Anda di halaman 1dari 16

Makalah Mata Kuliah Farmakologi Terapi

DIABETES MELITUS

Disusun oleh :
Annisa Mayangsari 260110130144
Yudisia Ausi

260110130146

Moses Prasetio

260110130147

Theresia Ratnadevi

260110130148

Henny Aryani

260110130149

Sheila Pratiwi

260110130150

Avani Chairunnisa

260110130151

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
I.

Definisi
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2009).

II.

Klasifikasi

Klasifikasi diabetes melitus menurut ADA (American Diabetes Association)


a

2009 yaitu :
Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe ini disebabkan karena destruksi sel beta pankreas yang bertugas
menghasilkan insulin. Tipe ini menjurus ke defisiensi insulin absolut. Proses

destruksi ini dapat terjadi karena proses imunologik maupun idiopatik.


Diabetes Melitus Tipe 2
Tipe ini bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin

bersama resistensi insulin.


Diabetes Melitus Tipe Lain
1 Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi di :
a Kromosom 12, HNF- ( dahulu MODY 3)
b Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
c Kromosom 20, HNF- (dahulu MODY 1)
d Kromosom 13, insulin promoter factor ( dahulu MODY 4)
e Kromosom 17, HNF-1 (dahulu MODY 5)
f Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria
2 Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, eprechaunism,
3

sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.


Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemikromatosis, pankreatopati fibro kalkulus,

lainnya.
Endokrinopati

hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.


Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam

6
7
8

glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, lainnya.


Infeksi : rubella kongenital, CMV.
Imunologi (jarang) : sindrom Stiffman, antibody antireseptor insulin.
Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom

akromegali,

sindrom

cushing,

feokromositoma,
nikotinat,

Turner, sindrom Wolframs ataksia Friedreichs, chorea Huntington,


d
III.

porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya.


Diabetes Kehamilan
Patofisiologi

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya


kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi
a

melalui 3 jalan, yaitu :


Rusaknya sel-sel pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu,

b
c

dll).
Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas.
Desensitasi/kerusakan reseptor insulin (down regulation) di jaringan perifer

(Manaf, 2009).
Aktivitas insulin yang rendah akan menyebabkan ;
a Penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai peningkatan pengeluaran
glukosa oleh hati melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karena
sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan
insulin, timbul keadaan ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel
b

sementara terjadi defisiensi glukosa intrasel - kelaparan di lumbung padi.


Kadar glukosa yang meninggi ke tingkat dimana jumlah glukosa yang difiltrasi
melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi akan menyebabkan

glukosa muncul pada urin, keadaan ini dinamakan glukosuria.


Glukosa pada urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya.
Keadaan ini menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria (sering

berkemih).
Cairan yang keluar dari tubuh secara berlebihan akan menyebabkan dehidrasi,
yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena
volume darah turun mencolok. Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki
dapat menyebabkan kematian karena penurunan aliran darah ke otak atau

menimbulkan gagal ginjal sekunder akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat.
Selain itu, sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat
perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik.
Akibatnya timbul polidipsia (rasa haus berlebihan) sebagai mekanisme

kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.


Defisiensi glukosa intrasel menyebabkan sel kelaparan akibatnya nafsu makan
(appetite) meningkat sehingga timbul polifagia (pemasukan makanan yang
berlebihan).

Efek defisiensi insulin pada metabolisme lemak menyebabkan penurunan


sintesis trigliserida dan peningkatan lipolisis. Hal ini akan menyebabkan
mobilisasi besar-besaran asam lemak dari simpanan trigliserida. Peningkatan
asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel sebagai sumber

energi alternatif karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.


Efek insulin pada metabolisme protein menyebabkan pergeseran netto kearah
katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangka
lisut dan melemah sehingga terjadi penurunan berat badan (Sherwood, 2001).

IV.

Manifestasi Klinik
a. Diabetes Melitus Tipe I
1. Hiperglikemia pada kadar gula darah puasa
2. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, dan polifagia
3. Gejala-gejala lain termasuk keletihan dan kelemahan
4. Ketoasidosis diabetik (DAK) menyebabkan tanda-tanda dan gejala-gejala
nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas bau buah. Jika tidak
ditangani, perubahan tingkat kesadaran, koma, hingga kematian
(Baughman, 2000).
b. Diabetes Melitus Tipe II
1. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
2. Gejala-gejala seringkali ringan dan dapat mencakup keletihan, mudah
tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit lambat sembuh, infeksi
vaginal, atau penglihatan kabur (jika kadar glukosa sangat tinggi)
(Baughman, 2000).
3. Neuropati, retinopati, radikulopleksopati, nefropati, dsb.
4. Ulserasi yang dapat memicu hingga diperlukannya suatu amputasi
(Callaghan et al., 2012).
5. Berpotensi memicu penyakit kardiovaskular (Chakrabarty et al., 2008).
6. Terjadi asidosis. Asisdosis terjadi karena meningkatnya lipolisis sehingga
jumlah asam lemak di dalam darah. Banyaknya asam lemak ini kemudian
dikonversi oleh hati menjadi asam keto sehingga meningkatkan keasaman
dari darah (Encyclopaedia Britannica, 2016).
7. Hiperventilasi terjadi akibat asidosis yang menyebabkan kerusakan pada
siste saraf, dan puncaknya dapat menyebabkan koma dan kematian. Hal ini

umumnya terjadi pada pasien diabetes melitus tipe I (Encyclopaedia


Britannica, 2016).
V.

Diagnosis
Diagnosis diabetes mellitus dilakukan dengan mengukur kadar gula
darah. Pertama yang dilakukan adalah untuk mendeteksi ada atau tidaknya
kejadian prediabetes. Diagnosis yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
tersebut:
a. Tes A1C atau disebut juga hemoglobin A1c, HbA1c, atau tes glikohemoglobin.
b. Glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose FPG).
c. Tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test OGTT).
Tes lain yang dapat dilakukan adalah glukosa plasma acak (random plasma
glukose RPG). Jika nilai RPG di atas 200 g/dl, dan individu atau pasien
menunjukkan gejala diabetes, maka dianjurkan untuk melakukan diagnosa
diabetes (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease,
2014).
a.
b.
c.
d.

Gejala diabetes seperti:


Urinasi meningkat
Sering haus
Berat badan menurun yang alasannya tidak jelas.
Kelelahan, pandangan kabur, mudah lapar, luka yang lambat sembuh.
(National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014)
Kadar gula darah untuk pasien dewasa yang tidak hamil:

Tes A1C
Tes ini digunakan untuk mendiagnosis diabetes melitus tipe II dan
kejadian prediabetes. Tes ini tidak disarankan untuk penderita diabetes melitus
tipe I atau diabetes gestasional. Hasil tes ini menunjukkan rata-rata dari kadar
gula darah seseorang 3 bulan lalu dan tidak menunjukkan fluktuasi harian. Tes
ini tidak membutuhkan puasa dan dapat dilakukan kapan saja (National Institute
of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).
Hasil tes A1C berupa persentase. Semakin tinggi persentase A1C, maka
semakin tinggi kadar gula darah dari seseorang. Kadar normal adalah di bawah
5,7%. Prediabetes 5,7-6,4%. Seseorang dengan hasil A1C di bawah 5,7 masih
memiliki resiko menderita diabetes. Seseorangn dengan nilai A1C di atas 6.0 %
dipertimbangkan sebagai seseorang dengan resiko tinggi menderita diabetes dan
jika nilai di atas 6,5% berarti orang tersebut menderita diabetes (National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014).
Tes Glukosa Plasma Puasa

Tes ini mengukur kadar glukosa darah seseorang dalam keadaan minimal
8 jam puasa. Hasil tes ini lebih dapat dipercaya bila dilakukan pada pagi hari.
Seseorang dengan kadar gula darah puasa di antara 100-125 mg/dl mengalami
kejadian prediabetes atau impaired fasting glucose (IFG). Seseorang dengan
nilai 126 mg/dl atau lebih harus diukur ulang pada lain waktu untuk
mengkonfirmasi bahwa pasien menderita diabetes (National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease, 2014).
Oral Glucose Tolerance Test
Tes ini dilakukan setelah pasien melakukan puasa minimal 8 jam dan 2
jam setelah minum cairan yang mengandung 75 g glukosa dalam air. Jika kadar
gula darah setelah 2 jam tersebut menunjukkan nilai 140 199 mg/dl, maka
seseorang tersebut mengalami prediabetes yang disebut impaired glucose
tolerance (IGT). Jika nilai di atas 200 mg/dl, maka seseorang tersebut menderita
diabetes (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease,
VI.

2014)
Terapi

Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan diabetes
1

melitus

dengan

obat

menggunakan antidiabetik oral dan insulin


Antidiabetik oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama

(farmakologi) ada 2, yaitu

ditujukan

untuk

membantu

penanganan pasien diabetes melitus tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang
tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua obat.
Pemilihan

dan penentuan

mempertimbangkan

tingkat

regimen

hipoglikemik

keparahan

pasien

yang digunakan harus


(tingkat glikemia) serta

kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan


komplikasi

yang

ada

(PERKENI,2006). Berdasarkan mekanisme kerjanya,

obat antidiabetik oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :


a Sulfonilurea

Dikenal 2 generasi sulfonilurea,


tolazamid,

asetoheksimid

dan

generasi I terdiri dari tolbutamid,

klorpropamid. Generasi II yang potensi

hipoglikemik lebih besar antara lain gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid


dan glimepiride(Davis, 1996).
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang
(PERKENI, 2006).
b Meglitinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu: repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
c

diekskresi secara cepat melalui hati (PERKENI, 2006).


Biguanid
Metformin adalah antihiperglikemia bukan hipoglikemia. Ini tidak
menyebabkan pelepasan insulin dari pankreas dan umumnya tidak menyebabkan
hipoglikamia. Metformin
glukagon,

kortisol,

tidak

hormone

ada

efek

pertumbuhan

yang
atau

signifikan

pada

somatostatin.

sekresi

Metformin

menurunkan kadar glukosa dengan menurunkan produksi glukosa di hepar dan


menaikkan aksi insulin di otot dan jaringan lemak. Pada kadar molekuler, aksi ini
diperantarai sedikit bagian oleh aktivasi sel kinase AMP yang diaktifkan oleh
protein

kinase

(AMP kinase).

Mekanisme

dimana metformin menurunkan

produksi glukosa di hepar adalah kontroversial, tapi banyak data yang menunjukkan
efek menurunkan glukoneogenesis.

Metformin juga dapat menurunkan plasma

glukosa dengan menurunkan absorpsi glukosa dari usus besar, tapi aksi ini tidak
menunjukkan efek klinis (Davis, 1996).
d Tiazolidinedion

Tiazolidinedion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome


Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidinedion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidinedion perlu
e

dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2006).


Penghambat enzim -glukosidase
Obat
penghambat
golongan
enzim
-glukosidase

ini dapat

memperlambat absorpsi polisakarida (starch), dekstrin dan disakarida di intestin.


Dengan menghambat kerja enzim - glukosidase di brush border intestin, dapat
mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM.
Karena

kerjanya

tidak

mempengaruhi

sekresi

insulin, maka tidak akan

menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai


monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa postprandialnya sangat
tinggi (Davis, 1996).
2. Insulin
Insulin mempunyai

peran

yang

sangat

penting

dan

luas dalam

pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel beta pankreas akan
langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin
yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport glukosa dari darah ke
dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau
terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya glukosa darah akan meningkat dan
sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga

tidak dapat

memproduksi energi (PERKENI,2006).


Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi empat jenis, yaitu insulin
kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting insulin), insulin
kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting
insulin) (PERKENI,2006).

Terapi Non Farmakologis


1. Pengaturan Diet
Diet merupakan langkah penting dalam penanganan DM pada pasien
lansia. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan DM.
Penurunan berat badan terbukti dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respon sel-sel terhadap glukosa (Muhcid dkk., 2005). Penurunan
berat badan dapat mengurangi morbiditas pada pasien obesitas dengan penyakit
DM tipe 2 (Rejeski et al, 2012).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan
yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu,
dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak
20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat
sekitar 25g/hari (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011).
Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalah:
a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
kadar normal.
b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
(Zahara, 2013)
2. Olahraga
Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal
dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.
Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olah raga akan memperbanyak
jumlah dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Zahara, 2013)
Olahraga pada lansia secara langsung dapat meningkatkan fungsi
fisiologis tubuh dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan
sirkulasi darah, menurunkan berat badan (Dellasega& Yonushonis, 2007).
3. Berhenti merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengurangi penyerapan glukosa oleh sel
(Tjay& Raharja, 2007). Dari penelitian yang dilakukan terhadap subyek uji

pasien lansia bahwa merokok 2 batang dalam sehari dapat menyebabkan resiko
nefropati dan menghambat absorbsi insulin (Lee, 2009).
VII.

Hasil Terapi
Penatalaksanaan

diabetes

mempunyai

tujuan akhir

untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
a
b

target utama, yaitu:


Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes
(ADA, 2004).
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter
yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM

Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia dengan
komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup <5
tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif risiko.
Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan secara

individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan kepatuhan


pengobatan. Anjuran terapi DM yang banyak digunakan saat ini adalah
sebagaimana dianjurkan dalam guideline konsensus ADA-EASD untuk terapi
DM tipe 2 (British Geriatric Society, 2009).
VIII. Kasus Penyakit Diabetes Melitus
1 Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai
komplikasi. Salah satu manifestasi DM adalah kadar glukosa darah dalam otak
yang tinggi sehingga dapat menyebabkan kerusakan otak dan memicu terjadinya
2

depresi.
Kasus
Seorang pria berumur 65 tahun menderita DM sejak lebih dari 7 tahun
terakhir. Pasien adalah seorang perokok dan pengkonsumsi alkohol, serta
memiliki riwayat positif DM di keluarganya. Pasien tidak mematuhi terapi,
sehingga DM tidak terkontrol. Pasien tidak mengalami penyakit lain, namun ada
keluhan perasaan depresi. DM tipe 2 diketahui merupakan faktor risiko dari
penyakit cerebrovaskualar dan kardiovaskular. Maka dari itu dibutuhkan

jaminan terapi yang efektif dan terapis dan pasien.


Manajemen Terapi
Tujuan manajemen ini yang pertama adalah menurunkan kadar glukosa
hingga target yang ditentukan. Berdasarkan NICE guideline kadar glukosa darah
yang disarankan adalah 90-130 mg/dl atau HBA1c<7% untuk pasien DM.
Kedua, mencegah komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Regimen terapi
yang diberikan yaitu sulfonilurea generasi ke-2, Glicazide tablet 80mg dua kali
sehari.
Kemudian, setelah didiagnosa penyakit Parkinson, digunakan biguanide
Metformin 1000mg satu kali sehari dan Glicazide 40 mg dua kali sehari.
Metformin merupakan pengobatan lini pertama untuk DM atau dapat juga
dikombinasikan

dengan

sulfonilurea

generasi

ke-2.

Metformin

dapat

mengurangi risiko peyakit Parkinson pada pasien DM. Tujuan terapi Parkinson
adalah mengurangi gejala motorik dan non-motorik serta mengurangi efek
samping obat.

Terapi penyakit Parkinson terdiri dari Co-Careldopa 62,4 mg satu kali


sehari, yang merupakan kombinasi Carbidopa dan Levadopa. Obat ini memiliki
efek samping berupa depresi, gangguan gastrointestinal, dan hipotensi ortostatik.
4

Fungsi ginjal dicek secara teratur dan gejala hipoglikemia terus dimonitor.
Pembahasan
Terapi DM dilakukan secara empiris dan dengan mengikuti guideline
NICE dan EASD. Perlu disertai manajemen diet, misalnya dengan mengurangi
konsumsi karbohidrat dan lemak jenuh. Sangat disarankan untuk melakukan
olahraga rutin seperti jogging atau berjalan kaki karena dapat secara efektif
menurunkan kolesterol dan gula darah.
Pada penyakit Parkinson, terapi dilakukan secara farmakologi dan
disertai pendekatan secara sosial. Obat harus dikonsumsi secara patuh, disertai
pemantauan rutin untuk melihat tanda dan gejala kemudian dilakukan modifikasi
terapi bila perlu. Pasien harus banyak berlatih bergerak. Selain itu, dukungan
moral adalah hal yang penting bagi kesembuhan pasien.
Mengkoreksi kegagalan kasus sebelumnya, penggunaan metformin harus
dilakukan sejak awal sebagai manajemen kedua penyakit. Terapi non
farmakologi dan perubahan gaya hidup dapat mendukung terapi dan

meningkatkan kualitas hidup pasien.


Kesimpulan
Pada pasien penderita Diabetes Melitus, morbiditas akibat Penyakit Parkinson
dapat dikurangi dengan mengikuti guideline terapi.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. ADA position statement: standard of medical care in


diabetes-2006. Diab Care. 2005;29(suppl. 1):S4-S42.

American Diabetes Association, 2009. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus.

Available

online

at:

http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.full. [Diakses pada 17


Maret 2016].
Abbas, Atta. 2014. The Association between type II diabetes mellitus and Parkinsons
Disease: A Case Report. El Mednificio Journal Vol 2 No 1; 2014.
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC.
British Geriatric Society. Best Practice Guide: Diabetes. 2009. Available from:
http://www.bgs.org.uk/Publications/Publication
%20Downloads/good_practice_full/Diabetes_6-4.pdf (diakses 19 Maret 2016)
Callaghan, B.C., Cheng, H.T., Stables, C.L., Smith, A.L. and Feldman, E.L.2012.
Diabetic neuropathy: clinical manifestations and current treatments. The Lancet
Neurology, 11(6), pp.521-534.
Chakrabarty, A., Norman, R.A. and Phillips, T.J., 2008. Cutaneous manifestations of
diabetes. In Diagnosis of Aging Skin Diseases.Springer :London.
Davis,M.D.1996.Diabetes Mellitus: The Eye and Systemic Disease. Philadelphia:JP
Lippincot.
Dellasega, C. & Yonushonis, E. M. 2007. Diabetes Melitus Pada Lansia, Dalam
Stanley, M. S. & Beare, P. G. (eds.), Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi
Kedua .Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Encyclopaedia Britannica. 2016. Diabetes Melitus: Medical Disorder. Tersedia online di
http://www.britannica.com/science/diabetes-mellitus [diakses pada 17 Maret
2016].

Lee, F. T. 2009. Advances in Diabetes Theraphy in the Elderly, J Pharm Pract Res, 39:
63-7.
Manaf, A., 2009. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. In: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi V, Jilid III. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam, 1896-1899.
Muchid, A. dkk. 2005. Pharmautical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014. Diagnosis of
Diabetes and Prediabetes. Tersedia online di http://www.niddk.nih.gov/healthinformation/health-topics/Diabetes/diagnosis-diabetesprediabetes/Pages/index.aspx [diakses pada 19 Maret 2016]
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2011. hlm.4-10, 15-29
PERKENI, 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2 di
Indonesia. Jakarta: Penerbit PERKENI, 4-32.
Purnamasari, D., 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Suroyo, A. W.,
ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Jilid III. Jakarta: InternaPublishing,
1880-1883.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC
Tjay, T. H., & Rahardja, S. K. 2007. Obat-Obat Penting (Khasiat Penggunaan dan Efek
Sampingnya), Edisi IV.PT. Elek Media Komputindo:Jakarta.
Zahara, F. (2013). "Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Umum Langsa Tahun 2011."

Anda mungkin juga menyukai