PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada
manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang
gejala myastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor
(AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita myastenia gravis,
ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada
neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada
myastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil
ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang
sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita myastenia gravis, transfer
pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi
imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek
menguntungkan dari plasmaparesis.
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat
jarang, kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan rata-rata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun.
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan
adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama
jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah
kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras
yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi
belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di
Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia ratarata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau.
1.2 Tujuan
a. Menjelaskan definisi penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre
Sindrome
b. Menjelaskan anatomi dan Fisiologi organ atau jaringan yang berhubungan
dengan penyakit Myasthenia Gravis dan Guillaine Barre Sindrome
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
MYASTHENIA GRAVIS
serabut otot dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup
atau mengkerut ketika reseptor telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada
Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan pada angka reseptor
asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan
dan merintangi reseptor asetilkolin.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl
Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl
Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan
reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh
impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi
kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum
diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit
yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi antiAChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang
diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis
penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
Sub-unit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.
Sehingga pada pasien myastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa
cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi antireseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang
dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru
disintesis.
2.5 Prevalensi dan Epidemiologi Myasthenia Gravis
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.
Angka kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini
lebih sering tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering
menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai
usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu
sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia
60 tahun. Pola ini sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa
Myasthenia Gravis adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien
6
pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan
tidak akan menyebabkan kematian.
Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan
faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika
pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang
abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan
pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea (ketidak nyamanan
dalam bernafas) dan pasien tidak lagi mampu untuk membersihkan lendir
dari trakhea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan
panggul dapat terserang pula, dapat pula terjadi kelemahan pada semua
otot-otot rangka.
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta
fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan.Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep.Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi
kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul.
Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat
aktivitas yang terus menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien
akan mengalami penurunan tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan
kelelahan dalam satu hari, atau menjelang berakhirnya aktivitas. Jika
dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien biasanya berkembang
menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari berbagai
kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya
berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan
akhir masa kehamilan.
Perjalanan klinis dari Myasthenia Gravis sangat bervariasi antara
pasien satu dengan yang lainnya. Dari sekian banyak pasien Myasthenia
Gravis, 14 % hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada
ocular MG. Kehebatan maksimum dari Myasthenia Gravis dicapai dalam
waktu 1 tahun pada 55 % dari kasus, dan dalam 5 tahun pada 85 % dari
kasus. Aspek yang paling berbahaya dari Myasthenia Gravis disebut
Myasthenia Krisis, yang memungkinkan diperlukannya ventilator pada
beberapa kasus.
2.8 Pemeriksaan Penunjang Myasthenia Gravis
a. Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test
Wartenberg. Penderita diminta untuk menatap tanpa kedip kepada
9
b.
c.
d.
e.
suatu benda yang terletak diatas dan diantara bidang kedua mata untuk
beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak mata yang
terkena akan menunjukkan ptosis.
Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila
tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon
secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg).
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka
gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain
tidak lama kemudian akan lenyap.
Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji
ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan bertambah berat.
Laboratorium (Tes darah)
Antistriated muscle (anti-SM) antibody : Tes ini menunjukkan hasil
positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia
kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang
pentingpada penderita miastenia gravis.
Pada pasien tanpa
timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien
dengan usia lebih dari 40 tahun,.
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies : Hampir 50%
penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif
untuk anti-MuSK Ab.
Antistriational antibodies : Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini
selalu dikaitkan dengan pasien timomadengan miastenia gravis
pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu
kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam seru beberapa pasien
dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan
10
12
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 2 4 jam pertama. Nyeri
kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.
c. Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak
ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika
respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj ukkan respon terhadap
IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan
respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu
sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan
krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat
digunakan.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling
murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki
efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti
terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata
selama 3 bulan. Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid
akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan
memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi
dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi
diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia
gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis
yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan
antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah
60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul
13
e.
f.
g.
h.
15
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
GUILLAIN BARRE SYNDROME
3.1 Definisi Guillaine Barre Syndrome
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah
kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan
minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis,
Guillain (baca Gilan) dan Barr (baca Barre), yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh
setelah menerima perawatan medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas
tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang
sistematis.
Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan
tubuh menyerang sistem selaput sarafyang menyebabkan kelemahan akut
ekstermitas tubuh.Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi.Proses
penyakit mencakup demielinisasi dan degerasi selaput mielin dari saraf
perifer dan kranial.
3.2 Anatomi dan Fisiologi
16
6. Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung
Schwann.Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi
myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan
mencegah impuls pudar atau bocor.Selubung myelin sebagai isolator
listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi
konduksi.Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak
tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler.Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier
memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini
adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).
3.3 Etiologi Guillaine Barre Syndrome
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/
penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya
SGB, antara lain:
1. Infeksi
: Misal radang tenggorokan atau radang lainnya.
2. Iinfeksi Virus
: Misal Measles, Mumps, Rubela, Influenza A,
Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia,
variola, hepatitis inf, coxakie)
3. Infeksi Lain
: Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,
Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis .
4. Vaksinasi
: Rabies, Swine flu
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik:
a) Keganasan ; Hodgkins Disease, Carcinoma,Lymphoma.
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit Addison
7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.
18
terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu
atau tiga minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
3.6 Manifestasi Klinis Guillaine Barre Syndrome
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan
yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk
kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3
fase:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi
resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai
di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan
sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan
dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur
menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini
ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan
mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf
20
yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul
relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan,
namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
3.7 Pemeriksaan Diagnostik Guillaine Barre Syndrome
a) Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya
pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari
pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah
protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil,
jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada
4-6 minggu setelah onset.Derajat penyakit tidak berhubungan dengan
naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
b) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf),blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS.Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi
aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas
yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita
menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
c) Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala
d) Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan
adanya
perubahan
gelombang
Tserta
sinus
takikardia.Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
21
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali
exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis,
karena
Plasma
pasien
harus
diganti
dengan suatu substitusi plasma.
Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan
antibody.
Imunoglobulin IV : Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan
pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang
parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya
plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena
dosis tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan
dibandingkan
plasmaparesis
karena
efek
samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis aintenance
0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG
7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS
dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5
hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah
hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/
IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd
kehamilan.
Perawatan umum :
Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores
dengan perubahan posisi tidur.
Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara
teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Segera setelah
penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak
yang lumpuh.
Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki
yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan
trakhea.
Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
23
b)
c)
d)
e)
f)
3.10
24
25
BAB 4
STUDY CASE dan ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Tinjauan Kasus :
Tn. Ali usia 45 tahun masuk UGD RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan keluhan
susah napas, dada terasa berat, gelisah. Hasil pengkajian didapatkan Tn. Ali
menderita demam 3 hari yang lalu, kemudian kaki tidak bisa digerakkan. TD:
130/80 mmHg, nadi 85x permenit, RR 24x permenit, Suhu 37C.
1. Dari data diatas, lengkapi data!
2. Tentukan masalah Keperawatan dan intervensi keperawatan!
4.2 Pengkajian
1. Ideentitas pasien
Nama
: Tn. Ali
Umur
: 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
2. Keluhan utama
Susah napas, dada terasa berat, gelisah.
3. Riwayat penyakit sekarang
Tn.A mengeluh susah napas, dada terasa berat, serta gelisah. Tn. A telah
menderita demam sejak 3 hari yang lalu, serta kakinya tidak bisa
digerakkan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah ada riwayat penyakit ISPA dan infeksi saluran
pernapasan, selain itu juga apakah Tn. A pernah mengkonsumsi obat jenis
kortikosteroid, antibiotik, atau sebagainya dalam jangka waktu yang lama.
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pemeriksaan fisik
B1 [Breathing]
: RR 24x/menit, susah napas, dada terasa berat
[yang paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan
frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan.
Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan
akumulasi secret dari infeksi saluran napas] .
B2 [Blood]
: N 85x/menit, TD 130/80 mmHg, [ pada pasien
GBS juga sering ditemukan bradikardi yang berhubungan dengan
penurunan perfusi perifer. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD
meningkat [hipertensi transien] berhubungan dengan penurunan reaksi
saraf simpatis dan parasimpatis] .
B3 [Brain]
:
Tingkat kesadaran
: pada pasien GBS biasanya kesadaran
pasien compos mentis. Apabila pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
26
B6 [ Bone]
: Penurunan kekuatan otot dam penurunan tingkat
kesadaran menurunkan mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari pasien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
4.3 Analisa Data
No.
1.
Data
Do : RR 24x
permenit, Td
130/80 mmHg,
nadi 85x
permenit
Ds : Pasien
mengeluh susah
napas, dada
berat, gelisah.
Etiologi
Infeksi saluran pernafsan
Masalah
keperawatan
Ketidakefektifan pola
napas
Proses demielinisasi
Konduksi saltory tidak terjadi dan
tidak ada transmisi impuls saraf
Gangguan fungsi saraf perifer dan
neuro muskular
Insufisiensi pernapasan
kelemahan otot pernapasan
2.
Do : RR 24x
permenit, Td
130/80 mmHg,
nadi 85x
permenit
Ds : Tn. A
terlihat gelisah
Kecemasan
Kelemahan otot
Penurunan fisik
Gangguan pemenuhan ADL
Prognosis memburuk
3.
Do : refleks
ekstremitas (-)
Ds : pasien
mengeluh kaki
tidak dapat
digerakkan
Kecemasan
Gangguan perifer, saraf kranial
dan neuromuscular
Gangguan mobilitas
fisik
dapat
mengatasi
rasa
dan takut.
2.
Monitoring tanda verbal dan
cemas/gelisahnya.
Ditandai dengan :
nonverbal
kecemasan,
a. Klien terlihat tenang
dampingi klien, dan lakukan
b. Klien mampu mengidentifikasi
tindakan bila menunjukkan
penyebab atau faktor yang
perilaku merusak.
memengaruhinya
3. Hindari konfrantasi
c. Klien mampu mengungkapkan 4. Beri lingkungan yang tenang
perasaannya
dan suasana penuh istirahat
Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot
NOC
NIC
Setelah dilakukan intervensi selama 1. Monitoring
tingkat
1x24 jam terlihat peningkatan
kemampuan
klien
dalam
mobilitas fisik klien.
melakukan mobilitas fisik
Ditandai dengan :
2. Bantu klien untuk melakukan
a. Peningkatan kekuatan otot
mobilitas fisik
b. Klien
mampu
melakukan 3. Dekatkan alat dan sarana yang
mobilitas fisik secara mandiri
dibutuhkan
klien
dalam
maupun terfasilitasi
pemenuhan aktivitas seharic. Klien dapat terpenuhi kebutuhan
hari
ADL nya
4. Hindari
faktor
yang
d. Tidak terjadi dekubitus
memungkinkan
terjadinya
trauma pada saat klien
melakukan mobilisasi
5. Monitor komplikasi gangguan
mobilitas fisik
6. Kolaborasi
dengan
tim
fisioterapis
30
BAB 5
KESIMPULAN
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas . Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Sebelum memahami tentang myastenia gravis,
pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction
sangatlah penting. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari
sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Penatalaksanaan miastenia gravis
dapat dilakukan dengan obat-obatan, thymomectomy ataupun dengan
imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis
yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit yang langka dan dapat
disembuhkan akan tetapi nyeri ringan masih timbul dan derajat penyembuhan
tergantung dari derjat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi. Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi
klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas,
dan risiko komplikasi pencernaan.
GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian
yang cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi
imunomodulator spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami
kematian dan 12% tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu
setelah gejala pertama muncul 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki
gejala sisa.
Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan
paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala
GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan
diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.
31
Daftar Pustaka
Arie, Gde Agung Anom, Made Oka Adnyana & I Putu Eka Wisyadharma.
Diagnosis dan Tata Laksana Myasthenia Gravis (Jurnal), diakses pada 13
Maret 2016 pk. 20.32 WIB.
Black, Joys & Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical nursing : Clinical
Management for Positive Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Morton, Patricia Gonce & Dorre K. Fontaine. 2009. Critical Care Nursing : a
Holistic Approach 9th Edition. China: Lippicont
MGFA, Inc. Facts About Autoimmune Myasthenia Gravis for Patients &
Families (www.myasthenia.org )
Mutakhin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Salemba Medika : Jakarta
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth.Vol.3 Edisi 8.EGC :Jakarta
32