Anda di halaman 1dari 8

Kategori Aqidah Ahlus Sunnah

Dalil ‘Aqli (Akal) Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli/Nash Yang Shahih`

Sabtu, 26 Februari 2005 14:21:50 WIB

PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH DALAM MENGAMBIL DAN MENGGUNAKAN DALIL

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Bagian Ketiga dari Enam Tulisan 3/6

Penjelasan Kaidah Keenam

“Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih.”

Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti [1], di antaranya: Ad-diyah
(denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat).
Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:

[1]. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada


setiap manusia.

[2]. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang
bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam salah satu sabdanya:

"Artinya : ...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal.”[2]

Akal adalah insting yang diciptakan Allah Subahnahu wa Ta'ala kemudian diberi
muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah
aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan
Allah Azza wa Jalla.

Firman-Nya:

"Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat
mereka di daratan dan di lautan.” [Al-Israa’: 70]

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal
manusia. Dan itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:

Pertama [3]:

Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya
mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.

Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya :...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal."


[Shaad: 43]

Kedua [4] :
Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima
taklif (beban kewajiban) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari’at tidak
berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak
menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan;
orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia
kembali sadar (berakal)."[5]

Ketiga [6].

Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya
celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memi-kirkan


(peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang
menyala-nyala." [Al-Mulk: 10]

Keempat [7].

Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam al-Qur-an, seperti
tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum
tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah
kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna al-Qur'ana” (apakah mereka
tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an) dan lainnya.

Kelima.

Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan
mengikutinya juga) walau-pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk? "[Al-Baqarah: 170]

Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam
Ahmad bin Hanbal, “Ittiba’ adalah sese-orang mengikuti apa-apa yang datang dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [8]

Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi
[9] menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak
pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat
berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan yang ber-
dasarkan pemikiran logika semata.

Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin
‘Abdillah, wafat th. 390 H) : “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada
perkataan yang tidak ada hujjah/dalil atas orang yang mengatakannya. Dan makna
ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah/dalil yang tetap. Ittiba’
diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.” [10]

Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[11]

Keenam [12]

Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan


mengikuti kebenaran.

Allah Azza wa Jalla berfirman:


“Artinya : ..Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." [Az-Zumar: 17-18]

Ketujuh.

Pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana firman Allah Azza
wa Jalla.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah
urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit." [Al-Israa’: 85]

Firman Allah Azza wa Jalla :

"Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di
belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya."
[Thaahaa: 110]

Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal).
Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam al-Qur-an dan as-Sunnah.
Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para
ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang
menundukkan/mengalahkan dalil-dalil syar’i.

Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak
menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka
tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan
rasio semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat
dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan
akal mereka atau rasio mereka.

Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani Rahimahullah (wafat th. 489 H) [13] berkata:
“Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal tidak
mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta
tidak ada hak baginya untuk meng-halalkan atau mengharamkan sesuatu,
sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk.
Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu
kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”

Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya


sebagai berikut :[14]

[1]. Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak
ma’shum.

[2]. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global,
tidak bersifat detail.

[3]. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan
syari’at.

[4]. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang berten-tangan dengan
syari’at.

[5]. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan


seterusnya) adalah hak prerogatif syariat.

[6]. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya
wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan
buruk.

[7]. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Artinya : Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul."
[Al-Israa’: 15]

[8]. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.

[9]. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang diten-tukan
oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang diri-Nya:
"Artinya :Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya" [Al-Buruuj: 16]

Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam
masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Dan
jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan
sumber dan dasarnya. Dan keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan
yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan)
namun berubah men-jadi dalil yang bathil.[15]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama
Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

_________

Foote Note

[1]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal
Jama’ah (hal. 40).

[2]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul
Ghaliil (II/5-6).

[3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal
Jama’ah (hal. 40).

[4]. Ibid, hal. 40.

[5]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).

[6]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (hal. 41).

[7]. Ibid, hal. 41.

[8]. Lihat Taarikh Ahlil Hadits Ta’yiin al-Firqah an-Najiyah wa Annaha Tha-ifah Ahlil
Hadits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq oleh Syaikh
‘Ali bin Hasan al-Halaby hal. 116.

[9]. Ibid, hal. 116.


[10]. Ibid, hal. 117 dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi
(II/993).

[11]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr.
Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.

[12]. Lihat al-Madkhal (hal. 41).

[13]. Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshuur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar as-
Sam’ani at-Taimi seorang ahli fikih, imam yang masyhur, beliau memiliki kitab-kitab
tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fi Bayyan al-Mahajjah
(I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-
Madkhaly. Cet. Daar ar-Raayah, 1411 H

[14]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah
wal Jamaa’ah (hal. 45).

[15]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah
wal Jama’ah. hal. 46.

Anda mungkin juga menyukai