Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

KONJUNGTIVITIS ALERGI

Disusun Oleh :
Diska Astarini

I11109083

SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2016

Lembar Persetujuan

Telah disetujui laporan kasus dengan judul :


KONJUNGTIVITIS ALERGI

disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kesehatan Mata

Telah disetujui,
Pontianak, Maret 2016

Disusun oleh :

Pembimbing,

dr. Sri Yuliani Elida, Sp.M, M.Sc

Diska Astarini

BAB I
PENDAHULUAN
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata
dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal
diantaranya disebabkan oleh alergi.1

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi


terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasanya dan reaksi lambat
sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri dan toksik. Di negaranegara maju, 20-30% populasi mempunyai riwayat alergi, dan 50% individual tersebut
mengidap konjungtivitis alergi.

Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari peradangan

ringan seperti konjungtivitis alergi musiman

atau bentuk kronik yang berat seperti

keratokonjungtivitis alergi.2,3
Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi. Penyulit yang bisa
terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi jarang menyebabkan
kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus
dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun dapat pula prognosis penyakit ini
menjadi buruk bila terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Konjungtivitis Alergi


Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi bagian putih
mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia
ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.

Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,
misalnya kontak lensa.5
Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi
adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe
humoral ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen
dibandingkan dengan kulit.5

2.2. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior
sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea limbus.2
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin
bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari
tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva


Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan :
Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di
atas karankula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.
Sel-sel epitel supercial, mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi
mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi
lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.
Stroma konjungtiva, dibagi menjadi :
Lapisan adenoid (superficial)
Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan
adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler
bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.
Lapisan fibrosa (profundus)
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reksi papiler pada radang
konjungitiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.

Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
ditepi atas tarsus atas.2

2.3. Epidemiologi
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang
tinggi. Keratokonjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah
mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika. Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai
pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset
pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum
onset pubertas dan kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya lebih banyak
pada dewasa muda.6

2.4. Etiologi
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :1
a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara
c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.

2.5. Patofisiologi konjungtivitis alergi secara umum


Konjungtivitis terjadi karena kerusakan jaringan akibat masuknya benda asing ke dalam
konjunctiva akan memicu suatu kompleks kejadian yang dinamakan respon radang atau
inflamasi. Tanda-tanda terjadinya inflamasi pada umumnya adalah kalor (panas), dolor
(nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak) dan fungsiolesa. Masuknya benda asing ke dalam
konjungtiva tersebut pertama kali akan di respon oleh tubuh dengan mengeluarkan air mata.
Air mata diproduksi oleh Apartus Lakrimalis, berfungsi melapisi permukaan konjungtiva dan
kornea sebagai Film air mata. Fungsi air mata:
1.

Menghaluskan permukaan air kornea

2.

Memberi nutrisi pada kornea

3.

Anti bakteri

4.

Perlindungan mekanik terhadap benda asing

5.

Lapisan Akuos (berada di tengah)

Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan menyebabkan vasokonstriksi


segera pada area setempat, peningkatan aliran darah ke lokasi (vasodilatasi) dalam hal ini
adalah a. ciliaris anterior dan a. palpebralis sehingga mata terlihat menjadi lebih merah,
terjadi penurunan velocity aliran darah ke lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di
endotel vaskuler), terjadi peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (leukosit dapat terikat
pada endotel pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke
jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan marginasi dan ekstravasasi),
pembuluh darah membawa darah membanjiri jaringan kapiler jaringan memerah (RUBOR)
dan memanas (KALOR), peningkatan permeabilitas kapiler, masuknya cairan dan sel dari
kapiler ke jaringan terjadi akumulasi cairan (eksudat) dan bengkak (edema), peningkatan
permeabilitas kapiler, penurunan velocity darah dan peningkatan adhesi, dan migrasi leukosit
(terutama fagosit) dari kapiler ke jaringan.
Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi mediator-mediator kimiawi yakni:
1. Histamin
Dilepaskan oleh sel merangsang vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
2. Lekotrin
Dihasilkan dari membran sel meningkatkan kontraksi otot polos mendorong kemotaksis
untuk netrofil.
3. Prostaglandin
Dihasilkan dari membran sel meningkatkan vasodilatasi, permeabilitas vaskuler
mendorong kemotaksis untuk neutrofil.
4. Platelet aggregating factors
Menyebabkan agregasi platelet mendorong kemotaksis untuk neutrofil.
5. Kemokin
Dihasilkan oleh sel pengatur lalu lintas lekosit di lokasi inflamasi) beberapa macam
kemokin: IL-8 (interleukin-8), RANTES (regulated upon activation normal T cell
expressed and secreted), MCP (monocyte chemoattractant protein).
6. Sitokin

Dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi pirogen endogen yang memicu
demam melalui hipotalamus, memicu produksi protein fase akut oleh hati, memicu
peningkatan hematopoiesis oleh sumsum tulang leukositosis beberapa macam
sitokin yaitu: IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-6), TNF-a (tumor necrosis factor
alpha).
7. Mediator lain (dihasilkan akibat proses fagositosis).
Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal. Oksigen dan
nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk mikroorganisme.
Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease), hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor :
1.

Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-zat anti
mikrobial

2.

Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak kelenjar


limfoid

3.

Epitel konjungtiva terus menerus diganti

4.

Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata, sehingga


perkembangbiakan mikroorganisme terhambat

5.

Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata

6.

Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi sel-sel


goblet kemudian akan digelontor oleh aliran air mata

Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang
berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen
yang spesifik. Respon alergi pada mata merupakan suatu rangkaian peristiwa yang
dikoordinasi oleh sel mast. Beta chemokins seperti eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai
aktifasi sel mast pada permukaan mata. Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi
yang akan mempersiapkan sistem tubuh untuk memproduksi respon antigen spesifik. Sel T
yang berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang
produksi antigen spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE reseptor
pada permukaan sel mast. Kemudian smemicu pelepasan sitokin, prostaglandin dan platelet
activating factor. Sel mast menyebabkan peradangan dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi
oleh sel inflamasi. Ketika histamin dilepaskan oleh sel mast. Histamin akan berikatan dengan

reseptor H1 pada ujung saraf dan menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga
akan akan berikatan dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan
menyebabkan vasodlatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin, interleukin IL8 terlibat dalam memicu netrofil.Sitokin TH2 seperti IL-5 akan memicu eosinofil dan IL-4,
IL-6,IL-13 yang akan memicu peningkatan sensitivitas.5

2.6. Manifestasi Klinik dan Pemeriksaan Penunjang


Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan panas),
gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil besar
pada konjungtiva, injeksi konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu
penglihatan. Walaupun penyaki alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat
memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit, dan basofil yang meningkat. Dapat juga
dilakukan pemeriksaan tes alergi untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri.1,2

2.7. Klasifikasi konjungtivitis alergi


Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang dimediasi oleh IgE
terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat atopi. Semua gejala pada
konjungtiva akibat dari konjungtiva bersifat rentan terhadap benda asing. Terdapat beberapa
jenis konjungtivitis yakni keratokonjungivitis atopik, konjungtivitis musiman, vernal
konjungtivitis, Giant papilary konjungtivitis dan konjungtivitis flikten. Konjungtivitis dapat
diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya yakni konjungtivitis yang bersifat akut yakni
konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis parennial sedangkan konjungtivitis kronis
yakni keratokonjungtivitis vernal dan keratokonjungtivitis atopik.1
a. Konjungtivitis hay fever (konjungtivitis demam jerami/konjungtivitis simpleks)
Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa nasal. Oleh
karena itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga dapat menyebabkan
konjuntivitis alergi. Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu hewan dan
lain-lain dapat memprovokasi terjadinya gejala pada serangan akut konjuntivitis
alergi.

Perbedaan konjungtivitis alergi seasonal dan perennial adalah waktu timbulnya


gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu
tertentu seperti pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama.
Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada musim dingin
tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu
dengan konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala sepanjang tahun.
Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap rokok, dan bulu hewan.
Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:
1)

respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas

2)

pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi.


respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel plasma

3)

dan mediator lain.


respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan
meningkatnya pembentukan jaringan ikat.5

b. Konjungtivitis vernal
Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang
(recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit ini juga
dikenal sebagai konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau.
Sering terdapat pada musim panas di negeri dengan empat musim, atau sepanjang
tahun di negeri tropis (panas).1,2
Etiologi dan Predisposisi
Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang
mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga yang kuat
alergi.1,2,7
Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin sama.
Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita konjungtivitis
vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumputrumputan.1
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Tipe I : Reaksi Anafilaksi

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya
histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM
dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat
mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat
menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis
ini.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk
kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis
herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada
reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes
simpleks dan keratitis diskiformis.
Manifestasi Klinis
Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai
meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan seolah
ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang,
dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat
beraktivitas normal.1,2,7
Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :

Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat


pertumbuhan papil yang besar (cobble stone) yang diliputi sekret yang mukoid.

Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat
dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak sebagai tonjolan
bersegi banyak (polygonal) dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler
ditengahnya.1,2

Gambar 2. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral

Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk
jaringan hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan Trantas dot yang merupakan
degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea,
terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.1,2

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk limbal

Patofisiologi

Pada bentuk palpebral, perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya


dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi
difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan
yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini
akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga
terbentuklah gambaran cobbles tone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan
memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan
tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe
disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak
jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai
keratitis serta erosi epitel kornea.
Pada

bentuk

limbal

terdapat

perubahan

yang

sama,

yaitu:

perkembangbiakan jaringan ikat, peningkatan jumlah kolagen, dan infiltrasi sel


plasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam stroma. Limbus konjungtiva juga
memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan
lesi fokal. Penggunaan jaringan yang dilapisi plastik yang ditampilkan melalui
mikroskopi cahaya dan elektron dapat memungkinkan beberapa observasi
tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari penyakit ini, tampak dalam jaringan epitel
sebagaimana juga pada substansi propria. Walaupun sebagian besar sel merupakan
komponen normal dari substansi propia, namun tidak terdapat jaringan epitel
konjungtiva normal.
Walaupun karakteristik klinis dan patologi konjungtivitis vernal telah
digambarkan secara luas, namun patogenesis spesifik masih belum dikenali.2,5

Gambaran Histopatologik
Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan
ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup
oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil
serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil

ini berhubungan

dengan

infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast.Hasil penelitian
histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang dilakukan oleh Wang
dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada konjungtiva.

Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid. Sementara itu, beberapa
granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan sitotoksik yang
berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak
hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada beberapa kasus
melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar. Fase vaskular dan selular dini
akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi
yang

lebih

mencolok,

serta

reduksi

sel

radang

secara

keseluruhan.

Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya


deposit stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaanklinis. Hiperplasia jaringan
ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang
luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi. Epiteliumnya
berproliferasi menjadi 510 lapis sel epitel yang edematous dan tidak beraturan.
Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi di
apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan mengalami
keratinisasi.1,2,5
Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa pertumbuhan
epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel (acanthosis).
Horner-Trantas dots yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri atas eosinofil,
debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit.

Gambar 4. Histologi Konjungtivitis Vernal Terlihat Banyak Sel Radang Terutama


Eosinofil

Pemeriksaan Penunjang
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak
eosinofil dan granula eosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darah ditemukan
eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE.
Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang secara rutin
tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah menggunakan
glutaraldehyde, lapisan plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat
memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1 berdasarkan jenis dan
lokasinya. Jumlah rata-rata sel per kubik milimeter tidak melampaui jumlah
normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali berada
dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel
dalam proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar
dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan pembuluh darah.
Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien
konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari empat
pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya
membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva normal
dari dua pasien lainnya.
Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum 11 pasien
konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa terdapat
korelasi yang signifikan antara air mata dengan level kandungan serum pada kedua
mata. Kandungan IgE pada air mata diperkirakan muncul dari serum kedua mata,
kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien
konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada
air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara spesifik
ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain
itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG yang signifikan
yang menjadi butiran pada air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis antibodi
ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini menyimpulkan
bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme imun yang terlibat
dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal antibodi terjadi pada
jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada orang-orang yang

memiliki alergi udara, tetapi pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak
berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi IgE.
Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien konjungtivitis
vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air
mata pada 13 orang normal (10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan
menggunakan mikroskopi elektron yang diperkirakan menemukan tujuh kali lipat
lebih banyak sel mastosit dalam substantia propia daripada dengan pengamatan
yang menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat
pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi.
Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan
adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua eosinofil
tiap pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis
vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada daerah permukaan lain
pada level ini.5,7

c. Konjungtivitis atopi
Konjungtivitis atopi sering diderita oleh pasien dermatitis atopi. Tanda dan gejalanya
berupa sensasi terbakar, kotoran mata berlendir, merah dan fotofobia. Terdapat papil
halus tetapi papil raksasa tidak ditemukan seperti pada konjungtivitis vernal. Kerokan
konjungtiva

menampakan

eosinofil

meski

tidak

sebanyak

terlihat

pada

keratokonjungtivitis vernal.1

d. Giant papilary konjungtivitis


Giant papilary konjungtivitis dengan tanda dan gejala mirip dengan konjungtivitis
vernal dapat timbul pada pasien yang menggunakan mata buatan dari plastik atau
lensa kontak terutama jika memakainya melewati waktunya. Konjungtivitis Giant
Papillarry diperantarai reaksi imun yang mengenai konjungtiva tarsalis superior.
Konjungtivitis ini mungkin merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kaya
basofil dan mungkin dimediasi oleh IgE. Keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil
(sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi
besar ( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter.1

e. Konjungtivitis flikten
Konjungtivitis flikten

disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas tipe IV)

terhadap bakteri atau antigen tertentu, seperti tuberkuloprotein pada penyakit


tuberkolosis, infeksi bakteri (stafilokok, pneumokok, streptokok, dan Koch Weeks),
virus (herpes simplek), toksin dari moluskum kontagiosum yang terdapat pada margo
palpebra, jamur (kandida albikan), cacing (askaris, tripanosomiasis), limfogranuloma
venereal, leismaniasis, infeksi parasit dan infeksi di tempat lain dalam tubuh.
Konjungtivitis flikten biassanya dimulai dengan munculnya lesi kecil berdiameter 1-3
mm yang keras, merah, menimbul dan dikelilingi zona hiperemis. Di limbus sering
berbentuk segitiga dengan apeks mengarah kornea.1,2

2.8. Penatalaksanaan
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen spesifik
dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan dan kompres
dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Obat-obatan yang
menurunkan respon imun juga digunakan pada kasus konjungtivitis alergi untuk menurunkan
respon imun tubuh dan meredakan gejala inflamasi.
Obat obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:
Steroid topikal. Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya, edema, dilatasi
kapiler, dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga membatasi migrasi makrofag dan
neutrofil untuk daerah meradang serta memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya
induksi asam arakidonat cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata akut
alergi, steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya harus
dibatasi karena potensi efek samping dengan biala lama digunakan. Penggunaan
kortikosteroid topikal jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi: katarak subkapsular
posterior dan peningkatan tekanan intraokular (TIO).
Vasokonstriktor topikal / antihistamin. Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh
darah, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan
memblokir histamin H1 receptors
Antihistamin topikal. Anithistamines kompetitif terikat dengan reseptor histamin dan dapat
mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida 0,05%, sebuah H1 selektif

topikal antagonis reseptor histamin, efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala alergi
lain conjunctivitis. H1 selektif antagonis, azelastine hidroklorida 0,05%, efektif dalam
mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%, suatu antagonis H1 selektif,
mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine dalam mengurangi chemosis, kelopak
mata bengkak,dan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan konjungtivitis alergi
musiman pada pasien dewasa dan anak.
Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.Obat ini menghambat aktivitas
siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab untuk konversi asam arakidonat ke
enzim prostaglandins. Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif
dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi,
meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya ketorolac untuk
pengobatan konjungtivitis alergi.
Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel mast, sehingga
membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk histamin, neutrofil dan eosinofil faktor
chemotactic, dan platelet-activating factor.
Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik ampuh digunakan untuk
mengobati berbagai immunemediated kondisi. Sistemik diberikan siklosporin A dapat
menjadi pengobatan yang efektif untuk pasien dengan keratokconjugtiviits atopik yang berat.
Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu respon alergi dengan
edema, dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka harus digunakan dengan hati-hati karena
penenang yang dan efek antikolinergik dari beberapa antihistamin generasi pertama obatobatan. Pasien harus memperingatkan efek samping potensial. Antihistamin baru yang jauh
lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan sedasi, tetapi penggunaannya dapat
mengakibatkan kekeringan okular meningkat permukaan.3,4,6
Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :
a. Terapi lokalis
- Steroid topical penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus
hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan
pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi
maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan
-

medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.1,2,7


Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
Antihistamin topical

Acetyl cysteine 0,5%


Siklosporin topical 1%

b. Terapi sistemik;
-

Anti histamine oral untuk mengurangi gatal


Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive

c. Terapi lain dan pencegahan


-

Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau

dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.


Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan, karena
telah

terbukti

dapat

merangsang

pembebasan

mekanis

dari

mediator

-mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada
-

akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.


Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuk sari dan

hindari penyebab dari alergi itu sendiri.


Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan
alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena lensa

kontak akan membantu retensi allergen.


Kompres dingin dapat meringankan gejala.
- Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfung
si protektif karena membantu menghalau allergen.
Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering juga disebut
sebagai climato-therapy.

2.9. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi
sekunder. Sedangkan, komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik
dapat mengganggu penglihatan.8
2.10. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh
spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak ditangani
dengan baik.2,6

BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas

Nama

An. D

Umur

6 Tahun

Jenis kelamin

Laki-laki

Suku bangsa

Melayu

Agama

Islam

Alamat

Gg. Alpukat, Jeruju

Tanggal pemeriksaan :

10 Maret 2016

Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis pada tanggal 10 Maret
2016 pada pukul 11.00 WIB
Keluhan utama:
Mata kanan merah
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Balai Pengobatan Mata dengan keluhan mata kanan berwarna merah
sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan terus menerus sepanjang hari. Keluhan
awalnya tidak disadari oleh orang tua namun sekitar 1 hari SMRS pasien sering
mengucek mata. Selain mata merah, pasien juga merasakan mata terasa gatal, berair,
mata seperti lengket karena kotoran mata, dan mata terasa mengganjal. Pasien
diberikan obat tetes mata oleh orang tua nya namun keluhan tetap ada. Orang tua
pasien mengatakan keluhan ini dirasakan mulai muncul setelah pasien bermain di
kebun bunga milik kakek pasien. Keluhan pada mata pasien ini tidak mengganggu
penglihatan, pasien dapat melihat sama seperti sebelum sakit. Pasien menyangkal
adanya penglihatan kabur, nyeri pada mata, silau, sulit menggerakkan kelopak mata,
demam, batuk, pilek.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya pada Maret dan November
2015.
Riwayat asma (-) alergi (-)
Pasien tidak memiliki riwayat trauma mata sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa, tidak ada riwayat
darah tinggi dan kencing manis. Ayah dan kakek pasien mengatakan sering bersin
berkali-kali pada pagi hari.
Riwayat Lingkungan, Sosial & Ekonomi:
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasien tinggal bersama
kedua orang tua serta adik perempuannya di sebuah rumah berukuran 4x8 m2
yang berlokasi di lingkungan padat penduduk. Sumber air berasal dari air sumur
dan air hujan. Pasien belum bersekolah dan kegiatan sehari-hari sering dihabiskan
untuk bermain bersama anak-anak sebaya di lingkungan rumahnya. Pasien juga
sering ikut sang kakek berkebun tiap sore hari. Kedua orang tua pasien berprofesi
sebagai pegawai swasta.

A. STATUS GENERALIS
Kesadaran

: Kompos mentis

Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Tanda vital

TD

: 110/70 mmHg

: 82 x/menit

: 22 x/menit

: 36,2 oC

Lain-lain

: Dalam batas normal

B. Status Oftalmologi
Tajam Penglihatan
OD
: Tidak dapat diperiksa (Pasien tidak kooperatif)
OS
: Tidak dapat diperiksa (Pasien tidak kooperatif)

Gerakan Bola Mata

OD
+
+

OS
+

OD

OS

Orthophoria

Kedudukan bola mata

Orthophoria

Ptosis (-) lagoftalmos (-)

Palpebra

Ptosis (-) lagoftalmos (-)

blefaritis (-) hordeolum (-)

blefaritis (-) hordeolum (-)

kalazion (-) ektropion (-)

kalazion (-) ektropion (-)

entropion (-) oedem (-)

entropion (-) oedem (-)

trikiasis (-) hematoma (-)

Tarsal : hyperemia (+),

trikiasis (-) hematoma (-)

Tarsal : hyperemia (-),

membrane (-)

Conjunctiva

membrane (-)

Bulbi : hyperemia (+),

Bulbi : hyperemia (-),

discharge (-),injeksi

discharge (-), injeksi

conjungtiva (+), injeksi

conjungtiva (-), injeksi

siliar(-), chemosis (-),

siliar(-), chemosis (-),

benda asing (-)

benda asing (-)

Air mata (+)


Jernih, edema (-), ulcer (-),

Air mata (-)

Cornea

jernih, edema (-), ulcer (-),

infiltrat (-)
Jernih dalam

Anterior Chamber

infiltrat (-)
Jernih,dalam

Iris : warna coklat, intak

Iris and Pupil

Iris : warna coklat, intak

Pupil : bulat, isokor, diameter

Pupil : bulat, isokor, diameter

mm, Reflek cahaya (+)


jernih

Lens

mm, Reflek cahaya (+)


jernih

Tidak dilakukan

Vitreous

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Fundus

Tidak dilakukan

Visual field test (confrontation)

: Normal

TIO (palpasi)

: Normal

Ishihara test

: Tidak dilakukan

Fluorescein test

: Tidak dilakukan

C. Resume
Anamnesis
Pasien anak laki-laki usia 6 tahun
Keluhan utama : kedua mata merah sejak 2 hari SMRS
Keluhan tambahan : mata terasa gatal, berair, mata seperti lengket karena

kotoran mata, dan mata terasa mengganjal


RPD : Riwayat keluhan serupa sebelumnya (+)
RPK : Ayah dan kakek memiliki riwayat bersin berkali-kali setiap pagi

Pemeriksaan Fisik

KU/ Kes : TSR / Compos mentis

Tanda vital :

TD :

110/70 mmHg

N : 82 x /menit

RR : 22x/ menit

S : 36,2 C

OD : edema (-), konjungtiva hiperemis (+), sekret (-), injeksi konjungtiva (+),
air mata (+)

D. Diagnosa
Konjungtivitis Alergi OD
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Giemsa
- Tes alergi kulit.
- Slitlamp

IX. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
- Edukasi mengenai penyakit pasien dan penanganannya.
- Bila terasa gatal dan panas kompres mata dengan kompres dingin.
- Bersihkan cairan mata yang keluar dengan handuk bersih, tissue atau kapas yang
-

diberi air hangat.


Anjuran memakai topi dan kacamata pelindung bila berada di luar ruangan
Menghindari menggosok gosok mata

Medikamentosa
Polynel (ED) 4dd gttI OD
F. Prognosis
OD
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanactionam

: bonam
: bonam
: dubia ad malam

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien anak laki-laki 6 tahun datang ke Balai Pengobatan Mata dengan
keluhan mata kanan berwarna merah sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan terus
menerus sepanjang hari. Keluhan awalnya tidak disadari oleh orang tua namun
sekitar 1 hari SMRS pasien sering mengucek mata. Selain mata merah, pasien
juga merasakan mata terasa gatal, berair, mata seperti lengket karena kotoran
mata, dan mata terasa mengganjal.
Dalam ilmu penyakit mata, Sidarta (2010) dijelaskan bahwa mata merah
seperti yang dikeluhkan pasien dapat timbul akibat terjadinya perubahan pada
bola mata yang sebelumnya berwarna putih. Mata merah tersebut dapat
diakibatkan oleh pelebaran pembuluh darah konjungtiva dan bila terjadi
pelebaran pembuluh darah konjungtiva atau episklera atau perdarahan antara
konjungtiva dan sklera maka akan terlihat warna merah.
Mata merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva ini biasanya
terjadi akibat peradangan akut pada mata, pelebaran ini sendiri lebih dikenal
dengan sebutan injeksi konjungtiva yaitu peradangan arteri konjungtiva
posterior, peradangan tersebut dapat terjadi akibat pengaruh mekanik dari alergi
atau infeksi bakteri, virus dan jamur.
Pada penjelasan lebih lanjut oleh Sidarta (2010) selain injeksi konjungtiva
mata merah juga bisa disebabkan oleh injeksi siliar dimana terjadi pelebaran
pembuluh darah perikornea atau pada arteri siliar anterior akan tetapi pelebaran

pembuluh darah ini memiliki sifat warna yang lebih ungu dibanding dengan
pelebaran yang terjadi pada arteri konjungtiva dan tidak ikut serta bila ada
pergerakan dari konjungtiva karena pembuluh ini melekat erat pada jaringan
perikornea.
Rasa gatal yang dikeluhkan pada pasien adalah efek dari proses reaksi
hipersensitivitas yang terjadi dimana terjadi pelepasan mediator berupa
histamin oleh sel mast yang

Selanjutnya dalam 60 menit akan terjadi

degranulasi, diawali dengan pelepasan mediator-mediator yang dapat


menyebabkan chemosis dan rasa gatal di konjungtiva.
Sekret atau belek mata merupakan produk kelenjar yang pada konjungtiva
bulbi dikeluarkan oleh sel goblet, sekret ini bisa dibedakan menurut sifatnya
dan

peradangan

yang

mendasarinya,apabila

berupa

air

jernih

maka

kemungkinan disebabkan infeksi virus atau alergi sedangkan sekret purulen


kemungkinan oleh infeksi bakteri atau klamidia.
Lakrimasi adalah keluarnya air mata yang sangat banyak ,air mata sendiri
diproduksi oleh glandula lakrimalis yang akan dialirkan menuju ke mata
melalui beberapa tahapan dari pungtum lakrimal, canaliculi lakrimal, saccus
lakrimal dan duktus nasolakrimal, apabila terjadi sebuah infeksi yang mengenai
mata maka akan terjadi peningkatan ekskresi dari air mata sehingga terjadi
lakrimasi. Pada pasien mengeluhkan pengeluaran airmata yang menyertai
kondisi mata merah yang dialaminya meskipun hanya dalam jumlah minimal.
Pada riwayat penyakit dahulu diketahui bahwa pasien pernah mengalami
gejala seperti ini sebelumnya pada Maret dan November 2015.Riwayat asma
maupun alergi disangkal, namun pada riwayat keluarga ditemukan bahwa ayah
dan kakek pasien memiliki kebiasaan bersin berkali-kali pada pagi hari yang
mengarah pada gejala rhinitis kronis,gejala ini menunjukkan bahwa keluarga
pasien memiliki riwayat atopi. Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi
terhadap antigen lingkungan yang menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi
hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe cepat terhadap antigen yang
diikat oleh IgE pada permukaan sel mast yang menginduksi pelepasan mediator
vasoaktif berupa histamin yang bermanifestasi anafilaksis sistemik dan lokal
seperti rhinitis, dan

sekitar 50% - 70 % dari populasi membentuk IgE

terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir
hidung,paru dan konjungtiva. Pajanan alergen berikutnya terjadi di tempat yang
berbeda dari pajanan awalnya, yang menyebabkan alergen bisa menembus
melewati epitel konjungtiva superficial menuju daerah subepitel, lalu antigen
akan mengikat spesifik alergen IgE tersebut pada permukaan sel mast.
Selanjutnya dalam 60 menit akan terjadi degranulasi, diawali dengan pelepasan
mediator-mediator yang dapat menyebabkan chemosis dan rasa gatal di
konjungtiva. Pada reaksi fase lambat, yaitu terjadi antara 4-24 jam berikutnya,
ditandai dengan pengerahan sel-sel limfosit, eosinofil dan neutrofil sehingga
terjadilah peradangan.
Pada kasus ini ada riwayat kebiasaan dari pola hidup dan lingkungan yang
bermakna yang membantu mendiagnosis penyakit yang diderita pasien saat ini.
Pasien seringkali bermain ke kebun bunga milik kakek pasien dan kemudian
menyebabkan timbulnya mata merah pada pasien. Alergen airborne seperti
serbuk sari, rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya
gejala pada serangan akut konjuntivitis alergi.
Pada pemeriksaan fisik baik dari satatus generalis maupun dari pemeriksaan
mata didapatkan bahwa Keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran yang
compos mentis dan vital sign yang dalam batas normal .Sedangkan pada
pemeriksaan mata didapatkan bahwa visus mata tidak dapat diperiksa karena
pasien anak yang kurang kooperatif dan hal positif yang didapatkan sebagai
pembantu penegakan diagnosis yaitu hiperemis pada konjungtiva mulai dari
konjungtiva superior et inferior, konjungtiva forniks dan konjungtiva bulbi,
adanya injeksi konjungtiva serta pengeluaran airmata.
Seperti pembahasan mata merah di atas yang dikemukakan oleh Sidarta (2010)
bahwa hiperemis disebabkan karena adanya pelebaran pembuluh darah
konjungtiva akibat adanya peradangan sehingga dengan diapatkannya tanda
positif ini pada pemeriksaan mata akan mengarahkan diagnosis pada kasus ini
ke arah konjungtivitis. Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan
menyebabkan vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran
darah ke lokasi (vasodilatasi) dalam hal ini adalah a. ciliaris anterior dan a.
palpebralis sehingga mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan
velocity aliran darah ke lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di

endotel vaskuler), terjadi peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (leukosit


dapat terikat pada endotel pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas
vaskuler (cairan masuk ke jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui
peningkatan marginasi dan ekstravasasi), pembuluh darah membawa darah
membanjiri jaringan kapiler jaringan memerah (rubor) dan memanas (kalor),
peningkatan permeabilitas kapiler, masuknya cairan dan sel dari kapiler ke
jaringan terjadi akumulasi cairan (eksudat) dan bengkak (edema), peningkatan
permeabilitas kapiler, penurunan velocity darah dan peningkatan adhesi, dan
migrasi leukosit (terutama fagosit) dari kapiler ke jaringan.
Pada kasus pasien An.D ini mempunyai keluhan mata merah pada mata
kanan dan sangat gatal, serta terdapat kotoran tetapi berwarna bening atau
jernih. Namun keluhan pada mata pasien ini tidak mengganggu penglihatan,
pasien dapat melihat sama seperti sebelum sakit. Dari anamnesis diketahui
riwayat keluhan serupa sebelumnya adanya riwayat atopi pada keluarga.
Manifestasi yang telah dikemukakan di atas mengarah pada konjungtivitis
alergika. Diagnosis konjungtivitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada

pemeriksaan klinis

didapatkan adanya hiperemi konjungtiva dan injeksi konjungtiva serta


pengeluaran airmata.
Pada

pemeriksaan

laboratorium

dapat

dilakukan

dengan

mengorek

konjungtiva Superficial untuk mendapatkan bahan/material yang menyebabkan


mata merah dan setelah itu bahan tersebut dibuat dalam bentuk sediaan yang dicat
dengan pengecatan Gram atau Giemsa sehingga pada pemeriksaan mikroskop
diharapakan dapat dijumpai sel-sel radang polimorfonuklear, sel-sel mononuklear,
atau dapat juga ditemukan bakteri atau jamur penyebab konjungtivitis sehingga
dapat diidentifikasikan dari pengecatan ini. Pada konjungtivitis yang disebabkan
oleh alergi, pada pengecatan Giemsa akan didapatkan sel-sel eosinophil.
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen
spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan
dan kompres dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh
pasien. Obat-obatan yang menurunkan respon imun juga digunakan pada kasus
konjungtivitis alergi untuk menurunkan respon imun tubuh dan meredakan gejala
inflamasi.Obat obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:

Steroid topikal. Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya,


edema, dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga
membatasi migrasi makrofag dan neutrofil untuk daerah meradang serta
memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya induksi asam arakidonat
cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata akut alergi,
steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya
harus dibatasi karena potensi efek samping dengan biala lama digunakan.
Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang dapat menyebabkan
komplikasi: katarak subkapsular posterior dan peningkatan tekanan intraokular
(TIO).
Vasokonstriktor topikal / antihistamin. Agen ini menyebabkan penyempitan
pembuluh darah, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi
mata gatal-gatal dengan memblokir histamin H1 receptors. Anithistamines
kompetitif terikat dengan reseptor histamin dan dapat mengurangi gatal dan
vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida 0,05%, sebuah H1 selektif topikal
antagonis reseptor histamin, efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala
alergi lain conjunctivitis. H1 selektif antagonis, azelastine hidroklorida 0,05%,
efektif dalam mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%,
suatu antagonis H1 selektif, mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine
dalam mengurangi chemosis, kelopak mata bengkak,dan tanda-tanda dan
gejala yang berhubungan dengan konjungtivitis alergi musiman pada pasien
dewasa dan anak.
Non-steroid anti-inflamasi

nonsteroid

(OAINS)

topikal.Obat

ini

menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab


untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac
trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam mengurangi
tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi, meskipun
Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya ketorolac
untuk pengobatan konjungtivitis alergi.
Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel mast,
sehingga membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk histamin,
neutrofil dan eosinofil faktor chemotactic, dan platelet-activating factor.
Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik ampuh
digunakan untuk mengobati berbagai immunemediated kondisi. Sistemik

diberikan siklosporin A dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk pasien


dengan keratokconjugtiviits atopik yang berat.
Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu respon
alergi dengan edema, dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka harus digunakan
dengan hati-hati karena penenang yang dan efek antikolinergik dari beberapa
antihistamin generasi pertama obat-obatan. Pasien harus memperingatkan efek
samping potensial. Antihistamin baru yang jauh lebih kecil kemungkinannya
untuk menyebabkan sedasi, tetapi penggunaannya dapat mengakibatkan
kekeringan okular meningkat permukaan
Pada kasus ini diberikan tetes mata polynel diberikan empat kali per hari Polynel
digunakan untuk pengobatan jangka pendek yang mengandung fluorometholone
dan sulfat neomycine . Fluorometholone sebagai kortikosteroid anti - inflamasi
dan sebagai imunosupresan terhadap reaksi alergi. Neomycin sulfate adalah
antibiotik spektrum luas sebagai profilaksis untuk pencegahan infeksi sekunder .
Terapi yang direkomendasikan untuk pasien ini meliputi termasuk tatalaksana
nonmedika mentosa seperti menerapkan obat dari dokter secara teratur, merawat
kebersihan pribadi , menggunakan kacamata pelindung , dan menyarankan
kepada pasien harus menghindari menyentuh atau menggosok mata .
Mata sangat rentan dan dapat terkena berbagai penyakit dengan berbagai
kondisi, beberapa diantaranya bisa bersifat primer sedang yang lain bersifat
sekunder yang mana akibat dari kelainan pada sistem organ tubuh kita.
Kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi lebih awal dan dapat
dikontrol sehingga penglihatan dapat dipertahankan. Bila hal tersebut dapat
segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun bila penyakit
radang mata ini tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada
mata / gangguan

dan

menimbulkan

komplikasi. Pada konjungtivitis alergi,

prognosis pasien masih menguntungkan. Kondisi ini umumnya akan segera


hilang tetapi mungkin terulang kembali.
Komplikasi pada konjungtivitis alergi sangat jarang terjadi. Namun penyakit
radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan
pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi berupa ulkus
kornea atau keratoconus.

BAB V
KESIMPULAN
Anak laki-laki , 6 tahun , keluhan mata kanan merah dan terasa gatal . terdapat riwayat
keluhan serupa sebelumnya dan riwayat atopi pada keluarga.

Pemeriksaan oftalmologi

Kelopak mata yang normal. Hiperemis konjungtiva , konjungtiva injeksi ( + ) , airmata ( + )


pada mata kanan. . Kornea mata kanan dan kiri jernih, edema (-), ulcer (-), infiltrat (-). Bilik
mata depan normal dan lensa kedua mata jelas . Iris dan pupil da;lam batas normal .
Diagnosis kerja pasien ini adalah konjungtivitis alergi ocular dextra . Tatalaksana meliputi
terapi medikamentosa ( tetes polynel mata ) dan non - medikamentosa ( menerapkan obat
dari dokter secara teratur, merawat kebersihan pribadi , menggunakan kacamata pelindung ,
dan menyarankan kepada pasien harus menghindari menyentuh atau menggosok mata ) .

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Mata Merah Dengan Penglihatan Normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu Penyakit
Mata Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2010. h116-46.
2. Vaughan, D.G., Asbury, T., General Ophthalmology (17th ed.). Brahm, U. 2008 (Alih
Bahasa), EGC, Jakarta. 2010.
3.

Scott,

IU.

Alergy

Conjunctivitis.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall. 2011.
4. Greg M., Peter M. Classifying and Managing Allergic Conjunctivitis. Medicine Today.
Volume 8, Number 11. November 2011.
5. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor. Comprehensive
Ophtalmology. Ed. 4. New Delhi: New Age ; 2010. h. 51-88.
6. Ventocillia

M,

Roy

H.

Allergic

Conjunctivitis.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104. 2012.
7. Schneider, John E. Cara M. Scheibling and Darron Segal, Epidemiology and Economic
Burden of Conjunctivitis: A Managed Care Perspective, Journal of Managed Care
Medicine. 2014;17(1):78-83.
8. Quinn, Christopher J. et al., Optometric Clinical Practice Guideline Care Of The Patient
With Conjunctivitis, USA: American Optometric Association; 2002.

Anda mungkin juga menyukai