Al Farabi
Al Farabi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelahiran ilmu filsafat pada masa silam yang telah dipopulerkan oleh beberapa tokoh filsafat
Yunani kuno yakni diantaranya Heraklitos, Plato, Aristoteles dan sebagainya telah menjadi sebab
lahirnya para filsuf muslim, diantaranya adalah al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lainlain. Mereka adalah orang-orang terbesar dalam dunia kefilsafatan Islam. Meskipun diantara mereka
banyak terjadi perbedaan-perbedaan dalam berargumen, namun pada hakikatnya tujuan mereka tetap
sama yakni mencari dan menemukan kebenaran dengan akal yang berpedomankan pada al-Quran
dan as-Sunnah. Namun di sini pengkajian hanya difokuskan pada sejarah pemikiran salah seorang
filsuf muslim besar yang terkenal dengan sebutan Guru Besar Kedua setelah Aristoteles, beliau
adalah Abu Naser atau al-Farabi.
Beliau adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreatifitas,
kebebasan berpikir, dan tingkat sostifikasi yang lebih tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai
seorang filosof Muslim dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan
tekun. Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles.
Ia termasyhur karena telah memperkenalkan doktrin Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles.
Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan pemikir Latin ia dikenal sebagai
Abu Nashr atau Abu Naser.
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui riwayat hidup al-Farabi
Untuk mengetahui karya-karya yang berhasil beliau kumpulkan semasa hidupnya
Untuk mengetahui pemikiran metafisika dan politik al-Farabi.
BAB II PEMBAHASAN
B. Karya-karya al-Farabi
Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu
diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan
bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu
daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu atau temporal maupun dari sudut logika.
Dikatakan lebih dahulu dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa
permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir kuno dan
Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena
semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan pada mulanya lewat cara-cara yang
rasional serbelum kebenaran itu diambil oleh para nabi. Karya al-Farabi tentang logika menyangkut
bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan
panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah dan sebagian besar naskah-naskah ini belum
ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat,
fisika, matematika, dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat
berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Dianatara judul
karya al-Farabi yang terkenal adalah:
1. Maqalah fi Aghradhi ma Bada al-Thabiah
2. Ihsha al-Ulum
3. Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Saadah
5. Uyun al-Masail
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami bain Ray al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Taliqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat.
C. Pemikiran-Pemikiran al-Farabi
Secara garis besar pemikiran al-Farabi dapat dibagi dalam beberapa tema, yaitu: logika, fisika,
metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan yang berisi sanggahan terhadap pandangan
filosof tertentu. Namun disini hanya akan dikupas dua pemikiran besar yakni metafisika dan politik
(system pemerintahan) yang dibahas khusus dalam bukunya yang berjudul Madinah al-Fadhilah.
Buku tersebut diterbitkan pertama kali di Leiden, Belanda, tahun 1895 M, kemudian baru di
Kairo, Mesir, tahun 1906 M. Buku ini terdiri atas dua bagian besar, (1) membahas persoalan
metafisika dan (2) persoalan sosial politik. Pembahasan tentang metafisika terdiri atas 15 sub-bab.
Antara lain, membahas tentang Tuhan, malaikat, penghuni-penghuni langit, alam indera, binatang
dan lainnya. Disini juga membahas cara penurunan (emanasi atau faidl) dari Tuhan Yang Maha
Ghaib sampai terwujudnya alam indera. Juga membahas tentang akal (rasio), macam-macamnya dan
tingkatannya.
Bagian kedua, berbicara tentang politik, terdiri atas 12 sub- bahasan. Antara lain, membahas
kehendak sosial dari manusia, persyaratan sebagai seorang pemimpin, pemimpin negara utama,
sistem negara-negara non-utama, industri dan kebahagiaan dan lainnya.
dirinya = Bintang-bintang
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal .Tetapi dari
Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat
unsur api, udara, air dan tanah. Sepuluh lingkaran geosentris yang disusun oleh al-Farabi
berdasarkan sistem Ptolomeus. Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Sina. Teori pengetahuan dan
juga filsafat manusia serta filsafat kenabian diturunkan dari teori emanasi ini.
Dalam risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu pengetahuan berjudul Ihsha al-Ulum,
al-Farabi memandang kosmologi sebagai cabang metafisika. Ia juga berpendapat bahwa kosmologi
mungkin diturunkan dari prinsip-prinsip sains partikular. Al-Farabi juga berpandangan bahwa
penguasaan matematika tidak dapat dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang tepat
mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual. Kemampuan al-Farabi di bidang matematika inipun
mendapatkan posisi terkemuka di kalangan filosof Islam.
Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat tidak ada
pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat perbedaan antara akal dan wahyu maka al-
Farabi memilih hasil akal sedangkan al-Kindi memilih wahyu. Menurut pendapatnya kebenaran
yang dibawa wahyu dan kebenaran hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya
berbeda. Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan antara
agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama, pengadaan keharmonisan antara
filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian
tafsir rasional terhadap ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi terhadap
pemikiran Yunani.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide
Plato, tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan tentang sebab pertama alam
semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk
Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud
Pertama. Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan. Tentang Tuhan misalnya
al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak
menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi.
Disini ia menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti
pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis,
dan dari sudut pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bidah).
Al-Farabi membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan konsep yang disertai
keputusan pikiran (judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila didahului
oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan
panjang, lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada setiap konsep,
melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan
adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin. Kesemuanya
ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya, karena konsep-konsep tersebut adalah
pengertian-pengertian yang jelas dan benar dan terdapat dalam pikiran.
Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada yang tidak bisa diketahui,
sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu
diperlukan terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti
baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal, seperti halnya dengan
hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian. Kesemuanya ini adalah
pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena
tidak ada sesuatu yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas
dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar
aksioma.
murninya. Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat terkena oleh
perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah barang sesuatu itu memang
sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir demikian berarti kita akan sampai pada pendapat
bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya,
artinya yang tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai nisbi.
Dasar piramida falsafah yang diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini segera dilanjutkan
pembangunannya oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru Kedua ini mempersiapkan kondisi
dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali lagi serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.
Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi
sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan: Kayu sebagai materi mengandung
banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru
terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja
dan sebagainya. Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir
pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa
suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup
daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil. Jadi
argumentasi itu penting sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti
yang banyak terjadi di kalangan umat Islam.
Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi, yaitu:
Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reasonable) dan utama dalam bahasa
(percakapan) sehari-hari dan yang disebut oleh Aristoteles phironesis (al-taaqqul).
Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau larangan tindakantindakan umum tertentu dan yang sebagian identik dengan pikiran sehat (common sense- indria
bersama).
Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriorasebagai kecakapan
memahami prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara instingtif dan intuitif.
Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkinkan kita dapat mengambil
keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar
dan salah.
Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang oleh Aristoteles, seorang
pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya terutama dalam soal logika, dan juga metafisika.
Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak berkesinambungan dan tidak juga
konstan, ini tidaklah disebabkan oleh adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh
kenyataan bahwa materi, dimana dia harus beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau
kecendrungan untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena
beberapa rintangan atau yang lainnya.
Fitrah Sosial.
Sebelum membahas persoalan politik, dalam al-Madinah al-Fadilah, pertama kali, al-Farabi
mendiskusikan masalah psikologi manusia. Menurutnya, setiap manusia mempunyai fitrah sosial,
fitrah untuk berhubungan dan hidup bersama orang lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang
disebut masyarakat dan negara. Dalam kaitannya dengan kemampuan mengatur dan mengapai
keutamaan, al-Farabi membagi masyarakat dalam dua bagian; masyarakat sempurna (al-mujtama`
al-kamil) dan masyarakat kurang sempurna (al-mujtama` ghair al-kamil). Masyarakat sempurna
adalah masyarakat yang mampu mengatur dan membawa dirinya sendiri untuk mengapai kebaikan
tertinggi, sedang masyarakat kurang sempurna adalah masyarakat yang tidak bisa mengatur dan
membawa dirinya pada keutamaan tertinggi. Kebaikan dan keutamaan tertinggi adalah kebahagiaan
dan kebahagiaan yang dimaksud adalah tercapainya kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa dan
pikiran.
Selanjutnya, dari sisi cakupan dan luas teritorial, al-Farabi membagi negara dalam tiga bagian;
besar, sedang dan kecil. (1) Negara besar adalah negara yang berdaulat dan luas, membawahi
negara-negara bagian, (2) negara sedang adalah negara bagian, (3) negara kecil adalah pemerintahan
daerah atau daerah otonom. Selanjutnya, al-Farabi membagi masyarakat dalam 4 bagian. (1)
Masyarakat desa (ahl al-qaryah), (2) masyarakat dusun (ahl al-mahlah), (3) masyarakat yang hidup
bersama dalam satu jalur, jalan atau gang (ahl al-sikkah), dan (4) keluarga (usrah), dan keluarga
merupakan bagian terkecil dari masyarakat. Menurut al-Farabi, diantara tiga macam negara diatas:
besar, sedang dan kecil, hanya negara yang diatur dengan sistem pemerintahan utama (fadilah) yang
mampu mengantarkan masyarakatnya pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Sistem pemerintahan
utama ini, dalam mengantarkan masyarakatnya mencapai kebahagiaan adalah sama seperti
kerjasama anggota tubuh dalam menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya.
Dari sistem pemerintahan dan kemungkinan pencapaian kebaikan (kebahagiaan), al-Farabi
membagi negara dalam empat kategori; negara jahiliyah, negara fasik, negara mubadilah, dan negara
sesat (dlalah). (1) Pemerintahan jahiliyah adalah rezim yang tidak tahu dan tidak mampu
mengarahkan rakyatnya pada kebahagiaan; (2) pemerintahan fasik adalah rezim yang
sebenarnya tahu dan mampu membawa rakyatnya kepada kebahagiaan tetapi mereka tidak
mengakui dan tidak melakukannya melainkan justru mempraktekkan permainan- permainan politik
kotor yang akhirnya menjerumuskan mereka pada martabat rendah; (3) pemerintahan mubaddalah
adalah rezim yang secara zahir melakukan tindakan dan kebijakan yang membantu rakyat,
padahal yang terjadi sesungguhnya justru sangat merugikan rakyat. Semua dilakukan semata demi
menutupi kecurangan dan kebobrokan aparat; (4) Pemerintahan sesat adalah rezim yang tidak
membawa rakyat pada kedamaian melainkan justru membawa mereka pada pertentangan,
disintegrasi dan kehancuran.
Al-Farabi tidak memberi uraian lebih rinci tentang tiga sistem pemerintahan yang terakhir, tetapi
ia banyak memberikan penjelasan tentang sistem pemerintahan jahiliyah. Menurutnya, rezim
jahiliyah setidaknya terbagi atas empat golongan; (1) sistem timokrasi, rezim yang mengutamakan
kehormatan atau kewibawaan (karamah), (2) sistem plutokrasi, rezim yang mengutamakan
kelompok sedikit, dimana kekuasaan atau kepemimpinan dipegang orang tertentu dengan cara
didasarkan atas perhitungan besar kekayaan, konglomeratisme (baddalah), (3) sistem tirani, rezim
yang mengutamakan pemimpin seorang tiran, militerisme (taghallib), (4) sistem demokrasi, rezim
yang mengutamakan perwakilan orang-orang banyak (jama`iyah).
Diantara empat sistem pemerintahan yang tidak baik (jahiliyah) di atas, sistem demokrasi diakui
al-Farabi sebagai sistem yang paling baik. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik
diantara rezim-rezim yang jelek. Ia merupakan negara yang paling didambakan dan dianggap paling
bahagia. Negara ini tampak seperti sulaman garmen yang penuh corak warna. Setiap orang
menyukainya dan ingin tinggal di dalamnya karena tidak ada satupun keinginan atau potensi baik
maupun jahat yang tidak tertampung dan tidak terkembangkan didalamnya. Dalam sistem
demokrasi ini ada dua prinsip yang dianut, yaitu:
a. Prinsip kebebasan (liberty), sehingga rezim demokratis disebut juga rezim bebas atau
kesatuan orang-orang bebas. Dalam negara demokrasi ini, setiap individu berhak dan bebas
melakukan apa yang dikehendaki dan disukai, dan tidak seorangpun berhak atas otoritas kecuali
berbuat untuk memanfaatkan kebebasannya.
b. Prinsip kesejajaran (equality). Setiap orang dalam rezim demokrasi adalah sama dan sejajar
dihadapan hukum. Tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat jelata, bahkan rakyatlah sumber
dan pemegang otoritas kekuasaan yang sebenarnya, sedang pemerintah hanya menjalankan tugasnya
sesuai yang dikehendaki rakyat.
Dengan dua prinsip ini, terutama kebebasan, sistem demokrasi tidak hanya mendorong lahirnya
ilmu dan peradaban tinggi tetapi bersamaan itu juga membuka peluang bagi berkembangnya
kekuatan-kekuatan jahat, minimal yang secara moral bertentangan dan menghambat tercapainya
kebahagiaan masyarakat, karena tidak ada otoritas atau rasa tanggung jawab untuk mengendalikan
nafsu jahat (amoral) dan harapan-harapan warga negara. Inilah ketidak-sempurnaan sistem
demokrasi. Karena itu, meski demokrasi diakui sebagai negara paling besar, paling berperadaban,
paling produktif dan paling sejahtera, ia juga merupakan negara yang paling banyak mengandung
kejahatan dan keburukan.
Berdasarkan kenyataan atas ketidaksempurnaan sistem demokratis di atas, al-Farabi mengajukan
gagasannya tentang sistem pemerintahan negara utama (al-Madinah al-Fadilah).
Karena itu, negara utama (madinah al-fadilah) tidak bisa dipimpin sembarang orang melainkan oleh
mereka yang benar- benar memenuhi persyaratan tertentu (dustur). Pemimpin utama (al-rais al-
awwal) harus memenuhi persyaratan yang bersifat fitrah (bawaan) dan pengayaan (muktasab).
Persyaratan yang bersifat bawaan (fitrah), antara lain:
Dari sisi hati atau jiwa, mempunyai kelebihan dalam soal kesalehan dan ketaqwaan, sebagai
representasi manusia sempurna yang telah mencapai tahap akal aktif (al-`aql al-fa`al) dalam
menangkap dan menterjemahkan isyarat-isyarat ilahiyah. Disamping itu, juga terbukti mempunyai
akhlak atau moral yang baik dan terpuji. Dari segi kecerdasan, mempunyai keunggulan dalam hal
representasi imajinatif.
Dari segi politik, mempunyai kebijaksanaan yang sempurna dalam menjalankan policy dan
menangani persoalan- persoalan yang timbul. Juga mempunyai keunggulan persuasif serta sifat
tegas dan lugas dalam menghadapi penyelewengan dan ketidakadilan.
Dari sisi menejerial, mempunyai keunggulan dalam retorika, sehingga bisa menjelaskan persoalanpersoalan penting dengan baik dan mudah, pada masyarakat.
Selanjutnya, jika kaum saleh, pemikir dan profesional juga tidak bisa menempati posisi strategis
dalam pemerintahan, maka sistem pemerintahan demokrasi adalah alternatif terbaik. Sebab, dalam
sistem demokrasi yang bebas ini, kaum saleh dan pemikir akan mempunyai banyak kesempatan
untuk melakukan kegiatan membimbing dan memberi petunjuk pada masyarakat lewat pendidikan,
pemikiran dan lainnya, sehingga bisa tercapai kebahagiaan bersama. Dengan demikian, mereka
itulah pemimpin-pemimpin sejati, meski tanpa mahkota dan pengawal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 1995. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Abidin, Ahmad Zainal. 1968. Negara Utama (Madinatul Fadilah). Jakarta: PT.Kinta
http://www.ditpertais.net/pemikiran_metafisika_al-Farabi/nurisman-01.pdf
http://www.muslimphilosophy.com/al-Farabi/H021.htm