan edema berkumpul pada tempat-tempat dependen,
setelah tidur malam wajah dan kelopak mata atau daerah sakrum dapat mengalami
edema, sementara pada siang hari pembengkakan kaki dan abdomen lebih nyata.
Sindroma nefrotik dengan poliferasi mesangial difus pada gambaran patologi
ditandai

dengan

peningkatan

difus

sel

mesangium

dan

matriks.

Dengan

imunofluoresensi frekuensi endapan mesangium yang mengandung IgM dan C3 tidak


berbeda pada lesi minimal. Pada sindroma nefrotik glomerulosklerosis fokal, pada
biopsi sebagian besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi
mesangium. Penyakitnya seringkali progresif, akhirnya melibatkan semua glomerulus
dan menyebabkan gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan penderita.
Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) adalah penyebab tersering
glomerulonefritis kronis pada anak yang lebih tua dan dewasa muda. Diagnosis
ditegakkan dengan biopsi ginjal. Indikasi biopsi meliputi terjadinya sindrom nefrotik
pada anak berumur lebih dari 8 tahun atau hematuria mikroskopis dan proteinuria
menetap. Glomerulopati membranosa adalah penyebab sindrom nefrotik tersering
pada orang dewasa, tetapi jarang pada anak-anak dan jarang menyebabkan hematuria.
Pada anak, glomerulopati membranosa paling lazim dijumpai pada umur dekade
kedua. Penyakitnya muncul seperti sindrom nefrotik. Namun, hampir semua penderita
menderita hematuria mikroskopis dan kadang-kadang penderita menderita hematuria
makroskopis. Glomerulopati membranosa kadang-kadang dapat ditemukan bersama
dengan SLE, kanker, terapi emas atau penisilamin, dan sifilis serta infeksi virus
hepatitis B. Penderita glomerulopati membranosa menambah resiko trombosis vena
renalis.
5. Patofisologi5
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi
lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein
7

dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/ m 2/hari) atau 23,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap
protein dan perubahan pada filter glomerulus.
Perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan filtrasi glomerulus
begantung pada tipe kelainan glomerulus. Tetapi secara garis besar dapat diterangkan
bahwa, pada orang normal filtrasi plasma protein berat molekul rendah bermuatan
negatif pada membran basal glomerulus normalnya dipertahankan oleh muatan
negatif barier filtrasi. Muatan negatif tersebut terdiri dari molekul proteoglikan
heparan sulfat. Pada orang dengan nefrotik sindrom, konsentrasi heparan sulfat
mucopoly sakarida pada membrana basal sangat rendah. Sehingga banyak protein
dapat melewati barier. Selain itu terjadi pula terjadi perubahan ukuran celah (poripori) pada sawar sehingga protein muatan netral dapat melalui barier.
Pada Sindrom Nefrotik terjadi hipoproteinemia terutama albumin, hal ini
disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya
degradasi dalam tubulus renal yang melebihi daya sintesis hati. Gangguan protein
lainnya didalam plasma adalah menurunnya -1 globulin. Sedangkan -2globulin, globulin dan fibrinogen meningkat secara relatif atau absolut. -2globulin meningkat
disebabkan oleh retensi selektif protein dengan berat molekul tinggi oleh ginjal
sedangkan laju sintesisnya relatif normal.
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfill
dan teori overfill. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena
menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin.
Hipoalbuminemia

menyebabkan

penurunan

tekanan

onkotik

plasma,

yang

memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan intersisial.


Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal,
sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangasang
reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang
pelepasan hormon antidiueitik yang mempertinggi penyerapan air dalam duktus
kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang telah
direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga memperberat edema.

Gambar 1. Patofisiologi Edema Teori Underfill


Pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena
mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer.
Serta adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh
tubuh serta ginjal. Retensi natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan
ekspansi cairan plasma dan cairan ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan
overfilling cairan ke dalam ruang interstisial.
Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua
penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk
menerangkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang
tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.

Gambar 2. Patofisiologi Edema Teori Overfill


Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid
meningkat. Paling tidak ada dua faktor yang mungkin berperan yakni hipoproteinemia
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein atau
katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma
(sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma).
6. Gejala Klinis1
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu makan, malaise,
bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa.
Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal
(Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi
pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Gejala lain
yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada
keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani.
Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga
bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian
atas seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh
seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri. Pada anak tekanan darah umumnya
rendah dan tekanan darah dapat turun sekali saat berdiri (orthostatic hypotension), dan
shock mungkin dapat terjadi. Produksi urin dapat menurun dan renal faillure dapat
terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam pembuluh darah kejaringan sehingga

10

suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya produksi
urin terjadi tiba-tiba.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta
anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering
dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang
dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.
Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang
meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan
atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. Pada anak dengan sindroma
nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial yang merupakan akibat stess
nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang.
7. Penatalaksanaan
6.1 Medikamentosa
6.1.1

Albumin i.v5

Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien
hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring
meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma.
6.1.2

Diuretik 5

Dapat diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan
garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti
spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid,
asam etakrin, atau butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi
kemungkinan komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan
cairan intravaskuler berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus
memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2
gram/L darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada
harus dipantau secara berkala.
6.1.3

ACE-inhibitors 5

Pemberian ACE-inhibitor misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk


menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi
lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang

11

ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga
tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
6.1.4

Kortikosteroid1

International Cooperative study of Kidney disease in Children (ISKDC)


mengajukan cara pengobatan sebagai berikut: selama 28 hari prednison diberikan
peroral dengan dosis 60mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum
80mg/hari. Kemudian dilanjutkan dengan prednison peroral selama 28 hari dengan
dosis 40mg/hari/lpb setiap 3 hari dalam 1 minggu dengan dosis maksimum 60mg/hari.
Bila terdapat respon terhadap terapi ini maka pengobatan ini dilanjutkan secara
intermiten selama 4 minggu.
6.2 Non Medikamentosa
Asupan nutrisi dilakukan dengan pemberian protein dan kalori yang adekuat. Pada
keadaan tertentu dapat diberikan nutrisi parenteral tetapi sebaiknya hal ini dihindari
karena meningkatkan risiko infeksi. Jika perlu pemberian makanan dilakukan dengan
pipa nasogastrik agar kebutuhan nutrisi terpenuhi. Diet untuk pasien SN adalah 35
kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal
0,8-1 g/kgbb./hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgbb./hari ditambah
dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang,
kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.
Pada pasien SN, tirah barring tidak diperlukan, dan aktivitas penuh biasanya dapat
dilakukan, kecuali terdapat edema yang mengganggu.Anak dengan SN merupakan
kandidat utama untuk infeksi, oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan yang ketat
selama beberapa hari sementara dilakukan pemeriksaan lab yang sesuai.
7

Komplikasi4

7.1 Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat
dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan
kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh penurunan kadar imunoglobulin, cairan
edema yang berperan sebagai media biakan, defisiensi protein, penurunan aktivitas
bakterisid leukosit, imunosupresif karena pengobatan, penurunan perfusi limpa karena
hipovolemia, dan kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang
meng oponisasi bakteria tertentu.

12

Kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun, dimana
pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar IgM
meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada konversi yang
diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM. Pada Sindrom nefrotik terdapat
peningkatan

kerentanan

terhadap

bakteria

tertentu

seperti

Streptococcus

pneumoniae,Haemophilus influenzae,Escherichia coli, dan bakteri gram negatif lain


Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas
sebabnya. Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia,
selulitis dan ISK. Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif
dianggap penting untuk mencegah terjadinya peritonitis.
7.2 Kelainan Koagulasi dan Trombosis
Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan
glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan
minimal jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism. Pada sindrom nefrotik
terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkan oleh
meningkatnya sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis albumin serta
lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar plasminogen,
fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein S
meningkat dalam plasma. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik
dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda yaitu peningkatan permeabilitas
glomerulus dan aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal.
7.3 Pertumbuhan Abnormal
Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure
to thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan
katabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena
edem saluran gastrointestinal. Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom
nefrotik dapat pula menyebabkan gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid
dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang
dan terhentinya pertumbuhan linier; terutama apabila dosis melampaui 5mg/m 2/hari.
Walau selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan produksi atau
sekresi

hormon

pertumbuhan,

tapi

telah

diketahui

bahwa

kortikosteroid

mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat


jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin.

13

7.4 Perubahan Hormon dan Mineral


Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein
pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam
urin pada beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya
berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik
berkaitan dengan disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan berakibat
menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan menetap.
7.5 Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik.
Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten
terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang bertambah anemia
nya terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat transferin serum yang
sangat menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin dalam jumlah besar.
8. Prognosis6
Pronosis

pasien

nefrotik

sindrom

bervariasi

bergantung

tipe

kelainan

histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak
kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan
prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada
kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali
relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah
didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode.
Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten.
Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada
pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra
renal.
Hanya

sekitar

20% pasien

sindrom nefrotik

dengan

fokal segmental

glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak


pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal
stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam
sepuluh tahun.

Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation

mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi
delayed remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6%
menjadi

renal

isufisiensi

yang

progresif.

Prognosis

pada

pasien

dengan
14

membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan keuntungan


terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan
evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien
ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5
tahun.
Kesimpulan
Sindroma nefrotik merujuk pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria
berat, hypoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Umumnya nefrotik
sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus yang dapat dikategorikan
dalam bentuk primer,sekunder maupun kongenital. Gejala awal pada sindroma
nefrotik meliputi; menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata
dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa. Subkategori atau klasifikasi
nefrotik sindrom primer bedasarkan pada deskripsi histologi dan dihubungkan dengan
patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui. Diagnosis ditegakan
bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat, pemeriksan laboratorium dan
dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan histopatologis. Prognosis pasien
nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi.
Daftar Pustaka
1. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, dkk. Ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2007.h.832-5.
2. Travis Luther. Nephrotic Syndrome [online]. 14 April 2005. Avaliable from URL:
www.emedicine.com. Diunduh: 26 Oktober 2014.
3. Chris Callaghan. At a glance sistem ginjal: proteinuria dan sindrom nefrotik. Ed 2.
Jakarta: Erlangga; 2006.hal.76-77.
4. Waldo EN. Nelson: ilmu kesehatan anak vol.3. Ed 15.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2000.
5. Prodjosudjadi W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Ed 4. Jakarta: IPD
FKUI. 2007. H.547-9.
6. Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed, 2nd vol.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
7. Field M, Pollock C, Harris D. The renal system basic scienece and clinical
conditions. China: Elsevier; 2010.p.69-88.

15

Anda mungkin juga menyukai