Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN IR.

SOEKARNO DAN MUHAMMAD NATSIR


TERKAIT AGAMA DAN NEGARA

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Perkuliahan
Citizenship

Oleh:
Amal Fathullah Nugroho
Fikri Abdulloh Ahmad
Muhammad Abrar Iqbal
Muhammad Hammim Addini

PROGRAM MATRIKULASI
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM TAZKIA
BOGOR
2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas


segala ridha dan kuasa-Nya telah memberikan nikmat hidup yang luar biasa sehingga
mengizinkan kami menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berjudul Pemikiran Ir. Soekarno
dan Muhammad Natsir terkait Agama dan Negara. Salawat serta salam kita haturkan kepada
suri tauladan kita Rasulullah Muhammad SAW.
Agama dan negara merupakan hal yang sangat berkaitan erat diantara keduanya.
Dimana pada setiap Negara, pasti ada agama yang dipercayai atau dipeluk oleh para
warganya masing-masing. Agama harus menjamin keamanan pada warganya dalam hak
beragama tanpa ada gangguan sedikitpun dan darimanapun. Maka dari itu, agama dan negara
merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Apakah diantara aturan agama dan Negara bisa
menjadi topang dalam bernegara itu sendiri atau apakah harus terjadi dikotomi diantara
keduanya, disini kami mencoba meneliti dan membahas dari sudut pandang tokoh Indonesia
yakni Ir. Soekarno dan Muhammad Natsir.
Tingginya nilai social yang dijunjung oleh setiap agama semoga semakin membuka
wawasan kita terkait beragama dan bernegara. Bagaimanapun kedua hal tersebut suatu hal
yang sangat berhubungan dengan kehidupan kita di dunia. Kita tinggal dengan menempati
wilayah negara, namun secara spiritual kita butuh yang namanya agama atau keyakinan
sendiri kepada Sang Maha Pencipta seluruh alam.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Namun, kami berharap tulisan kami yang dimuat dalam bentuk makalah ini dapat memberi
manfaat untuk para pembaca, khususnya kami sebagai penulis sendiri terutama dalam hal
mempelajari ilmu-ilmu agama dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Bogor, 12 Juni 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI
halaman
Kata Pengantar

Daftar Isi

ii

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

BAB II PEMBAHASAN

I. Hal yang Dipermasalahkan


II. Teori dan Fakta Penelitian
3
A. Teori Tentang Hubungan Antara Agama dan Negara
B. Fakta Penelitian: Polemik Antara Soekarno dan M. Natsir tentang
Hubungan Antara Agama dan Negara
III. Tinjauan atau Ulasan Penelitian
BAB III PENUTUP
I. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

2
3
4
7
10

10
11

BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Negara merupakan satu kesatuan wilayah yang terdiri atas penduduk, pemerintahan,
dan pengakuan negara lain. Juga dalam negara, terjadi aktifitas yang berkaitan dengan
seluruh kehidupan manusia dalam menjalankan kehidupan dunia. Tak terkecuali dalam
negara itu sendiri, terdapat beberapa keyakinan yang dipeluk oleh warganya yang diatur
dalam konstitusi masing-masing negara. Yang dimana negara melalui perangkatnya harus
menjamin keamanan warganya dalam beragama. Namun kedua hal itu sangatlah
berkaitan erat sehingga menimbulkan suatu polemic yang terjadi pada saat ini. Polemic
yang dimaksud adalah ketika hukum negara bercampur dengan hukum agama masih
banyak perdebatan yang melatarbelakangi hal tersebut. Sehingga berangkat dari hal itu
lah kami mencoba mengupas sedikit demi sedikit perbedaan pemikiran Ir. Soekarno dan
Muhammad Natsir terkait agama dan negara.

BAB II
PEMBAHASAN
I.

Hal Yang Dipermasalahkan

Perdebatan tentang hubungan antara agama dan negara merupakan pemasalahan lama
yang dipertentangkan dikalangan para pemikir, yang hingga saat ini belum dapat
terselesaikan, baik dikalangan pemikir di Eropa Barat maupun di Timur. Pertentangan ini
bermuara pada kenyataan sejarah pada masa abad pertengahan yaitu pada kurun waktu abad
ke 7 Masehi hingga abad ke 15 Masehi di Eropa Barat, yaitu masa kekuasaan para pendeta
gereja menguasai seluruh aktivitas kehidupan masyarakat, zaman ini disebut dengan zaman
Patristik Romawi yaitu zaman kekuasaan para bapak-bapak gereja.
Pada masa patristik ditandai dengan adanya dominasi greja di Roma, dimana kekuasaan
agama dan kekuasaan negara berada di tangan Paus. Gereja Roma pada waktu itu tidak hanya
berfungsi sebagai institusi agama, tetapi juga berfungsi sebagai institusi negara. Keadaan ini
mengakibatkan terjadi banyak penyelewengan agama demi kepentingan politik,
penyelewengan tersebut seperti penjualan surat pengampunan dosa, penarikan pajak yang
bersifat memaksa, menekan ilmuwan untuk tidak melakukan penelitian yang bertentangan
dengan doktrin gereja.
Dengan adanya peran gereja yang terlalu mendominasi, mengakibatkan sering terjadi
kepentingan politik dilegitimasi oleh doktrin agama, akibatnya terjadi banyak penindasan
yang dilakukan oleh para penguasa politik yang berselimut dibalik agama.
Demikian permasalah yang terjadi dalam kenyataan sejarah di Eropa pada waktu itu.
Kenyataan tersebut kemudian melahirkan kesadaran para ilmuwan Barat untuk melakukan
protes sebagai koreksi terhadap sistem kekuasaan yang berlaku di Barat. Protes tersebuit
disampaikan dalam berbagai cara, namun yang memilki pengaruh adalah bentuk protes yang
disampaikan dalam publikasi ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Martin Luther, Zwingli, dan
kawan-kawannya.
Luther sebagai seorang khatolik yang taat, menyadari betul terhadap berbagai
penyelewengan ynag dilakukan oleh para pendeta geareja dengan memalingkan agama untuk
kepentingan pribadi mereka, sehingga Luther melakukan protes keras terhadap kekuasaan
gereja dengan menuntut adanya kebebasan, kepemilikian, keadilan, dan kebersamaan. Dari
tuntutan inilah kemudian melahirkan renaisance dan reformasi di Barat.
Di Indonesia persoalan hubungan antara agama dan negara menjadi polemik yang tetap
menarik, polemik tersebut sebenarnya tidak didasarkan pada kenyataan empirik atau tidak
punya dasar sosiologis, tetapi polemik tersebut lebih hanya diakibatkan oleh adanya
kekwatiran dari kalangan intelektual dan para tokoh pemikir terhadap adanya penyelewengan
agama untuk kepentingan politik.
Soekarno dan Natsir merupakan rerefresantasi dari kelompok nasionalis Islam dan
nasionalis tulen, mereka merupakan figur yang memiliki pandangan yang berbeda tentang
hubungan antara agama dan negara, namum perbedaan tersebut tidaklah bersifat prinsifal,
melainkan karena adanya perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama dan kenyataan sosial
yang terjadi disekitar mereka.
Menurut pandangan Soekarno bahwa agama dan negara harus dipisahkan eksistensinya,
karena untuk memberikan kebebasan pada masing-masing institusi tidak dapat dihindari
bahwa keduanya harus dipisahkan. Pandangan tersebut didasarkan pada bahwa tujuan politik
adalah kekuasaan negara, sedangkan tujuan agama adalah kebahagian hidup di dunia dan di
akhkirat. Sementara Natsir memiliki pandangan yang berbeda dengan Sukarno, Natsir
menganggap bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan eksistensinya, karena agama
2

sendiri didalamnya memerintahkan untuk hidup bernegara demi mewujudkan kebahagian


seluruh umat manusia.
Berdasarkan uraian di muka, bahwa hubungan antara agama dan negara merupakan
persoalan yang perlu terus kita kaji ulang, dan menjadi sangat menarik untuk ditelaah secara
analitis dengan pendekatan historis. Dari hal tersebut yang menjadi persoalan adalah,
mengapa terjadi pertentangan pandangan tentang hubungan agama dan Negara antara
Soekarno dengan M. Natsir ?
II.

Teori dan Fakta Penelitian

A. Teori Tentang Hubungan Antara Agama dan Negara


Pada tahun 1930-1940 terjadi pergeseran sistem pemerintahan di beberapa belahan dunia
Islam yang sempat mempengaruhi model perjuangan pemuda dan kaum intelektual
Indonesia. Hal ini berawal dari Persia dan Turki Muda. Jika, dalam pergeseran ini, Persia
berupaya membangun kekaisaran dengan maksud mengembalikan masa jaya kekaisaran
Persia sebelum Islam, dalam hal ini Turki Muda, lewat Kamal Ataturk, berminat mengganti
hukum Syariah dengan kode hukum Barat, setelah terlebih dulu melebur sistem Khalifah
dengan Republik Turki.
Kamal Ataturk, yang memiliki nama asli Mustafa Kamal, melakukan perubahan sistem
pemerintahan Turki dengan cara yang cukup radikal. Mula-mula pada tanggal 3 Maret 1924,
Kemal memberlakukan Undang-Undang yang berisi : menghapus sistem kekhalifahan,
menurunkan khalifah, dan mengasingkan bersama seluruh keluarganya, menghapus
kementrerian syariah (agama), dan menyatukan sistem pendidikan syariah di bawah menteri
pendidikan. Tetapi tindakan radikal Mustafa Kamal ini segera mendapat tantangan di manamana. Beberapa pendukung utama Mustafa kamal bahkan mengadakan gerakan bawah tanah
untuk menggulingkannya. Berbagai surat kabar yang digerakkan oleh para penentang
Mustafa Kamal juga dengan cepat melancarkan kampanye "anti Kamalis".
Sesungguhnya fenomena revolusi semacam ini tidak layak dijadikan parameter
pemikiran revolusi soekarno. Mungkin tentang konsep pemikiran menuju pemisahan agama
dengan negara Soekarno juga mengambil dari kasus-kasus lain.
Gagasan Soekarno tentang pemisahan antara Agama dengan Negara diinspirasikan oleh
kasus Turki Muda, dan kasus tersebut mempengaruhi kaum intelektual Indonesia. Soekarno,
mencoba merespon secara positip gerakan Turki Muda tersebut. la menampilkan gagasan
"Pemisahan Agama dengan Negara". Soekarno mengangkat tulisan berjudul "Apa Sebab
Turki Memisahkan Agama dan Negara?" Bagi Soekarno, pemisahan ajaran Islam dengan
sistem pemerintahan di Turki melalui peleburan dari sistem Khalifah menjadi Republik Turki
merupakan gagasan brilian.
Soekarno kemudian mengangkat tulisan: "Apa sebab Turki memisahkan agama dari
negara?" Soekarno menulis: "Orang mengatakan bahwa Turki sekarang anti Islam, padahal
seorang seperti Frances Wodsmal, yang telah menyelidiki sebagian itu berkata: 'Turki modern
adalah anti kolot, anti soal-soal lahir dalam hal-hal ibadat, tetapi tidak anti agama, Islam
sebagai kepercayaan person tidaklah dihapuskan, sembahyang-sembahyang di masjid
tidaklah dihapuskan dan tidak pula diberhentikan, aturan-aturan agama pun tidak
dihapuskan'. Orang mengatakan bahwa Turki ini tidak menyokong agama, karena
memisahkan agama dari sokongannya negara, padahal Halide Edib Hanoum, sebagai dulu
pernah saya setir, adalah berkata bahwa agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya
negara, supaya menjadi subur. "Kalau Islam terancam bahaya kehilangan pengaruhnya di atas
rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus oleh pemerintah, tetapi ialah justru
karena diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki tangannya dengan rantai kepada
politiknya pemerintah. Hal ini adalah satu halangan besar sekali buat kesuburan di Turki. Dan
3

bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, dimana pemerintah campur tangan di dalam
urusan agama, di situ menjadilah ia satu hilangan besar yang tak dapat disyahkan."
Bagi Soekarno, campur tangan agama dalam urusan pemerintahan mengakibatkan
kelemahan agama di satu sisi dan kemandegan otoritas pemerintahan di sisi lain, Kasus Turki
berhasil menarik pandangan Soekarno bahwa hukum-hukum agama (Islam) menjadi sesuatu
yang menyeramkan, yang dijadikan kesempatan bagi raja-raja zalim bertangan besi untuk
menghukum siapa saja yang menentang pemerintahannya. Sementara langkah-langkah
pemerintah yang dapat dipandang bijaksana dan efektif bagi sistem pemerintahan justru
sering berbenturan dengan paham-paham agama yang dianut oleh para ulama Turki
tersebut.Untuk itu Soekarno berpandangan bahwa pemisahan antara agama (Islam) dengan
negara dimaksudkan, agar supaya "Islam menjadi merdeka dan negara pun menjadi
merdeka." Dalam arti, terjadi kemandirian agama di satu sisi dan kemandirian negara di sisi
yang lain. Agar supaya Islam berjalan sendiri. "Agar supaya Islam subur dan negara pun
subur pula."
Soekarno meragukan kebangkitan sebuah pemerintahan negara, jika masalah-masalah
spiritual masih terus menjadi pengikat. Turki Muda, dalam pandangan Soekarno, adalah
sebuah bangsa yang sedang bangkit, tetapi ikatan-ikatan spiritual agama Islam, melalui para
ulama, telah menghambat bangkitnya negara tersebut.
Di samping tekanan-tekanan terhadap kemandegan kreatifitas berkreasi di bidang ilmu
dan teknologi, ikatan spiritual Islam yang dipahami oleh para ulama Turki juga membawa
akibat kemerosotan di bidang ekonomi. Untuk itu Soekarno berkeyakinan bahwa tidak ada
gunanya mempunyai suatu negara Islam kalau negara Islam itu dalam praktik kehidupan
internasional, maupun kehidupan bangsa itu sendiri selalu menjadi perbincangan orang.
Menurut Soekarno keadaan inilah yang menyebabkan Turki disebut "de zieke va Eropa,"
yaitu seorang sakit di Eropa, yang menjadi cemoohan masyarakat Internasional, khususnya
bangsa-bangsa Eropa.
Atas dasar ini semua, Turki mencoba menawarkan metode baru dalam pemerintahannya.
Soekarno tanpa ragu-ragu mengutip pernyataan Kamal Ataturk atas fenomena ini, bahwa
"Islam di Turki itu telah menjadi satu agama yang konvensional karena diikatkan kepada satu
negara yang konvensional.Satu-satunya metode untuk mengatasinya adalah memisahkan
agama dari negara.
Tampaknya pemikiran Kemal Ataturk tentang pemisahan agama dengan negara cukup
kuat mempengaruhi pemikiran Soekarno. Untuk ini Soekarno menjadi seperti sosok politikus
yang jauh dari memahami dasar-dasar ajaran Islam. Kekaguman Soekarno terhadap konsep
Kamal Ataturk berakibat pada unsur-unsur "taklid" dalam pemikirannya, satu hal yang
selama ini terus ditentangnya. Ini tentu saja sangat bertolak-belakang dengan gaya pemikiran
Soekarno sebelumnya, yang meskipun kurang didukung dengan sumber-sumber Islam secara
langsung telah menampilkan cakrawala yang cukup menggugah.
B. Fakta Penelitian: Polemik Antara Soekarno dan M. Natsir tentang Hubungan Antara
Agama dan Negara
Pemikiran tentang pemisahan antara agama dan Negara menurut pandangan Soekarno
hanya meniru secara gamblang dari peristiwa Turki, dengan tanpa mempertimbangkan lebih
jauh bahwa situasi Turki dengan negeri-negeri Islam lain di dunia masing-masing memiliki
persoalan yang berbeda. la, misalnya, mengatakan bahwa Turki telah menempuh langkah
yang hebat dan sangat berarti dalam sejarah dunia. Turki punya alasan-alasan sepanjang
pengetahuan bahwa baik di dalam urusan ekonomi, maupun di dalam urusan politik, sistem
pemerintahan Turki lama tidak bisa membawa Turki dalam kehidupan dunia yang semakin
moderen.
4

Amat disayangkan bahwa Soekarno kurang cermat memahami pokok persoalan dalam
kasus Turki. Sesungguhnya permasalahan mendasar Turki terletak pada kelemahan umat
Islam dan para ulama negara itu untuk memahami ajaran Islam secara universal dan
menyeluruh. Kenyataan ini terlihat dengan membudayanya penyalahgunaan ajaran-ajaran
agama sebagai alasan untuk meninggalkan tugas-tugas pemerintahan. Kewajiban-kewajiban
agama, seperti shalat dan puasa dijadikan alasan yang strategis untuk meninggalkan tugastugas negara, sehingga tugas-tugas kenegaraan terabaikan. Dangkalnya tingkat pemahaman
keagamaan ini mengakibatkan kemandegan intelektual. Penemuan-penemuan ilmu dan
teknologi, seperti radio dan barang-barang elektronik, dipandang sebagai barang yang haram.
Sementara hukum agama diperlakukan dengan cara yang jauh dari maksud yang sebenarnya.
Sesunguhnya cara untuk mengendalikan kekacauan beragam ini adalah dengan menggali
ajaran Islam secara cermat. Konsep ajaran Islam yang tidak bisa dilepaskan dari sistem
politik, kenegaraan, ekonomi, ilmu dan teknologi mesti ditawarkan secara jelas. Yang
menjadi tanda tanya besar adalah tentang konsep-konsep pemikiran Soekarno. Antusias
Soekarno terhadap pemikiran Islam yang nyaris menempatkannya sebagai "pembaru"
ternyata tidak mampu memberikan jalan keluar secara tepat terhadap kasus Turki. Padahal
pokok utama kasus Turki adalah perlunya membangun kembali pemikiran-pemikiran agama
dalam Islam.
Pemikiran Mohammad Natsir tentang "hubungan antara Agama dan Negara," merupakan
reaksi terhadap pemikiran Soekarno tentang "Pemisahan Agama dengan Negara"
sebagaimana dikemukakan di atas. Natsir menulis secara berturut-turut di majalah Panji
Islam, dengan judul Persatuan Agama dengan Negara. Tulisan tersebut terdiri dari beberapa
anak judul, di antaranya yaitu: Persekot, Arti Agama dalam Negara, Mungkinkah Al-Quran
Mengatur Negara?, Islam Demokrasi, Islam in Schultzchaft, Kemal Pasha dan Vriy
Metselarij, Kemalisten di Indonesia, dan Berhakim pada Sejarah. Tulisan-tulisan itu, satu
sama lain, saling berkaitan, dan dihimpun oleh D.P. Alimin dalam buku Capita Selekta.
Tulisan pertama, Persekot, merupakan dasar argumentasi Natsir dan mengilhami tulisantulisan berikutnya, yaitu komentar singkat atas tuntutan Soekarno terhadap telaah
pembaharuan Kemal Pasya yang menekankan, bahwa untuk menilai pemikiran dalam
peristiwa Turki, harus dilakukan telaah secara serius atas sekitar 40 literatur yang berkaitan
dengan masalah-masalah agama dengan negara tersebut. Dalam hal ini Natsir menolak secara
tegas tantangan Soekarno tersebut. Bagi Natsir, ukuran sebuah analisis bukan ditentukan
semata-mata oleh jumlah bacaan, tetapi berdasarkan pada kualitas pemikiran dan kemampuan
menyerap hasil bacaannya.
Dalam "Arti Agama dalam Negara," Natsir mendahului gagasannya dengan
mengetengahkan pengertian "agama" dan "negara." Dengan merujuk ayat "Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah,". Natsir menekankan bahwa tujuan
hidup manusia di dunia ini adalah mencapai hamba Allah dalam arti sepenuhnya, yaitu
kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat. Dan dengan pengertian ini, kehidupan di dunia
dan di akhirat tidak dapat dipisahkan.
Natsir menekankan bahwa pengertian agama dalam Islam bukan sebatas pada ibadatibadat ritual, tetapi mencakup semua aspek sosial dan seluruh kehidupan masyarakat,
berdasarkan kaidah hukum dan aturan yang secara rinci terhimpun dalam Al-Quran dan
Sunnah Nabi.
Ajaran Islam, mencakup seluruh aspek kehidupan. seperti: zakat, perkawinan dan
perceraian, hukuman terhadap perzinaan, larangan berjudi, larangan minuman keras, dan
berbagai penyakit masyarakat lainnya. Demikian juga Islam melarang kemusyrikan, khurafat,
takhayul, dan berbagai kepercayaan yang dapat meruntuhkan kekuatan ruhani umat Islam.
Upaya mencegah permasalahan ini tidak dapat tercapai tanpa ada kekuatan kekuasaan, yaitu
5

kekuasaan pemerintahan. Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai landasan berlakunya aturanaturan hukum dalam agama Islam, tidak dapat menjalankannya sendiri, karena "AI-Quran
dan Sunnah Nabi tidak bertentangan dan tidak berkaki, maka perlu cara lain untuk
melaksanakan dan menjaga agar peraturan-peraturan itu dapat diterapkan dengan semestinya.
Dengan mengutip ucapan Rasulullah Saw., bahwa "Sesungguhnya Allah memegang dengan
kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh AI-Quran itu (HR Ibnu
Katsir)" Natsir kemudian menulis:
"Seperti buku Undang-undang yang lain-lainnya juga, Al-Quran pun tidak dapat berbuat apa
pun dengan sendirinya, dan peraturan-peraturannya tidak akan berjalan dengan sendirinya,
dengan semata-mata ia letakkan di atas lemari atau sekalipun dijunjung di atas kepala....
Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan
sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam
pergaulan hidup, berupa kekuasaan negara.
Dari sini akan terikat suatu pengertian yang jelas bagi posisi "agama" maupun "negara".
Oleh karena itu, lanjut Natsir, "Bagi kita kaum Muslimin negara bukanlah badan yang berdiri
sendiri yang menjadi tujuan. Dan dengan 'Persatuan Agama dan Negara', kita maksudkan,
bukanlah bahwa agama itu sekadar dimasuk-masukkan saja di sana-sini kepada negara itu".
Tetapi bagi Natsir, "Persaruan agama dengan negara" mengikat suatu pengertian bahwa
negara merupakan alat dan sarana, sedangkan tujuannya adalah mencapai berlakunya
undang-undang Ilahi. Dengan demikian agama adalah tujuan, sementara negara merupakan
alat untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam arti, bahwa "negara pada dasarnya merupakan
alat bagi masyarakat Islam untuk melaksanakan aturan-aturan agama." Pengertian ini, kelak
juga menjadi landasan bagi pemikir modernis "generasi baru" dalam menentukan kriteriakriteria pemerintahan Islam. Dalam hal ini Natsir menguraikan:
"Urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat
dipisahkan, satu intergreereng deel dari Islam. Yang menjadi tujuan adalah: kesempurnaan
berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri
(sebagai individu), ataupun sebagai anggota masyarakat Baik yang berkenaan dengan
kehidupan dunia yang fana ini, ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kelak dialam
baka.
Oleh karena itu, pembaruan Kemal Ataturk memisahkan agama dari negara dalam rangka
memberi kesuburan terhadap tumbuhnya agama, sangat bertolak belakang dengan pemikiran
Natsir. Bagi Natsir cara tersebut bukan saja tidak melindungi, tetapi juga "melempar dan
menginjak-injak aturan agama". Lebih jauh Natsir melihat, langkah yang dipakai dalam
proses pembaruan di negara Turki sangat lemah dan bertentangan dengan semangat
kedinamisan ajaran Islam.
Hal itu setidaknya dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, sistem pemerintahan melalui
penggabungan negara dengan agama yang sebelumnya berlaku di Turki secara kebetulan
bersamaan dengan masa suram negeri itu. Kedua, studi pemikiran para pembaru Turki
cenderung mengambil pemikiran dan karya-karya orientalis yang memberikan gambaran
pemerintahan Islam dalam potret raja dan tirani yang dikelilingi dayang-dayang. Ketiga,
fenomena masyarakat Islam Turki yang diwarnai kejumudan, khurafat dan takhayul dijadikan
gambaran untuk melihat Islam secara keseluruhan.
Fenomena inilah yang menjadi gambaran kehidupan pemerintahan Turki sebelumnya.
pemerintahan semacam ini, dalam pandangan Natsir, tidak dapat diselamatkan dengan cara
meniadakan peranan agama di dalamnya. Bahkan peranan agama (Islam) amat diperlukan
untuk mengatur kembali sistem pemerintahan dan menjadi konsep moral kehidupan rakyat
Menurut Natsir, suatu masyarakat yang sudah jauh dari ajaran-ajaran agama "apakah lagi dari
agama itu, yang akan dipisahkan dari padanya?"

Untuk itu, fenomena itu sesungguhnya hanya dapat diatasi dengan memperhatikan
beberapa hal. Pertama, menerapkan prinsip-prinsip ajaran agama dalam arti yang sebenarnya,
yaitu ajaran agama yang di dalamnya memuat hubungan sosial antara sesama manusia dan
hubungan batin dengan Ilahi dalam bentuk-bentuk peribadatan. Di dalamnya juga memuat
etika, moral dan budi pekerti rakyat, serta ditanamkan pula falsafah kehidupan yang suci dan
semangat perjuangan mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Dengan kata lain, menyatukan
sistem politik negara dengan kaidah-kaidah ajaran agama.
Kedua, berusaha memisahkan "pemahaman agama" yang salah itu, yaitu pemahaman
agama yang dipenuhi bentuk-bentuk kejahatan dan kemaksiatan serta praktik-praktik khurafat
dan takhayul, dari sistem pemerintahan negara.
Oleh karena itu, bagi Natsir, prinsip pembaruan Kamal Ataturk di Turki adalah salah total.
Kesalahan ini ditambah lagi dengan mencoba menggantikan hukum syariah (Islam) dengan
kode hukum Swiss dan Italia. Meskipun kenyataan selanjutnya menunjukkan bahwa
pembaruan ini telah mengarahkan Turki kepada kondisi pemerintahan yang gemilang, namun
prinsip pemerintahan ini menjadi bertolak-belakang dengan prinsip pemerintahan Islam, dan
dengan demikian menjadi bertolak belakang dengan kondisi Turki yang memang telah
menganut prinsip-prinsip Islam dalam sejarah perkembangan negeri ini.
Natsir tidak terjebak oleh aturan pemerintahan secara konseptual. Realitas aturan dan
kode hukum negara-negara Barat juga tidak luput dari analisisnya. Natsir bahkan menjadikan
fenomena negara-negara ini sebagai tolak ukur disiplin formal dan idealitas bangunan
pemerintahan Islam. Dengan tetap mengacu pada doktrin Islam, Natsir memberikan dasardasarnya:
"Memang kalau kita buka Al-Quran, kita tidak akan bertemu di dalamnya petunjuk-petunjuk
untuk mencanangkan Anggaran Belanja Negara, tidak ada di dalamnya peraturan valuta dan
aturan devisa dan lain-lain yang semacam itu. Tidak pula akan berjumpa di dalamnya caracara mengatur lalulintas menurut Islam. Tak ada peraturan evaknasi dan penjagaan menurut
sunnah serta 1001 macam lagi hal-hal yang semacam itu, yang menjadikan suatu negara
modern menjadi sulit rumit, dan gecampliceerd itu. Tidak! Ini semua sudah tentu tidak ada,
dan memang tidak perlu diatur oleh wahyu Ilahi yang bersifat kekal. Sebab semua ini adalah
hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan, yang selalu bertukar dan beredar menurut zaman,
tempat dan keadaan. Yang diatur oleh Islam adalah dasar dan pokok-pokok mengatur
masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluannya selama
manusia masih bersifat manusia, baik ia manusia zaman unta ataupun manusia zaman kapal
udara, ataupun manusia zaman kapal stratosfeer, dan lain-lain."
Bagi Natsir, dalam Islam tidak ada kepala agama sebagaimana kedudukan Paus atau
Patrich. Sepanjang sejarah Islam, kepala agama hanya terjadi satu kali dan untuk satu orang,
yaitu masa pemerintahan Rasulullah Saw. Rasulullah sebagai kepala agama ini pada saatnya
meninggalkan satu sistem Islam yang harus dijalankan oleh segenap kaum Muslim dan
dipelihara oleh kepala-kepala "keduniaan". Meskipun Natsir tidak menunjukkan secara jelas
satu keyakinan bahwa selain pemimpin agama, Muhammad juga seorang kepala negara.
Untuk itu, bagi Natsir, pemimpin-pemimpin seperti Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali adalah
pemimpin-pemimpin keduniaan, yang menjalankan aturan pemerintahan berdasarkan aturan
yang pernah dijalankan oleh Muhammad Saw. sebagai kepala agama.
III.

Tinjauan atau Ulasan Penelitian

Polemik antara Soekarno dengan Mohammad Natsir tentang hubungan agama dengan
negara itu, pada saatnya, menjadi cermin bagi kedua tokoh ini dalam menggagas Dasar
Negara yang tepat bagi Indonesia. Gagasan kedua tokoh tersebut juga kelak menjadi simbol
dan mendasari lahirnya kelompok para elite Indonesia dari aspek sikap politik maupun dalam
7

aspek ideologi, dengan perbedaan dua kelompok besar, yang dikenal dengan Nasionalis
Sekular dan Nasionalis Islami (religius).
Pemikiran dan gagasan mana yang akan mampu memberi eksistensi bagi dasar negara Rl,
bisa dilihat pada pembahasan-pembahaan di belakang nanti.
Perbedaan pandangan antara Soekarno dan M. Natsir tentang hubungan antara agama dan
negara merupakan hal yang menarik untuk dikaji secara analitis. Hal ini mengingat bahwa
polemik tersebut memiliki latar belakar sosiohistoris dan sosiopolitik.
Soekarno dalam menggagaskan tentang pemisahan antara agama dan negara tidak hanya
mengakomodasi pemikiran Kemal Attaturk dengan melihat sejarah perkembangan politik
Turki, tetapi dalam pemikirannya memiliki kepentingan politik tersendiri untuk perjuangan
politiknya.
Soekarno dalam posisinya adalah sebagai seorang intelektual yang briliyan, Soekarno
juga adalah sebagai agitator ulung yang mampu melakukan penggalangan pada tingkat akar
rumput untuk menentang kekuatan Jepang pada waktu itu. Untuk kepentingannya melakukan
penggalangan terhadap semua kelompok kekuatan sosial politik. Soekarno menggagaskan
tentang agama yang harus dipisahkan dari pengaruh politik, dan begitu sebalikya politik tidak
boleh dicampur baurkan dengan agama. Pemikiran tersebut memang beralasan, karena jika
agama disatukan dengan negara dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan agama untuk
kepentingan politik. Dalam kaitan ini Soekarno khawatir akan melahirkan kekuasaan politik
yang despotik, tirani, dan otoriter dengan cara melegitimasi kepentingan politik oleh agama.
Pada tataran konseptual Soekarno bersikap keras untuk memisahkan agama dengan
negara, dengan argumen-argumen yang segar dan dapat dipahami. Hal ini diilhami oleh
kondisi sosiohistoris negara-negara yang menyatukan agama dengan negara banyak
melakukan penyimpangan yaitu menjual agama untuk kepentingan negara, dimana rakyat
ditekan oleh pera penguasa politik dengan mengatasnamakan agama. Hal ini tidak terjadi di
negara Turki, tetapi juga terjadi di negara-negara Eropa pada masa kekuasaan Paulus di
Gereja Roma Ortodok.
Soekarno sebagai refresentasi dari kelompok nasionalisme tulen menginginkan untuk
mengakomodasi semua golongan dalam upaya mencari dukungan politiknya, karena
kemenangan politik di saat negara sedang mengalami berbagai konflik lebih dapat diterima
oleh semua kalangan adalah kelompok nasionalis.
Natsir sebagai seorang nasionalis Islam merasa bertanggung jawab terhadap
keberislamanya, gagasan Soekarno tentang hubungan antara agama dan negara merupakan
persoalan yang perlu direspon, tidak hanya melalui pendekatan ajaran agama, tetapi melalui
pendekatan sosiohistoris. Hal ini Natsir merasa khawatir jika negara dilepaskan dari dimensi
agama, kekuasaan negara akan menjadi sewenang-wenang, yaitu aktivitas politik dalam
menyelanggarakan negara tidak mempertimbangkan nilai-nilai etis, akibatnya negara menjadi
korup dan yang dirugikan adalah rakyat.
Kepentingan Natsir merespon gagasan Soekarno tentang hubungan antara agama dan
negara, selain menginginkan adanya unsur etika dalam berpolitik. Natsir melihat bahwa
Agama (Islam) merupakan alat yang dapat mempersatukan berbagai kelompok yang ada
dalam masyarakat, hal ini dilhami oleh bahwa dalam sejarah pergerakan politik di Indonesia,
Islam sebagai kekuatan sosial politik mampu menggalang kekuatan untuk menghadapi Barat,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sarikat Islam (SI) dibawah pimpinan Tjokro aminoto.
SI berhasil menggalang persatuan dan kesatuan dalam menghadapi kekuatan Belanda dan
merupakan cikal bakal lahirnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Keadaan inilah yang
membuat Natsir bersikeras untuk menggagas tentang hubungan antara agama dan negara,
hubungan keduanya merupakan hubungan yang simbiosis mutualism yaitu hubungan yang
tidak dapat dipisahkan dimana yang satu dengan yang lain saling melengkapi. Untuk

menyebarkan agama butuh negara atau kekuasaan politik, dan untuk berpolitik butuh moral.
Dengan demikian kata Natsir Agama dan Negara tidak bisa dipisahkan.

BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Latar belakang munculnya polemik antara Soekarno dan M. Natsir tentang hubungan
antara agama dan negara, karena adanya perbedaan pemahaman terhadap agama,
walaupun keduanya sama-sama muslim.
2. Selain adanya perbedaan pemahaman yang terhadap agama antara Soekarno dan M.
Natsir, juga karena adanya perbedaan kepentingan politik. Perbedaan tersebut adalah jika
Soekarno berasal dari nasionalisme tulen, sementara M. Natsir berasal dari nasionalisme
Islam.
3. Kepentingan Soekarno menggagaskan tentang pemisahan antara agama dan negara,
karena Soekarno berkepentingan untuk mengakomodasi seluruh kekuatan politik yang
ada di Indonesia pada waktu itu, untuk mendukung kepentingan politiknya dalam upaya
mengusir penjajahan Jepang. Sedangkan kepentingan M. Natsir menyatukan antara
agama dan negara, karena Natsir melihat bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah
Islam. Keadaan ini merupakan potensi yang memliki kekuatan politik yang besar pada
tingkat akar rumput dalam upaya melawan penjajahan Jepang.
4. Dengan demikian sekalipun mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam
memahami hubungan agama dan negara, tetapi mereka memiliki tujuan yang sama yaitu
upaya penggalangan untuk mengusir imperialisme dan kolonialisme asing.

10

DAFTAR PUSTAKA

11

Anda mungkin juga menyukai