14
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2007, hal. 3
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 3.
16
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2008, hal. 6.
17
Ibid, hal. 7-8.
sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang
membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur.
Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima
barang jaminan dari pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima
jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum adalah
lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga
perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank.
3. Adanya jaminan
Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah
jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan
yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak
dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan
nonkebendaan.
4. Adanya fasilitas kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan
bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga
keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang
berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan
nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok
pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau
lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya.
Jaminan merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil risiko apabila
debitur tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan
kredit yang telah dikucurkan. Dengan adanya jaminan apabila debitur tidak
mampu membayar maka debitur dapat memaksakan pembayaran atas kredit yang
telah diberikannya. 18
Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang
menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari
menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dengan demikian, segala harta
kekayaan debitur secara otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut
membuat perjanjian utang meskipun tidak dinyatakan secara tegas sebagai
jaminan.
Terhadap jaminan ini akan timbul masalah manakala seorang debitur
memiliki lebih dari seorang kreditur di mana masing-masing kreditur
menginginkan haknya didahulukan.
Hukum mengantisipasi keadaan demikian dengan membuat jaminan yang
secara khusus diperjanjikan dengan hak-hak istimewa seperti hak tanggungan,
fiducia, gadai, maupun cessie piutang. Kreditur yang memegang hak tersebut
memiliki hak utama untuk mendapatkan pembayaran kredit seluruhnya dari hasil
penjualan benda jaminan. Apabila terdapat kelebihan dalam penjualan benda
jaminan terebut dapat diberikan kepada kreditur lain.
Eksistensi adanya perjanjian penjaminan tergantung pada perjanjian pokok.
Perjanjian pokok biasanya berupa perjanjian kredit. Perjanjian penjaminan tidak
18
mungkin ada tanpa perjanjian kredit. Apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka
perjanjian penjaminan akan berakhir pula.
Dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit adalah Pasal 8 ayat (1) UU
Perbankan yang menyatakan bahwa :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan.
Jaminan pemberian kredit menurut Pasal 8 ayat (1) adalah bahwa keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya
sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah
debitur.
Dengan demikian, hal ini menegaskan bahwa jaminan hendaklah
mempertimbangkan dua faktor, yaitu :
1.
2.
19
baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan
jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.
Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan salah satu ketentuan
pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta
pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata pihak pemberi pinjaman
akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta
yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di
kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut
pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di
kemudian hari.
Dalam praktik sehari-hari yang dapat disebut sebagai harta yang
akan ada di kemudian hari adalah misalnya berupa warisan, penghasilan,
gaji, atau tagihan yang akan diterima pihak peminjam.
Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata sering pula dicantumkan
sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan. Ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata yang dicantumkan sebagai klausul dalam
perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian disebut sebagai
isi yang naturalia. Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi yang
naturalia merupakan klausul fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai
isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak
menjadi masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti
demikian sudah diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan
memperhatikan
kedudukan
ketentuan
Pasal
1131
lainnya, dengan
dikeluarkan
untuk
menyelamatkannya
setelah
barang
itu
untuk mengikat objek jaminan utang yang ditunjuk oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan lain.
4. Penanggungan Utang
Penanggungan utang diatur oleh Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850
KUHPerdata. Penanggungan utang merupakan jaminan utang yang bersifat
perorangan. Akan tetapi, dalam hal ini diartikan pula dapat diberikan oleh suatu
badan di samping oleh perorangan sebagaimana yang terdapat dalam praktik
sehari-hari dan lazim disebut dengan sebutan borgtocht. Beberapa bentuk
penanggungan utang yang banyak ditemukan adalah berupa jaminan pribadi dan
jaminan perusahaan.
Beberapa di antara ketentuan KUHPerdata tentang penanggungan utang
adalah sebagai berikut.
a. Penanggungan utang adalah suatu persetujuan yang dibuat oleh seorang
pihak ketiga untuk kepentingan pihak pemberi pinjaman dengan
mengikatkan dirinya guna memenuhi perikatan pihak peminjam bila
pihak peminjam wanprestasi terhadap pihak pemberi pinjaman (Pasal
1820 KUHPerdata).
Penanggungan utang adalah suatu perjanjian penjaminan utang yang
sangat terkait kepada perorangan (individu atau badan hukum) yang
mengikatkan dirinya sebagai jaminan atas utang dari pihak peminjam dan
pihak yang mengikatkan dirinya disebut penanggung atau penjamin). 22
22
Ibid
23
Ibid
adalah yang terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya
(Pasal 1831 KUHPerdata).
f. Penanggung tidak dapat menuntut supaya harta pihak peminjam lebih
dauhulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya :
1) Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya
harta pihak peminjam lebih dahulu disita dan dijual.
2) Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan pihak
peminjam utama secara tanggung-menanggung, yang akibat-akibat
perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang
tanggung-menanggung.
3) Jika pihak peminjam dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya
mengenai dirinya sendiri secara pribadi.
4) Jika pihak peminjam berada di didalam keadaan pailit.
5) Dalam halnya penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.
g. Penanggung yang telah membayar utang pihak peminjam, menggantikan
demi hukum segala hak pihak pemberi pinjaman terhadap pihak
peminjam (Pasal 1840 KUHPerdata).
h. Perikatan yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab
yang sama, sebagaimana yang menyebabkan berakhirnya perikatan.
Demikian antara lain beberapa ketentuan tentang penanggungan utang
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850
KUHPerdata. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, penanggungan utang
lazim disebut dengan sebutan borgtocht. Mengingat ketentuan-ketentuan tentang
2. Jaminan Kebendaan
Mengingat Pasal 8 UU Perbankan, yang berbunyi :
a. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
b. Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan Bank Indonesia.
Keyakinan menurut pasal tersebut sudah merupakan jaminan bagi bank
untuk memberikan kredit kepada nasabah debiturnya. Namun, pada peraturan
kredit perbankan, jaminan kebendaan merupakan berupa jaminan tambahan yang
disebut sebagai agunan.
Jadi sebenarnya menurut UU Perbankan, jaminan dan agunan merupakan
dua unsur yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan
jaminan tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu
agunan. Mengenai agunan sebagai jaminan tambahan, secara tegas diungkapkan
dalam Pasal 1 angka 23, yang berbunyi :
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah.
Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan agunan atau jaminan
kebendaan
merupakan
jaminan
tambahan.
Jaminan
tambahan
tersebut
25
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, 2003, hal. 122.
secara tertulis, tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai apa yang mereka
perjanjikan. 26
Sebelum mengajukan kredit, seorang calon debitur haruslah terlebih dahulu
mengajukan surat permohonan kredit. Setelah permohonan kredit calon debitur
dianggap layak untuk disetujui, bank akan memberikan tanda persetujuannya yang
disebutnya Sebagai Surat Persetujuan Prinsip, yaitu surat kepada pemohon yang
memberitahukan setuju secara prinsip pemberian kredit. 27
Pemberian Kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank kepada
anggota masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan jaminan kredit
oleh debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit tersebut terkait
dengan berbagai ketentuan hukum jaminan. 28
Banyak hal mengenai perjanjian kredit yang dapat dikaitkan dengan
ketentuan hukum jaminan. Salah satu contoh adalah tentang penerapan ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur tentang kedudukan harta seorang yang
berutang untuk menjamin utangnya. Bank pemberi kredit hendaknya sepenuhnya
memahami dan mematuhi ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut untuk
mengamankan kepentingannya sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan Pasal
1131 KUHPerdata seharusnya dipatuhi pada waktu bank melakukan penilaian
calon nasabah dan ketika melakukan penanganan kredit bermasalah debitur. Pada
waktu melakukan penilaian calon debitur yang mengajukan permohonan
kepadanya, bank seharusnya berdasarkan kepada ketentuan Pasal 1131
26
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2000, hal. 226.
27
H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2005, hal. 133.
28
M. Bahsan, Op. Cit, hal. 70.
KUHPerdata dapat meyakini harta yang dimiliki oleh calon debitur untuk
menjamin pelunasan kredit di kemudian hari. Harta calon debitur adalah semua
hartanya yang berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, baik yang sudah
ada maupun yang akan ada di kemudian hari, sepenuhnya merupakan jaminan atas
kredit yang bersangkutan. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata tersebut, jaminan atas kredit yang diterima debitur tidak terbatas pada
harta debitur yang telah dikuasai bank atau yang diikat melalui sesuatu lembaga
jaminan. Semua harta debitur adalah jaminan atas kredit yang diterimanya dari
bank, dan dalam praktik perbankan mengenai harta debitur sebagaimana yang
dimaksud oleh ketentuan KUHPerdata tersebut sering dicantumkan dengan
ketentuan perjanjian kredit.
Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan dengan kegiatan
perbankan, terutama dalam perjanjian kredit yang dilakukannya. Secara umum
dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan perekonomian saat ini penerapan hukum
jaminan lebih banyak ditemukan dalam kegiatan perjanjian kredit perbankan.