DIABETES MELITUS
Disusun oleh :
Annisa Mayangsari 260110130144
Yudisia Ausi
260110130146
Moses Prasetio
260110130147
Theresia Ratnadevi
260110130148
Henny Aryani
260110130149
Sheila Pratiwi
260110130150
Avani Chairunnisa
260110130151
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
I.
Definisi
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2009).
II.
Klasifikasi
2009 yaitu :
Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe ini disebabkan karena destruksi sel beta pankreas yang bertugas
menghasilkan insulin. Tipe ini menjurus ke defisiensi insulin absolut. Proses
lainnya.
Endokrinopati
6
7
8
akromegali,
sindrom
cushing,
feokromositoma,
nikotinat,
b
c
dll).
Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer
(Manaf, 2009).
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan ;
a Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan pengeluaran
glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena
sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan
insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel
b
berkemih).
Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi,
yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena
volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki
dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau
menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme
IV.
Manifestasi Klinik
a. Diabetes Melitus Tipe I
1. Hiperglikemia pada kadar gula darah puasa
2. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, dan polifagia
3. Gejala-gejala lain termasuk keletihan dan kelemahan
4. Ketoasidosis diabetik (DAK) menyebabkan tanda-tanda dan gejala-gejala
nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas bau buah. Jika tidak
ditangani, perubahan tingkat kesadaran, koma, hingga kematian
(Baughman, 2000).
b. Diabetes Melitus Tipe II
1. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
2. Gejala-gejala seringkali ringan dan dapat mencakup keletihan, mudah
tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit lambat sembuh, infeksi
vaginal, atau penglihatan kabur (jika kadar glukosa sangat tinggi)
(Baughman, 2000).
3. Neuropati, retinopati, radikulopleksopati, nefropati, dsb.
4. Ulserasi yang dapat memicu hingga diperlukannya suatu amputasi
(Callaghan et al., 2012).
5. Berpotensi memicu penyakit kardiovaskular (Chakrabarty et al., 2008).
6. Terjadi asidosis. Asisdosis terjadi karena meningkatnya lipolisis sehingga
jumlah asam lemak di dalam darah. Banyaknya asam lemak ini kemudian
dikonversi oleh hati menjadi asam keto sehingga meningkatkan keasaman
dari darah (Encyclopaedia Britannica, 2016).
7. Hiperventilasi terjadi akibat asidosis yang menyebabkan kerusakan pada
siste saraf, dan puncaknya dapat menyebabkan koma dan kematian. Hal ini
Diagnosis
Diagnosis diabetes mellitus dilakukan dengan mengukur kadar gula
darah. Pertama yang dilakukan adalah untuk mendeteksi ada atau tidaknya
kejadian prediabetes. Diagnosis yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
tersebut:
a. Tes A1C atau disebut juga hemoglobin A1c, HbA1c, atau tes glikohemoglobin.
b. Glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose FPG).
c. Tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test OGTT).
Tes lain yang dapat dilakukan adalah glukosa plasma acak (random plasma
glukose RPG). Jika nilai RPG di atas 200 g/dl, dan individu atau pasien
menunjukkan gejala diabetes, maka dianjurkan untuk melakukan diagnosa
diabetes (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease,
2014).
a.
b.
c.
d.
Tes A1C
Tes ini digunakan untuk mendiagnosis diabetes melitus tipe II dan
kejadian prediabetes. Tes ini tidak disarankan untuk penderita diabetes melitus
tipe I atau diabetes gestasional. Hasil tes ini menunjukkan rata-rata dari kadar
gula darah seseorang 3 bulan lalu dan tidak menunjukkan fluktuasi harian. Tes
ini tidak membutuhkan puasa dan dapat dilakukan kapan saja (National Institute
of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).
Hasil tes A1C berupa persentase. Semakin tinggi persentase A1C, maka
semakin tinggi kadar gula darah dari seseorang. Kadar normal adalah di bawah
5,7%. Prediabetes 5,7-6,4%. Seseorang dengan hasil A1C di bawah 5,7 masih
memiliki resiko menderita diabetes. Seseorangn dengan nilai A1C di atas 6.0 %
dipertimbangkan sebagai seseorang dengan resiko tinggi menderita diabetes dan
jika nilai di atas 6,5% berarti orang tersebut menderita diabetes (National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).
Tes Glukosa Plasma Puasa
Tes ini mengukur kadar glukosa darah seseorang dalam keadaan minimal
8 jam puasa. Hasil tes ini lebih dapat dipercaya bila dilakukan pada pagi hari.
Seseorang dengan kadar gula darah puasa di antara 100-125 mg/dl mengalami
kejadian prediabetes atau impaired fasting glucose (IFG). Seseorang dengan
nilai 126 mg/dl atau lebih harus diukur ulang pada lain waktu untuk
mengkonfirmasi bahwa pasien menderita diabetes (National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease, 2014).
Oral Glucose Tolerance Test
Tes ini dilakukan setelah pasien melakukan puasa minimal 8 jam dan 2
jam setelah minum cairan yang mengandung 75 g glukosa dalam air. Jika kadar
gula darah setelah 2 jam tersebut menunjukkan nilai 140 199 mg/dl, maka
seseorang tersebut mengalami prediabetes yang disebut impaired glucose
tolerance (IGT). Jika nilai di atas 200 mg/dl, maka seseorang tersebut menderita
diabetes (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease,
VI.
2014)
Terapi
Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan diabetes
1
melitus
dengan
obat
ditujukan
untuk
membantu
penanganan pasien diabetes melitus tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang
tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat.
Pemilihan
dan penentuan
mempertimbangkan
tingkat
regimen
hipoglikemik
keparahan
pasien
yang
ada
asetoheksimid
dan
kortisol,
tidak
hormone
ada
efek
pertumbuhan
yang
atau
signifikan
pada
somatostatin.
sekresi
Metformin
kinase
(AMP kinase).
Mekanisme
produksi glukosa di hepar adalah kontroversial, tapi banyak data yang menunjukkan
efek menurunkan glukoneogenesis.
glukosa dengan menurunkan absorpsi glukosa dari usus besar, tapi aksi ini tidak
menunjukkan efek klinis (Davis, 1996).
d Tiazolidinedion
ini dapat
kerjanya
tidak
mempengaruhi
sekresi
peran
yang
sangat
penting
dan
luas dalam
pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel beta pankreas akan
langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin
yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport glukosa dari darah ke
dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau
terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya glukosa darah akan meningkat dan
sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga
tidak dapat
pasien lansia bahwa merokok 2 batang dalam sehari dapat menyebabkan resiko
nefropati dan menghambat absorbsi insulin (Lee, 2009).
VII.
Hasil Terapi
Penatalaksanaan
diabetes
mempunyai
tujuan akhir
untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
a
b
Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia dengan
komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup <5
tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif risiko.
Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan secara
depresi.
Kasus
Seorang pria berumur 65 tahun menderita DM sejak lebih dari 7 tahun
terakhir. Pasien adalah seorang perokok dan pengkonsumsi alkohol, serta
memiliki riwayat positif DM di keluarganya. Pasien tidak mematuhi terapi,
sehingga DM tidak terkontrol. Pasien tidak mengalami penyakit lain, namun ada
keluhan perasaan depresi. DM tipe 2 diketahui merupakan faktor risiko dari
penyakit cerebrovaskualar dan kardiovaskular. Maka dari itu dibutuhkan
dengan
sulfonilurea
generasi
ke-2.
Metformin
dapat
mengurangi risiko peyakit Parkinson pada pasien DM. Tujuan terapi Parkinson
adalah mengurangi gejala motorik dan non-motorik serta mengurangi efek
samping obat.
Fungsi ginjal dicek secara teratur dan gejala hipoglikemia terus dimonitor.
Pembahasan
Terapi DM dilakukan secara empiris dan dengan mengikuti guideline
NICE dan EASD. Perlu disertai manajemen diet, misalnya dengan mengurangi
konsumsi karbohidrat dan lemak jenuh. Sangat disarankan untuk melakukan
olahraga rutin seperti jogging atau berjalan kaki karena dapat secara efektif
menurunkan kolesterol dan gula darah.
Pada penyakit Parkinson, terapi dilakukan secara farmakologi dan
disertai pendekatan secara sosial. Obat harus dikonsumsi secara patuh, disertai
pemantauan rutin untuk melihat tanda dan gejala kemudian dilakukan modifikasi
terapi bila perlu. Pasien harus banyak berlatih bergerak. Selain itu, dukungan
moral adalah hal yang penting bagi kesembuhan pasien.
Mengkoreksi kegagalan kasus sebelumnya, penggunaan metformin harus
dilakukan sejak awal sebagai manajemen kedua penyakit. Terapi non
farmakologi dan perubahan gaya hidup dapat mendukung terapi dan
DAFTAR PUSTAKA
Available
online
at:
Lee, F. T. 2009. Advances in Diabetes Theraphy in the Elderly, J Pharm Pract Res, 39:
63-7.
Manaf, A., 2009. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. In: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi V, Jilid III. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, 1896-1899.
Muchid, A. dkk. 2005. Pharmautical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014. Diagnosis of
Diabetes and Prediabetes. Tersedia online di http://www.niddk.nih.gov/healthinformation/health-topics/Diabetes/diagnosis-diabetesprediabetes/Pages/index.aspx [diakses pada 19 Maret 2016]
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29
PERKENI, 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2 di
Indonesia. Jakarta: Penerbit PERKENI, 4-32.
Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Suroyo, A. W.,
ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Jilid III. Jakarta: InternaPublishing,
1880-1883.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC
Tjay, T. H., & Rahardja, S. K. 2007. Obat-Obat Penting (Khasiat Penggunaan dan Efek
Sampingnya), Edisi IV.PT. Elek Media Komputindo:Jakarta.
Zahara, F. (2013). "Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Langsa Tahun 2011."