Anda di halaman 1dari 2

Ketika Harga Saham Tidak Lagi Berarti Apapun

Beberapa hari lalu, manajemen Bank BTPN (BTPN) mengumumkan bahwa Sumitomo Mitsui Banking Corporation (Sumitomo)
kembali membeli 15.7% saham BTPN melalui pasar negosiasi, dengan harga pembelian Rp6,500 per saham, atau jauh diatas
harga pasar ketika itu yakni Rp4,300 per saham. Dengan demikian, Sumitomo resmi memegang 40% saham BTPN, namun inti
ceritanya bukan terletak disitu, melainkan: Kenapa kok Sumitomo mau-maunya menggelontorkan dana hingga Rp15.2 trilyun
untuk mengambil alih 40% saham BTPN di harga Rp6,500, padahal harga BTPN itu sendiri di pasar cuma Rp4,300?
Untuk memahami hal ini, mungkin kita bisa balik lagi ke tahun 2009 dulu dimana penulis untuk pertama kalinya memulai karier
investasi di pasar saham, ketika itu tentu saja dengan dana yang amat sangat kecil, yang disisihkan dari gaji penulis sebagai
seorang karyawan di sebuah perusahaan (kalau sekarang sih saya sudah jadi pengangguran).
Nah, sebagai investor kecil, termasuk masih memiliki emosi yang labil, ada satu hal yang langsung terpatri di benak penulis
ketika itu, yakni: Sepertinya kok nasib investasi kita sangat ditentukan oleh pasar, bandar, atau apapun itu
namanya, dan kita nggak punya kuasa apapun untuk melawan mereka, termasuk analisis yang kita buat capek-capek
sebelumnya juga nggak berarti apa-apa. Contohnya, ketika saya membeli saham Bank BRI (BBRI), saya kemudian yakin akan
pilihan
saya
tersebut
karena
secara
fundamental,
BBRI
adalah
saham
yang
sangat
bagus.
Namun ternyata kalau IHSG turun maka dia juga ikut turun, dan alhasil portofolio saya seketika dihiasi warna merah. Ketika itu,
jujur saja, sangat sulit untuk bisa berkomitmen untuk investasi jangka panjang, untuk bisa melihat bahwa BBRI ini (dan juga
saham-saham berfundamental baik lainnya) pada akhirnya akan naik terus setelah jangka waktu yang tidak sebentar. Yang
ada kalau saham yang saya pegang turun, maka meski saham tersebut belum dijual, saya kemudian merasa bahwa kita
benar-benar sudah mengalami kerugian, dan bahwa keputusan investasi yang saya buat ternyata keliru.
Itu untuk saham blue chip seperti BBRI. Sementara untuk saham-saham yang kecil-kecil, yang pergerakannya lebih ekstrim
dan juga tidak terlalu dipengaruhi pasar, disitulah saya mulai merasa tidak berdaya dihadapan bandar, atau 'asing'. Penulis
pernah mengalami satu kondisi dimana penulis memasukkan seluruh dana yang ada hanya pada satu saham (karena sangat
yakin akan kualitas fundamental dari saham tersebut), dan kemudian saham itu entah kenapa bukannya naik tapi malah anjlok
sampai sekitar 10%, padahal IHSG justru lagi naik! Bisakah anda bayangkan bagaimana stress-nya saya ketika itu???
Namun seiring dengan berjalannya waktu, ketika dana yang dipegang mulai membesar, cara pandang penulis terhadap
pergerakan harga saham di pasar mulai berubah.
Jadi ceritanya begini. Beberapa waktu lalu, sudah cukup lama sih, penulis berniat untuk membeli satu saham tertentu yang
setelah dipelajari bolak-balik, saham ini memiliki fundamental yang bagus dan harganya juga murah. Saham itu
adalah Ekadharma International (EKAD). Ketika itu harganya masih di 360-an, dan saya hendak membelinya dalam jumlah
yang lumayan banyak.
Tapi masalahnya EKAD ini tidak likuid, dan ditambah lagi dengan kondisi pasar yang ketika itu sedang bearish,maka volume
transaksi perdagangan EKAD sangatlah sepi, dimana hampir tidak ada orang yang pasang bid di EKAD ini, dan juga
sebaliknya, jumlah lot di kolom offer juga sangat sedikit. Alhasil, kalau penulis berniat untuk membelanjakan semua dana yang
disiapkan secara sekaligus, maka penulis harus hajar kanan beberapa fraksi harga, dan itu artinya EKAD akan langsung
terbang ke harga 400-an.
Namun kalau begitu caranya maka saya nggak akan bisa dapetin EKAD ini diharga yang saya mau, yakni 360-an tadi. Jadi
kemudian strategi yang dilakukan adalah membeli EKAD ini dengan cara menyicil. Hampir setiap hari, kalau ada yang pasang
offer EKAD ini sebanyak 20 lot diharga 365, misalnya (ketika itu 1 lot masih 500 lembar saham), maka sebanyak itulah saya
akan ambil EKAD ini. Kalau besok-besok ada yang jual EKAD di harga yang lebih rendah lagi, misalnya 350, maka ya sudah,
saya sikat juga di harga segitu. Pada titik inilah, saya justru merasa beruntung ketika EKAD ini turun, karena dengan
demikian saya bisa membelinya lebih banyak lagi.
Dan itu adalah perasaan yang aneh, karena biasanya kalau saham yang kita pegang turun maka kita akan stres, bingung,
bahkan depresi, tapi ini malah sebaliknya!
Disisi lain, ketika penulis akhirnya sukses membeli EKAD ini pada jumlah yang lumayan di harga 360-an, maka ketika harga
EKAD ini di pasar naik sampai 400-an, itu juga tidak berarti apa-apa. Kenapa? Karena kalau saya memutuskan untuk keluar
dari EKAD ini, maka saya tidak akan bisa menjualnya secara sekaligus pada harga 400 tersebut, mengingat volume bid-nya
juga nggak banyak. Kalau penulis memaksakan diri untuk menjual EKAD ini secara sekaligus, maka sahamnya kemungkinan
akan langsung anjlok seketika, karena jumlah bid yang ada tidak akan bisa menampung semua saham yang saya jual.
Sekali lagi, pada titik inilah, penulis mulai menganggap bahwa harga saham di pasar tidak berarti apa-apa. Hanya karena
saham yang saya pegang harganya naik maka bukan berarti saya langsung untung, dan demikian juga sebaliknya, hanya
karena saham tersebut turun maka bukan berarti saya rugi. Padahal, terus terang, penulis juga tentu saja bukan investor yang
gede-gede amat, malah terbilang masih kelas anak teri lah jika dibandingkan sama Sumitomo atau investor institusi lainnya
yang dananya tidak terbatas. Tapi jika penulis saja sudah tidak peduli dengan harga saham di pasar, maka apalagi mereka,
para
ikan
paus
ini?

Nah, jadi balik lagi ke soal Sumitomo dan BTPN, jika ada pertanyaan kenapa kok Sumitomo mau beli BTPN ini di harga 6,500?
Maka jawabannya adalah karena Sumitomo tentu saja nggak bisa membeli BTPN ini dengan cara membelinya di pasar,
karena jumlah offer-nya sangat sedikit, sementara mereka berniat untuk membeli secara gelondongan, yakni totalnya hampir 2
milyar lembar saham. Jika Sumitomo memaksakan diri untuk membeli saham BTPN di pasar reguler pada harganya 4,000-an,
maka mereka nggak akan bisa ngambil banyak (sampai puluhan juta lot), tanpa membuat harga saham BTPN langsung
terbang entah sampai berapa. Jadi mendingan ambil paketan di harga 6,500 aja. Dan kenapa harganya kok 6,500? Ya karena
menurut mereka, harga itulah yang cukup reasonable alias wajar, jika mempertimbangkan fundamental BTPN dll.

Disisi lain bagi pemegang saham BTPN sebelumnya, yakni TPG Capital, maka mereka juga nggak keberatan menjual 40%
saham BTPN ke Sumitomo pada harga 6,500, karena mereka tidak mungkin menjual BTPN ke investor publik pada harga
segitu secara sekaligus sebanyak sekian puluh juta lot. TPG Capital adalah perusahaan venture capital, dimana mereka bisa
menggunakan dana hasil penjualan saham BTPN untuk ditanamkan di perusahaan kecil lainnya untuk kemudian
dikembangkan menjadi besar, sama seperti yang mereka lakukan terhadap BTPN, enam tahun yang lalu.
Sementara bagi Sumitomo, langkah mereka masuk ke BTPN adalah untuk memegang bank ini untuk seterusnya, karena
memang bisnis mereka di perbankan.
Tapi intinya sekali lagi, pada kasus transaksi jual beli saham antara dua investor besar diatas, maka harga BTPN di pasar
sama sekali tidak berarti apapun. Kalau harga BTPN di pasar entah karena apa berada di level 10,000, misalnya, maka
kemungkinan nilai transaksinya akan tetap dilakukan di harga 6,500, karena kalau lebih dari itu maka Sumitomo nggak akan
mau beli. Ingat bahwa Sumitomo ini adalah value investor yang hanya mau membeli saham kalau harganya wajar
atau undervalue, bukan trader yang membeli saham kalau saham itu break out.
Okay, mas Teguh. Saya mengerti sekarang. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan saya, kalau saya beli saham A dalam jumlah
banyak, kemudian saham itu naik sekian persen, lalu dari mana saya bisa dapet untung kalau saya nggak bisa menjualnya
karena nggak ada yang nampung??
Nah, untuk menjawab pertanyaan ini maka anda bisa bertanya kepada pak Lo Kheng Hong. Menurut anda kenapa beliau mau
mengeluarkan sampai Rp85 milyar (mungkin sudah lebih sekarang) untuk membeli saham yang tidak likuid seperti Petrosea
(PTRO)? Sudah jelas bahwa ia tidak akan bisa keluar lagi dari PTRO ini karena hampir tidak mungkin ada investor publik lain
yang sanggup menampung barang sebanyak itu, tapi ya ngapain juga dia keluar? Memangnya uang 85 milyar tadi mau dipake
buat beli apa lagi???
Tapi dalam kasus lain, pak LKH pernah juga beli saham Panin Financial (PNLF) secara menyicil di harga 100 120, hingga
akhirnya beliau megang PNLF tersebut cukup banyak (kalau gak salah senilai delapan puluh milyar Rupiah), sehingga beliau
jadi nggak bisa keluar. Namun ketika PNLF akhirnya naik sampai 250-an, maka ketika itulah beliau keluar, meski juga harus
dengan cara menyicil karena gak bisa keluar sekaligus. Tapi hasilnya? Well, cuan seratus persen!
Poinnya adalah, percaya atau tidak, jika anda membeli saham berdasarkan value-nya, dan anda sudah bisa nggak lagi peduli
terhadap harga dia di pasar, maka dalam jangka panjang hasilnya akan tetap menguntungkan, bahkan keuntungannya bisa
jauh lebih besar ketimbang trading. Ingat bahwa pak LKH tidak memegang PNLF ini selama sehari, seminggu, atau sebulan,
melainkan sekitar dua tahun.
Selain itu kalau berdasarkan pengalaman, ketika sebuah saham sudah dihargai sangat rendah, entah itu karena IHSG lagi
anjlok atau memang saham itu sendiri yang turun, maka biasanya likuiditasnya akan menjadi seret, biasanya karena
pemegang saham (yang nyangkut) sudah malas jual, tapi yang mau beli pun nggak berani masuk, dan alhasil tidak terjadi
transaksi. Tapi kalau saham ini pada akhirnya naik juga, maka justru ketika itulah transaksi jual belinya akan menjadi ramai,
dimana orang-orang yang membeli dan yang menjual akan sama banyaknya. Kalau kita pakai contoh PNLF, coba perhatikan
volume perdagangannya ketika harganya masih di 100-an dengan ketika harganya sudah di 260-an seperti sekarang ini: Jauh
lebih likuid sekarang kan?
Jadi sekali lagi, anda nggak usah khawatir ketika membeli saham yang tidak begitu likuid, hanya karena anda khawatir kalaukalau anda nggak bisa keluar. Karena ketika saham tersebut pada akhirnya naik juga, maka anda tetap akan bisa keluar
karena akan banyak investor lain yang dengan senang hati menampungnya.
Selain itu, jika anda memiliki visi bahwa anda akan menjadi seorang investor besar suatu hari nanti, makasaham apapun di
BEI ini pada dasarnya nggak likuid, bahkan termasuk saham-saham blue chip, jadi pada akhirnya harga saham di pasar
tetap saja tidak berarti apapun. Ingat bahwa hanya karena dana kita pada hari ini hanya Rp5 juta, misalnya, maka jangan
bayangkan bahwa sepuluh tahun lagi dana kita akan tetap segitu, melainkan (seharusnya) akan tumbuh entah sampai berapa.
Jadi suatu hari nanti, anda juga akan sampai pada satu titik dimana anda hanya bisa membeli saham tertentu secara menyicil,
dan juga sebaliknya, hanya bisa menjualnya secara menyicil pula. Jika anda benar-benar sudah menjadi investor besar, maka
bahkan anda juga hanya bisa membeli saham sekelas BBRI atau Astra International (ASII) dengan cara menyicil, atau harus
melalui pasar negosiasi.
Okay, lalu kalau harga tidak lagi berarti, lalu apa yang berarti dari sebuah saham? Yang berarti adalah value-nya. Anda bisa
menganggap bahwa investasi anda di saham benar-benar bertumbuh jika nilai riil (aset bersih, laba bersih dll) dari
perusahaan yang anda beli sahamnya tersebut memang bertumbuh seiring dengan berjalannya waktu, tak peduli meski
sahamnya nggak kemana-mana, atau sebaliknya, bergerak naik dan turun secara fluktuatif. Intinya, selama fundamental dari
saham yang kita pegang memang bagus dan perusahaannya juga terus bertumbuh, maka sahamnya bisa terus kita hold entah
sampai kapan. Dan kalau nanti sewaktu-waktu dia turun, entah itu karena IHSG anjlok atau dia turun sendiri, maka kalau ada
dana kita bisa beli lagi, tapi kalau nggak ya biarin aja, termasuk kalau dia naik juga biarin aja.
Dan memang seperti itulah cara berpikir investor kakap seperti Sumitomo, dimana yang penting bagi mereka saat ini adalah
bagaimana caranya agar BTPN bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar lagi kedepannya, atau paling tidak terus
mempertahankan kinerjanya pada saat ini, dan bukan soal apakah harga saham BTPN di pasar akan naik atau turun. Okay,
dana yang kita miliki tentu saja hanya secuil dibandingkan dengan dana mereka. Tapi jika kita mengikuti cara berpikir mereka
dan cara mereka dalam berinvestasi, maka bisa saja kita juga akan menjadi sebesar mereka suatu hari nanti, bukan begitu?

Sumber: www.thpartners.com

Anda mungkin juga menyukai