Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas refreshing
yang berjudul Infeksi Susunan Saraf Pusat. Penyusunan Refreshing ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas Stase Saraf di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah
Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta.
Diharapkan refreshing ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para
mahasiswa fakultas kedokteran, dokter, dan masyarakat. Serta semoga dapat menambah
pengetahuan dalam bidang kedokteran dan dapat menjadi bekal dalam profesi kami kelak.
Saya menyadari bahwa refreshing

ini masih terdapat banyak kekurangan baik

mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Oleh karena itu saya mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca refresing ini.
Atas perhatian yang diberikan saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, Agustus 2015

Sarah Amani

BAB I
PENDAHULUAN

Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih


merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup
tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat
(SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis. Meningitis sinonim dengan
leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak yang melibatkan arachnoid dan
piamater sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak. (Ritarwan,
2006)
Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika
seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari lumpuh
hingga koma. Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling terlindungi atau yang
paling terakhir terkena infeksi, apabila otak sudah terkena infeksi akan sangat mungkin
mempengaruhi organ lainnya di tubuh dan fungsinya menjadi terganggu. (Wahyu, 2011)
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam dan
sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala lanjutan seperti kejang
dan sakit kepala yang semakin parah segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk
diagnostik dini memang tidak mudah, karenanya proses pencarian penyebabnya harus
progresif agar bisa ditangani dengan baik.

BAB II
ISI

2.1 Definisi
Infeksi adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam jaringan tubuh.
Infeksi susunan saraf ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam
susunan saraf. (Mardjiono, 2008)
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi susunan saraf menurut organ yang terkena peradangan, tidak
memberikan pegangan klinis yang berarti. Radang pada saraf tepi dinamakan neuritis, pada
meninges disebut meningitis, pada jaringan medulla spinalis dinamakan mielitis dan pada
otak dikenal sebagai ensefalitis (Mardjiono, 2008). Bedasarkan jenis kuman mencakup
sekaligus diagnosis kausal. Maka dari itu, pembahasan mekanisme infeksi susunan saraf
dilakukan menurut klasifikasi infeksi viral, bakteri, spiroketa, fungus, protozoa, dan metazoa.
2.3 Meningitis
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya gejala
perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan
jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya,
meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi
klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset
dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus, gejala klinik
meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
a. Anatomi meningea
Otak mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh
homeostasis seperti detak jantung, tekanan darah, keseimbangan cairan tubuh dan suhu tubuh.
Otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi, ingatan, pembelajaran
motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya. Otak dilindungi oleh Kranium,
Meningea/selaput otak dan LCS (Liquor CerebroSpinal). Meningea terdiri atas 3 lapisan,
yaitu :
1) Duramater
3

Luar

: melapisi tengkorak

Gambar 1 Anatomi lapisan meningea kranium

Dalam : membentuk falk serebri, falk serebelli, tentorium serebellin. Membentuk sinus
sagitalis/longitudinalis superior dan inferior.

Gambar 2 Anatomi lapisan meningea kranium(10)

2) Arakhnoid : Terdapat granulasi arackhnoid, dilalui LCS


3) Piamater : Melekat pada otak / sumsum tulang.

Gambar 3 Anatomi lapisan meningea kranium

LCS (Liquor Cerebro Spinal) berada pada rongga-rongga otak (ventrikel) di dalam
ruang subarakhnoid, diproduksi oleh plexus khoroid. Pada sumsum tulang berada di kanalis
sentralis & ruang subarakhnoid. Sifat bening, alkali, tekanan 60 140 mm air. Berfungsi
sebagai buffer, bantalan fisik, nutrisi jaringan syaraf. Pemeriksaan LCS dilakukan dengan
punksi Lumbal (VL 1-2) dan punksi fontanel.
b. Meningitis Viral
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya
menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus dan Herpes Simplex Virus (HSV).
Meningitis viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai manifestasi dari
infeksi SSP. Istilah viral digunakan karena merupakan agen penyebab, dan penggunaan
meningitis saja mengimplikasikan tidak terlibatnya parenkim otak dan medula spinalis.
Namun, patogen virus dapat menyebabkan kombinasi dari infeksi yaitu meningoencephalitis
atau meningomielitis.
Pada meningitis viral, perjalanan klinis biasanya terbatas, dengan pemulihan komplit
pada 7-10 hari. Lebih dari 85% kasus disebabkan oleh enterovirus non polio; maka,
karakteristik penyakit, manifestasi klinis, dan epidemiologi menunjukkan infeksi enteroviral.
Campak, polio, dan limfositik choriomeningitis virus (LCMV) saat ini merupakan ancaman
untuknegara berkembang. Polio tetap merupakan penyebab utama dari mielitis pada beberapa
daerah di dunia
5

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, lebih dari 10,000 kasus dilaporkan setiap tahunnya, tetapi
insiden sesungguhnya dapat mencapai hingga 75,000. Kurangnya pelaporan dikarenakan
tidak ada hasil klinis kebanyakan kasus dan ketidakmampuan dari beberapa agen viral untuk
tumbuh dalam kultur. Menurut laporan CDC, perawatan pasien dalam rumah sakit dari
meningitis virus bervariasi dari 25,000-50,0000 setiap tahun. Dalam beberapa laporan insiden
diperkirakan 11 per 100,000 populasi pertahun.
Persebaran insiden dari klinis meningitis viral di dunia bervariasi. Penyebab
meningitis viral di dunia termasuk enterovirus, virus campak, VZV, dan HIV. Gejala
meningitis dapat timbul sedikit pada 1 dari 3000 kasus infeksi oleh agen ini. Studi dari
Finlandia memperkirakan insiden 19 per 100,000 populasi pada anak usia 1-4 tahun. Hal ini
merupakan contrast signifikan hingga 219 kasus per 100,000 yang diperkirakan untuk anak
lebih muda dari 1 tahun. Virus encephalitis B Japaneese, patogen tersering pada meningitis
virus di dunia, menyebabkan lebih dari 35,000 infeksi setiap tahunnya melalui Asia tetapi
diperkirakan menyebabkan 200-300 kali penjumlahannya dari infeksi subklinis. Distribusi
dan karakteristik penyerangan oleh vector arthropod, menunjukkan variabilitas geografis
yang kuat. Kurangnya aturan vaksinasi yang efektif pada Negara dunia ketiga memainkan
peranan pada ketimpangan geografis dari agen infeksi lain.
Faktor Risiko
Diluar periode neonatal, angka mortalitas dikaitkan dengan meningitis viral kurang
dari 1%; angka morbiditas juga rendah. Dokter harus menyadari virus yang dapat
menyebabkan meningitis juga dapat menyebabkan infeksi yang lebih serius pada CNS sama
halnya dengan organ lain. Laporan statistikWorld Health Organization (WHO) dari tahun
1997 melaporkan meningitis enteroviral dengan sepsis merupakan penyebab ke-5 tersering
dari mortalitas pada neonatus. Komplikasi seperti edema otak, hidrosefalus, dan kejang dapat
timbul pada periode akut.
Ras
Tidak ada predileksi rasial spesifik telah diidentifikasi
Sex
Tergantung dari patogen viral, rasio yang mempengaruhi wanita dan pria dapat
bervariasi. Enterovirus diduga untuk mempengaruhi pria 1.3-1.5 kali lebih sering
dibandingkan wanita. Kebanyakan arbovirus mempunyai karakteristik penyerangan yang
beragam, mempengaruhi kedua gender tetapi pada usia berbagi.
Usia
o Insidensi meningitis viral menurun sesuai dengan usia
6

o Neonatus berada pada resiko terbesar dan mempunyai resiko signifikan akan
morbiditas dan mortalitas.
Beberapa serangan arbovirus sangat ekstrem pada beberapa usia, dengan orang yang

lebih tua berada pada resiko terbesar untuk infeksi, sementara puncak campak dan
cacar timbul pada usia remaja akhir.
Etiologi
Enteroviruses menyebabkan lebih dari 85% semua kasus meningitis virus. Mereka
merupakan keluarga dari Picornaviridae (pico untuk kecil, rna untuk asam
ribonukleat), dan termasuk echovirus, coxsackie virus A dan B, poliovirus, dan
sejumlah enterovirus. Nonpolio enterovirus merupakan virus yang sering, sama

dekat ya dengan prevalensi rhinoviruses (flu


Arboviruses menyebabkan hanya 5% kasus di Amerika Utara
Cacar: sejumlah keluarga dari Paramyxovirus, virus cacar merupakan agen pertama

dari meningitis dan meningoensefalitis.


Virus keluarga herpes: HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, dan herpes virus manusia
6 secara kolektif menyebabkan sekitar 4% kasus meningitis viral, dengan HSV-2

menjadi penyerang terbanyak.


Lymphocytic choriomeningitis

virus:

LCMV masuk

edalam

keluarga

arenaviruses. Saat ini adalah jarang penyebab meningitis, virus ditransmisikan ke


manusia melalui kontak dengan tikus atau ekskeresi mereka. Mereka berada pada
resiko tinggi pada pekerja laboratorium, pemilik binatang peliharaan, atau orang

yang hidup dia area non higienis.


Adenovirus: Adenovirus merupakan penyebab jarang dari meningitis pada individu
immunocompeten tetapi merupakan penyebab utama pada pasien AIDS, Infeksi

dapat timbul secara simultan dengan infeksi saluran nafas atas.


Campak: Morbili virus ini merupakan penyebab yang paling jarang saat ini.
Karakteristik ruam makulopapular membantu dalam diagnosis. Kebanyakan kasus
timbul pada orang usia muda di sekolah dan perkuliahan. Campak tetap merupakan
ancaman kesehatan dunia dengan angka penyerangan tertinggi dari infeksi yang
ada; eradikasi dari campak merupakan tujuan kesehatan masyarakat yang penting

dari WHO.
Klinisi harus mempertimbangkan secara sebagian meningitis bakterial sebagai
kemungkinan etiologi untuk aseptic dari penyakit pasien; sebagai contoh, pasien
dengan otitits bakteri dan sinusitis yang telah mengambil antibiotic dapat timbul
dengan meningitis dan penemuan CSF yang identik terhadap meningitis viral.
7

Patofisiologi Meningitis Viral


Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau
neural. Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang diketahui. Penetrasi
neural menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada herpes viruses
(HSV-1, HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa
enterovirus.
Pertahanan tubuh multiple mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi
signifikan secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan local, barier mukosa dan
kulit, dan blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada system organ awal (ie,
respiratory atau gastrointestinal mucosa) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia
primer memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus lymph) jika
replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul,
dimana dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam CNS. Replikasi viral cepat tampaknya
memainkan peranan dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam CNS tidak sepenuhnya
dimengerti. Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau
melalui defek natural (area posttrauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi
terlihat dalam bentuk pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan
perbedaan jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah
monosit dan limfosit. Limfosit CSF telag dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B
juga merupakan pertahanan dalam melawan beberapa virus.
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke CNS dengan
transport retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah
melalui akar saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal
frontal dan lobus temporal anterior.
Manifestasi Klinis
- Riwayat Penyakit
Kebanyakan pasien melaporkan demam, sakit kepala, iritabilitasm nausea, muntah,

kaku leher, atau kelelahan dalam 18-36 jam sebelumnya.


Nyeri kepala hampir selalu ada dan seringkali dilaporkan dengan intensitas yang berat.
Bagaimanapun, deskripsi klasik dari sakit kepala terburuk dari hidup saya, ditujukan

kepada perdarahan sub arachnoid aneurisma, adalah tidak biasa


Gejala konstitusional lain adalah muntah, diare, batuk dan mialgia yang timbul pada

lebih 50% pasien.


Riwayat kenaikan temperature timbul pada 76-100% pasien yang dating untuk
mendapatkan perjatian medis. Pola yang sering adalah demam dengan derajat rendah
8

pada tahap prodromal dan kenaikan temperature yang lebih tinggi pada saat terdapat

tanda neurologis.
Beberapa virus menyebabkan onset cepat dari gejala diatas, sementara lainnya
bermanifest sebagai prodromal viral nonspesifik, seperti mialgia, gejala seperti flu, dan
demam derajat rendah yang timbul selama gejala neurologis sekitar 48 jam. Dengan

onset kaku kuduk dan nyeri kepala, demam biasanya kembali.


Pengambilan riwayat yang hati-hati dan harus termasuk evaluasi paparan kontak
kesakitan, gigitan nyamuk, debu, aktivitas outdoor pada daerah endemis penyakit lyme,
riwayat bepergian dengan kemungkinan terpapar terhadap tuberculosis, sama halnya
dengan penggunaan medikasi, penggunaan obat intravena, dan resiko penyebaran

penyakit menular seksual.


Bagian yang penting dari riwayat adalah penggunaan antibiotic sebelumnya, dimana
dapat mempengaruhi gambaran klinis meningitis bakterial.

- Fisik
Penemuan fisik umum pada meningitis viral adalah sering untuk semua agen penyebab,
tetapi beberapa virus mempinyai manifestasi klinis unik yang dapat membantu
pendekatan diagnostic yang terfokus. Pembelajaran klasik mengajarkan bahwa trias
meningitis meliputi demam, rigiditas nuchal, dan perubahan status mental, meskipun
tidak semua pasien mempunyai gejala ini, dan nyeri kepala hamper selalu timbul.
Pemeriksaan menunjukkan tidak ada deficit neurologis fokal pada kebanyakan kasus.
Demam lebih sering (80-100% cases) dan biasanya bervariasi antara 38C and 40C.
Rigiditas nuchal atau tanda lain dari iritasi meningea (tanda Brudzinski atau Kernig)
dapat terlihat lebih pada setengah pasien tetapi secara umum kurang berat dibandingkan
dengan meningitis bakterial.
Iritabilitas, disorientasi, dan perubahan status mental dapat terlihat.
Nyeri kepala lebih sering dan berat.
Photophobia secara ralatif adalah sering namun dapat ringan, Fonofobia juga dapat
timbul.
Kejang timbul pada keadaaan biasanya dari demam, meskipun keterlibatan dari
parenkim otak (encephalitis) juga dipertimbangkan, Encephalopathy global dan deficit
neurologis fokal adalah jarang tetapi dapat timbul. Refleks tendon dalam biasanya
normal tetapi dapat berat.
Tanda lain dari infeksi viral spesifik dapat membantu dalam diagnosis. Hal ini meliputi

faringitis dan pleurodynia pada infeksi enteroviral, manifestasi kulit seperti erupsi
zoster pada VZV, ruam maculopapular dari campak dan enterovirus, erupsi vesicular
oleh herpes simpleks, dan herpangina pada infeksi coxsackie virus. Infeksi Epstein Bar
9

virus didukung oleh faringitis, limfadenopati, cytomegalovirus, atau HLV sebagai agent
penyebab. Parotitis dan orchitis dapat timbul dengan campak, sementara kebanyakan
infeksi enteroviral dikaitkan dengan gastroenteritis dan ruam.
Pemeriksaan Penunjang
- Studi Laboratorium
Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda
neurologis abnormal untuk menyingkirkan lesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif
sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur CSF tetap kriteria standar pada pemeriksaan
bakteri atau piogen dari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian
dari meningitis bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul
aseptic. Hal berikut ini merupakan karakteristik CSF yang digunakan untuk mendukung
diagnosis meningitis viral:
o Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000 x 109/L darah
telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan
aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung
sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF klasik meningitis
viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana
mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan
o

sel; hal ini merupakan bukan merupakan atran yang absolute bagaimanapun.
Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.

Takanan
(N: 5-15

Meningitis

Meningitis

Bakterial
Meningkat

Viral
Normal/ sedikit

cm

meningkat

H2O
Jumlah sel

Kadar glukosa
Protein

Meningitis Jamur
TBC: normal/ sedikit
meningkat.
AIDS + meningitis
kriptokokkus: meningkat
<500/ mL terutama MN

1000-10.000/

<500/ mL

ml terutama

terutama MN

PMN
<1/2 glukosa

normal

Kadang menurun

darah
>45 mg/dl

Sedikit

>1000 mg/dl
10

Mikroorganisme
CSF lactid acid

Ada

meningkat
Tidak

Jamur

>35 mg/dl

didapatkan
<35 mg/dl

>35 mg/dl

Studi Pencitraan
o Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat termasuk CT
Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan gadolinium.
o CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi intrakranial.
Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan sepanjang
mening dan untuk menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural,
ataulesi lain. Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan.
o MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan patologi
intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal

frontal dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
Tes Lain
o Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam 24-48 jam harus
dilakukan rencana kerja untuk mengetahuo penyebab meningitis.
o Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan
visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan.
o EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien
yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharges (PLEDs) seringkali
terlihat pada ensefalitis herpetic.
Prosedur
o Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam mendiagnosis
meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada indikasi individu dan
keparahan penyakit, termasuk monitoring tekanan intrakranial, biopsi otak, dan
drainase ventricular atau shunting.
Penemuan Histologis
o Dikarenakan dari angka mortalitas rendah dengan meningitis viral akut, gambaran
patologis lain dibandingkan dengan respon limfositik dalam CSF secara umum
bukan merupakan bukti. Leptomeningea yang terdapat inflamasi dengan PMN dan
sel mononuklear pada fase akut penyakit. neuronophagia, dan peningkatan jumlah
sel mikroglia telah dicatat pada specimen dari sejumplah pasien yang meninggal
karena enchepalitis virus.

Diagnosis Banding
- Acute Disseminated Encephalomyelitis
11

Aseptic Meningitis
Brucellosis
Cytomegalovirus Encephalitis
Herpes Simplex Encephalitis

Penatalaksanaan
- Perawatan Medis
Terapi untuk meningitis viral kebanyakan suportif. Istirahat, hidrasi, antipiretik, dan
medikasi nyeri atau anti inflamasi dapat diberikan jika diperlukan, Keputusan yang paling
penting adalah baik memberikan terapi antimikroba awal untuk meningitis bakteri
sementara menunggu penyebabnya untuk bias diidentifikasi. Antibiotik intravena harus
diberikan lebih awal jika meningitis bakterial dicurigai. Pasien dengan tanda dan gejala dari
meningoensefalitis harus menerima asiklovir lebih awal untuk mencegah encephalitis HSV.
Terapi dapat dimodifikasi sebagai hasil dari pewarnaan gram, kultur dan uji PCR ketika
telah tersedia. Pasien dalam kondisi yang tidak stabil membutuhkan perawatan di critical
care unit untuk menjaga saluran nafas, pemeriksaan neurologis, dan pencegahan dari
komplikasi sekunder.
Enterovirus dan HSV keduanya mampu menyebabkan septic shock viral pada bayi
baru lahir dan bayi. Pada pasien muda ini, broad spectrum antibiotic dan asikloviar harus
diberikan secepatnya ketika diagnosis dicurigai. Perhatian khusus harus diberikan terhadap
cairan dan keseimbangan elektrolit (terutama natrum(, semenjak SIADH telah dilaporkan.
Restriksi cairan, diuretic, dan secara jarang infuse salin dapat digunakan untuk mengatasi
hiponatremia. Pencegahan terhadap infeksi sekunder dari traktus urinarius dan system
pulmoner juga penting untuk dilaksanakan
- Perawatan Pembedahan
Tidak ada terapi pembedahan yang biasanya diindikasikan. Pada pasien yang jarang
dimana viral meningitis berkomplikasi pada hidrosefalus, prosedur pemisahan CSF, seperti
ventriculoperitoneal (VP) atau LP shunting, dapat dilakukan. Ventriculostomy dengan
system pengumpulan eksternal diindikasikan pada kasus jarang dari hidrosefalus akut.
Kadangkala biopsy mening atau parenkim untuk diagnosis definitif dari infeksi viral
dibutuhkan. Monitoring tekanan intrakranial, dibutuhkan untuk beberapa kasus ensefalitis,
biasanya dilakukan di tempat tidur.
- Medikasi
Kontrol simptomatik dengan antipiretik, analgetik dan anti emetic biasanya itu
semua yang dibutuhkan dalam management dari meningitis viral yang tidak komplikasi.
Keputusan untuk memulai terapi antibakterial untuk kemungkinan meningitis bakteri adalah
penting; terapi antebakterial empiris untuk kemungkinan patogen harus dipertimbangkan
12

dalam konteks keadaan klinis. Asiklovir harus digunakan pada kasus dengan kecurigaan
HSV (pasien dengan lesi herpetic), dan biasanya digunakan secara empiris pada kasus yang
lebih berat yang komplikasinya encephalitis atau sepsis.
Agen Antiemetik: Agen ini digunakan dengan luas untuk mencegah mual dan
muntah.
- Ondansetron (Zofran)Antagonis selektif 5-HT3-receptor yang menghentikan
serotonin di perifer dan sentral, Mempunyai efikasi pada pasien yang tidak
berespon baikterhadap anti emetik lain.Dewasa: 4-8 mg IV q8h/q12h. Pediatrik:
-

0.1 mg/kg IV lambat maximum 4 mg/dosis; dapat diulang q12h


Droperidol (Inapsine): Agen neuroleptik yang mengurangi muntah dengan
menghentikan stimulasi dopamine dari zona pemicu kemoreseptor. Juga
mempunyai kandungan antipsikotik dan sedative.Dewasa: 2.5-5 mg IV/IM q4-6

prn. Pediatrik: 6 bulan: 0.05-0.06 mg/kg/dose IV/IM q4-6 prn


Agen Antiviral: Terapi anti enteroviral masih dibawah investigasi untuk meningitis
viral dan dapat segera tersedia. Regimen anti HIV dan anti tuberculosis tidak
dibicarakan disini, tetapi sebaiknya digunakan jika infeksi ini dengan kuat
mendukung secara klinis atau telah dikonfirmasi dengan pengujian. Terapi empiris
dapat dihentikan ketika penyebab meningitis viral telah tegak dan meningitis
bakterial telah disingkirkan
- Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika diagnosis herpetic
meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk kedua HSV-1 and
HSV-2.Dewasa: 30 mg/kg/d IV dibagi q8h for 10-14 hari. Pediatrik: 30 mg/kg/d
IV dibagi q8h untuk 10 hari.

Prognosis
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuele
atau risiko kematian. Adanya kejang dalam suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuele neurologis atau mortalitas.

c. Meningitis Tuberkulosa
13

Two cases of TB mimicking brain tumors. (A,B) Ring

MR scans shows TB granuloma with profoundly

enhancing mass resembles GBM. (C,D) Dural based

hypointense center with T2WI (A,B,panah hitam),

mass resembles meningioma

peripheral enhancement (C,D, panah putih)

Penyakit ini merupakan meningitis yang sifatnya subakut atau kronis dengan angka

kematian dan kecacadan yang cukup tinggi. Menurut pengamatan, meningitis tuberkulosis
merupakan 38,5% dari seluruh penderita dengan infeksi susunan saraf pusat.
Manifestasi klinis
Penulis menemukan adanya panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah muntah, kejang
dan pemeriksaan neurologik menunjukkan adanya kaku tengkuk, kelumpuhan saraf kranial
(terutama N III, IV, VI, VII) (30%), edema papil dan kelumpuhan ekstremitas (20%) serta
gangguan kesadaran.
Diagnosis
Diagnosis Meningitis tuberkulosis ditegakkan atas dasar :
1. Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku tengkuk, tanda Kernig dan Brudzinski.
2. Pemeriksaan CSS menunjukkan :
- peningkatan sel darah putih terutama limfosit
- peningkatan kadar protein
- penurunan kadar glukosa
3. Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
- Ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan pembiakan CSS
- Kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis
- Pada anamnesis kontak dengan penderita tuberkulosis aktif
Pembagian klinis ke dalam 3 stadium :
- Stadium I : kesadaran penderita baik disertai rangsangan selaput otak tanpa tanda
neurologik fokal atau tanda hidrosefalus.
14

- Stadium II : didapatkan kebingungan dengan atau tanpa disertai tanda neurologis fokal
misalnya kelumpuhan otot mata bagian luar atau adanya hemiparesis.
- Stadium III : penderita dengan stupor atau delirium dengan hemiparesis/ paraparesis.
Pengobatan
Beberapa kombinasi obat pernah diberikan untuk menanggulangi penyakit ini namun
pada dasarnya obat tersebut harus dapat menembus barrier darah otak, berada dalam CSS
dengan kadar yang cukup efektif dan aktivitas anti tuberkulosis tinggi, resistensi dan kerja
samping obat yang minimal.
- Streptomisin 20 - 30 mg/kg/hari selama 2 minggu kemudian dijarangkan 3 kali/minggu
hingga klinis dan laboratorium baik (perlu waktu kira-kira 6 minggu).
- INH 20 - 25 mg/kg/hari pada anak anak atau 400 mg/hari pada dewasa selama 18 bulan.
- Etambutol 25 mg/kg/hari sampai sel cairan serebrospinal normal, kemudian diturunkan 15
mg/kg/hari selama 18 bulan.
- Rifampisin 15 mg/kg/hari selama 6 - 8 minggu. Kortikosteroid hanya dianjurkan bila
ditemukan tanda edema otak.
d. Meningitis Bakterial Akut
Meningitis bakterial adalah infeksi purulen

ruang subarakhnoid. Biasanya akut,

fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan kaku nukhal. Koma
terjadi pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar
20 % kasus, dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak
hampir selalu fatal. CSS secara

klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir,

peninggian protein, dan penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan
organisme penyebab pada 75 % kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus
dan

perlu untuk

melakukan tes sensitifitas antibiotika

terhadap mikroba. Penurunan

kesadaran, terutama bila berhubungan dengan edema papil atau defisit neurologis fokal,
mengharuskan

dilakukannya

CT scan

sebelum

melakukan pungsi

lumbar

untuk

menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus. Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya
lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi pungsi lumbar, tentunya dengan pengetahuan
yang baik tentang herniasi serta penanggulangannya. Pemeriksaan fisik harus mencakup
pemeriksaan

teliti

daerah inflamasi berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan mencari

etiologi bakteremia seperti endokarditis. Kultur darah mungkin positif.


15

Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan langsung dari infeksi otorinologis,
walau kejadiannya jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotic yang efektif terhadap otitis
atau sinusitis. Jarang, meningitis disebabkan inokulasi langsung pada cedera penetrating.
Tindakan terhadap meningitis akut, tergantung sumber primer, usia pasien, organism
penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada infeksi CSS maupun
sumber primer. Meningitis

yang terjadi sekunder

terhadap bakteremia dan

perluasan

langsung otorinal cenderung disebabkan organisme yang biasa berkembang dinasofaring.


Terdapat pengaruh usia yang jelas pada meningitis oleh organism tersebut.

Meningitis

setelah cedera otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS,
paling

sering

diakibatkan

oleh

S.pneumoniae. Meningitis yang terjadi setelah luka

penetrasi biasanya disebabkan stafolikokal, streptokokal, atau organism gram negatif.


Terapi empiris harus diperbaiki bila organism penyebab sudah dikenal. Penisilin G
dan ampisilin diketahui

mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan infeksi

S.pneumoniae dan N.meningitidis. Dengan meningkatnya

H.influenzae yang membentuk

beta-laktamase, saat ini sekitar 25 %, menyebabkan pemakaian ampisilin dan kloramfenikol


sebagai terapi empiris. Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat dan sekarang
dipakai sebagai terapi terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalo-sporin
generasi kedua, pernah umum digunakan untuk H.influenzae, tidak lagi dianjurkan untuk
infeksi SSP karena lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan terjadinya meningitis H.
influenzae pada saat terapi sistemik. L. monocytogenes tidak sensitive sefalosporin dan
terapi yang dianjurkan adalah ampisilin atau penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim
sulfa-metoksazol. Pasien dengan meningitis S. aureus harus ditindak dengan nafsilin atau
oksasilin, dengan vankomisin dicadangkan untuk strain resisten metisilin dan S. epidermidis.
Lamanya terapi meningitis, umumnya berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk
patogen meningeal utama, dan 21 hari untuk infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap
meningitis basiler gram negative mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi
ketiga.

Sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson dapat menembus CSS dan mecapai

konsentrasi terapeutik hingga memungkinkan terapi terhadap meningitis yang sebelumnya


memerlukan

terapi secara intratekal;

78-94 % tingkat kesembuhan telah dilaporkan.

Seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim terbukti bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga


lainnya, seftizoksim dan sefoperazon, belum dinilai dengan baik. Dianjurkan seftazidim
dicadangkan untuk

pengobatan P.aeruginosa dalam kombinasi dengan aminoglikosida.

Kegagalan regimen ini mengharuskan

pemberian aminoglikosida intratekal atau

intraventrikuler untuk memperkuat terapi.


16

Modifikasi inflamasi ruang subarachnoid dengan agen


memperkecil akibat meningitis

bakterial.

Penelitian

deksametason pada bayi dan anak-anak dengan meningitis

anti inflamatori mungkin


mutakhir terapi tambahan
bakterial memperlihatkan

bahwa sekuele neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan
pendengaran, menurun pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada
4 hari pertama terapi, dan tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan
deksametason dianjurkan pada pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan.

17

2.4 Ensefalitis
a. Ensefalitis Viral

Ensefalitis

adalah

infeksi

jaringan otak oleh

berbagai

macam

mikro-organisme.

Ensefalitis

ditegakkan melalui

pemeriksaan

mikroskopis

jaringan

otak.

Dalam prakteknya di klinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi


neurologis dan temuan-temuan epidemiologis, tanpa bahan histologis
Etiologi
I. Infeksi-infeksi Virus
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan Sering, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero
Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela Jarang; sekuele jarang, kecuali pada rubela congenital
5. Kelompok Virus Herpes
a. Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sekuele sering ditemukan pada
neonatus menimbulkan kematian.
b. Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan.
c. Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele lambat pada
CMV congenital
d. Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang
e. Kelompok virus poks
Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
- Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk
- Caplak : epidemi musiman tergantung pada ekologi vektor serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
- Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
- Virus herpes Simiae (virus B) : saliva kera
- Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat
II. Parainfeksiosa-pascainfeksiosa, alergi
Penderita-penderita dimana agen-agen infeksi atau salah satu komponennya berperan
sebagai etiologi penyakit, tetapi agen-agen infeksinya tidak dapat diisolasi secara utuh in
18

vitro dari susunan syaraf. Diduga pada kelompok ini, kompleks antigen-antibodi yang
diperantarai oleh sel dan komplemen, terutama berperan penting dalam menimbulkan
kerusakan jaringan.
III. Penyakit-penyakit virus manusia yang lambat.
Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa berbagai virus yang didapatkan pada
awal masa kehidupan, yang tidak harus disertai dengan penyakit akut, sedikit banyak ikut
berperan sebagian pada penyakit neurologis kronis di kemudian hari :
- Panensefalitis sklerosis sub akut (PESS); campak; rubella
- Penyakit Jakob-Crevtzfeldt (ensefalitis spongiformis)
- Leukoensefalopati multifokal progresif
IV. Kelompok kompleks yang tidak diketahui
Contoh : Sindrom Reye, Ensefalitis Von Economo, dan lain-lain.
V. Infeksi-infeksi Non virus
Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena
virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau
vaksinasi terdahulu.
Sesuai dengan jenis virus, ensefalitis diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Ensefalitis virus sporadic
Virus yangbersifat sporadik adalah virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV), Herpes
Zoster, mumps, limfogranuloma dan limphocytic choriomeningitis yang ditularkan
melalui gigitan tupai dan tikus.
2. Ensefalitis virus epidemic
Golongan virus ini adalah virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki, virus
ECHO, serta golongan virus ARBO.
3. Ensefalitis pasca infeksi
Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi, dan jenis-jenis virus yang
mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
Karena terdapat banyak penyebab ensefalitis, maka tidak terdapat pola epidemiologi
yang sama. Tetapi sebagian besar kasus yang terjadi pada musim panas dan musim
gugur, mencerminkan adanya virus arbo dan virus entero sebagai etiologi. Ensefalitis
yang disebabkan karena virus arbo terjadi dalam bentuk epidemik, dengan batas
wilayah yang ditentukan oleh batas vektor nyamuk serta prevalensi binatang reservoar
alamiah. Kasus-kasus enesefalitis yang sporadis dapat terjadi setiap musim,
pertimbangan epidemiologis yang harus ditinjau ulang dalam usaha mencari agen
penyebab meliputi wilayah geografis, iklim, pemaparan oleh binatang, air, manusia,
dan bahan makanan, tanah, manusia, dan faktor-faktor hospes.
19

Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Dari penderita yang hidup,
20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa.
Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi
jaringan otak. Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan
informasi epidemiologik.
Hal-hal penting dalam menegakkan diagnosis ensefalitis adalah:
1. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-gejala
kerusakan SSP.
2. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit
peningkatan protein (normal pada ESL).
3. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah)
4. Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3-4
minggu secara terpisah.
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis,
keluhan, kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala,
fokal serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir
terhadap penyakit melalui kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian
ke daerah endemik dan lain-lain (Nelson, 1992)
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan
sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
-

Gangguan kesadaran
Hemiparesis
Tonus otot meninggi
Reflek patologis positif
Reflek fiisiologis meningkat
Klonus
Gangguan nervus kranialis
Ataksia

c. Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan
memberikan respons terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya
cairan serebro spinal jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu
tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel polimorfonuklear mula-mula cukup
bermakna (Nelson, 1992). Kadar protein meningkat sedang atau normal, kadar
protein mencapai 360 mg% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek
20

dan 55 mg% yang disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus
80% positif.
Penderita baru dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai
menghilangnya

gejala-gejala

neurologik.

Tujuan

penatalaksanaan

adalah

mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka,


pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tata laksana yang dikerjakan
sebagai berikut:
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis
biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang
sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk
infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S
(tergantung umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh
anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam
tiga dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan
intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat
diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik,
0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak
toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.
5. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak
(ensefalitis bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral.
Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan
Acyclovir intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari.
Jika terjadi toleransi maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu
juga ketika terjadi kekambuhan setelah pengobatan dengan Acyclovir. Dengan
pengecualian penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh
herpes simplek, maka pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan
empiris yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan serta menopang
setiap sistem organ yang terserang. Efektivitas berbagai cara pengobatan yang
dianjurkan belum pernah dinilai secara objektif.
6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
21

8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk
mengantisipasi kebutuhan pernapasan buatan
Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan
saraf pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan
dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat
terlibat secara menetap. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis,
pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi
Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental
karena kerusakan SSP berat.
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping
itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul
selama perawatan. Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.
b. Ensefalitis Herpes simpleks

Virus herpes simpleks tidak berbeda secara morfologik dengan virus varisela, dan
sitomegalovirus. Secara serologik memang dapat dibedakan dengan tegas. Neonatus
masih mempunyai imunitas maternal. Tetapi setelah umur 6 bulan imunitas itu lenyap dan
bayi dapat mengidap gingivo-stomatitis virus herpes simpleks. Infeksi dapat hilang timbul
dan berlokalisasi pada perbatasan mukokutaneus antara mulut dan hidung. Infeksi-infeksi
tersebut jinak sekali. Tetapi apabila neonatus tidak memperoleh imunitas maternal
terhadap virus herpes simpleks atau apabila pada partus neonatus ketularan virus herpes
simpleks dari ibunya yang mengidap herpes genitalis, maka infeksi dapat berkembang
menjadi viremia. Ensefalitis merupakan sebagian dari manifestasi viremia yang juga
menimbulkan peradangan dan nekrosis di hepar dan glandula adrenalis.

22

Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks merupakan
manifestasi reaktivitasi dari infeksi yang latent. Dalam hal tersebut virus herpes simpleks
berdiam didalam jaringan otak secara endosimbiotik, mungkin digangglion Gasseri dan
hanya ensefalitis saja yang bangkit.
Reaktivitas virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang pernah
disebut diatas, yaitu penyinaran ultraviolet dan gangguan hormonal. Penyinaran
ultraviolet dapat terjadi secara iatrogenik atau sewaktu berpergian ke tempat-tempat yang
tinggi letaknya.
Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan grisea serta
infark iskemik dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah intraserebral. Didalam
nukleus sel saraf terdapat inclusion body yang khas bagi virus herpes simpleks.
Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak banyak berbeda dengan
ensefalitis primer lainnya. Tetapi yang menjadi ciri khas bagi ensefalitis virus herpes
simpleks ialah progresivitas perjalanan penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam
dan muntah-muntah. Kemudian timbul acute organic brain syndrome yang cepat
memburuk sampai koma. Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan
kejang epileptik dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada fungsi lumbal ditemukan
pleiositosis limpositer dengan eritrosit.
Ada 2 type dari herpes simplex virus (HSV) infections HSV type 1 (HSV-1)
menyebabkan cold sores ( menyerupai jagung atau gandum semacam tetes) atau fever
blisters di sekitar mulut. HSV type 2 (HSV-2) menyebabkan genital herpes. HSV 1 adalah
sangat penting menyebabkan ensefalitis sporadic yang fatal di united states tetapi ini juga
sangat jarang kira-kira 2 kasus terjadi tiap juta orang setiap tahunnya.
Ensefalitis herpes simpleks (EHS) disebabkan oleh virus herpes simpleks dan
merupakan ensefalitis yang paling sering menimbulkan kematian. Angka kematian 70%
bila tidak diobati. Keberhasilan pengobatan ensefalitis herpes simpleks tergantung pada
diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Virus herpes simpleks tipe I umumnya
ditemukan pada anak, sedangkan tipe II banyak ditemukan pada neonatus.
Asiklovir harus diberikan sesegera mungkin walaupun hanya secara empirik, bila
ada dugaan ensefalitis herpes simpleks berdasarkan penampilan klinis dan gambaran
laboratorium. Asiklovir memiliki toksisitas minimal.
23

Manifestasi Klinis
Ensefalitis herpes simpleks dapat bersifat akut atau subakut. Fase prodromal menyerupai
influenza, kemudian diikuti dengan gambaran khas ensefalitis. Empat puluh persen kasus
datang dalam keadaan komat atau semi-koma. Manifestasi klinis juga dapat menyerupai
meningitis aseptik
Manifestasi klinis tidak spesifik, karena itu diperlukan ketrampilan klinis yang tinggi.
Umumnya dipertimbangkan EHS bila dijumpai demam, kejang fokal, dan tanda
neurologis seperti hemiparesis dengan penurunan kesadaran yang progresif.
Pemeriksaan laboratorium

Gambaran daerah tepi tidak spesifik

Pemeriksaan cairan likuor memperlihatkan jumlah sel meningklat (90%) yang


berkisar antara 10-1000 sel/mm3. awalnya sel polimorfonuklear dominan, tetapi
kemudian berubah menjadi limfositosis. Protein dapat meningkat sampai 50-2000
mg/l dan glukosa dapat normal atau menurun

EEG memperlihatkan gambaran yang khas, yaitu periodic lateralizing epileptiform


discharge atau perlambatan fokal di area temporal atau frontotemporal

Sering juga EEG memperlihatkan gambaran perlambatan umum yang tidak spesifik,
mirip gambaran disfungsi umum otak

CT kepala tetap normal dalam tiga hari pertama setelah timbulnya gejala neurologis,
kemudian lesi hipodens muncul di regio frontotemporal

T2-weight MRI dapat memperlihatkan lesi hiperdens di regio temporal paling cepat
dua hari setelah munculnya gejala

PCR likuor dapat mendeteksi titer antibodi virus herpes simpleks (VHS) dengan
cepat. PCR menjadi positif segera setelah timbulnya gejala dan pada sebagian besar
kasus tetap positif selama dua minggu atau lebih.

2.5. Abses Serebri

24

. Sagital (A) dan Coronal (B) menunjukkan solitary ring-enhancing mass.


(C,D) menunjukkan restricted diffusion.

Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak.
Perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi selama pembentukan abses pada anjing
dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik,
dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskularisasi periferal dan lambat
laun terbentuk

cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir sebagai

kapsul berbentuk tegas. Apakah serebritis menjadi abses yang berkapsul tergantung pada
interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun baik,
proses sejak

infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2 minggu.

Daerah terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah


menghadap

yang kurang vaskuler yang

ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur

ventrikuler dan kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala.
Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri kepala,
defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi pada 50
% dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi
pada 25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah umum
terjadi; karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang 10 %
kasus.
Abses otak umumnya terjadi sekunder
bakteriologi

terhadap infeksi

ditempat

lain, dan

sering menunjukkan sumber primer. Seperti empiema subdural, perluasan

intrakranial langsung dari sinus paranasal atau infeksi telinga adalah etiologi tersering.
Lesi ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis frontoetmoid,
dilobus temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi
25

otologis. Abses otak multipel menunjukkan penyebaran hematogen dari sumber jauh dan
infeksi sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital
sianotik, pneumonia, dan divertikulitis harus dicari. Penyebaran

hematogen, terutama

dari endokarditis, mungkin berhubungan dengan aneurisma intrakranial piogenik.


Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak penetrating adalah penyebab lain dari
abses. Fragmen tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum dijumpai pada
pasien dengan infeksi otak traumatika.
Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis
merupakan faktor

steroid,

pada pasien
kelainan

namun

predisposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya berkaitan

dengan meningitis Sitrobakter


dijumpai

bakterial,

atau

Proteus neonatal.

dengan immunitas yang terganggu

limfoproliferatif,

Sebaliknya abses otak sering


sekunder

atas penggunaan

dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung

multipel.
Organisme

yang paling sering dijumpai pada

abses otak

adalah Streptokokus,

Stafilokokus, dan Bakteroides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi
antibiotik empiris berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun
beratnya penyakit

serta

sering terjadinya infeksi

yang

tidak terduga menyebabkan

dianjurkannya antibiotik jangkauan luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob
sebagai terapi empiris pada semua kasus.
CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak abses otak. Karena memberikan
deteksi yang

dini

dan memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling

bertanggungjawab atas penurunan angka kematian dari 30-50 % kasus menjadi kurang dari
15 % dalam dua decade terakhir.
Tujuan terapi adalah memastikan segera mikroba yang bertanggung-jawab serta
sensitifitas

antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan

efek massa

segera, dan mengurangi edema otak. Pemberian kortikosteroid kontroversial. Selama


serebritis dan tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan
abses kecil dan organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral
mungkin cukup. Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik
dengan aspirasi maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4 minggu. Operasi akan
mengurangi efek

massa

dan karenanya mengurangi aspek paling kritis dan berbahaya

jenis infeksi ini. Operasi juga akan


kasus, memungkinkan biakan

menunjukan organisme penyebab pada 60-80 %

dapat dilakukan dengan teliti baik

untuk organisme

aerob maupun anaerob. Dianjurkan tidak memberikan antibiotik prabedah bila operasi
26

dapat dilakukan

segera

karena kultur steril

bisa

terjadi. Walau

eksisi

bedah

memperlihatkan penurunan angka rekurensi, sekarang banyak yang menganjurkan aspirasi


abses otak stereotaktik yang dituntun ultrasonografi atau CT scan, dan mencadangkan
eksisi untuk lesi soliter dan superfisial, lesi yang mengandung benda asing, atau gagal
dengan aspirasi.
2.6. Abses Epidural Kranial
Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural

adalah komplikasi

kontaminasi jaringan epidural baik traumatika atau operatif. Lebih

yang jarang dari


sering diakibatkan

oleh perluasan osteomielitis berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara
transdural. Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan antibiotik sistemik.
Abses epidural tulang belakang lebih sering dan biasanya memerlukan bedah gawat
darurat. Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang cepat dari
defisit neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam beberapa hari
sejak gejala

awal.

Kebanyakan

abses

epidural

disebabkan perluasan lokal dari

osteomielitis tulang belakang dan jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh.
CSS memperlihatkan peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan. Mielogram
atau MRI menampilkan perluasan massa epidural. Organisme penyebab tersering adalah S.
aureus dan terkadang Streptococcus sp. Basil gram negatif sering diisolasi dari pecandu obat
intravena. Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab berupa laminektomi segera
serta drainasi abses diikuti terapi antibiotika spesifik jangka panjang. Pemulihan fungsi
neurologi langsung berhubungan dengan lama dan beratnya gangguan sebelum operasi.

2.7. Abses Subdural Kranial


Empiema subdural, infeksi purulen ruang subdural, terjadi karena perluasan langsung
melalui mening saat meningitis pada neonatus dan bayi, atau

sebagai komplikasi

sinusitis paranasal atau otitis pada anak dan dewasa muda. Jarang secara hematogen dari
infeksi jauh, dan kontaminasi langsung dari trauma pernah dilaporkan. Diagnosis
didasarkan pada temuan klinis dan radiografis. Nyeri kepala, demam, dan meningismus
merupakan keluhan yang umum dan dapat timbul sejak 1-8 minggu sebelumnya. Kejang dan
defisit fokal juga biasa terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi subdural; namun
massa mungkin isodens pada CT scan, hingga memerlukan penguatan zat kontras agar jelas
27

terlihat. Pencitraan juga berguna dalam mendiagnosis infeksi sinus atau mastoid penyebab.
Risiko pungsi lumbar

pada penderita

yang

diduga

memiliki

massa

intracranial

mengharuskan dibatalkankannya tindakan ini hingga CT scan memastikan tidak adanya


efek massa

intrakranial. Analisis

CSS

jarang sebagai

diagnostik,

namun

bisa

menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik.


Sumber otorinologis empiema subdural biasanya disebabkan streptokoki, stafilokoki dan
koki anaerob. Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang paling sering pada
literatur barat. Sekali ruang subdural terkena, infeksi akan menyebar diatas konveksitas otak
serta kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian. Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10
% infeksi, selalu sekunder dari perluasan otitis. Akumulasi pus sering cukup untuk
menimbulkan massa intrakranial. Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan
edema otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering dengan defisit
fokal, koma dan mati.
Empiema subdural sekunder terhadap

meningitis umumnya bilateral dan kurang

fulminan dibanding yang sekunder terhadap infeksi otorinologis. H.influenza adalah


organisme utama; namun empiema S.pneumonia juga sering dilaporkan. Hidrosefalus
komunikating bisa terjadi karena resorpsi diatas konveksitas otak terganggu oleh infeksi.
Sebelum ditemukan penisilin, empiema

subdural selalu fatal. Dengan antibiotika

sistemik dan drainasi bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk sangat
tergantung pada tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan mengetahui
organism patogenik. Bannister menganjurkan kraniotomi primer dengan bukaan luas,
eksplorasi subdural agresif, dan debridemen yang baik dari material purulen material dari
permukaan otak. Laporan mutakhir memperlihatkan pengurangan outcome yang buruk dan
mortalitas secara bermakna pada tindakan kraniotomi dibanding dengan drainasi bur hole.
Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan.
Antikonvulsan profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari kejang.
tindakan nonbedah

Keberhasilan

pernah dilaporkan dengan mencoba terapi antibiotik saja pada pasien

dengan status neurologis utuh;

pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal dan

terbatas pada CT scan.


Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya timbul dari ekstensi transdural
lokal dari osteomielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada meningitis. Kompresi
kord tulang belakang dan mielitis transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi
emergensi melalui laminektomi serta pemberian antibiotik jangka lama.
28

2.8. Efusi Subdural


Transudat yang tertimbun dibawah dura dinamakan efusi subdural. Transudat ini
merupakan komplikasi dari meningitis, terutama meningitis H.Influenza. keadaan tersebut
harus dicurigai apabila demam dan kaku kuduk sudah mereda tetapi penderita tetap
memperlihatkan kesadaran dan keadaan umum yang belum membaik. Karena lokalisasinya,
korteks serebri dapat terangsang oleh efusi itu dan menimbulkan epilepsy fokal. Disamping
itu tentunya gejala-gejala tekanan intracranial yang mininggi dapat ditemukan juga.

2.9. Abses Epidural Spinal


Duramater tulang belakang terpisah dari arkus vertebra oleh jaringan pengikat yang
longggar. Jaringan tersebut seolah-olah menyediakan ruang untuk kuman yang dapat
membentuk abses. Karena itu, manifestasi abses epidural spinalis yang mencerminkan efek
proses desak ruang dari sisi posterior.
Factor etiologi dan presipitasi yang penting bagi abses epidural yang akut ialah diabetes
mellitus dan infeksi Staphylococcus aureus yang berupa bisul di kulit atau osteomyelitis pada
korpus, lamina atau pedikel tulang belakang. Yang paling sering terkena adalah bagian
torakal. Bagi jenis yang kronik, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit primernya.
Tergantung pada lokasi abses epidural, maka paraplegi dengan deficit sensorik akan
berkembang secara berangsur-angsur. Kompresi medula spinalis mulai dengan nyeri tulang
belakang, kemudian nyeri radikuler, dan paraplegia akan tibul sedikit demi sedikit dengan
gangguan perasaan getar, gerak, dan posisi sebagai gejala dininya. Pemeriksaan penunjang
untuk menentukan diagnosis yang penting meliputi kultur darah dan MRI medulla spinalis.
Bila MRI tidak memungkinkan maka bisa dilakukan CT myelography. Lumbal punksi
dikontraindikasikan pada pasien dengan kecurigaan abses epidiral spinal ini karena
dikhawatirkan dapat menyebarkan materi purulen kedalam ruang subarachnoid.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi pengobatan medis dan pengobatan bedah. Terapi
medis meliputi pemberian antibiotic yang adekuat dan harus diberikan sedini mungkin.
Durasi dari pengobatan ini biasanya mencapai 3-4 minggu. Karena agen yang biasa
menginfeksi ialah S.aureus, maka terapi yang diberikan ialah dari golongan penicillin,
cephalosporin, atau vancomycin. Contoh-contoh preparat yang digunakan ialah Ceftriaxone
(Rocephin), Nafcillin (Unipen), Cefazolin (Ancef, Kefzol, Zolicef), Vancomycin (Vancocin).
Terapi bedah yang biasa digunakan ialah dekompresi pada tulang belakang dan drainase
abses, indikasi terapi pembedahan ini ialah adanya peningkatan deficit neurologik, rasa sakit
29

menjadi-jadi dan demam yang menetap, serta leukositosis. Keberhasilan terapi dilaporkan
dengan menggunakan kombinasi antara aspirasi abses dan terapi antibiotic yang adekuat.
Komplikasi yang biasa terjadi pada cedera spinal meliputi disfungsi kandung kemih,
decubiti, supine hypertension, sepsis berulang, dan lain sebagainya. Prognosis pada pasien
dengan penyakit ini bervariasi, bergantung pada onset dan derajat penyakit pada saat pertama
kali ditemukan.

2.10. Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan
toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah
anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus.
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus
Neonatorum).
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia
jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
30

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari
arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang
otak.
Timbulnya

kegagalan

mekanisme

inhibisi

yang

normal,

yang

menyebabkan

meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus.
Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.
Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga
dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu
anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrogard mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari
sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas melalui
darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic.
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu ).
Karekteristik dari tetanus

Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot
masetter.

Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas,

sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.


Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan

eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.


Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi
urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
31

Selama eksotosin masih diproduksi terapi untuk memberantas manifestasi tetanus tidak
bermanfaat. Maka eksisi tempat klostridium tetani masuk kedalam tubuh harus dilakukan,
supaya kumanya ikut terbuang dan produksi eksotoksin tidak ada lagi.

2.11. Rabies
Definisi
Infeksi virus akut pada SSP yang disebabkan oleh virus rabies
Patogenesis

Air liur binatang yang telah terinfeksi masuk ke tubuh manusia melalui gigitan,
goresan, garukan binatang pengidap rabies ( anjing, rubah, kucing, kalong dan kera)

Masa Inkubasi 10 hari 1 tahun, umumnya 1 3 bulan. Dalam hal tertentu lebih
cepat tergantung : lokasi luka, daya tahan tubuh penderita dan virulensi v. Rabies

Gambaran Klinis
1. STADIUM PERMULAAN
Berlangsung 2 4 hari, kadang kadang lebih lama. Gejala: perasaan nyeri (80 %),
parestesia (gigitan, garukan), demam, sakit kepala, malaise, suara serak, anoreksia,
perasaan takut kemudian menjadi depresi
2. STADIUM GELISAH

General overreaction, suhu badan meningkat, sangat peka terhadap rangsang


sensorik dengan aktifitas SSO berlebihan, penderita merasa letih sekali, ada
fotofobia, hiperakusis, tonus otot meningkat, ada TICS, ekspresi wajah yang
berlebihan, pengeluaran air liur bertambah, lakrimasi dan dilatasi pupil.

Gejala psikiatrik timbul : sangat gelisah, terus bergerak, mau lari, memukul
orang, terteriak, sangat agresif (memukul perawat atau orang didekatnya) dan
seakan dikejar hantu.

Sangat haus, tetapi sewaktu minum terjadi spasme otot laring diikuti faring
dan pernapasan yang mengakibatkan terhentinya pernapasan dan muncul
sianosis. Karena haus ia paksakan minum bukan dari gelas tetapi dari jari
jari yang dibasahinya tetapi bila kontak dengan air terjadi spasme lagi
sehingga penderita takut air (hidrofobia).

Suara serak makin hebat dan eksplosif sehingga mirip gonggongan anjing.
Kesadaran masih baik dan penderita mengeluh tentang penderitanya. Akhirnya
32

terjadi spasme keseluruhan tubuh hingga terjadi kejang umum (mirip status
epileptikus)

OSI dapat meninggal pada stadium ini yang berlangsung 2 3 hari

3. STADIUM PARALISIS
Kejang berhenti, koma, otot lumpuh secara progresif akhirnya paralisis otot
pernapasan dan penderita meninggal dunia
Diagnosis
Anamnesis (penting untuk pencegahan)
Gambaran klinik
Pemeriksaan Laboratorium : biopsi kulit dan otak, antibodi rabies dalam serum, isolasi virus
dari saliva, kerongkongan dan CSS
Pencegahan

Bila digigit anjing, observasi anjing tersebut minimal 10 hari, bila tidak terjadi apa
apa, tidak perlu divaksinasi

Bila anjing tersebut ada gejala rabies maka dibunuh lalu otaknya diperiksa ke lab.
Dinas kehewanan

Jika tersangka : luka gigitan dicuci air sabun (5 10 menit) kemudian diberikan
alkohol 70 % / yodium, betadin solusion.

Vaksinasi : Vaksin Duck Embryo (SMBV)


Imovax
Serum anti rabies (Imogam)

PENATALAKSANAAN PENDERITA TERGIGIT ANJING ATAU HEWAN TERSANGKA


RABIES

Bila digigit anjing, observasi anjing tersebut minimal 10 hari, bila tidak terjadi apaapa, tidak perlu vaksinasi

Anjing rabies / tersangka rabies bila :


o Laboratorium positif
o Setelah menggigit lalu mati (5 10 hari)
o Setelah menggigit hewan menghilang / dibunuh
33

o Hewan tersebut dengan gejala rabies

A. Perawatan lika gigitan


1. Cuci luka dengan air mengalir + sabun 5 10 menit
2. Luka dioles yodium / betadine / alkohol 70 %
3. Luka tidak boleh dijahit kecuali luka lebar
4. Toxoid tetanus (IM)
5. Antibiotik, antiinflamasi, analgetik

B. Cara pemberian vaksin anti rabies (VAR) atau SAR


1. Tersangka / positif VAR & SAR
2. Tidak diberikan VAR atau SAR bila:
o Hewan tersebut hidup dalam observasi selama 10 hari
o Ada kontak tetapi tak ada lesi kulit / tanpa luka dan bukan jilatan pada
mukosa
3. Dosis, Jenis dan cara pemberian
Luka kecil pada lengan, badan dan tungkai
Cukup diberikan VAR (IMOVAX atau VERORAB)
o Hari 1 : 2x (IM) deltoid kanan dan kiri 0,5 ml
o Hari 7 dan 21 masing masing : 1x pada deltoid kanan dan kiri
o Dosis vaksin sama untuk semua umur
SMBV (SUCKLING MOUSE BRAIN VACCINE)
o Satu kali suntikan sekitar pusat 1 ml (< 3 tahun), 2 ml (> 3 tahun)
setiap hari selama 7 hari
o Kemudian hari ke 11 satu kali 0,1 ml intrakutan (< 3 tahun) pada
fleksor lengan bawah kanan / kiri
o Boster hari ke 30 dan ke 90 intrakutan pada fleksor lengan bawah
Bila menjilat mukosa, gigitan lebar / dalam, multiple, luka pada mukosa,
kepala, leher, jari tangan dan kaki maka diberi VAR + SAR
VAR (IMOVAX< VERORAB< SMBV) = Point 3a
o IMOVAX< VERORAB + hari ke 90 dengan 0,5 ml IM deltoid
kanan / kiri
o SMBV R/ hari ke 25, 35 dan 90 = dosis boster point 3a

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjiono, Prof.dr. Mahar dan Sidharta, Prof.dr. Priguna, 2008, mekanisme infeksi
susunan saraf, hal 303-331, Dian Rakyat, Jakarta.
2. Sugiri B. Sistem saraf. Kumpulan Materi Kuliah [serial online] 2011 [cited 2011 Jan
27]; Available from: URL: http://hmkuliah.wordpress.com/2010/12/03/sistem-saraf/
3. Anonym. Meningitis Bakterial. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available
from: URL: http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/meningitisbakterial.html
4. Satria. Meningitis viral. [serial online] 2011 [cited 2011 Jan 27]; Available from:
URL: http://satriaperwira.wordpress.com/2010/07/06/meningitis-viral/
5. Anonym. Meningitis Bakterial. Medan. Universitas Sumatera Utara. 2010.
6. www.fk.uwks.ac.id/.../IlmuPenyakitSaraf/iNFEKSICEREBRA.pdf
7. http://www.kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/encephalitis.html

35

Anda mungkin juga menyukai