PENDAHULUAN
Spons (porifera) merupakan salah satu komodite sumberdaya laut yang akhir-akhir
ini mendapat sorotan karena selain bernilai estetika, spons (porifera) juga mengandung
senyawa bioaktif (bioatif subtances).Spons (porifera) memilki sifat dasar yang ideal yaitu
dapat mengakumulasi bahan pencemar berat hal ini didasarkan pada pola makan spons
(porifera) dimana air laut yang mengandung zat-zat makan masuk melalui pori-pori dan
disaring melalui sel-sel bulu cambuk sehinggga hewan ini di sebut filter feeder. Hewan
ini hidup sebagai bentos, memiliki waktu hidup yang cukup lama (Veerdenal,1985).
Dengan sifat inilah spons (porifera) dapat digunakan sebagai organisme indikator
cemaran logam pada suatu perairan yang merupakan dasar suatu organisme dipakai
sebagai indicator pencemar (Philip,1999)
Dari sekian banyak limbah yang ada di laut, limbah logam berat merupakan limbah
yang berbahaya karena logam berat umumnya bersifat toksik (racun) dan kebanyakan di
air dalam bentuk ion. Logam berat yang mencemari perairan banyak jenisnya,
diantaranya logam Zn, Pb, Cr, Tingkat pencemaran pada suatu perairan dapat di
hubungkan dengan jarak dari sumber pencemaran, jika asumsi benar, makin dekat dengan
sumber pencemaran maka kosentrasi bahan pencemar yang terdapat dalam perairan
tersebut akan semakin tinggi, sehingga kandungan logam yang terakumulasi dalam spons
359
(porifera) juga akan semakin tinggi. Dengan demikian lokasi cemaran logam dapat
dilacak dengan menggunkan organisme bioindikator tersebut.
Peta penyebaran terumbu karang di perairan pulau ambon terdiri atas teluk ambon
bagian luar dan teluk ambon bagian dalam, dan terumbu karang yang paling banyak
adalah pada teluk ambon bagian luar.
RUMUSAN MASALAH
Kota ambon merupakan ibu kota Propinsi Maluku seiring dengan perkembangannya,
pertambahan penduduk tidak bisa dihindari. Akibatnya kegiatan masyarakat bertambah
dan tekanan yang dialami oleh Teluk Ambon bertambah juga khususnya pada kasuskasus pencemaran dan salah satunya pencemaran oleh logam berat.
Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah ada perbedaan akumulasi kosentrasi logam Zn, Pb, Cr, pada spons jenis
Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) pada
perairan teluk ambon?
b. Berapa kosentrasi logam berat Zn, Pb, Cr pada 4 titik sampel pada perairan teluk
Ambon?
III. 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui kosentrasi logam Zn, Pb, Cr dalam spons
jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003)
pada empat (4) titik sampel.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai Agustus 2006 meliputi persiapan,
pelaksanaan dan penulisan laporan penelitian. Lokasi pengambilan sampel di 4 (empat)
titik pada Teluk Ambon bagian luar.
Pelaksanaan penelitian yang meliputi penelitian pendahuluan dan persiapan sampel di
Laboratorium Analitik Fakultas MIPA Universitas Pattimura, sedangkan analisis logam
berat di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan
Standarisasi Industri Makassar.
Sampel spons (porifera) dari jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida,
Spongiidae) (Allen & Steene (2003) (Gambar 1) di ambil dengan cara penyelaman ke
dasar laut yang berbatu karang. Setiap pengambilan, sempel spons (porifera) di bersihkan
kemudian di tempatkan ke dalam kantong plastik dan kemudian dibawah ke
Laboratorium untuk di analisis.
Sampel yang akan di gunakan di pisahkan untuk penentuan akumulasi logam
berat dalam spons (porifera) di cuci dengan air panas di tambahkan deterjen, di rendam
dalam air laut selama 48 Jam setelah itu di bersihkan lagi dengan aquadest dan di rendam
dengan aseton untuk menghilangkan pigmen dari spons (porifera) kemudian dimasukkan
dalam oven selama 5 jam.(Veerdenal,1985)
Cara analisis sampel dilakukan sebagai berikut :
Sampel di timbang dengan teliti sebanyak 0,5 gram dalam gelas kimia yang bersih dan
kering kemudian ditambahkan 5 ml asam nitrat (HNO3) kemudian di panaskan pada suhu
o
159 C selama 2 jam. Sampel yang telah dipanaskan tersebut di dinginkan pada suhu
kamar, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan di tepatkan volumenya,
360
setelah itu larutan di kocok sampai homogen dan di saring dengan menggunakan kertas
saring whatman. Larutan siap di analisis (Siahaya,2000)
Penentuan kadar logam berat dengan Spektrofotometer Serapan Atom
a. Penyiapan Larutan standar
Larutan standar Zn, Pb, Cr 1000 ppm di buat dengan mengambil masing-masing
sebanyak 10 ml larutan induk 1000 ppm dan dimasukkan dalam takar 100 ml kemudian
di tambahkan asam nitrat (HNO3) 2 % hingga volume 100 ml.
Hasil dari pembuatan
larutan standart 100 ppm, kemudian dibuat deret larutan baku atau larutan standart.
Masing-msing sebagai berikut :
Zn : 0,4 ppm ; 0,6 ppm; 0,8 ppm; 1,2 ppm ; 1,6 ppm
Pb : 0,4 ppm ; 0,6 ppp; 0,8 ppm ; 1,0 ppm ; 1,2 ppm ; 1,4 ppm
Cr : 0,1 ppm ; 0,3 ppm 0,5 ppm ; 0,7 ppm ; 1,1 ppm
Penentuan kadar logam berat Zn, Pb, Cr dalam spons (Porifera) jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae(Allen & Steene (2003).
Kedalam nyala udara-Asetelin di aspirasikan air dan alat pengukur di jadikan nol.
Larutan baku secara berturut-turut diaspirasikan didalamnya, menurut kenaikkan
konsentrasi. Nilai serapan dari larutan baku tersebut di catat. Kemudian dibuat persamaan
regresi linier dari serapan larutan baku dengan konsentrasi. Serapan hasil pengukuran
larutan sampel di masukkan kedalam persamaan regresi, sehingga diperoleh konsentrasi
logam dalam sampel.
c.Analisis Data
Dari hasil pengukuran sederetan larutan baku di atas kemudian dibuat grafik
untuk masing-masing logam. Untuk semua garis lurus pada grafik antar absorbans dan
kosentrasi di perlukan bantuan garis regresi. Sumbu X adalah kosentrasi dalam ppm,
sedangkan sumbu Y adalah Absorbans (A).
Persamaan regresi adalah :
Y = a +bX
Nilai-nilai a dan b dihitung dengan rumus :
x b x
n x y x . y
b
2
2
n x
x
Walaupun dalam suatu garis dapat saja di tarik dari jumlah titik yang tersebar dalam
grafik, belum tentu terdapat korelasi antara kedua variabel x dan y. Cara statistik yang di
pakai untuk menetukan adaya hubungan antara kedua variabel ialah koefien korelasi (r).
Koefisien korelasi ini dapat di hitung dengan rumus :
361
362
berasal dari limbah rumah tangga atau industri yang terbuat dari logam, batu baterei, cat,
plastik dan karet (Dons dan Beck 1993).
Kadar Zn yang rendah berada pada perairan Seri, Hatiwe besar dan Batu capeo hal
ini sangat menguntungkan bagi masyarakat setempat di sekitar pantai. Menurut Hellawell
(1989) pada ikan akan terjadi kematian apabila kandungan logam Zn di perairan lebih
dari 5 ppm.
Logam Timbal (Pb)
Kandungan logam timbal (Pb) pada spons (porifera) jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003)di perairan teluk Ambon
pada empat (4) lokasi bervariasi. Fenomena yang terlihat pada lokasi satu (1) Perairan
Batu-merah yang tertinggi dibandingkan dengan lokasi lain sehingga menunjukan Pb
lebih banyak di perairan ini,hasil analisis logam Pb pada spons jenis Phyllospongia
lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) yang di peroleh terlihat
pada gambar 3.
Sumber Pb yang terakumulasi dalam spons (porifera), dapat berasal dari berbagai
aktifitas manusia antara lain : kapal bermotor yang digunakan sebagai sarana transfortasi
yang menggunakan bahan bakar kenderaan bermotor yang di beri zat aditif sebagai
senyawa tetraetil Pb((C2H 5)4Pb) sebagai zat anti ketuk, di samping itu, kedalam bensin
biasanya di tambahkan juga senyawa etilen di-bromida (C 2H4Br2) dan etilen-diklorida
(C2H4Cl2) sehingga selama proses pembakaran terjadi di dalam mesin kenderaan
terbentuk hasil sampingan Pb yang masuk ke dalam suatu perairan.
Konsentrasi logam Pb pada spons (porifera) cendrung lebih besar di bandingkan
dengan logam Cu, Cr dan Cd, hal ini dapat saja terjadi karena logam ini lebih mudah di
ekskresikan dari dalam tubuh organisme di bandingkan logam Pb, menurut Brown &
Person (1978) dalam Husawaty (1997), dikatakan bahwa Cd,Cr,Cu lebih larut di
bandingkan dengan Pb karena perbedaan potensial oksidasi, sehingga Pb lebih mudah
terakumulasi.
Sumber lain logam Pb di perairan yang akan teradsorbsi ke spons (porifera) akibat
pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan, di samping itu proses korosifikasi
batu karang di sekitar spons (porifera) akibat hempasan gelombang (Palar,2004)
Disamping itu sumber Pb dan persenyawaannya dapat menyebabkan limbah ke
perairan adalah timbal oksida (PbO4) dalam baterei, kabel listrik, senyawa PbCrO 4 untuk
cat yang berwarna kuning, Pb3O4 untuk warna merah, Pb asetat di gunakan secar luas
sebagai bahan pengkilap pada keramik dan sekaligus bahan anti api untuk pemadam
kebakaran. Persenyawaan Pb dengan arsent dapat di gunakan sebagai insektisida
(Palar,2004).
Kosentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan (Darmono,2001).
Bardarakan peneltian yang pernah di lakukan pada tahun 1979 oleh Murphy dari
Universitas Walles, di katahui bahwa biota-biota perairan seperti Crustaceae akan
mengalami kematian setelah 245 jam bila peraairan tersebut terdapat Pb terlarut pada
kosentrasi 2,75- 49 mg/L. Ditinjau dari kadar atau kosentasi logam Pb yang terakumulasi
dalam Sponbs (porifera) yang terdapat dalam teluk Ambon yang berkisar dari 8,200
mg/Kg berat kering (ppm)- 12,000 mg/Kg berat kering (ppm) dibandingkan kosentrasi Pb
di air yang dapat membunuh ikan maka perairan teluk Ambon masih di katakan berada
dalam batas aman di tinjau dari kosentrasi logam Pb.
Logam Khromium (Cr)
363
364
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G,R. And Roger Steene (2003). Indo-Pacific Coral Reef.Field Guide. Calender
Print Pte Ltd., Singapore.
Anonim, (2003), Profil Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kota Ambon.
Allerets. Santika (1987) Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya.
Barnes (1991) Invertebrata Zoology. Blackywell Scientific PV6 Oxford London,
Edinburg Boston Melbourne.
Bergquist, P.R, (1978), Spongest, Hutchinson and Company, London.
Boehm,P.D. (1987) Transfort and Transformation Process Regarding Hydrocarbon and
Metal Pollution in Offshore Sedimentary Envirmont in : Long-term effect of
Shore Oil and Gas Development. D.F.Boesch and N.N. Rabalai, Elsevier Appleid
Science,London
Bryan, G.W.(1971) The effect of Heavy Metal Contaminan in the sea , in Marine
Pollution, Jhonston,R. Ed Academic Press, London.
Broadhead, T. W, (1983), Sponge and Spongiomorphs, Notes for a Short Course,
University of Tennesse, Konoxtiville, Tennesse.
Casarett, L. J.Doull,J, (1986), The Basic Science of Poisoning.Third Edition, Maxmillan
Publishing Co. Inc, New York.
Caraan,G.B. Lazaro J.E, (1994), Biologycal Assay for Screning of Marine Samples,
Second Marine Natural Product Workshop, Marine Science Institute of
Chemestry, University of the Philippines.
Connel, W, J., Millev, G, (1985), Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Penerjemah
Yanti K. UI Press, Jakarta.
Cotton and Wilkinson, (1989), Kimia Anorganik Dasar, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Darmono, (2001), Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Day, R.A. Jr and Underwood, A.L, (1993), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi keempat,
Penerbit Erlangga, Surabaya.
De Jongle, (1994), Sponges in Time and Space, Balkeun Rptterdam.
Devoogd, N., (1997). Cross-shelf Distribution of South West Sulawesi Open Reef
Sponges. University of Amsterdam.
Diannanjaya, I, (1989), Distribusi Logam Berat Cd, Cu, Pb, dan Zn dalam sedimen
permukaan Laut Dangkal, Skripsi, F-MIPA UNHAS, Makassar.
Djuangsih, W, (1985), Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, pada Jenis
Karang di Perairan Tanjung Bunga Makassar secara SAA, Skipsi sarjana MIPA,
UNHAS, Makassar.
Gilbert, J., (1984), Analysis of Food Contaminant, Elsevier Applied Science Publisher,
London.
Hamidah, (1984), Pengaruh Logam Berat Terhadap Lingkungan. Oseana.
Ichsan, A, (1991), Oseanologi di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi LIPI No. 29, Jakarta.
Meyer Philips, (1998), http://animaldiversity. Umich.edu/ porifer.html 9/1/2000
Palar Heryanto, (1994), Pencemaran dan Toksikologi logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta.
Rosmiaty, Suryati,E, (2001), Isolasi, Identifikasi dan Pengaruh Senyawa Bioaktif Spons (
Callyspongia pseudoreticulata ) terhadap bakteri patogen dari Udang. Jurnal
365
Lokasi
1
Salinitas (0/00)
Temperatur
pH
29
29
7,7
29
29
7,7
4
29
29
7,7
29
29
7,7
Keterangan :
1. Perairan Batu merah
2. Perairan Batu capeo
Tabel 2. Analisis logam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) pada lokasi 1,2,3,dan 4 pada
perairan teluk Ambon
Lokasi
Logam (ppm)
Zn
11,208
2,785
1,423
4,645
1
2
3
4
Pb
12,000
8,997
8,200
11,521
Cr
2,035
2,585
1,766
1,950
Keterangan :
1. Perairan Batu merah
2. Perairan Batu capeo
Tabel 3. Kosentrasi beberapa logam dalam ai laut dan air sungai secara alamiah
Logam
Cr
0,11
tt
Pb
0,003
670
Zn
20
4
4
23.2
Lokasi
2
3
7.1
1
55.9
2
13.9
10
12
Gambar 2. Grafik Histogram hasil analisis logam Zn dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi.
Keterangan :
1. Perairan Batu merah
2. Perairan Batu capeo
366
4
28.3
1
29.5
Lo kasi
3
20.1
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
2
22.1
12.0
Gambar 3. Grafik Histogram hasil analisis logam Pb dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi
Keterangan:
1. Perairan Batu merah
2. Perairan Batu capeo
4
23.4
1
24.4
Lokasi
3
21.2
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
2
31.0
3.0
Gambar 4. Grafik Histogram hasil analisis logam Cr dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi
Keterangan:
1. Perairan Batu merah
2. Perairan Batu capeo
367
dewi_kim@chem.its.ac.id
ABSTRAK
Fly ash batubara merupakan hasil samping dari pembakaran batubara yang jumlahnya
melimpah. Pembuangan fly ash hasil pembakaran batubara dalam jumlah besar merupakan
masalah lingkungan yang serius. Kurangnya tempat penampungan serta perundang-undangan
lingkungan yang lebih ketat, memerlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batu bara.
Konversi fly ash menjadi zeolit merupakan metode alternatif pemanfaatan fly ash yang telah
banyak diterapkan. Dalam penelitian ini zeolit disintesis dengan menggunakan proses alkali
hidrotermal secara langsung dengan menggunakan larutan alkali hidroksida KOH. Hidrotermal
awal dilakukan pada suhu 100
C, 120
C, 150
C dan 180
C selama 3,5 jam, dan dilanjutkan
dengan hidrotermal kristalisasi pada suhu 100
C. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi
menggunakan difraksi sinar-X (XRD) menunjukkan terbentuknya K-Khabazit, K-Phillipsite,
analcime, Na-P1 dan heulandite.
368
PENDAHULUAN
Produksi batubara selama tahun 2006, diungkapkan mencapai 170 juta ton. Sebesar
127 juta ton untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan 45 juta ton untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai lebih dari 240 juta ton, sebesar 150
juta ton diantaranya untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Sedang untuk kebutuhan dalam negeri
mulai tahun 2009 akan meningkat tajam menjadi sekitar 75 juta ton dengan adanya rencana
pembangunan PLTU baru di dalam dan luar Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.000 MW,
meningkatnya produksi semen setiap tahun, dan semakin berkembangnya industri-industri lain
seperti industri kertas (pulp) dan industri tekstil merupakan indikasi penggunaan batubara yang
semakin meningkat pula. Apalagi dengan adanya PP No.5 Tahun 2006 sebagai pembaruan
Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998, yang bertujuan utama untuk
menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi
secara efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025
yang salah satunya dengan memanfaatkan sumber energi alternatif di antaranya batubara (Tim
Kajian Batubara Nasional, 2006).
Diperkirakan laju produksi abu batubara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap
sebesar 10 % dari volume batubara. Lebih kurang 95 % abu akan tertinggal, masing-masing
20 % berupa bottom ash dan slag, lainnya 75 % berupa fly ash (Susiati, 2006). Hasil samping
berupa fly ash yang jumlahnya melimpah merupakan masalah lingkungan yang serius (Belviso,
2007). Sebagai contoh penggunaan di Jepang, 1,5 juta ton fly ash batubara dihasilkan dari
pembangkit dan industri, dibuang tanpa digunakan kembali setiap tahun.
Limbah fly ash batubara yang relatif besar dapat menimbulkan dampak pencemaran
yang cukup berat, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan masyarakat. Dampak
yang paling signifikan bila tidak ada usaha pemanfaatan abu batu bara adalah penumpukan abu
batubara pada lahan urugan yang bisa menghasilkan debu di musim kering dan penuhnya lahan
urugan yang ada padahal pembuatan lahan urugan baru memerlukan biaya tinggi (Kumar,
2002). Oleh karena itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP85/1999) limbah fly ash
dikategorikan sebagai limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Fly ash hasil pembakaran
batubara di PLTU pada umumnya dibiarkan saja berada di kolam pengendapan sebagaimana
dilaporkan oleh Wajima, et al. (2004). Kurangnya tempat penampungan dan perundangundangan lingkungan lebih ketat, maka diperlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batubara
secara optimal yang menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi dan banyak dibutuhkan
oleh pasar. Chang dan Shih (2000) menyebutkan bahwa salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk memanfaatkan limbah fly ash batubara adalah dengan mengkonversinya
menjadi zeolit.
Kristal zeolit sangat efektif untuk pertukaran kation dengan nilai KTK berkisar antara
100 sampai 460 meq/100g (Hollman, 1999). Secara garis besar, mineral zeolit yang mempunyai
kapasitas tukar kation tinggi yang dapat digunakan dalam usaha pertanian sebagai reklamasi
tanah bermasalah dan meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik yang sekaligus penyedia
unsur hara (Bachrein, S., 2001).
Komposisi fly ash terutama adalah aluminosilikat, mullit (Al6 Si2 O13) dan kuarsa
(SiO2 ). Material-material ini merupakan penyedia sumber Al dan Si yang diperlukan untuk
sintesis zeolit. Perbandingan Si/Al yang rendah menunjukkan penyerap yang sangat baik
karena mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi dan volume pori yang besar
(Hller dan Wirsching, 1985; Querol et al., 1997). Sehingga, konversi fly ash menjadi zeolit
merupakan bukti yang menunjukkan bahwa fly ash merupakan bahan awal yang murah d an
efektif (Woolard, 2000).
Querol, et al. (2002) menyebutkan bahwa proses sintesis zeolit dari fly ash yang saat
ini digunakan adalah: (a) konversi langsung melalui aktivasi alkalin sederhana terhadap fly ash
dengan larutan KOH atau NaOH, (b) ekstraksi silika dari fly ash dan kombinasi silika terlarut
dengan larutan aluminat konsentrasi tinggi untuk menghasilkan produk zeolit murni.
369
Sedangkan metode yang paling umum digunakan untuk konversi fly ash menjadi zeolit
melibatkan proses hidrotermal, dimana fly ash dicampur dengan larutan alkali seperti NaOH
pada kondisi temperatur, tekanan dan waktu reaksi berbeda. Kondisi sintesis tergantung pada
komposisi material awal, ukuran partikel, morfologi dan sebagainya (Ojha, et al., 2004). Lin
dan Hsih (1995) telah meneliti pengaruh parameter reaksi hidrotermal seperti suhu, molaritas
basa dan waktu reaksi pada sifat fly ash dan juga optimasi parameter reaksi untuk memperoleh
produk dengan kualitas terbaik. Walaupun demikian, sangatlah penting untuk meneliti secara
eksperimen berbagai kondisi yang memungkinkan pembentukan zeolit.
Metode hidrotermal sesuai untuk (1) Sintesis yang fasenya tidak stabil pada suhu
tinggi (2) Berguna untuk pertumbuhan kristal tunggal dengan mengatur gradien suhu yang
sesuai dalam wadah reaksi (3) Pelarutan material start pada keadaan panas dan pengendapan
pada suhu yang lebih dingin (West, 1984). Reaksi hidrotermal berlangsung dalam wadah
tertutup, oleh karena itu mempertahankan suhu dan tekanan pada volume air yang konstan
sangat penting.
Dalam penelitian ini, konversi fly ash batu bara menjadi zeolit bertujuan untuk
menganalisis pengaruh suhu hidrotermal pada proses pembentukan zeolit. Percobaan disusun
pada suhu hidrotermal awal berbeda (100, 120, 150 dan 180
C) selama 3,5 jam, suhu
hidrotermal selanjutnya 100
C dengan waktu hidrotermal 6, 24, 48, dan 96 jam. Karakterisasi
kimia fly ash dan hasil sintesis menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) dan X-ray
diffraction (XRD).
METODOLOGI PENELITIAN
1. Pemilihan Sampel Fly Ash
Fly Ash batu bara digunakan sebagai sumber SiO dan Al O , sampel berasal dari
2
Perth, Western Australia yang mempunyai kemiripan dengan fly ash batu bara dari Indonesia
dalam hal komposisi SiO2 (silikat) dan Al2 O3 (aluminat).
2. Karakterisasi
Karakterisasi dilakukan terhadap fly ash sebagai bahan baku maupun terhadap zeolit
hasil kristalisasinya. Karakterisasi ini meliputi:
Penentuan Komposisi Mineral. Komposisi mineral, baik pada fly ash maupun pada produk
hasil sintesis dianalisis dengan teknik difraksi sinar-X. Instrumen difraktometer yang digunakan
adalah Philips PW1050 dengan sumber sinar-X Cu menggunakan panjang gelombang yang
dihasilkan oleh radiasi Cu K 1 . Tegangan dan kuat arus yang dialirkan untuk menghasilkan
sinar-X berturut-turut adalah 40kV dan 30 mA. Sampel discan dari 2= 5o 50o. Data yang
diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2
) yang kemudian dianalisis dengan
membandingkan pola difraktogram sampel dengan pola difraktogram standar dengan Software
Expert Grafik and Identify, sehingga mineral dalam sampel dapat diidentifikasi. Analisis
difraksi sinar-X dilakukan di laboratorium Research Center ITS.
3. Sintesis Zeolit
Dalam penelitian ini, sebanyak 24 gram fly ash dan sebanyak 16 gram KOH ditimbang.
Selanjutnya KOH dilarutkan dengan aquades samapi mencapai volume 150 mL lalu dicampur
dengan fly ash. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada
kecepatan 400 rpm selama 24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada
370
suhu awal 100, 120, 150 dan 180o C selama 3,5 jam. Masing-masing dilanjutkan dengan
hidrotermal pada suhu 100o C selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Sampling dilakukan dengan
mengambil sebanyak 20 mL campuran, kemudian disaring. Padatan yang diperoleh dicuci
dengan aquades sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100o C selama
12 jam untuk menghilangkan kadar air. Padatan hasil sintesis dianalisis secara kualitatif
menggunakan difraksi sinar-X (XRD).
Fly Ash
(% massa)
SiO2
52.30
Na 2O
0.10
P2O5
0.07
Al2O3
32.40
K2 O
0.22
BaO
0.04
Fe2 O3
11.00
TiO 2
2.10
SrO
< 0.02
CaO
1.00
MnO
0.20
ZnO
< 0.02
MgO
0.80
SO3
< 0.02
V2O5
0.02
Sedangkan komposisi mineral diperoleh seperti tampak pada Tabel 2. terdiri dari fasa mineral
terbanyak adalah fasa amorf, diikuti oleh fasa mullite dan quartz.
Tabel 2. Komposisi Fasa Mineral Fly Ash
Fasa Mineral
Komposisi (%)
Quartz
Mullite
5.7
25.3
Hercynite
Mahgemite
0.3
4.1
Amorphous
Total
64.6
100
Analisis dengan menggunakan XRD terhadap sampel fly ash diperlukan untuk
mengetahui komposisi mineral dan untuk mengamati adanya perubahan yang terdapat pada
padatan hasil sintesis terhadap material awal. Pola difraksi fly ash tampak pada Gambar 1.
M
Q
M
M
M
M
Q
371
0
10.00
20.000
30.00
40.00
50.00
60.00
2
Gambar 1. Difraktogram dari Fly Ash E. Q = kuarsa; M = mullit
Gambar 1. memperlihatkan puncak dari fasa-fasa mineral dalam fly ash. Dengan menggunakan
Software Expert Grafik And Identify, diketahui bahwa puncak pada 2= 26,29773o ; dan 2=
40,85890 o merupakan puncak utama mineral mullit (Al6Si 2O13). Sedangkan puncak 2=
20,84023 o dan 2 = 26,62360o merupakan puncak utama mineral kuarsa (SiO2 ). Dari
difraktogram ini dapat dikatakan bahwa sampel fly ash dalam penelitian ini mempunyai
komponen penyusun utama berupa SiO 2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang
merupakan fasa reaktif utama fly ash (Shim dan Lee, 2006).
180oC
150oC
120oC
100oC
Fly Ash
0
Gambar 2.
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
20.000
30.000
2(
)
Difraktogram hasil sintesis pada suhu hidrotermal 100
C, 120
C, 150
C dan
180
C.
Pada Gambar 2. pola difraksi sinar-X menunjukkan mulai terbentuknya puncakpuncak yang berbeda dibandingkan pola difraksi sinar-X dari fly ash. Hal ini karena adanya
perbedaan suhu hidrotermal awal. Dalam proses hidrotermal perbedaan ini lebih dipengaruhi
oleh aktivasi fly ash oleh suhu hidrotermal yang menyebabkan Si dan Al fasa amorf terlarut
secara kontinu pada awal reaksi, dimana merupakan masukan bagi pembentukan kristal.
Pembentukan kristal zeolit sangat tergantung pada ketersediaan sumber silika dan alumina.
Tampak bahwa dengan adanya puncak-puncak khas dari mullit dan kuarsa semakin
bertambah intensitasnya sebanding dengan meningkatnya suhu hidrotermal yang berarti
menunjukkan meningkatnya fasa kristalin dan mempercepat pembentukan zeolit. Pada suhu
hidrotermal 100
C, mulai terjadi peningkatan fasa kuarsa, dari difraktogram tampak bahwa
peningkatan ini stabil sedangkan peningkatan fasa mullit baru terjadi pada suhu hidrotermal
372
awal 150
C yang kemudian tidak tampak lagi peningkatannya pada suhu hidrotermal 180
C.
Fenomena ini menunjukkan bahwa laju pelarutan alumunium lebih stabil daripada silikon pada
awal proses hidrotermal dan pelarutan silikon dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Sehingga
perbandingan Si/Al akan meningkat dengan meningkatnya suhu hidrotermal. Deangan adanya
fasa mullit dan kuarsa secara bersama-sama seringkali menyebabkan produk yang terbentuk
berupa produk campuran (Molina, 2004).
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah
hidrotermal awal
Setelah stirer
Fly Ash
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
2
o
Gambar 3. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 100 C.
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa setelah 96 jam, pada produk hidrotermal mulai
nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan Na-P1.
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
373
Setelah
hidrotermal awal
Setelah stirer
Gambar 4.
2
Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 120 oC.
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa setelah 48 jam, pada produk
hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan
heulandite. Bahkan heulandite mulai terbentuk setelah hidrotermal 24 jam dan Na-P1 sudah
tidak terbentuk.
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah
hidrotermal awal
Setelah stirer
Gambar 5.
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
2
Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 150 oC.
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah
hidrotermal
awal
Setelah stirer
374
Fly Ash
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Gambar 6.
2
Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 180 oC.
DAFTAR PUSTAKA
Amrhein, Ch., Haghnia, G.H., Kim, T.S., Mosher, P.A., Gagajena, R.C., Amanios, T., de la
Torre, L. (1996), Synthesis and properties of zeolites from coal fly ash. Environ.
Sci. Technol. 30, p. 735 742.
Barrer, R. M. (1982), Hydrothermal Chemistry of Zeolites, Academic Press, London.
375
Budhyantoro, A. (2005), Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam
Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas, Jurnal ILMU DASAR,
6, No. 1, hal. 24-32.
Chang, H., and Shih, W. (2000), Synthesis of Zeolite A and X from Fly Ashes and Their Ion
Exchange Behavior with Cobalt Ions, Industrial Engineering Chemical Research,
39, p. 4185-4191.
Susiati, H. (2006), Dampak Radioaktif Penggunaan Energi Fosil Batubara dan Energi Nuklir di
Pusat Pembangkit Listrik, Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN, Yogyakarta.
Hller, H., Wirsching, U. (1985), Zeolites formation from fly ash Fortschr. Mineral. 63, p.
21 43.
Hollman, G.G., Steenbruggen, G., Janssen-Jurkovicova, M. (1999), A two-step process for the
synthesis of zeolites from coal fly ash, Fuel, 78, p. 1225 1230.
Lin, C. F., dan Hsi, H. C. (1995) Resources Recovery of Waste Fly Ash: Synthesis of ZeoliteLike Materials, Environ. Sci. Technol., 29 (4), p. 1109-1117.
Molina, A. dan Poole, C. (2004) A comparative study using two methods to produce zeolites
from fly ash, Minerals Engineering, 17, p. 167173.
Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), Zeolite from Fly Ash: Synthesis and
Characterization, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, 27 (6), p. 555-564.
Querol, X., Alastuey, A., Lopez-Soler, A., Plana, F., Andres, J.M., Juan, R., Ferrer, P., Ruiz,
C.R. (1997). A fast method for recycling fly ash: microwave-assisted zeolite
synthesis. Environ. Sci. Technol., 31 (9), p. 25272533.
X. Querol et al. (2002) Synthesis of zeolites from coal fly ash: an overview International
Journal of Coal Geology, 50, p. 413423.
376
Abstrak
377
rineh_rineh@yahoo.com hp. 08563092630 Abstrak Fly ash batubara telah digunakan untuk
mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal. Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3
M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu awal 180oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua
dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini
adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X
(XRD). Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi
Pembangkit
I.
Pendahuluan
listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya akan
menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash)
yang cukup besar jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar 80-90 % dari total abu seluruhnya.
PLTU Paiton menghasilkan fly ash 1 juta ton per tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash
merupakan masalah yang tidak asing lagi dihadapi oleh banyak negara di dunia yang menggunakan
batu bara sebagai sumber energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila tidak dimanfaatkan maka
membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. Di Indonesia jumlah pemakaian fly ash
batu bara untuk berbagai tujuan masih sangat sedikit (Wajima, et. al., 2004). Sampai saat ini
pemanfaatan limbah fly ash masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan urugan, campuran
pembuat semen (Sutarno, 2004), campuran pembuat beton, campuran pembuat bahan tahan api dan
agregat (Kovo, dan Odega, 2005) serta sedikit bahan-bahan berguna lainnya. Skala pemanfaatan
limbah fly ash sebagaimana disebutkan di atas masih sangat kecil dan umumnya bernilai tambah
rendah. Zeng R, et. al. (2002) dari China dan Elliot dan Zhang (2004) dari Australia melaporkan tidak
lebih 20% dari total fly ash yang dihasilkan telah dimanfaatkan dengan baik sebagai bahan campuran
seperti yang telah disebutkan di atas.
Zeolit
Untuktermasuk
dapat memanfaatkan
dalam golongan
fly ash
mineral
secara
yang struktur kristalnya disusun oleh tretrahedral SiO 44- dan
optimal,
AlO
45- . Tetrahedral-tetrahedal
perlu dicari alternatif penggunaan
ini saling berkaitan
fly
satu dengan lainnya dengan cara berbagi atom
ash yanguntuk
oksigen
menghasilkan
membentuk
produk
struktur
dengan
kristal
nilai
yang mengandung rongga-rongga kosong. Kombinasi
tambah tinggi
tetrahedal
SiO4dan
danbanyak
AlO 4 menyebabkan
dibutuhkan oleh
zeolit memiliki muatan parsial negatif. Untuk menetralkan
pasar. Dalam
muatan
negatifChang
ini, diperlukan
dan Shih (2000)
kation-kation (misalnya Na+, K+ , Ca2+ , Mg2+, dan NH4+ ) yang dapat
disebutkan bahwa
menempati
rongga-rongga
salah satu
kosong
pendekatan
yang ada.
yangSelain dapat terisi kation, rongga-rongga kosong tersebut
dapat pula
digunakan
ditempati
untuk
oleh
memanfaatkan
molekul netral
limbah
seperti air, molekul-molekul organik dan sebagainya asalkan
fly ash batubara
ukuran
molekul tersebut
adalah dengan
tidak lebih besar dari ukuran rongga.
mengkonversinya menjadi zeolit. Fly ash
bersifat khas berupa partikel halus dengan
diameter 1 100 m dan mengandung
mineral-mineral silika dan alumina sebagai
komponen kristal utama dan beberapa
II. Metoda Penelitian
komponen amorf. Beberapa mineral yang biasa
Bahan dan Alat. Fly Ash batu bara digunakan
terdapat dalam fly ash adalah kuarsa (SiO2),
sebagai sumber SiO2 dan Al2O3. Sampel fly ash
mullit (3Al 2O3.SiO2), hematit (Fe2O 3),
yang digunakan diperoleh dari hasil
magnetit (Fe 3O4) dan muskovit
pembakaran batubara PLTU Paiton. Bahan
(K.Al 2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan kuarsa dalam
kimia yang digunakan dalam penelitian ini
fly ash masing-masing merupakan sumber
meliputi: KOH, dan aquades. Adapun alat-alat
utama silika dan alumina. Mullit tersusun dari
yang digunakan meliputi: seperangkat alat-alat
27,8% SiO 2 dan 71,5% Al2O 3 sedangkan
gelas, autoclave stainless-steel 100 ml, oven
kuarsa mengandung SiO2 lebih dari 99%.
merk Binder, stirrer merk Mirrak, neraca
Zeolit merupakan material polimer
analitik Explorer, Seperangkat alat
silika-alumina berpori yang memiliki luas
spektrofotometer serapan atom (SSA) merk
permukaan yang besar dan situs aktif. Adanya
Hitachi Z-800, difraktometer sinar-X merk
situs aktif ini mengakibatkan zeolit memiliki
Philips tipe PW 1050.
kemampuan untuk menyerap senyawa atau ion
baik dari dalam larutan atau udara (Davis dan
Lobo, 1992). Augustine (1996) juga
Sintesis Zeolit. Dalam penelitian ini telah
mengatakan bahwa zeolit memiliki sejumlah
dipelajari pengaruh kondisi-kondisi proses
sifat kimia maupun fisika yang menarik,
alkali hidrotermal yang meliputi waktu
diantaranya mampu menyerap zat organik
hidrotermal awal dan temperatur terhadap
maupun anorganik, dapat berlaku sebagai
zeolit sisntesis yang dihasilkan. Data
penukar kation, dan sebagai katalis untuk
karakteristik stuktur fly ash sebelum dan
berbagai reaksi.
sesudah perlakuan alkali hidrotermal
ditentukan melalui interpretasi difraktogram
yang diperoleh dari difraksi sinar-X di
Laboratorium Research Center ITS Surabaya.
Dalam proses sintesis zeolit perbandingan awal
mol KOH/SiO2 = 1,8. Untuk mendapatkan
angka perbandingan mol tersebut ditimbang fly
ash sebanyak 24 gram dan KOH sebanyak 16
gram. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak
150 ml. Campuran tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan
diaduk pada kecepatan 400 rpm selama
1. Proses alkali hidrotermal terhadap fly ash dapat mengubah komponen utama kuarsa dan fasa
amorf menjadi material zeolit, yang mengandung mineral sodalit, mullit, khabasit dan zeolit P. 2.
Waktu reaksi hidrotermal berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Pada waktu
Setelah 96
jam
reaksi yang lebih tinggi terjadi peningkatan
kristalinitas
produk hidrotermal. 3. Proses alkali
hidrotermal terhadap menghasilkan intensitas fasa kristalin tertinggi pada konsentrasi KOH 3M,
Setelah
48dilakukan
jam
temperatur 150oC dan waktu 96 jam.
Perlu
optimasi suhu dan konsentrasi, sehingga
dihasilkan produk hidrotermal yang optimal.
Setelah 24 jam
Setelah 6 jam
Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis
Setelah Pola
2,5 jam
pada berbagai variasi waktu hidrotermal.
difraksi sinar-X pada Gambar 2 menunjukkan
puncak utama yang muncul pada reaksi
hidrotermal selama 6, 24, 48 dan 96 jam sesuai
dengan pola difraksi zeolit P dan semakin lama
waktu reaksi hidrotermal menunjukkan
kristalinitas yang semakin tinggi. Pada reaksi
hidrotemal selama 48 jam, puncak-puncak
zeolit P hilang dan digantikan dengan
munculnya puncak-puncak khabasit. Hal ini
menunjukkan bahwa pada reaksi hidrotermal
selama 48 jam terjadi perubahan struktur dari
zeolit P menjadi khabasit. Penambahan waktu
reaksi hidrotermal sesudah pembentukan zeolit
P secara optimum mengakibatkan terjadinya
transformasi struktur menjadi bentuk yang
secara termodinamik lebih stabil.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
V. Daftar Pustaka
Akbar, F., (1996), Sintesis Zeolit 4A dari Abu
Layang Batubara, Thesis Program Pasca
Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Augustin, R. L., (1996), Heterogenous Catalysis
for The Synthetic Chemistry, Monceh Decker
Inc., United States. Bell, R. G., (2001), What
are zeolites?,http://www.bza.org/zeolites.html.
Budhyantoro, A., (2005), Konversi Abu Layang
Batubara sebagai Material Pengemban Logam
Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan
Terhadap Panas, Jurnal ILMU DASAR, Vol. 6
No. 1, hal. 24-32. Baerlocher, Ch., Meier, W. M.,
Olson, D. H., (2001), Atlas of Zeolite
Framework Types, 5th Revised Edition,
Elsevier. Bonaccorsi, L., dan Proverbio, E.,
(2004), Hydrothermal Synthesis of Zeolite LTA
by Microwave Irradiation, Mat Res Innovat,
Vol. 8, No. 1, hal. 53-57. Chang, H. L. dan Shih,
W. H., (2000), Synthesis of Zeolites A and X
from Fly Ashes and Their Ion-Exchange
Behavior with Cobalt Ions, Ind. Eng. Chem.
Res, Vol. 39, hal. 4185-4191. Darwanta, (1997),
Kajian Penambahan Al(OH)3 dalam Sintesis
Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara, Skripsi
program S-1, Jurusan kimia Fakultas MIPA,
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Gretchen
Davis,
M. K.
E., Hoffman,
dan Lobo,(2000),
R. F., (1992),
Fly Ash Usage in the Western United States, NM Bureau of Mines &
Reviews:
Zeolite andFebruary
Molecular
Sieves
Mineral
Resources,
2000,
http://www.wrashg.org. Jumaeri, Kusumaningtyas R. D., dan
Synthesis,
J.
Material
Science,
hal.
1-9.
Lestari, W. T. P., (2007), Preparasi danElliot,
Karakterisasi Zeolit dari Abu Layang Batubara Secara Alkali
A.
D., dan Zhang,
D., (2004),
Controlled
Hidrotermal,
Prosiding
Konggres
dan Simposium Nasional Kedua MKICS 2007, hal. 1-7. Kovo, A.
Release
ZeoliteM.
Fertilisers:
A Production
Value Addedand Characterisation of Zeolite from Ahako Clay in Kogi State,
S. dan Edoga,
O., (2005),
Product Produced
from
Fly Ash.Journal
hal. 1-32.
Gates, and Technologies, Issue 7, hal. 31-40. Las, T, Dr.,
Nigeria,
Leonardo
Electronic
of Practices
B. C, (1992),
Catalytic
Chemistry,
10 th Limbah
edition, Industri dan Radioaktif, PTLR BATAN, hal. 1-8. Mimura,
(2006),
Potensi
Zeolit untuk
Mengolah
John
Wiley &
Inc.,
York. Y., (2001), Alkali Hidrothermal Synthesis of Zeolites from Coal Fly
H., Yokota,
K.,Sons
Akiba,
K.,New
Onodera,
Ash and Their Uptake Properties of Cesium Ion, Journal of Nuclear Science and Technology, Vol.38,
No.9, hal. 766-772. Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A., Pereira, C. F., Jurkovicova, M., J.,
(2001), Potential Environmental Applications of Pure Zeolitic Material Synthesized from Fly Ash,
Journal of Environmental Engineering, hal. 994-1002. Murayama , N., Yamamoto, H., Shibata, J., (2002),
Mechanism of Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Alkali Hydrothermal Reaction, International
Journal of Mineral Processing, Elsevier, Vol. 64., hal. 1-17. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N.
(2004), Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of
Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564. Querol, X., Umana, J. C., Plana, F., Alastuey, A., Soler, A. L.,
Medinaceli, A., Valero, A., Domingo, M. J., Rojo, E. G. (1999), Synthesis of Zeolites from Fly Ash in a
Pilot Plant Scale. Examples of Potential Environmental Applications, International Ash Utilization
Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucky, Paper 12. Querol, X., Moreno,
N., Umana, J. C., Juan, R., Hernandez, S., Pereira, C. F., Ayora, C., Janssen, M., Martinez, J. G., Solano,
A. L., Amoros, D. C., (2002), Application of zeolitic material synthesised from fly ash to the
decontamination of waste waterand flue gas, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol.
77, hal. 292-298. Ralayu, S. S., Udhoji, J. S., Meshram, S. U., Naidu, R. R., dan Devotta, S. (2005),
Estimation of Crystallinity in Fly Ash Based Zeolite A Using XRD and IR Spectroscopy, Current
Science, Vol. 89, No. 12, hal. 2147-2151. Sanhueza, V., Kelm, U., dan Cid, R. (1999), Synthesis of
Molecular Sieve from Chilean Kaolinites: 1. Synthesis of NaA Type Zeolites, Journal of Chemical
Technology and Biotechnology, Vol. 74, hal. 358-363. Scott, J., Guang, D., Naeramitmarnsuk, K.,
Thabout, M., dan Amal, R., (2001), Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash for The Removal of Lead Ions
from Aqueous Soution, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 63-69. Sibilia,
P., (1996), Guide to Material Characterization and Chemical Analysis, 2th Edition, John Wiley-VCH,
New York. Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State Chemistry: An Introduction, 1st edition, Chapman
& Hall University and Proffesional Division, London.
properties of the zeolite products, Journal of Geochemical Exploration, Vol. 62, hal. 305309. Sutarno,
Ariyanto, A., dan Budhyantoro, A., (2004), Sintesis Faujasite Dari Abu Layang Batubara : Pengaruh
Refluks Dan Penggerusan Abu Layang Batubara terhadap Kristalinitas Faujasite Jurnal Matematika dan
Sains, Vol. 9, No. 3, hal 285-290. The Fly Ash Resources Center, (2000), February 2000,
http://www.Fly Ash Resources Center.org. Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan
Nishiyama, T. (2004), The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from
Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis,
American Mineralogist, Volume 89, hal. 1694-1700.
Zeng, R., Umana, J. C., Querol, X., Soler, A. L., Plana, F., Zhuang, X., (2002), Zeolite synthesis from a
high SiAl fly ash from East China, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal.
267-273.
Abstrak
Fly ash batubara telah digunakan untuk mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal.
Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3 M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu
awal 180oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan
96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil
sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD).
Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi
I.
Pendahuluan
Pembangkit listrik tenaga uap yang
menggunakan batu bara sebagai bahan
bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan
limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan
abu dasar (bottom ash) yang cukup besar
jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar
80-90 % dari total abu seluruhnya. PLTU
Paiton menghasilkan fly ash 1 juta ton per
tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash
merupakan masalah yang tidak asing lagi
dihadapi oleh banyak negara di dunia yang
menggunakan batu bara sebagai sumber
energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila
tidak dimanfaatkan maka membutuhkan
tempat
yang
cukup
luas
untuk
menampungnya. Di Indonesia jumlah
pemakaian fly ash batu bara untuk berbagai
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 1
Metoda Penelitian
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 2
20.000
40.000
60.000
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 3
Setelah 96 jam
Setelah 48 jam
Setelah 24 jam
Setelah 6 jam
Setelah 2,5 jam
20.000
40.000
60.000
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 4
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 5
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 6
ABSTRAK
Karakterisasi Adsorpsi Kitosan Terimpregnasi EDTA Terhadap Larutan Krom
(Tokok Adiarto*, A. Budi Prasetyo*, Nora Novianti**, Candra L**)
* Jurusan Kimia FMIPA Unair
** Jurusan Teknik Kimia Ubaya
Dilakukan sintesis terhadap kitosan dari limbah kulit udang melalui tahap-tahap: Deproteinasi,
demineralisasi, depigmentasi, diperoleh kitim. Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan
dengan proses deasetilasi menggunakan NaOH 50 %. Uji kelarutan asam asetat diperoleh kitin
tidak larut dan kitosan larut. Menggunakan FTIR diperoleh derajat deasetilasi (DD) kitosan
80,74%. Adsorpsi kitosan pada larutan krom 10 ppm diperoleh % removal 48,03 %. Impregnasi
menggunakan Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) meningkatkan kemampuan adsorpsi kitosan
menjadi 95,23 %. Persamaan adsorpsi kitosam sebelum impregnasi mengikuti persamaan
langmuir, sedangkan setelah impregnasi mengikuti persamaan Freundlich.
Kata Kunci : Kitosan, Kitin, Impregnasi, Adsorpsi
384
385
Abstrak
Telah dibuat dua macam adsorben kitosan dan kitosan untuk adsorpsi ion logam
magnesium(II). Beberapa parameter adsorpsi seperti pH optimum, laju adsorpsi dan
kapasitas adsorpsi ion magnesium(II) dipelajari.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
adsorpsi ion logam magnesium(II) pada kitosan dan kitosan bead mempunyai pH
optimum yang sama. Laju adsorpsi Magnesium(II) pada kitosan bead secara signifikan
lebih cepat disbanding pada kitosan.Proses swelling meningkatkan kapasitas adsorpsi
magnesium(II) .
Keyword : chitosan, swelling, magnesium(II)
Pendahuluan
Kitosan merupakan polisakarida yang dihasilkan dari deasetilasi kitin,
sedangkan kitin dapat diisolasi dari serangga dan jamur, kerangka dan cangkang
hewan golongan Artropoda, Molusca, Nematoda, dan Crustacea. Kitosan banyak
digunakan karena disamping murah dan mudah cara pembuatannya serta tidak beracun
.Telah banyak penelitian yang memanfaatkan sifat kitosan baik sebagai agen pengkelat
logam berat maupun sebagai bahan penghambat kerja mikroorganisme sehingga
memungkinkan kitosan juga berfungsi sebagai
potensi kitosan sebagai bahan yang multiguna, tetapi kemampuan sebagai adsorben
perlu ditingkatkan sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki sifat kitosan
dengan cara melakukan modifikasi secara kimia. Modifikasi dilakukan dengan cara
melakukan penggelembungan (swelling) pada kitosan serbuk sehingga terbentuk
kitosan bead. Modifikasi dilakukan untuk memperluas ukuran pori (proses swelling),
yang diikuti dengan proses crosslink pada rantai kitosan misalnya dengan aldehid,
menghasilkan kitosan yang tahan pada pH < 4 dan kapasitas adsorpsinya terhadap
logam berat meningkat. Proses swelling yang dikombinasikan dengan crosslink pada
kitosan mempengaruhi sifat fisik, mekanik dan ketahanan suhu dari kitosan (Juang,
1997).
386
Metode Penelitian
Bahan Kimia
Bahan bahan kimia yang diperoleh di pasaran komersial dengan kemurnian p.a antara
lain : NaOH, HCl, , MgCl 2, asam asetat, air bidestilasi bebas ion.
Alat
Seperangkat alat refluks, seperangkat alat untuk analisa Kjeldhal IR merk Shimadzu
FTIR 8010PC, AAS merk Perkin Elmer , pH-meter merk Orion model 710A, shaker,
sentrifus merk Fischer scientific dengan kecepatan maksimum 3500 RPM.
Prosedur Penelitian
Preparasi dan karakterisasi kitosan bead
Kitosan bead dipreparasi dengan cara kitosan dilarutkan dalam asam asetat
kemudian gel yang terbentuk disemprotkan dalam larutan NaOH . Kitosan bead yang
terbentuk selanjutnya dicuci dengan air demineral sampai netral. Kitosan bead yang
dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi
dengan IR,
penentuan % Deasetilasi dan % Nitrogen, SEM untuk melihat bentuk permukaan kristal
kitosan bead sebelum mengikat enzim dan dilakukan pula analisa surface area.
Adsorpsi Mg(II) pada kitosan
Sebanyak 100 mg kitosan diinteraksikan selama 60 menit dengan 10 ml larutan logam
Mg(II) 100mg/L pH larutan dibuat bervariasi 4-8 dengan bufer fosfat. Setelah interaksi
kemudian disaring dan fitrat yang diperoleh diukur dengan menggunakan
spektrofotometer serapan atom Hitachi Z-8000 . Pengerjaan yang sama dilakukan untuk
penentuan konsentrasi kesetimbangan dan waktu kesetimbangan.
kitosan
80.0
kitosan bead
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
7.5
8.0
8.5
9.0
9.5
pH
Pada gambar 1 terlihat bahwa kitosan bead mampu mengadospsi Mg (II) lebih
banyak disbanding kitosan, sedangkan pH optimum dari proses adsorpsi kation Mg(II)
baik oleh kitosan maupun kitosan bead adalah sama yaitu pada pH 8.
Hasil adsorpsi ion logam Mg(II) oleh kitosan dan kitosan bead pada variasi
konsentrasi ditampilkan pada Gambar 2, secara umum menunjukkan adsorpsi ion
logam Mg(II) pada kitosan memiliki kecenderungan mengalami peningkatan jumlah
logam teradsorpsi hingga konsentrasi awal 300 mg/L. Pada konsentrasi awal 600 mg/L
kenaikan konsentrasi logam tidak disertai kenaikan adsorpsi ion logam Mg(II) secara
signifikan. Pada konsentrasi 900 mg/L diperkirakan situs aktif kitosan telah jenuh oleh
ion logam dan kitosan telah mencapai kapasitas adsorpsinya. Dari data yang diperoleh
dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ion logam Mg(II) pada kitosan mengikuti pola
adsorpsi isoterm Langmuir. Menurut teori isoterm Langmuir adsorpsi diperkirakan
terjadi pada lapisan tunggal. Pada saat adsorbat memenuhi lapisan, molekul yang
terserap tak akan melebihi jumlah situs aktif pada permukaan adsorben .Perhitungan
kapasitas adsorpsi, Konstanta kesetimbangan adsorpsi Mg(II) didapatkan kapasitas
adsorpsi (b) sebesar 3,4673.10-4 mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi sebesar
2853., sedangkan kapasitas adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) adalah 10, 51.10-4
mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi 10.453.2 Dari data tersebut menunjukkan
bahwa kitosan bead mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi kitosan sampai 3 kali, hal
tersebut terjadi karena proses swelling meningkatkan ukran pori kitosan sehingga
kation Mg(II) mudah teradsorpsi pada kitosan bead.
388
kitosan
1200
kit-bead
1000
800
600
400
200
0
0
200
400
30
60
90
120
w aktu (menit)
389
150
20
40
60
80
100
120
140
160
waktu(menit)
390
Tabel 1. Pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II)
391
No.
Gugus
Kitosan
fungsi
interaksi
sebelum Kitosan
setelah Besar
interaksi
(cm-1)
%T
Pergeseran
( cm-1) %T
1.
-NH2
1624,0
23,097
1654,8
16,51
30,8
2.
-OH
3448,5
14,104
3436,9
5,845
11,6
392
Tabel 2. Pergeseran gugus fungsi kitosan bead sebelum dan sesudah mengikat Mg(II)
No. Gugus Kitosan
Bead Kitosan
(cm-1)
%T
interaksi
( cm-1)
Pergeseran
%T
1.
-NH2
1627,8
46,191
1651,8
20,342
23,2
2.
-OH
3448,5
24,265
3426,3
10,319
23,2
Data pada tabel 1 dan 2 serta gambar 5, 6, 7 dan 8 menunjukkkan bahwa terjadi
pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II) demikian pula
padakitosan bead juga terjadi pergeseran gugus fungsi. Dari kedua tabel secara umum
dapat terlihat bahwa ada kecenderungan bahwa Mg(II) lebih mudah terikat pada gugus
fungsi NH2 dibanding pada OH. Dan pergeseran lebih banyak terjadi pada kitosan bead
393
dibanding pada kitosan, hal tersebut mengindikasikan bahwa Mg(II) yang terikat pada
kitosan bead lebih banyak dibanding pada kitosan.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. pH optimum proses adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kitosan bead adalah sama
2. Kitosan bead mempunyai kapasitas adsorpsi Mg(II) yang lebih besar dibanding
kitosan
3. Laju adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) lebih besar dibanding kitosan
4. Mg(II) cenderung terikat pada gugus amina baik pada kitosan maupun pada
kitosan bead.
Daftar Pustaka
Adamson, A.W., 1990., Physical Chemistry of Surface , 4nd ed. John Wiley and Sons,
New York.
Indra dan Syafsir., 1993., Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya
Sebagai Pendukung Padat, Jurusan Kimia FMIPA ITS , Surabaya
Juang, R.S., Tseng, R.L., Wu, F.C., Lee, S.H., 1997, Adsorption Behavior of Reactive
Dyes from Aqueous Streams onto chitosan, J. Chem. Technol. Biotechnol., 70,
391-399.
Lesbani, A., 2001, Keterlibatan Mekanisme Pertukaran Kation dan Pembentukan
Kompleks dalam Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada adsorben Cangkang
Kepiting Laut (Portunus pelagicus linn), Tesis S2-Kimia, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
394