KONJUNGTIVITIS ALERGI
Disusun Oleh :
Diska Astarini
I11109083
Lembar Persetujuan
Telah disetujui,
Pontianak, Maret 2016
Disusun oleh :
Pembimbing,
Diska Astarini
BAB I
PENDAHULUAN
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata
dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal
diantaranya disebabkan oleh alergi.1
keratokonjungtivitis alergi.2,3
Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi. Penyulit yang bisa
terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi jarang menyebabkan
kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus
dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun dapat pula prognosis penyakit ini
menjadi buruk bila terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,
misalnya kontak lensa.5
Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi
adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe
humoral ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen
dibandingkan dengan kulit.5
Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause
berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
ditepi atas tarsus atas.2
2.3. Epidemiologi
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang
tinggi. Keratokonjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah
mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika. Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai
pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset
pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum
onset pubertas dan kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya lebih banyak
pada dewasa muda.6
2.4. Etiologi
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :1
a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara
c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.
2.
3.
Anti bakteri
4.
5.
Dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi pirogen endogen yang memicu
demam melalui hipotalamus, memicu produksi protein fase akut oleh hati, memicu
peningkatan hematopoiesis oleh sumsum tulang leukositosis beberapa macam
sitokin yaitu: IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-6), TNF-a (tumor necrosis factor
alpha).
7. Mediator lain (dihasilkan akibat proses fagositosis).
Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal. Oksigen dan
nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk mikroorganisme.
Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease), hal ini
disebabkan oleh faktor-faktor :
1.
Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-zat anti
mikrobial
2.
3.
4.
5.
6.
Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe cepat) yang
berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya berkontak dengan antigen
yang spesifik. Respon alergi pada mata merupakan suatu rangkaian peristiwa yang
dikoordinasi oleh sel mast. Beta chemokins seperti eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai
aktifasi sel mast pada permukaan mata. Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi
yang akan mempersiapkan sistem tubuh untuk memproduksi respon antigen spesifik. Sel T
yang berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang
produksi antigen spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE reseptor
pada permukaan sel mast. Kemudian smemicu pelepasan sitokin, prostaglandin dan platelet
activating factor. Sel mast menyebabkan peradangan dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi
oleh sel inflamasi. Ketika histamin dilepaskan oleh sel mast. Histamin akan berikatan dengan
reseptor H1 pada ujung saraf dan menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga
akan akan berikatan dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan
menyebabkan vasodlatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin, interleukin IL8 terlibat dalam memicu netrofil.Sitokin TH2 seperti IL-5 akan memicu eosinofil dan IL-4,
IL-6,IL-13 yang akan memicu peningkatan sensitivitas.5
2)
3)
b. Konjungtivitis vernal
Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan berulang
(recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi. Penyakit ini juga
dikenal sebagai konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim kemarau.
Sering terdapat pada musim panas di negeri dengan empat musim, atau sepanjang
tahun di negeri tropis (panas).1,2
Etiologi dan Predisposisi
Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I yang
mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan riwayat keluarga yang kuat
alergi.1,2,7
Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin sama.
Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun. Penderita konjungtivitis
vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumputrumputan.1
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal
ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya
histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM
dengan adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat
mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat
menurut Smolin (1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis
ini.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk
kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis
herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi
dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada
reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes
simpleks dan keratitis diskiformis.
Manifestasi Klinis
Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang menyertai
meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih terbakar, dan perasaan seolah
ada benda asing yang masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang,
dan sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat
beraktivitas normal.1,2,7
Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :
Konjungtiva tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat
dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak sebagai tonjolan
bersegi banyak (polygonal) dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler
ditengahnya.1,2
Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk
jaringan hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan Trantas dot yang merupakan
degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea,
terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.1,2
Patofisiologi
bentuk
limbal
terdapat
perubahan
yang
sama,
yaitu:
Gambaran Histopatologik
Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan
ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup
oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil
serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil
ini berhubungan
dengan
infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast.Hasil penelitian
histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang dilakukan oleh Wang
dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada konjungtiva.
Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid. Sementara itu, beberapa
granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan sitotoksik yang
berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak
hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada beberapa kasus
melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar. Fase vaskular dan selular dini
akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi
yang
lebih
mencolok,
serta
reduksi
sel
radang
secara
keseluruhan.
Pemeriksaan Penunjang
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak
eosinofil dan granula eosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darah ditemukan
eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE.
Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang secara rutin
tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik adalah menggunakan
glutaraldehyde, lapisan plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat
memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1 berdasarkan jenis dan
lokasinya. Jumlah rata-rata sel per kubik milimeter tidak melampaui jumlah
normal. Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali berada
dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel
dalam proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan membesar
dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan pembuluh darah.
Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien
konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua dari empat
pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya
membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva normal
dari dua pasien lainnya.
Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum 11 pasien
konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan bahwa terdapat
korelasi yang signifikan antara air mata dengan level kandungan serum pada kedua
mata. Kandungan IgE pada air mata diperkirakan muncul dari serum kedua mata,
kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien
konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada
air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara spesifik
ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain
itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG yang signifikan
yang menjadi butiran pada air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis antibodi
ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini menyimpulkan
bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme imun yang terlibat
dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal antibodi terjadi pada
jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif pada orang-orang yang
memiliki alergi udara, tetapi pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak
berhubungan dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi IgE.
Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien konjungtivitis
vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi daripada kandungan histamin air
mata pada 13 orang normal (10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan
menggunakan mikroskopi elektron yang diperkirakan menemukan tujuh kali lipat
lebih banyak sel mastosit dalam substantia propia daripada dengan pengamatan
yang menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat
pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi.
Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi menunjukkan
adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua eosinofil
tiap pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis
vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada daerah permukaan lain
pada level ini.5,7
c. Konjungtivitis atopi
Konjungtivitis atopi sering diderita oleh pasien dermatitis atopi. Tanda dan gejalanya
berupa sensasi terbakar, kotoran mata berlendir, merah dan fotofobia. Terdapat papil
halus tetapi papil raksasa tidak ditemukan seperti pada konjungtivitis vernal. Kerokan
konjungtiva
menampakan
eosinofil
meski
tidak
sebanyak
terlihat
pada
keratokonjungtivitis vernal.1
e. Konjungtivitis flikten
Konjungtivitis flikten
2.8. Penatalaksanaan
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi antigen spesifik
dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti lubrikan dan kompres
dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien. Obat-obatan yang
menurunkan respon imun juga digunakan pada kasus konjungtivitis alergi untuk menurunkan
respon imun tubuh dan meredakan gejala inflamasi.
Obat obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:
Steroid topikal. Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya, edema, dilatasi
kapiler, dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga membatasi migrasi makrofag dan
neutrofil untuk daerah meradang serta memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya
induksi asam arakidonat cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata akut
alergi, steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya harus
dibatasi karena potensi efek samping dengan biala lama digunakan. Penggunaan
kortikosteroid topikal jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi: katarak subkapsular
posterior dan peningkatan tekanan intraokular (TIO).
Vasokonstriktor topikal / antihistamin. Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh
darah, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan
memblokir histamin H1 receptors
Antihistamin topikal. Anithistamines kompetitif terikat dengan reseptor histamin dan dapat
mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida 0,05%, sebuah H1 selektif
topikal antagonis reseptor histamin, efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala alergi
lain conjunctivitis. H1 selektif antagonis, azelastine hidroklorida 0,05%, efektif dalam
mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%, suatu antagonis H1 selektif,
mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine dalam mengurangi chemosis, kelopak
mata bengkak,dan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan konjungtivitis alergi
musiman pada pasien dewasa dan anak.
Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.Obat ini menghambat aktivitas
siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab untuk konversi asam arakidonat ke
enzim prostaglandins. Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif
dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi,
meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya ketorolac untuk
pengobatan konjungtivitis alergi.
Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel mast, sehingga
membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk histamin, neutrofil dan eosinofil faktor
chemotactic, dan platelet-activating factor.
Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik ampuh digunakan untuk
mengobati berbagai immunemediated kondisi. Sistemik diberikan siklosporin A dapat
menjadi pengobatan yang efektif untuk pasien dengan keratokconjugtiviits atopik yang berat.
Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu respon alergi dengan
edema, dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka harus digunakan dengan hati-hati karena
penenang yang dan efek antikolinergik dari beberapa antihistamin generasi pertama obatobatan. Pasien harus memperingatkan efek samping potensial. Antihistamin baru yang jauh
lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan sedasi, tetapi penggunaannya dapat
mengakibatkan kekeringan okular meningkat permukaan.3,4,6
Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :
a. Terapi lokalis
- Steroid topical penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus
hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan
pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi
maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan
-
b. Terapi sistemik;
-
Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau
terbukti
dapat
merangsang
pembebasan
mekanis
dari
mediator
-mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super infeksi yang pada
-
2.9. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi
sekunder. Sedangkan, komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik
dapat mengganggu penglihatan.8
2.10. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh
spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi apabila tidak ditangani
dengan baik.2,6
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama
An. D
Umur
6 Tahun
Jenis kelamin
Laki-laki
Suku bangsa
Melayu
Agama
Islam
Alamat
Tanggal pemeriksaan :
10 Maret 2016
Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis pada tanggal 10 Maret
2016 pada pukul 11.00 WIB
Keluhan utama:
Mata kanan merah
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke Balai Pengobatan Mata dengan keluhan mata kanan berwarna merah
sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan terus menerus sepanjang hari. Keluhan
awalnya tidak disadari oleh orang tua namun sekitar 1 hari SMRS pasien sering
mengucek mata. Selain mata merah, pasien juga merasakan mata terasa gatal, berair,
mata seperti lengket karena kotoran mata, dan mata terasa mengganjal. Pasien
diberikan obat tetes mata oleh orang tua nya namun keluhan tetap ada. Orang tua
pasien mengatakan keluhan ini dirasakan mulai muncul setelah pasien bermain di
kebun bunga milik kakek pasien. Keluhan pada mata pasien ini tidak mengganggu
penglihatan, pasien dapat melihat sama seperti sebelum sakit. Pasien menyangkal
adanya penglihatan kabur, nyeri pada mata, silau, sulit menggerakkan kelopak mata,
demam, batuk, pilek.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya pada Maret dan November
2015.
Riwayat asma (-) alergi (-)
Pasien tidak memiliki riwayat trauma mata sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa, tidak ada riwayat
darah tinggi dan kencing manis. Ayah dan kakek pasien mengatakan sering bersin
berkali-kali pada pagi hari.
Riwayat Lingkungan, Sosial & Ekonomi:
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasien tinggal bersama
kedua orang tua serta adik perempuannya di sebuah rumah berukuran 4x8 m2
yang berlokasi di lingkungan padat penduduk. Sumber air berasal dari air sumur
dan air hujan. Pasien belum bersekolah dan kegiatan sehari-hari sering dihabiskan
untuk bermain bersama anak-anak sebaya di lingkungan rumahnya. Pasien juga
sering ikut sang kakek berkebun tiap sore hari. Kedua orang tua pasien berprofesi
sebagai pegawai swasta.
A. STATUS GENERALIS
Kesadaran
: Kompos mentis
Keadaan umum
Tanda vital
TD
: 110/70 mmHg
: 82 x/menit
: 22 x/menit
: 36,2 oC
Lain-lain
B. Status Oftalmologi
Tajam Penglihatan
OD
: Tidak dapat diperiksa (Pasien tidak kooperatif)
OS
: Tidak dapat diperiksa (Pasien tidak kooperatif)
OD
+
+
OS
+
OD
OS
Orthophoria
Orthophoria
Palpebra
membrane (-)
Conjunctiva
membrane (-)
discharge (-),injeksi
Cornea
infiltrat (-)
Jernih dalam
Anterior Chamber
infiltrat (-)
Jernih,dalam
Lens
Tidak dilakukan
Vitreous
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Fundus
Tidak dilakukan
: Normal
TIO (palpasi)
: Normal
Ishihara test
: Tidak dilakukan
Fluorescein test
: Tidak dilakukan
C. Resume
Anamnesis
Pasien anak laki-laki usia 6 tahun
Keluhan utama : kedua mata merah sejak 2 hari SMRS
Keluhan tambahan : mata terasa gatal, berair, mata seperti lengket karena
Pemeriksaan Fisik
Tanda vital :
TD :
110/70 mmHg
N : 82 x /menit
RR : 22x/ menit
S : 36,2 C
OD : edema (-), konjungtiva hiperemis (+), sekret (-), injeksi konjungtiva (+),
air mata (+)
D. Diagnosa
Konjungtivitis Alergi OD
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Giemsa
- Tes alergi kulit.
- Slitlamp
IX. PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
- Edukasi mengenai penyakit pasien dan penanganannya.
- Bila terasa gatal dan panas kompres mata dengan kompres dingin.
- Bersihkan cairan mata yang keluar dengan handuk bersih, tissue atau kapas yang
-
Medikamentosa
Polynel (ED) 4dd gttI OD
F. Prognosis
OD
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanactionam
: bonam
: bonam
: dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien anak laki-laki 6 tahun datang ke Balai Pengobatan Mata dengan
keluhan mata kanan berwarna merah sejak 2 hari SMRS. Keluhan dirasakan terus
menerus sepanjang hari. Keluhan awalnya tidak disadari oleh orang tua namun
sekitar 1 hari SMRS pasien sering mengucek mata. Selain mata merah, pasien
juga merasakan mata terasa gatal, berair, mata seperti lengket karena kotoran
mata, dan mata terasa mengganjal.
Dalam ilmu penyakit mata, Sidarta (2010) dijelaskan bahwa mata merah
seperti yang dikeluhkan pasien dapat timbul akibat terjadinya perubahan pada
bola mata yang sebelumnya berwarna putih. Mata merah tersebut dapat
diakibatkan oleh pelebaran pembuluh darah konjungtiva dan bila terjadi
pelebaran pembuluh darah konjungtiva atau episklera atau perdarahan antara
konjungtiva dan sklera maka akan terlihat warna merah.
Mata merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva ini biasanya
terjadi akibat peradangan akut pada mata, pelebaran ini sendiri lebih dikenal
dengan sebutan injeksi konjungtiva yaitu peradangan arteri konjungtiva
posterior, peradangan tersebut dapat terjadi akibat pengaruh mekanik dari alergi
atau infeksi bakteri, virus dan jamur.
Pada penjelasan lebih lanjut oleh Sidarta (2010) selain injeksi konjungtiva
mata merah juga bisa disebabkan oleh injeksi siliar dimana terjadi pelebaran
pembuluh darah perikornea atau pada arteri siliar anterior akan tetapi pelebaran
pembuluh darah ini memiliki sifat warna yang lebih ungu dibanding dengan
pelebaran yang terjadi pada arteri konjungtiva dan tidak ikut serta bila ada
pergerakan dari konjungtiva karena pembuluh ini melekat erat pada jaringan
perikornea.
Rasa gatal yang dikeluhkan pada pasien adalah efek dari proses reaksi
hipersensitivitas yang terjadi dimana terjadi pelepasan mediator berupa
histamin oleh sel mast yang
peradangan
yang
mendasarinya,apabila
berupa
air
jernih
maka
terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir
hidung,paru dan konjungtiva. Pajanan alergen berikutnya terjadi di tempat yang
berbeda dari pajanan awalnya, yang menyebabkan alergen bisa menembus
melewati epitel konjungtiva superficial menuju daerah subepitel, lalu antigen
akan mengikat spesifik alergen IgE tersebut pada permukaan sel mast.
Selanjutnya dalam 60 menit akan terjadi degranulasi, diawali dengan pelepasan
mediator-mediator yang dapat menyebabkan chemosis dan rasa gatal di
konjungtiva. Pada reaksi fase lambat, yaitu terjadi antara 4-24 jam berikutnya,
ditandai dengan pengerahan sel-sel limfosit, eosinofil dan neutrofil sehingga
terjadilah peradangan.
Pada kasus ini ada riwayat kebiasaan dari pola hidup dan lingkungan yang
bermakna yang membantu mendiagnosis penyakit yang diderita pasien saat ini.
Pasien seringkali bermain ke kebun bunga milik kakek pasien dan kemudian
menyebabkan timbulnya mata merah pada pasien. Alergen airborne seperti
serbuk sari, rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya
gejala pada serangan akut konjuntivitis alergi.
Pada pemeriksaan fisik baik dari satatus generalis maupun dari pemeriksaan
mata didapatkan bahwa Keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran yang
compos mentis dan vital sign yang dalam batas normal .Sedangkan pada
pemeriksaan mata didapatkan bahwa visus mata tidak dapat diperiksa karena
pasien anak yang kurang kooperatif dan hal positif yang didapatkan sebagai
pembantu penegakan diagnosis yaitu hiperemis pada konjungtiva mulai dari
konjungtiva superior et inferior, konjungtiva forniks dan konjungtiva bulbi,
adanya injeksi konjungtiva serta pengeluaran airmata.
Seperti pembahasan mata merah di atas yang dikemukakan oleh Sidarta (2010)
bahwa hiperemis disebabkan karena adanya pelebaran pembuluh darah
konjungtiva akibat adanya peradangan sehingga dengan diapatkannya tanda
positif ini pada pemeriksaan mata akan mengarahkan diagnosis pada kasus ini
ke arah konjungtivitis. Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan
menyebabkan vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran
darah ke lokasi (vasodilatasi) dalam hal ini adalah a. ciliaris anterior dan a.
palpebralis sehingga mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan
velocity aliran darah ke lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di
pemeriksaan klinis
pemeriksaan
laboratorium
dapat
dilakukan
dengan
mengorek
nonsteroid
(OAINS)
topikal.Obat
ini
dan
menimbulkan
BAB V
KESIMPULAN
Anak laki-laki , 6 tahun , keluhan mata kanan merah dan terasa gatal . terdapat riwayat
keluhan serupa sebelumnya dan riwayat atopi pada keluarga.
Pemeriksaan oftalmologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Mata Merah Dengan Penglihatan Normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu Penyakit
Mata Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2010. h116-46.
2. Vaughan, D.G., Asbury, T., General Ophthalmology (17th ed.). Brahm, U. 2008 (Alih
Bahasa), EGC, Jakarta. 2010.
3.
Scott,
IU.
Alergy
Conjunctivitis.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall. 2011.
4. Greg M., Peter M. Classifying and Managing Allergic Conjunctivitis. Medicine Today.
Volume 8, Number 11. November 2011.
5. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor. Comprehensive
Ophtalmology. Ed. 4. New Delhi: New Age ; 2010. h. 51-88.
6. Ventocillia
M,
Roy
H.
Allergic
Conjunctivitis.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104. 2012.
7. Schneider, John E. Cara M. Scheibling and Darron Segal, Epidemiology and Economic
Burden of Conjunctivitis: A Managed Care Perspective, Journal of Managed Care
Medicine. 2014;17(1):78-83.
8. Quinn, Christopher J. et al., Optometric Clinical Practice Guideline Care Of The Patient
With Conjunctivitis, USA: American Optometric Association; 2002.