Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KELOMPOK

Mengalisis hukum bunga bank


konvemsional dan praktek
perbankan Syariah
DISUSUN OLEH
KHAIRUL HUDA

(1132310107)

MK : Fiqh Muammalah II

DOSEN PENGAMPU
Nurul Rahmawati, M.HI

Semester / Kelas : 6/C

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PONTIANAK
TAHUN 2016

KATA PENGANTAR
Memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, Karena atas berkah dan
karunia-Nya kami dari kelompok 1 dapat menyelesaikan makalah ini, yang
berjudul Mengalisis hukum bunga bank konvemsional dan praktek
perbankan Syariah.

DAFTAR ISI
KATA PENGATAR.i
DAFTAR ISIii
BAB 1 PENDAHULUAN ..1

BAB 2 PEMBAHASAN
A.

Macam-macam

Riba

dan

Illat..
B.

Fase-fase

pengharaman

Riba. C.
Bunga

Konsep
D.

Pendapat

Fuqaha mengenai Bunga Bank..

E.

Bunga dalam Perbankan Syariah..


BAB III PENUTUP
A.

Kesimpulan

....................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN
Hal paling umum yang menjadi salah satu penggerak ekonomi
konvensional adalah riba atau interst. Suku bunga yang menjadi mesin
penggerak

perekonomian

kenvensoinal

memang

menjadi

rancu

penggunaanya dalam sisttem kkonvensional sendiri. Menurut Adiawan


Karim suku bunga sendiri pada awalnya merupakan rate of return bagi
kepemilikan modal, atau imbal jasa atas modal yang di gunkan dalam
proses produksi , bukan merupakan sebuah keuntungan uang yang di
pinjamkan kepada investor yang menjalankan perekonomian. Namun
seiring berjalanya waktu, riba atau interest akhirnya lazim di gunkan
untuk menggerakkan perekonomian, terutama institusi perbankan sebagai
medium of intermesdiary.
Dalam ekonomi islam, riba dapat di ambil satu pengertian umum,
yaitu

meningkat

(increase)

baik

menyangkut

kualitas

maupun

kuantitasnya (Sacced, 1996). Ekonomi Islam kini menganggap bahwa


interst

rate

sebagai

peranya

dalam

menggerakkan

perekonomian

konvensional sekarang dapat di ubah dengan rate on capital yaitu


pendapatan atas modal barang dan jasa dalam proses produksi. Dengan
alasan ini, Adwaman Karim menjelaskan bahwa perbankan Islam dapat
menggerakkan perputaran kegiatan atau aktivitasnya dengan ikut masuk
ke dalam proses produksi yaitu dengan ikut berperan aktif dalam kegiatan
usaha.
Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang di
kembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam). Usaha
perbentukan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut
dan meminjam berdasarkan bunga yang termaksud dalam riba dan
investasi untuk usaha yang di kategorikan haram, misalkan dalam
makanan, minuman, dan usaha-usaha lain yang tidak islami yang hal

tersebut tidak di atur dalam konvensional. Di Indonesia pelopor perbankan


syariah adalah Bank Muammalat Indonesia. Berdiri tahun 1991 bank ini di
prakarsai oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan perintah serta dukungan
dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha
muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada tahun 90-an
sehingga ekitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB
kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode
1999-2002 dapat bankit dan menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam
Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7
tahun 1992 tentang Perbankan adanya perbankan syariah di Indonesia
bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara Indonesia yang hamper
seluruh penduduknya beragama islam

BAB II
PEMBAHASAN
Mengenai judul makalah di atas, sebaiknya kita mengetahui dulu
mengenai Bank syariah itu dan konvensional itu sendiri.
Sejatinya bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktifitasnya
baik dalam menghimpun dana maupun dalam rangka penyaluran dananya
memberikan dan mengenkan imbalan atas dasar prinsip dasar syariah
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan
dana, meminjamkan uang dan jasa pengiriman uang) adalah boleh di
lakukan, kecualali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan
hal-hal yang di larang syariah, Dalam praktek perbankan konvensional
yang di kenal saat ini, fungsi tersebut di lakukan berdasarkan prinsip
bunga, banak konvensional memang tidak serta merta identik dengan
riba, namun kebanyakan bank keonvensional dapat di golongkan sebagai
transaksi ribawi.
Unutk lebih jelas liaht table di bawah ini:

No

Perbedaan

Bank Konvensional

Bank Syariah

Bunga

Berbasis bunga

Berbasis revenue/profit loss sharing

Resiko

Anti risk

Risk sharing

Operasional

Beroperasi dengan
pendekatan sektor
keuangan, tidak langsung
terkait dengan sektor riil

Beroperasi dengan pendekatan sektor


riil

Produk

Produk tunggal (kredit)

Multi produk (jual beli, bagi hasil,


jasa)

Pendapatan

Pendapatan yang diterima


Pendapatan yang diterima deposan
deposan
tidak
terkait
terkait langsung dengan pendapatan
dengan pendapatan yang
yang diperolah bank dari pembiayaan
diperoleh bank dari kredit

Mengenal negative spread

Tidak mengenal negative spread

Dasar Hukum

Bank
Indonesia
Pemerintah

Falsafah

Berdasarkan
(riba)

Operasional

Dana Masyarakat (Dana


Pihak Ketiga/DPK) berupa
Dana Masyarakat (Dana Pihak
titipan simpanan yang Ketiga/DPK)
berupa
titipan
harus dibayar bunganya ( wadiah) dan
pada saat jatuh tempo
investasi(mudharabah)yang
baru
akan
mendapat
hasil
jika
Penyaluran dan pada diusahakan terlebih dahulu
sektor
yang
menguntungkan,
aspek
Penyaluran dana (financing) pada
halal
tidak
menjadi usaha yang halal dan menguntungkan
pertimbangan agama

10

Aspek sosial

Tidak
tegas

11

Organisasi

Tidak memiliki Dewan Harus memiliki Dewan Pengawas


Pengawas Syariah(DPS)
Syariah(DPS)

Uang

Uang adalah komoditi


Uang
bukan
komoditi,
selain
sebagai
alat
hanyalah alat pembayaran
pembayaran

12

atas

diketahui

dan Al Quran. Sunnah, fatwa ulama,


Bank Indonesia, dan Pemerintah
bunga

Tidak
berdasarkan
bunga(riba),
spekulasi
(maisir),
dan
ketidakjelasan(gharar)

secara Dinyatakan secara eksplisit dan tegas


yang tertuang dalam visi dan misi

tetapi

Dengan table di atas telah jelas mengenai fungsi-fungsi dari kedua


bank tersebut.
A. Macan-macam Riba dan Illat.
Pengertian riba dari segi bahasa, riba memiliki pengertian. Menurut
Suhendi Hendi(2011: 57) :
1) Bertambah () , karena dalam salah satu perbuatan riba
adalah meminta tambahan dari sesuatu yang di hutangkan.
2) Berkembang, berbunga ( ) , karena salah salah satu riba adalah
membungakan harta atau uang atau yang lainya yang di pinjam kepada orang lain
Secara istilah menurut Ghazaly, Abdul Rahman, dkk (2010:217),yang di maksud dengan
riba dalam istilah hukum islam, riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa
yang mengharuskan pihak peminjam untuk membayar selain jumlah uang yang di pinjamkan
kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu
Adapun riba menurut ulama Hanafiyah adalah tambahan pada harta pengganti dalam
pertukaran harta dengan harta (SyafeI .Rahmat, 2007: 260)
Prof. Dr. Yusuf Al-qardawi dalam pengertian riba mengatakan bahwa sesungguhnya
pegangan ahli-ahli fiqh dalam membuat batasan pengertian riba dalam nash(teks) Al-Qur;an
itu sendiri. Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang lebih dari modal dasar adalah riba,
sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal asli yang di tentukan sebelumnya
Karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba. Batasan riba yang di
haramkan oleh Al-Quraan itu sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena
tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya
dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang dilarang
itu, Padalah Allah telah berfirman :
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba(QS.Al-Baqarah: 275).
Jadi, dapat di simpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik berupa
dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam dengan cara membungakan harta atau
uang yang di pinjam tersebut secara bathil yang bertentangan dengan prisnip muammalat
dalam islam.
B. MACAM-MACAM RIBA
A. Riba Fadhl

Riba fadhl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama
jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang di syaratkan oleh orang yang menukarnya, atau
jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan
pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas
atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan,
kelebihan yang di syaratkan itu di sebut riba fadhl. Supaya tukar-menukar seperti ini tidak
termaksud riba, maka ada harus tiga syarat yaitu (Syafei, Rahmat, 2007:267) :
1) Barang yang di tukarkan tersebut harus sama
2) Timbangan atau takaranya harus sama
3) Serah terima di lakukan pada saat itu juga.
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riba fadhl ialah kelebihan
yang terdapat dalam tukar-menukar antara beda-benda sejenis seperti emas-dengan emas,
perak dengan perak, maupun beras dengan beras.
B. Riba al-Nasiah
Riba al-Nasiah berkaitan dengan riba dalam pertukaran uang, apabila ada penundaan
pertukaran, dan beban tambahan diasosiasikan dengan penundaan tersebut. Istilah nasaa
yang berarti penundaan, penangguhan atau menunngu, dan merujuk kepada waktu penundaan
yang di izinkan bagi peminjam untuk membayar kembali pinjaman dengan syarat ada
penambahanataupremi (Zmir Iqbal, Abbas Mirakhor. 72)
Contohnya: fulana membeli dan mengambil emas seberat 3gram pada bulan ini, akan
tetapi uangya di serahkan pada bulan depan. Hal ini di karenakan harga emas bulan ini belum
tentu sama dengan harga emas dengan bulan berikutnya.
C Riba Yad
Riba yang di sebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukarn barang-barang.
Dengan kata lain, kedua belah pihak melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah
dari tempat akad sebelum di adakan serah terima. Larangan riba yadd di tetapkan berdasarkan
hadits-hadits berikut ini :




emas dengan emas riba kecuali di bayarkan kontan, gandum dengan
gandum riba kecuali dibayarkan dengan kontan; kurma dengan kurma riba
kecuali dibayarkan dengan kontan; kismis dengan kismis riba kecuali di
bayarkan dengan kontan (HR.al.Bukhari dari Umar bin Al-Khattab)
D. RIba Qardl.
Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, kullu
Qardl jarra manfaatin fahuwa riba. (setiap pinjaman yang menarik
keuntungan

adalah

riba.(Sayyid

Saabiq,

fiqh

al-Sunnah,

(edisi

terjemahan); jilid xii, hal. 113)


Bisa di artikan bahwa riba qardl adalah meminjam uang kepada
seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus
diberikan oleh peminjam kepada pinjaman. Riab semacam ini di di larang
dalam islam berdasarkan hadits-hadits yang berikut ini;
Imam bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa;
ia berkata suati ketika, aku mengunjungi madinah. Lalu aku berjumpa
dengan

Abdullah

bin

Sala.

Lantas

orang

ini

berkata

kepadaku;

sesungguhnya engkau berada tempat yang di sana praktek riab telah


merajalela. Apabila engakau memberikan pinjaman kepada seseorang
lalu ia memberikan kepadamu berupa rumput kering, gandum atau
makanan ternak, maka jaganlan di terima, sebab, pemberian tersebut
adalah riba. (HR.Imam Bukhori)
B. Tahapan Pengharaman Riba
Larangan pengharaman riba terdapat dalam al-Quran tidak di
turunkan sekaligus, akan tetapi di turunkan dalam empat tahap, yaitu :

1. Tahap pertama
Surat Ar-Rum ayat 39
Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Ayat ini menjelaskan bahwa riba itu tidak akan menambah harta yang
mereka punya, dan juga riba tidak membuat harta mereka berkembang
dengan pesat. Akan tetapi sebaliknya, riba akan membuat harta mereka
hilang dengan sendirinya karena tidak ada keridhoan Allah di dalam
hartanya tersebut.
Berbeda dengan harta zakat, harta zakat pada zohirnya berkurang, tapi
pada hakikatnya harta zakat itu berkembang. Karena harta zakat itu
diridhoi oleh Allah SWT.
Pada ayat ini Allah SWT belum memberikan hukum kepada harta riba.
Allah hanya memberitakan kepada manusia bahwa harta riba itu tidak
baik dan hanya menyusahkan orang lain.
2.

Tahap kedua
Surat An-Nisa ayat 160-161

Artinya

: Maka

disebabkan

kezaliman

orang-orang

Yahudi,

kami

haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)


dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
(manusia) dari jalan Allah,

banyak

menghalangi

Ayat ini menjelaskan bahwa sebab orang-orang Yahudi berbuat zolim,


maka mereka diharamkan memakan makanan yang baik-baik yang
sebelumnya dihalalkan bagi mereka. Itu di sebabkan karena mereka
banyak mengganggu dan menghalangi manusia untuk berada di jalan
Allah.
Artinya : Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta
benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah mengharamkan riba kepada kaum
Yahudi. Dikarenakan mereka memakan harta benda saudaranya dengan
cara yang bathil atau salah. Yaitu mereka melakukan peraktek ribawi.
Allah mengancam memberi balasan kepada orang-orang Yahudi yang
memakan harta riba.
Dalam ayat ini dijelaskan juga bahwa Allah hanya mengaharamkan riba
kepada kaum Yahudi saja. Allah belum mengharamkan riba kepada kaum
muslimin.
3.

Tahap Ketiga
Surat Ali-Imran ayat 130

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba


dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.
Ayat ini menjelaskan bahwa secara umum harus dipahami bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau

bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini
merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Karena mereka memahami ayat ini, jika memakan harta riba dengan
berlipat ganda barulah dilarang, namun jika tidak berlipat ganda tidak
dilarang atau mereka menganggap itu bukan riba.
Dalam ayat ini Allah memanggil orang-orang yang beriman. Pertanda
bahwa riba juga diharamkan bagi mereka orang-orang yang beriman,
bukan hanya diharamkan kepada orang-orang Yahudi saja.
4.

Tahap terakhir
Surat Al-Baqarah ayat 275-280

Artinya : orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit


gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Allah menjelaskan bahwa orang yang memakan harta riba,
bagaikan

orang

yang

kemasukan

syaiton

atau

sering

kita

sebut

kesurupan. yaitu Allah memasukan riba ke dalam perut mereka itu, lalu
barang itu memberatkan mereka.hingga mereka sempoyongan bangun
jatuh.

Itu

menjadi

tanda

dihari

kiamat

sehingga

semua

orang

mengenalnya. Begitulah seperti yang dikatakan said bin jubair. Itu


disebabkan karena mereka menganggap bahwa riba sama dengan jual

beli. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dan jika mereka berhenti untuk tidak sanakan riba, Allah menyiapkan
untuk

mereka

neraka

yang

penuh

dengan

azab

dan

mereka

melaksanakan riba lagi, maka Allah akan ridho kepadanya. Namun jika
mereka terus melak kekal di dalamnya.
Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa.
Dijelaskan bahwa perbedaan antara riba dan sedekah itu sangatlah
berbeda. Karena riba berfungsi memusnahkan harta, sedangkan sedekah
berfungsi menyuburkan harta.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala
di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.
Dijelaskan bahwa orang-orang yang beriman,mereka tidak memiliki
kehawatiran dab bersedih hati. Karena mereka sudah begitu dekat kepada
Allah, sehingga menutup kemungkinan mereka berbuat praktek ribawi.
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman.
Dijelaskan bahwa Allah menyuruh orang-orang yang beriman untuk
bertaqwa kepada Allah dan meninggalkan praktek ribawi.
Artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba),
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan

jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok


hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama
asbabun

nuzulnya.

Abu

Jafar

Muhammad

bin

Jarir

meriwayatkan

Ath

Thabary
bahwa:

Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan


dengan Rasulullah bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang
(tagihan)

mereka

dikembalikan

yang

ber-dasarkan
hanya

riba

agar

pokoknya

dibekukan

dan
saja.

Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai


Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah
administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa
meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman
jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba.
Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset
yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan
tambahan (riba) dari Bani Mughirah seperti sediakala tetapi Bani
Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan
(riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur
Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis
surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat di atas
Rasulullah lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itaba jikalau
mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jikalau
mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada
mereka.
Jadi,jika kita tidak meninggalkan praktek ribawi, maka kita akan diperangi
oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan jika meninggalkan dan menjauhi praktek

ribawi, insyaAllah kita akan mendapat ridho dari Allah dan Allah akan
menjaga harta kita serta kita dijauhkan dari siksa-Nya yang sangat pedih.
Artinya : Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah

tangguh

sampai

dia

berkelapangan.

(sebagian atau semua utang) tiu, lebih baik

Dan

menyedekahkan

bagimu,

jika

kamu

mengetahui.
Maksud darai perkataan wa inkana dzuu usratin fa nadhiratun ila
maysarah itu memberikan semangat kepada pihak yang menghutangi
supaya benar benar memberikan tempo kepada pihak yang berhutang
sampai ia benar benar mampu.
C. Konsep Bunga
Secara bahasa bunga bank merupakan terjemahan dari kata dalam
Bahasa Inggris yaitu interest. Sedangkan secara istilah, Bunga Bank
merupakan tanggungan yang di bebankan pada peminjam uang, yang
biasanya di tunjukkna berdasarkan besar uang yang di pinjamkan.
Ssetalah kita memahami pengertian dari bunga, sehingga timbul
permasalahan, apakah Bunga Bank itu sama dengan Riba? Pengertian
tambahan yang di bebankan menurtu konteks Riba Ialah tamabahan uang
atas modal yang di peroleh dengan cara tidak di benarkan syara. Maksud
dari pernyataan tersebut adalah tambahan nilai terhadap uang yang di
pinjamkan akibat transaksi hutang piutang yang harus di kembalikan oleh
peminjam ketika mengembalikan uang yang di pinjamkan kepada pemilik
pada saat jatuh tempo.
D. Pendapat Fuqaha Mengenai Bunga bank
Yang dimaksud dengan Bank sesuai undang-undang no. 7
tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya


kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Orang yang menyimpan uangnya di bank diberikan keuntungan oleh
bank itu yang disebut dengan bunga bank berdasarkan persentase uang
yang disimpannya. Bank biasanya hanya memberikan pinjaman kepada
nasabah

untuk

keperluan

produktif

seperti

modal

berdagang,

pengembangan usaha dan lain-lain. Namun ada juga pinjaman atau kredit
yang diberikan bank untuk keperluan konsumtif seperti kredit Pemilikan
Rumah (KPR). Uang simpanan nasabah di dalam suatu bank tidak akan
didiamkan begitu saja tetapi uang itu akan dijalankan untuk melancarkan
perekonomian atau melaksanakan pembangunan. Dari keuntungan bank
inilah sebagian diberikan kepada nasabah sebagai bunga bank.
Prinsip perbankan Islam adalah menjauhkan riba dan menerapkan sistem
bagi hasil dan jual beli. Ditinjau dari bahasa Arab, riba bermakna:
tambahan, tumbuh, dan menjadi tinggi. Menurut ensiklopedi Islam
Indonesia, Ar-Riba makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur.
Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas
modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara, apakah
tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang
diisyaratkan dalam Al-Quran (Wirdyaningsih 2005;25)
Tentang permasalahan bunga bank ini para ahli berbeda pendapat. Secara garis besar
terdapat tiga pendapat yang berbeda yaitu: Haram, halal dan syubhat (belum jelas halal dan
haramnya). Kita tidak perlu mempermasalahkan perbedaan tersebut, karena masalah bunga
bank itu ada dalam tataran hukum fiqih. Artinya masalah ini merupakan masalah khilafiyyah,
seperti halnya mengenai jumlah rakaat dalam sholat tarawih, ada yang berpendapat 8 rakaat,
20 rakaat, bahkan ada yang lebih dari itu. Perbedaan tersebut seyogyanya kita sikapi dengan
lapang dada dan jangan sampai menjadikan perpecahan diantara kita ummat Islam. Karena
sesungguhnya perbedaan itu merupakan rahmat (kenimatan) buat kita.
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh
karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama terkemuka dalam konferensi
Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati

secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan
praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank (Ahmad Bin Abdul Aziz Al-Hamdana.
1993;75) berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman
bunga bank, yaitu:
1. Majmaal Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada
tanggal 10-16 Rabiul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
2. Majma Fiqh Rabithah alAlam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di
Makkah, 12-19 Rajab 1406 H;
3. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;
4. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
5. Majmaul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
Walaupun Indonesia termasuk Negara dengan penduduk mayoritas muslim yang terlambat
mempromosikan gagasan perbankan Islam (Mervyn K lewvis dan M.Agoud, 2007;15) namun
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Bunga (Interest/Faidah) berpendapat:
1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman
Rasulullah, yaitu Riba Nasiah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk
salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank,
Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun
dilakukan oleh individu.
Majelis Ulama Indonesia berpendapat demikian dengan berdasarkan pada dalil dari
Al-Quran dan As-Sunnah, serta Kesepakatan para Ulama. Berikut petikan Fatwa MUI
tentang Bunga (Interest/Faidah).
Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang
diharamkan Allah SWT, seperti dikemukakan oleh :

Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab


Syafii) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Quran, atas dua
pandangan. Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh
sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan
penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al-Quran, baik riba naqad maupun riba nasiah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Quran sesungguhnya hanya mencakup riba nasa
yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang)
disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh
tempo pembayaran piutangnya dan pihak berhutang tidak membayarnya, ia menambahkan
piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada
saat jatuh tempo berikutnya.

BAB III
KESIMPULAN
1) Pengertian, riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam meminjam dengan cara membungakan harta atau uang yang dipinjam tersebut
secara bathil yang bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

2) Macam-macam Riba:
a) Riba Fadhl
b) Riba Nasiah
c) Riba Yad
d) Riba Qardh
3) Dasar Hukum Riba Berdasarkan Al-Quran dan Hadis :

Artinya : Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Yang
demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang
siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang
telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 275)
Di dalam Sunnah, Nabi Muhammad saw



















Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba),
maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina. (HR Ahmad dari Abdullah bin
Hanzhalah).
1) Pandangan Islam atas bunga bank konvensional dan transaksi berbasis bunga
Tentang permasalahan bunga bank ini para ahli berbeda pendapat. Secara garis besar
terdapat tiga pendapat yang berbeda yaitu: Haram, halal dan syubhat (belum jelas
halal dan haramnya). Prof.Dr.Yusuf Qaradhawi berkata bahwa perkataan sebagian
orang dan Ulama yang melakukan justifikasi atas kehalalan sistem bunga bank

konvensional dengan berdalih bahwa riba yang diharamkan Allah dan Rasul Nya,
adalah jenis yang dikenal sebagai bunga konsumtif saja, tidak dapat dibenarkan.
Sebenarnya tidak ada perbedaan di kalangan ahli syariah pun sepanjang tiga belas
abad yang silam. Ini jelas merupakan pembatasan terhadap nash-nash yang umum
berdasarkan selera dan asumsi belaka.

DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, hendi, 2011. Fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali Press.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta : Kencana Prenada Media.
Syafei ,Rahmat, 2007. Fiqh Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.
Zamir Iqbal, Abbas Mirakhor, pengantar keuangan islam teori dan praktek
Wirdyaningsih et,al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005)
Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hamdana, Kepada Para Nasabah dan Pegawai Bank, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1993)
Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algoud, Perbankan Syariah Prinsip, Praktik, dan Prospek
(Islamic Banking), diterjemahkan oleh Burhan Subrata, cet. ke-1, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2007).

Anda mungkin juga menyukai